Gaji Besar Versus Kepuasan Kerja: Pilih Mana?
Dalam suatu obrolan, seorang teman ikrib (saking akrabnya) pernah bilang begini, “Buat kerja, seenggaknya harus salah satu lu dapet: kalau lu gak suka sama kerjaannya, lu harus punya gaji besar. Tapi, kalau duitnya dikit, setidaknya lu mesti hepi ngerjainnya. Ya, syukur-syukur dapet dua-duanya. Kalau enggak ada, ya ngapain?”
Setuju enggak kira-kira dengan kata-kata di atas? Pendapat pribadi nih ya–kalau memang bisa memilih pekerjaan–saya sih setuju dengan pernyataan tersebut.
Maksudnya, nasib ya siapa yang bisa menentukan. Betul? Kadang kita memang bisa dapat semua yang kita mau, kadang juga enggak. Kalau memang nasib lagi baik, dan kita bisa memilih pekerjaan, maunya sih ya dapat gaji besar dan hepi ngerjainnya. Tapi kalau enggak bisa dapat yang ideal macam itu, ya setidaknya harus salah satu yang dipilih. Kalau enggak ada yang bisa dipilih (plus kepepet), ya akhirnya apa aja deh dikerjain, asal halal.
Ternyata kontroversi soal gaji besar versus kepuasan kerja ini masih saja diperdebatkan di antara para pelaku dunia kerja. Ya, wajar sih, karena masing-masing punya kebutuhan dan prioritas yang berbeda. So–lagi-lagi opini pribadi nih–enggak ada yang salah dan enggak ada yang benar 100% tentang gaji besar versus kepuasan kerja. Tergantung kondisi masing-masing.
Pilih Mana?
Gaji Besar
Siapa sih yang enggak butuh duit? Enggak ada, iya nggak sih? Realistis saja, sepertinya enggak ada orang yang nggak butuh duit. Makanya, banyak karyawan yang seneng-seneng saja kalau dapat gaji besar. Enggak heran juga, ada fresh graduate yang menolak gaji Rp8 juta.
Tapi, kadang banyak yang lupa. Bahwa nominal gaji itu ekuivalen dengan besarnya beban, tanggung jawab, dan tuntutan.
The New York Times pernah mengulas dan memberikan data survei yang dilakukannya pada 500.000 pekerja di Amerika Serikat, yang membawa kesimpulan akhir bahwa gaji besar ternyata tak menjamin seseorang bahagia dan puas dengan pekerjaannya. Beberapa orang mengungkapkan, gaji mereka yang besar menuntut aneka bentuk pengorbanan–hilangnya waktu kebersamaan dengan keluarga, dengan teman-teman, enggak bisa menekuni hobi, kurangnya waktu beristirahat, dan sebagainya.
Belum lagi, jika kondisi dan situasi di tempat kerja juga kurang nyaman; terlalu banyak politik kantor, drama ina-inu, gosip, kurangnya kerja sama antar rekan, dan sebagainya.
Hal-hal tersebut seakan membuat nominal besar di slip gaji yang diterima setiap bulan menjadi “bukan apa-apa” lagi.
Namun, di sisi lain, gaji besar bisa menjadi motivasi bagi seorang karyawan untuk berusaha lebih baik dan berkontribusi lebih banyak. Gaji dan berbagai kompensasi bisa menjadi “bensin” yang selalu membakar semangat untuk terus bekerja dengan baik.
Ada yang enggak setuju dengan hal ini? Kayaknya sih semua setuju ya?
Kepuasan Kerja
Di sisi lain, kepuasan kerja memang bisa dicapai saat kita mendapatkan gaji yang selayaknya dengan hasil dan kinerja yang sudah kita berikan. Logikanya, kalau hasil kerja bisa memuaskan pastinya kita juga boleh mengharap gaji besar. Sehingga besaran gaji dan juga kepuasan ini akan saling memengaruhi. Dengan logika yang sama pula, kita seharusnya jadi bisa menyimpulkan, saat kepuasan kerja tercapai maka kita pun pasti happy menjalani kerja tersebut.
Tetapi, ternyata, fakta yang dibawa oleh survei yang dilakukan The New York Times mengatakan, bahwa gaji besar enggak selamanya bisa menjamin orang bahagia saat bekerja. Alih-alih, banyak yang mengungkapkan justru hal-hal di luar gajilah yang menentukan apakah mereka akan bertahan di suatu pekerjaan atau lebih memilih pindah kantor atau bahkan pindah bidang kerja.
Banyak responden yang mengungkapkan, bahwa mereka punya gaji besar namun gerah akan kompetisi antarkaryawan di kantor yang sangat ketat. Bukannya saling membantu, masing-masing malah saling menjatuhkan. Lama-kelamaan mereka tak merasa puas lagi pada pekerjaannya. Bukan lantaran tak dibayar cukup, tetapi karena pekerjaan yang dimiliki tidak mencakup kebutuhan jiwa dasar, yaitu kenyamanan dan keamanan, kebutuhan untuk berkembang, menjalin hubungan baik dengan sesama, serta ikut berkontribusi dalam bidang yang digeluti.
Hmmm, kalau dari sini tampak bahwa kebutuhan untuk eksis dan dihargai ternyata jauh lebih tinggi ketimbang kebutuhan untuk mendapatkan gaji besar.
Gaji Besar Versus Kepuasan Kerja: Mana yang Dipilih?
Sekali lagi, hal ini tergantung pada prioritas masing-masing karyawan. Ada yang memang berharap punya gaji besar. Karena itu, ia siap dengan segala konsekuensinya, seperti siap bersaing dengan rekan kerja sendiri, siap bekerja keras dengan target ketat, hingga siap pula dengan beban kerja yang lebih banyak dan berat. Suasana kurang kondusif pun bisa diatasi, karena ia sudah siap dengan konsekuensi itu juga.
Di sisi lain, ada karyawan yang lebih puas dengan mengejar passion-nya, meskipun mungkin gajinya tak sebesar karyawan yang lain. Tapi ada beberapa faktor keamanan dan kenyamanan yang dirasakan, sehingga ia merasa bisa berkontribusi pula dengan maksimal.
Well, berapa pun gaji yang kita terima–baik gaji besar ataupun gaji kecil–itu sebenarnya relatif dan harus selalu disyukuri, karena banyak hal yang memengaruhi. Permasalahan terbesarnya adalah mampukah kita mengelola gaji kita–seberapa pun besarnya itu–sehingga bisa membuat kita bertahan hidup sampai tiba waktu gajian berikutnya? Banyak lo, yang punya gaji besar tapi ternyata di pertengahan bulan sudah terlanda sindrom tanggal tua.
Duh, semoga enggak banyak yang tersindir ya.
Yuk, ikut kelas-kelas finansial online dari QM Financial yang bisa dipilih sesuai kebutuhan! Cek jadwalnya di web Event QM Financial atau follow akun Instagram QM Financial biar update terus ya.
Rekan Kerja Punya Gaji Lebih Besar Padahal Jabatan Sama – Protes atau Diam Saja?
Besar kecil gaji yang diterima bisa memengaruhi semangat kerja seseorang. Gaji lebih besar seharusnya bisa membuat seseorang menjadi lebih terpacu untuk bekerja lebih giat dan lebih produktif lagi. Gaji kecil, apalagi jika nggak sebanding dengan beban dan tanggung jawab, wah … hampir bisa dipastikan akan menurunkan semangat kerja karyawan.
Apalagi jika kemudian kita tahu, kalau ada rekan kerja–dengan posisi dan jabatan serta tanggung jawab yang sama–ternyata punya gaji lebih besar. Ouch
Pertanyaan yang pertama kali muncul pastilah: Kok bisa ya? Apa yang salah? Apa yang dia lebih punya dibanding kita? Apa kita kerjanya enggak bener? Apa dia disayang bos, sehingga punya gaji lebih besar?
Eits, tenang dulu. Calm down, dear. Untuk mengatasi fakta kurang menyenangkan dan kemudian mencari solusinya, kita mesti meredam emosi dulu. Singkirkan segala prasangka buruk, lalu coba lakukan beberapa langkah berikut.
Rekan Kerja Punya Gaji Lebih Besar, Apa yang Harus Dilakukan?
1. Cari fakta lebih banyak
Enggak lucu kalau kita sudah protes, tapi ternyata gaji lebih besar punya rekan kerja itu adalah gosip belaka. Jadi, ayo coba cari tahu info lebih banyak lagi. Kita bisa menanyakan kebenaran hal ini pada pihak HR. Meskipun ada semacam etika tak tertulis, bahwa besaran gaji itu sebaiknya enggak dibocorkan, tapi setidaknya kita bisa membujuk dengan berdasarkan gosip yang kita dengar.
Jika memang rekan kerja punya gaji lebih besar, lalu coba cari tahu, apa yang membuatnya berhak menerima gaji sebesar itu, sedangkan kita enggak? Saat mencari informasi mengenai hal ini, kita mesti selalu ingat, bahwa bicara dan diskusi dengan kepala dingin itu penting.
Jadi, singkirkan dulu semua emosi negatif yang mungkin muncul. Lebih baik menunda diskusi dan obrolan jika kita masih emosi tinggi, karena hasilnya enggak akan baik dan bisa jadi malah akan memperburuk keadaan.
2. Cari kelebihan diri
Setelah tahu apa yang “lebih” dari rekan kerja sehingga mereka punya gaji lebih besar–sedangkan kita tidak–lalu pertimbangkan langkah selanjutnya. Mau ngapain nih? Minta naik gaji? Hmmm, boleh saja.
Tapi, tentu saja, kita enggak bisa ujug-ujug saja gitu datang ke bos dan minta naik gaji, tanpa ada argumen mengapa kita pantas menerimanya. Datanglah untuk menegosiasi gaji agar setidaknya sama dengan rekan kerja yang lain dengan bekal data serta argumen yang meyakinkan.
Jangan permalukan diri sendiri, karena sudahlah ngotot, ternyata salah argumen. Duh. Makin jatuh deh kredibilitas kita di mata perusahaan, terutama atasan dan HR.
3. Bicarakan dengan atasan
Setelah punya data yang cukup, dan pede dengan kelebihan diri yang ada–yang juga menjadi kelebihan rekan kerja lain yang punya gaji lebih besar–maka sekaranglah saatnya meminta waktu bertemu dengan atasan.
Diskusi dengan atasan ini perlu dilakukan lebih dulu sebelum kemudian bernegosiasi gaji dengan HR, karena atasanlah yang seharusnya paling tahu beban, kapasitas, serta performa kerja kita, bukan? Selain mempertimbangkan mengenai kriteria dan komposisi gaji yang mungkin missed, ada pula peluang untuk membicarakan kesempatan bagi diri sendiri untuk lebih berkembang agar semakin “pantas” untuk naik gaji.
4. Tingkatkan performa
Meningkatkan performa kerja bisa menjadi salah satu cara untuk memberikan bukti nyata pada atasan dan pihak perusahaan pada umumnya, bahwa kita pun berhak atas gaji lebih besar.
Mengapa demikian? Karena gaji berbanding lurus dengan beban kerja, yang juga berbanding lurus dengan hasil kerja kita.
Jadi, dengan memberikan hasil kerja baik yang nyata, hal tersebut seharusnya sudah bisa menjadi catatan bagi atasan dan perusahaan akan kinerja kita sendiri, tanpa perlu kita menegosiasi gaji. Bahkan mungkin jika memang kinerja kita sudah optimal, tanpa kita minta pun, gaji akan naik dengan sendirinya.
5. Atur gaji sebaik-baiknya
Ataukah, kita merasa, bahwa rekan kerja punya gaji lebih besar karena kita enggak pernah bisa mengelola gaji dengan baik? Nominal yang diterima mungkin sama, tapi si rekan kerja rasanya selalu saja punya uang. Sedangkan, kita setiap kali menerima gaji di rekening, beberapa hari kemudian kok sudah kosong aja?
Nah, berarti kesalahan bukan terletak pada rekan kerja yang punya gaji lebih besar. Tetapi, kemungkinan ada yang salah dengan pengelolaan keuangan kita. Saat seseorang sudah punya keterampilan mengatur keuangan pribadinya dengan baik, maka akan besar kemungkinan ia tak akan terlalu banyak rewel mengenai gaji yang diterimanya.
Malahan, bisa jadi ia akan bisa mendapatkan penghasilan yang lain, selain dari gaji. Karena dengan pengelolaan dan tujuan finansial yang baik dan jelas, sebagai karyawan pun, kita bisa berinvestasi dan dapat cuan lo.
Makanya, ikut kelas-kelas finansial online dari QM Financial yuk! Dari kelas basic–yang berupa pelatihan dasar mengatur keuangan pribadi–hingga kelas intermediate dan advanced–sampai kenalan dengan berbagai produk investasi–bisa kamu dapatkan sekaligus. Cek jadwalnya di web Event QM Financial atau follow akun Instagram QM Financial biar update terus ya.
Jadi gimana? Masih mau mempersoalkan rekan kerja yang dapat gaji lebih besar? Ya boleh saja sih, tapi pastikan kita juga sudah terampil mengelola keuangan. Karena percuma saja gaji naik atau punya gaji besar, tapi kemampuan pengelolaan juga nol besar.
5 Cara Menghemat Pos Pengeluaran Transportasi saat Berangkat Kerja untuk Karyawan di Jakarta
Ternyata, kalau dihitung-hitung, kerja di Jakarta itu pemborosan paling besar bisa jadi dari pos pengeluaran transportasi lo!
Belum lagi ada fakta yang menyebutkan, bahwa berangkat kerja adalah hal yang paling menyebalkan dalam aktivitas seorang karyawan. Masih mending bersih-bersih rumah, katanya. Enggak heran sih, karena berangkat dan pulang kerja berarti harus selalu berdamai dengan kemacetan!
Dan, tahu enggak, ada penelitian yang dilakukan oleh Scandinavian Journal of Economics yang menemukan, bahwa pekerja yang menghabiskan waktu sekitar 22 menit ke kantor, memiliki pengeluaran 35% lebih banyak tiap bulannya ketimbang yang tidak. Maka, enggak heran lagi, kalau begitu sampai di kantor, karyawan sudah mengalami gejala 3L–lemah, letih, lesu–duluan. Begitu juga saat harus pulang ke rumah, belum jalan sudah stres.
And we have to deal with this, everyday! Ouch!
Makanya ada cerita, ada seorang karyawan yang mendapatkan fasilitas mobil dinas dari kantor. Dengan car ownership program dari kantornya, ia berhak menggunakan mobil itu selama untuk keperluan pekerjaan sampai batas waktu tertentu, hingga mobil bisa benar-benar jadi miliknya. However, si karyawan yang tinggal di daerah Tangerang, malah lebih suka meninggalkan mobil di rumah. Apa pasal? Boros! Boros pengeluaran, dan boros energi serta emosi, katanya.
Hal ini akhirnya juga jadi masalah tersendiri antara si karyawan dengan kantor. Pihak perusahaan merasa sudah memberikan fasilitas, tapi akhirnya tidak efisien. Sedangkan karyawan merasa malah dibebani oleh fasilitas dan benefit yang diberikan oleh kantor.
Hmmm. Dari cerita ini kita bisa menarik satu kesimpulan, adalah perlu untuk dipertimbangkan juga bagi perusahaan, apakah pemberian benefit tertentu itu memang dibutuhkan oleh karyawan atau enggak? Jangan-jangan malah membebani, seperti halnya kasus si karyawan yang mendapatkan car ownership program di atas?
Jadi, bagaimana ya caranya menghemat pos pengeluaran transportasi ini supaya kita enggak stres duluan? Well, mungkin kita bisa mempertimbangkan untuk ganti moda transportasi saja. Nggak usah pakai kendaraan pribadi.
5 Moda yang bisa dipertimbangkan untuk mengganti kendaraan pribadi demi menghemat pos pengeluaran transportasi ke kantor
1. Commuter Line
Commuter line, atau kereta rel listrik komuter, bisa jadi adalah moda transportasi umum yang jadi andalan banget untuk para karyawan di Jakarta. Selain bisa mengurangi kemacetan, biaya untuk naik KRL juga relatif lebih murah banget ketimbang harus naik kendaraan pribadi.
Untuk naik KRL, kita perlu memilih mau pakai Kartu Multi Trip atau mau tiket harian aja. Kalau dihitung-hitung, pastinya dengan punya Kartu Multi Trip ya akan jauh lebih murah dan mudah buat kita-kita yang tiap hari akan memanfaatkan KRL untuk berangkat kerja. Kurang lebih dengan isi ulang saldo minimal Rp30.000, itu sudah bisa dipakai untuk beberapa kali perjalanan. Pos pengeluaran transportasi jadi bisa dipangkas banyak deh.
Coba bandingkan dengan habisnya bensin untuk naik kendaraan pribadi.
Memang saat ini KRL masih belum senyaman itu. Mari berharap pada pemerintah agar bisa meningkatkan pelayanan KRL yang kini sangat vital bagi masyarakat.
2. MRT
Dengan diresmikannya MRT pada bulan Maret 2019 yang lalu, kini moda transportasi umum ini pun menjadi primadona bagi para warga Jakarta yang ingin bepergian.
Sama seperti KRL, untuk dapat naik MRT kita akan butuh kartu bayar, yang dinamai Jelajah. Ada 2 tipe juga: single trip dan multi trip. Dan sudah seperti yang bisa diduga juga, yang multi trip jatuhnya akan lebih murah.
Dengan ongkos Rp3.000 hingga Rp14.000 sekali jalan, tergantung jauh dekat tujuan, pastinya pos pengeluaran transportasi akan lebih terselamatkan.
Mari berharap, agar MRT menjangkau lebih banyak area lagi secepatnya.
3. TransJakarta
Bus TransJakarta–sejak diresmikan–jelas menjadi moda transportasi umum yang paling laris digunakan oleh para karyawan dan pekerja di Jakarta. Dengan tarif Rp3.500, asalkan enggak keluar dari halte, kita dapat menjangkau area mana pun di Jakarta dengan lebih mudah.
Meski yah, sekarang TransJakarta juga nggak bebas-bebas macet banget sih, lantaran selalu saja ada oknum-oknum yang mengganggu busway. Hvft!
4. Ojek online
Nah, ketimbang pakai kendaraan sendiri, masih mending pakai ojek online yang kini punya tarif sekitar Rp1.600/km. Memang lebih mahal sih jatuhnya dibandingkan dengan moda transportasi umum yang lain. Tapi kita bisa kok ngulik supaya bisa menghemat pos pengeluaran transportasi. Paling enggak, pasti lebih hemat ketimbang bawa kendaraan pribadi.
Sesuaikan saja dengan jalur perjalananmu, lalu utak-atik deh. Dari mana sampai mana pakai KRL, lalu mungkin bisa dilanjut dengan TransJakarta, dan kemudian supaya sampai kantor tepat waktu, kita harus menyambung dengan ojek online. Coba bandingkan dengan saat kita menggunakan kendaraan pribadi. Bandingkan.
5. Ikut komunitas nebengers
Sudah tahu komunitas nebengers belum? Komunitas ini terdiri atas orang-orang yang suka barengan berangkat kerja.
Komunitas ini berawal di Twitter, kemudian ngehits. Kalau enggak salah, sebelumnya hanya untuk “trayek” Jakarta-Bandung dan sebaliknya saja. Tapi sekarang merambah ke kota-kota lain, meski yang paling sibuk tetaplah di Jakarta.
Mau coba sesuatu yang baru? Coba gabung di komunitas ini. Ada aplikasi mobilenya juga lo, sehingga sekarang lebih mudah lagi. Nggak cuma bisa menghemat pos pengeluaran transportasi, tapi bisa tambah kenalan dan teman. Seru kan?
Nah, itu dia beberapa trip memangkas pos pengeluaran transportasi buat kita, para karyawan yang bekerja di Jakarta.
Terus, kalau sudah begini berarti gaji sudah aman? Well, coba cek juga pos pengeluaran yang lain; pos makan sehari-hari, pos ngopi, pos boba, pos nonton bioskop …
Yuk, ikutan kelas finansial online-nya QM Financial aja yuk! Kamu bisa belajar mengenali pos-pos pengeluaran mana yang bisa dipangkas, dan mana yang bisa dipindah alokasinya ke hal-hal yang lebih bermanfaat. Cek jadwalnya di web Event QM Financial ya. Dan jangan lupa, follow Instagram QM Financial untuk mendapatkan update, info, dan trik keuangan terbaru dari QM Financial.
Saat Gaji Terlambat Dibayarkan, 5 Hal untuk Dilakukan
Adakah yang pernah mengalami gaji terlambat dibayarkan? Gimana ya, rasanya? Hmmm, gaji yang ditunggu, mau dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ternyata nggak nongol juga di rekening. Hadeh. Apa kabar topup reksa dana nih? Boro-boro, mau ngopi aja berarti mesti ganti kopi sachet dulu.
Yah, begitulah. Dunia kerja dan segala permasalahan dan isunya. Terkait juga sih dengan perputaran roda bisnis, kalau tersendat, ya bisa jadi semua-mua jadi kena efek. Paling nggak enak, kalau hak-hak karyawan mulai terhambat.
Well, bisa dibilang, saat gaji terlambat dibayarkan ini merupakan salah satu “isyarat” paling jelas bahwa perusahaan sedang berada di kondisi yang sangat sulit. Karena ketika perusahaan terlambat membayarkan gaji, itu berarti sebenarnya mereka sedang menghadapi ancaman sanksi dari negara, selain mungkin bisnis mereka sendiri juga sedang terancam.
Sanksi dari negara? Iya, ada lo aturannya mengenai keterlambatan pembayaran gaji. Mari kita kutip sedikit.
Seperti yang sudah disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan pada Pasal 55 ayat (1), bahwa pengusaha yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar upah dikenai denda, dengan ketentuan:
- Keterlambatan pemberian upah mulai dari hari ke-4 – hari ke-8, pengusaha dikenakan denda sebesar 5% per hari.
- Keterlambatan pemberian upah sampai dengan sesudah hari ke-8, pengusaha akan terkena denda keterlambatan 5% (seperti poin 1 di atas) dan ditambah 1% per hari keterlambatan, dengan ketentuan 1 bulan tidak boleh melebihi 50% dari besaran upah yang seharusnya dibayarkan.
- Saat gaji terlambat dibayarkan sampai lebih dari 1 bulan, maka pengusaha dikenakan denda keterlambatan 5% + 1% (seperti ketentuan poin 1 dan 2 di atas) dan ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.
- Pengenaan denda sebagaimana dimaksud di atas tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah, seperti yang dijelaskan pada Pasal 55 ayat 2 PP Pengupahan.
Nah lo. Banyak ternyata sanksinya ya? Karena itu, sepertinya kan enggak mungkin ada perusahaan yang sengaja menghambat pemberian gaji, bukan? So, kalau kamu ngalamin gaji terlambat dibayarkan, maka ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan segera, demi bisa memperpanjang hidup sampai ada pemasukan lagi.
Jika Gaji Terlambat Dibayarkan, Apa yang Harus Kamu Lakukan?
1. Tanyakan penyebabnya
Biasanya sih–menurut pengalaman yang sudah-sudah–saat perusahaan sedang dalam kesulitan, pihak manajer tidak akan serta merta mengumumkan kondisi tersebut pada anak buah secara langsung dan terbuka. Mereka hanya akan membicarakannya dengan pihak-pihak tertentu yang punya andil dalam situasi darurat tersebut.
Tapi, kalau sampai gaji terlambat dibayarkan, ada baiknya karyawan langsung bertanya (bisa melalui HR) mengenai penyebabnya, dengan kalimat yang baik tentu saja. Setelah mengetahui penyebab, kita sebagai karyawan juga berhak tahu, sampai kapankah situasi ini akan “dipertahankan”. Kita berhak tahu dan mendapatkan kepastian, harus sampai kapan kita menunggu.
Nah, kalau perlu, ajak rekan-rekan kerja yang lain untuk ikut berdiskusi dengan pihak manajemen terkait hal ini. Yang penting, jangan emosional, kepala harus tetap dingin, dan berdiskusilah untuk menemukan solusi bersama.
2. Cek dana darurat
Langkah kedua yang harus segera dilakukan saat gaji terlambat dibayarkan adalah mengecek kondisi dana darurat kita. Semoga sih, sudah ada dana darurat seenggaknya 4 kali pengeluaran bulanan ya. Ini minimal banget nih. Buat yang sudah berkeluarga, pastinya akan lebih aman kalau memenuhi 9 kali pengeluaran bulanan.
3. Lakukan financial checkup
Lalu, setelah mengecek kondisi dana darurat, segera lakukan financial checkup. Berapa tabungan yang ada sekarang, berapa pengeluaran bulanan (sekalian dicek, apa saja yang bisa dipangkas dan dihemat), dan kemudian cek posisi utang dan cicilan.
Meski keringat dingin akan mengucur selama melakukan financial checkup, tapi ini penting banget untuk dilakukan ya. Biar kita tahu pasti posisi kita berada di mana.
4. Bersiap untuk kemungkinan terburuk
Nah, setelah melakukan financial checkup, maka segeralah bersiap untuk kemungkinan terburuk. Apa itu? Duh, mesti banget disebutkan ya? Amit-amitlah ya, semoga enggak perlu terjadi, tapi kita harus tetap siap.
Yang pasti, tetap tenang jangan panik. Bisa saja memang ini sudah waktunya kita berhenti, mundur sejenak, lalu melihat peluang lain yang lebih baik.
5. Pertimbangkan apakah perlu menempuh jalur hukum
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), sebagai karyawan kita bisa menyelesaikan perkara ini melalui beberapa cara. Yaitu cara bipartit (antara karyawan dan perusahaan), tripartit (dengan menghadirkan mediator antara karyawan dan perusahaan), ataupun dengan cara pengadilan hubungan industrial.
Well, memang prosedurnya akan panjang. So, pertimbangkan dengan saksama, apakah memang ini jalur yang akan ditempuh demi mendapatkan hak kita sebagai karyawan, ataukah move on saja dan mencari alternatif penghasilan yang lain.
Yuk. gabung di kelas-kelas finansial online QM Financial, terutama untuk membantumu melewati saat-saat tersulit dalam hidup. Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA). Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk berbagai info dan tip keuangan yang praktis.
5 Langkah Menjadi First Jobber yang Siap Sukses
Selamat ya! Akhirnya lamaran kamu diterima di sebuah perusahaan, dan sekarang kamu pun sudah mulai bekerja. Tentunya, sebagai first jobber, kamu masih punya banyak waktu dan ruang untuk mengembangkan diri di dunia karier. Rencanakan jenjang kariermu sejauh mungkin, dengan target-targetnya yang jelas. Don’t just row with the flow, gitu deh kurang lebihnya.
Kenapa? Karena sukses itu hampir mustahil tanpa rencana. Yep, kamu harus punya rencana untuk sukses, dan rencana itu harus dimulai sejak kamu masih first jobber. Terutama soal keuangan nih. Biasanya, para first jobber akan mengalami semacam euforia di bulan pertama menerima gaji. Meski nggak selalu terima gaji Rp8 juta sebagai fresh graduate, tetapi ada sejumput kebanggaan dan kepuasan menelusup ketika menerima slip gaji pertama.
Lalu, yang terjadi kemudian, kamu “wajib” menraktir semua orang dengan gaji pertamamu. Kamu juga akan beli smartphone yang sudah sejak lama kamu incar. Pokoknya, tiba-tiba saja kebutuhan (atau kepinginan?) kamu jadi banyak.
Dan kemudian, setelah berbulan-bulan, bertahun-tahun kemudian, kamu mengeluh, “Kok enggak punya tabungan ya? Teman-teman sudah pada punya rumah, kok gue belum ya? Teman-teman udah pada jalan-jalan keluar negeri, gue kok paling banter liburan ke rumah nenek ya? Padahal sudah enggak disuruh bikin karangan liburan ke rumah nenek lagi.”
Well, tahu nggak sih, bahwa keluhan-keluhan itu biasanya berawal sejak kamu first jobber?
Yuk, coba kita lihat, apa saja yang perlu kamu lakukan sebagai seorang first jobber agar kamu nggak kehilangan arah ke depannya. Anggap saja ini sebagai langkah awal menuju kesuksesanmu meniti karier dan menjalani hidup.
5 Langkah Sukses untuk Para First Jobber yang Harus Dimulai Sejak Awal
1. Siapkan tujuan keuangan
Bagaimana kamu akan menjalani kehidupanmu kelak ditentukan oleh tujuan keuangan yang harus kamu pilih sejak awal.
So, mau sukses? Coba, jawab dulu beberapa pertanyaan berikut:
- Pengin menjalani hidup seperti apa sih nanti?
- 5 tahun dari sekarang kamu pengin apa?
- 10 tahun dari sekarang kamu pengin apa?
- 15 tahun dari sekarang kamu pengin apa?
- Setelah pensiun, kehidupan pensiunan seperti apa yang kamu inginkan?
Kamu bisa menambahkan pertanyaan-pertanyaan lain yang sesuai dengan kondisimu, mimpimu, dan cita-citamu. Kalau semua objektif itu sudah bisa kamu tentukan, baru deh kamu bisa merencanakan langkah apa saja yang bisa kamu ambil dan tempuh untuk mencapai tujuan itu.
Ibaratnya, mau pergi ke suatu tempat pakai ojek online. Kamu kan mesti masukkan dulu tujuannya kan? Baru menentukan pick point, dan kemudian mencari driver. Begitu juga hidup. Tentukan dulu tujuannya, lalu tarik ke awal, saat kamu hendak memulainya. Baru kemudian jalani per tahapnya.
2. Siapkan dana darurat
Hal kedua yang harus segera kamu siapkan terkait tujuan keuanganmu adalahdana darurat. Hmmm, barangkali kamu sudah sering ya, mendapatkan tip dan nasihat untuk mempunya dana darurat ini? Atau malah sudah bosan?
Iya, sih. Dana darurat ini banyak dibahas karena memang penting. Namanya juga “dana darurat”, maka dana ini akan berguna banget di saat-saat darurat. Saat darurat seperti apa? Misalnya, sakit dan karena satu dan lain hal, belum bisa pakai BPJS atau asuransi. Atau mungkin mau pakai fasilitas penggantian biaya obat dari kantor. Nah, saat itulah dana darurat bisa menolong.
Atau, terkena ancaman PHK, atau kesulitan lainnya dalam karier. Kamu bisa menggunakan dana darurat dulu untuk sekadar bertahan hidup.
3. Punya proteksi
Berikutnya, sebagai first jobber, kamu harus segera punya proteksi. Mungkin enggak bisa terlalu banyak dulu, enggak apa. Yang pertama wajib dan kudu kamu punya adalah asuransi kesehatan.
Sebagai seorang karyawan, biasanya kamu akan secara otomatis diikutikan dalam program BPJS Kesehatan. Program ini wajib diikuti oleh semua perusahaan terhadap karyawannya. Preminya sangat terjangkau dengan biaya cover hampir menyeluruh.
Apakah BPJS Kesehatan saja cukup? Well, tergantung kebutuhanmu sih. Misalnya kamu belum bisa membeli asuransi swasta sendiri, BPJS Kesehatan saja sudah oke. Tetapi, kalau kamu bisa menambah dengan proteksi yang lain, tentu akan lebih baik.
4. Mulai investasi
Investasi ini akan ada kaitannya dengan jawaban kamu untuk pertanyaan, “5, 10, 15 tahun lagi dari sekarang, kamu akan menjalani hidup seperti apa sih?” dan juga pertanyaan, “Masa pensiun seperti apa yang kamu ingin jalani?”
Untuk awal berinvestasi, kamu memang perlu belajar dulu. Kenalan dengan beberapa produk investasi yang minim risiko, baru kemudian kalau sudah punya jam terbang tinggi, kamu boleh bermain dengan investasi yang lebih agresif. Usia first jobber ini adalah usia yang sangat ideal untuk memulai investasi.
Jadi, jangan tunda lagi investasinya ya. Mulailah sejak kamu menerima gaji pertama.
5. Segera mandiri
Belum menikah, belum ada tanggungan, pun belum butuh tempat tinggal sendiri karena masih tinggal bareng orang tua. Makan masih sama orang tua, bahkan beli keperluan pun masih “nebeng”.
Well, kalau memang orang tua mampu sih enggak apa juga. Tetapi ada baiknya kamu segera mandiri, kan sudah punya gaji sendiri sebagai first jobber? Setidaknya, kamu bisa memenuhi kebutuhan sehari-harimu dulu. Setelah itu, mulailah merancang rencana untuk masa depanmu sendiri. Terutama untuk rumah. Meski kamu masih tinggal dengan orang tua, jangan terlena, kamu harus tetap punya rencana untuk punya properti sendiri.
Nah, gimana? Semoga sekarang sudah punya bayangan ya, ke depannya mau menjalani hidup seperti apa. Jangan kelamaan euforianya sebagai first jobber. Mumpung masih muda, masih banyak waktu dan ruang untuk berencana dan mewujudkannya.
Salah satu rencana yang bagus adalah kamu mulai belajar mengelola keuangan sambil praktik langsung. Yuk, gabung di kelas-kelas finansial online QM Financial. Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA). Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk berbagai info dan tip keuangan yang praktis.
5 Jebakan Promo Belanja Online untuk Para Karyawan yang Harus Diwaspadai
Sudah pada gajian ya? Gimana, gimana? Apakah ada kenaikan? Belum ya? Nggak apa-apa, terus berusaha untuk memperlihatkan kinerja yang baik, pada saatnya nanti pasti akan ada hasilnya. Nah, sudah dibagi ke dalam pos-pos anggaran belum? Belum? Tapi sudah window shopping, siapa tahu ada promo belanja online? Uh oh!
Memang nih, kalau mendekati tanggal-tanggal gajian begini, adaaa aja promo belanja online yang mampir ya, entah ke handphone melalui SMS, atau notif aplikasi, ataupun ke email melalui newsletter. Godaan yang sungguh berat bagi seorang insan karyawan biasa dengan gaji yang belum naik juga. Duh.
Satu sisi, tawaran promo belanja online ini memang lumayan sih, untuk bisa mendapatkan barang-barang mahal. Kalau memang dibutuhkan, promo dan segala bentuk diskon ini bisa jadi jurus hemat yang jitu. Tapi, kalau tiap kali gajian terus belanja atas nama “mumpung diskon” bahkan untuk barang-barang yang enggak dibutuhkan benar-benar … ya jadi tekor juga ya?
Padahal, gaji kan harus dicukupkan sampai nanti waktunya gajian lagi? Kalau begitu, yuk, coba kenali beberapa jenis promo belanja online yang biasanya banyak beredar di sekitar tanggal gajian, supaya kita bisa tahu kapan perlu diambil dan kapan perlu diabaikan.
5 Jenis promo belanja online yang biasanya berada di sekitar waktu gajian para karyawan hingga bikin kalap
1. Payday promo
Payday promo ini biasanya hampir bisa dipastikan ada di sekitaran waktu gajian para karyawan, sekitar tanggal 25 hingga sekitar tanggal 4 setiap bulan. Biasanya berupa diskon sekian persen untuk barang-barang jualan tertentu yang berlaku di tanggal yang terbatas juga.
Hal baiknya, si pemilik toko online memperhatikan kebutuhan para karyawan yang tergantung banget pada gaji mereka yang dibayarkan di tanggal tertentu ini. Kabar buruknya, kalau para karyawan enggak bisa memilah mana barang yang sekadar diinginkan atau dibutuhkan benar-benar, wah … bisa saja uang gaji langsung ludes seketika.
2. Flash sale
Flash sale ini durasi promonya biasanya memang sangat pendek. Kadang bahkan hanya dalam hitungan jam, dan pernah tuh ada toko online yang mengadakannya di tengah malam. Dan, langsung ludes. Padahal barang yang ditawarkan adalah gadget yang enggak murah harganya, tapi didiskon sampai 70%.
Flash sale juga sering diadakan di sekitar tanggal gajian. Tujuannya jelas, supaya banyak yang berminat. Kadang yang ditawarkan adalah barang-barang langka atau yang tak terjangkau, lalu didiskon habis-habisan.
Memang, kondisi “kesempatan dapat diskon gede” atau “mumpung didiskon” ini membuat kita jadi sulit untuk menimbang dan berpikir panjang, ya kan?
3. Promo gratis ongkos kirim
Ini sih umum banget terjadi. Belanja online dengan memanfaatkan gratis ongkos kirim ini kadang juga dimanfaatkan saat gaji sudah menipis. Paling sering sih dipakai kalau lagi cari makan siang dengan pesan makanan secara online. Ya kan?
Sampai semua orang di kantor ditanyain, ada yang mau barengan enggak, demi promo gratis ongkos kirim. Padahal ya, kalau bawa bekal dari rumah untuk makan siang di kantor mah gratis ongkos kirim terus selama-lamanya. Iya nggak?
4. Beli 1 dapat 2
Jadi ingat salah satu adegan di film Dua Garis Biru. Saat Bima membelikan rok seragam untuk Dara, yang kegedean. Dia juga beli 2 karena dapat gratis satu rok lagi.
Ya gitu deh, banyak dari kita juga gitu kan. Sebetulnya cuma butuh satu aja, tapi karena penawaran beli 2 gratis satu, malah jadi beli 3 biji. Sebetulnya cuma butuh ngeluarin duit Rp100.000 aja, jadi mesti bayar Rp200.000 kan? Kalau misal harga barangnya sejuta, jadi beli dua juta. Memang dapat 3, tapi kan cuma butuh sebiji doang. Yang 2 buat apa coba?
5. Cashback
Cashback ini adalah jenis promo belanja online yang memberikan potongan harga pada pembeli melalui virtual account atau e-payment. Nah, biasanya, cashback ini bisa dipakai untuk belanja lagi kapan-kapan. Untuk bisa dapat cashback ini, biasanya ada nominal tertentu yang harus dibelanjakan dulu.
Nah kemudian, sudah bisa ditebak deh. Demi cashback banyak yang bersedia untuk belanja banyak, padahal sebenarnya enggak terlalu butuh juga. Atau ngider di kantor, nawarin teman-teman siapa yang mau beli sekalian, supaya bisa belanjanya nyampe ke nominal minimal itu. Wah, jadi sales toko online dadakan dong yah.
Memang akan selalu ada saja akal para pengelola toko online untuk memberikan berbagai jenis promo belanja online ini. Mereka enggak salah sih, karena bagaimanapun caranya, mereka kan harus bisa menjual barang-barang dagangan mereka. Kita saja yang memang harus bisa bijak berbelanja, bukan?
Yuk, belajar lagi mengelola cash flow gaji, agar enggak terjebak promo belanja online di kelas finansial online QM Financial. Follow juga Instagram QM Financial untuk berbagai tip keuangan praktis yang jitu.
Gaji Fresh Graduate 8 Juta? Coba Lihat Beberapa Fakta tentang Gaji Pertama
Kalau mengingat beberapa (puluh) tahun yang lalu menerima gaji fresh graduate pertama, dikasih berapa pun rasanya seneng aja. Pertama kalinya bisa cari uang sendiri, bermodal ijazah dan ilmu yang didapatkan dari bangku kuliah, minim pengalaman, minim pengetahuan praktis selain teori, rasa-rasanya gaji Rp1 juta aja sudah kayak dapat Rp8 juta di zaman sekarang.
Waktu itu juga belum mikirin banyak hal. Asal bisa buat bensin, pulsa (waktu itu juga masih hanya dipakai buat SMSan plus misscall-misscall-an sama gebetan) jadi ya enggak butuh kuota terlalu banyak kayak sekarang, sudah seneng banget. Syukur-syukur sekali waktu bisa ke toko buku, terus keluar sambil menenteng dua tiga novel terbaru karya penulis idola. Makan masih sama orang tua, kadang kalau saudara-saudara ada yang datang atau lagi dapat rezeki, ikut kecipratan angpao juga. Belum ada tanggungan keluarga, apalagi mikirin dana pendidikan anak.
Indahnya hidup sebagai fresh graduate.
Saat nego gaji waktu interview juga dengan polosnya bilang, “Yah, berapa aja deh. Asal sesuai UMR.” Yang penting jangan kelamaan nganggur di rumah. Omongan orang sekitar lebih kejam dibanding gaji Rp1 juta.
Gaji fresh graduate Rp1 juta atau Rp8 juta itu sebenarnya relatif, karena namanya juga gaji, banyak faktor dan komponen yang memengaruhi. Pun sangat subjektif.
Ada yang menganggap Rp1 juta itu sudah cukup banget, karena ya mungkin kurang lebih gambarannya seperti di atas. Masih makan sama orang tua, masih tinggal di rumah yang sama. Nggak butuh apa-apa, dan masih belum punya rencana terlalu jauh. Lagi pula, wewenang dan kewajiban juga masih pemula juga. Masih harus belajar banyak. So, gaji pertama Rp1 juta dirasa cukup bahkan mungkin berlebih, apalagi kalau tinggal di wilayah dengan UMR kecil.
Sementara, ada yang menganggap gaji Rp1 juta itu terlalu kecil. Ada fresh graduate yang memang sudah kaya pengalaman. Mungkin sembari kuliah, dia sudah pernah bekerja cukup lama dan punya jam terbang tinggi. Mungkin juga, sembari kuliah, dia sudah pernah punya bisnis dan jadi founder startup. Siapa tahu kan? Plus, dia tinggal dan mencari kerja di wilayah yang punya UMR tinggi. Ditambah, tanggung jawab dan wewenangnya di pekerjaan barunya juga cukup menantang. Menuntutnya untuk cepat beradaptasi dan belajar secara cepat.
Kalau seperti itu, ya wajar gaji Rp1 juta enggak cukup.
See? Banyak hal yang memengaruhi, so kita harus melihat kondisi realnya. Mari kita lihat.
Beberapa fakta yang mesti diketahui mengenai gaji fresh graduate
1. Gaji dipengaruhi wilayah
Yang perlu pertama kali dipahami adalah gaji itu sangat ditentukan oleh wilayah. Yang di Jakarta sudah pasti berbeda gajinya dengan mereka yang di Jogja. Update terbaru menyebutkan, bahwa UMP tertinggi untuk tahun 2019 masih dipegang oleh Jakarta, yakni sebesar Rp3,9 juta. Menyusul kemudian dengan Papua, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, lalu Papua Barat.
So, mau dapet gaji fresh graduate tinggi? Bekerjalah di perusahaan-perusahaan yang berbasis di kota-kota di atas.
Dan, kalau katanya lulusan universitas tertentu skalanya kerja di perusahaan asing, dan menolak gaji pertama sebesar Rp8 juta, rasanya ya wajar. Karena di Malaysia, gaji fresh graduate paling standar adalah Rp9 juta.
Jadi, nggak mau menerima gaji fresh graduate sebesar Rp8 juta? Ya mungkin ada baiknya yang bersangkutan segera mengurus visa tenaga kerja, supaya bisa langsung capcus ke Malaysia, minimal. Bagus kan? Jadi pahlawan devisa dong.
2. Self value
Besar enggaknya gaji fresh graduate juga tergantung pada self value para pelamar kerja. Gampangannya, kalau memang minim pengalaman, hanya punya pengetahuan teoretis dan bukan praktis, dan kemudian setelah melewati psikotes juga terbukti punya soft skill yang kurang, maka sudah bisa dipastikan, “harga diri” juga minim.
Kalau sudah begini, tinggal disesuaikan saja sih dengan kebijakan perusahaan. Pastinya setiap perusahan punya standar dan kebutuhan yang berbeda. Memang di sini, tak hanya soal ijazah terbitan mana saja yang menjadi penentu apakah kita bisa menerima gaji fresh graduate yang tinggi atau enggak. Tapi value diri kita sendiri. Karena kita bekerja hanya membawa diri sendiri saja, enggak ada lagi “sisa-sisa” dari tempat kuliah dulu.
Kalau masih pengin idealis, sebagian pasti berusaha mencari pekerjaan sesuai dengan ilmunya. Tapi, bagi sebagian yang lain, dapat kerjaan apa saja–yang penting halal–dengan gaji berapa pun itu sudah patut disyukuri banget. Karena mungkin kondisi dirinya butuh banget segera kerja dan mendapatkan penghasilan, berapa pun.
3. Tergantung skala perusahaan
Skala perusahaan tempat kita bekerja pertama kali juga akan memengaruhi, tak hanya gaji fresh graduate, tapi bahkan karier kita ke depan. Kalau kita pertama kali langsung bekerja di perusahaan-perusahaan yang bonafid, pastilah gaji juga mengikuti. Sedangkan, kalau kita bekeja di perusahaan average atau bahkan home based business, ya pastinya akan berbeda pula.
Ingat dong, bahasan mengenai menjadi ikan besar di kolam kecil ataukah menjadi ikan kecil di kolam besar. Hal ini juga akan memengaruhi besaran gaji yang akan kita terima.
So, gaji besar atau gaji kecil itu sangat relatif, boleh jadi nggak semua orang punya pandangan yang sama. Tapi pasti semua orang setuju, kalau mau berapa pun gaji yang diterima, bagaimana pengelolaannyalah yang utama. Karena tanpa pengelolaan keuangan yang baik, gaji besar atau kecil ya nggak ada artinya. Pasti jadinya, gaji satu koma empat; gajian tanggal satu koma di tanggal empat.
Yuk, belajar mengelola gaji fresh graduate kamu dengan mengikuti kelas-kelas finansial online dari QM Financial yang jadwalnya bisa kamu simak di web ini. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas terbaru.
Gagal Meraih Promosi, Apa yang Harus Dilakukan Kemudian?
Barangkali kamu merasa layak untuk mendapatkan promosi jabatan atas kerja keras selama ini. Ternyata oh ternyata, malah teman kerja lain yang meraih promosi yang selama ini kamu incar. Terpukul? Pastinya. Kecewa? Wajar.
Kekecewaan itu bisa dipahami kok. Bayangkan, selama ini kamulah yang melakukan pekerjaan yang dihindari semua orang di kantor. Semua tugas kamu selesaikan dengan baik, bahkan sampai nggak ada lagi waktu buat sekadar kongko, nongkrong bareng sahabat-sahabat di warung kopi langganan. Weekend saja direlakan untuk bekerja, ketimbang piknik bareng keluarga lo!
Dan ternyata, gagal meraih promosi. Pastinya perasaan yang ada sekarang kayak lagi dicurangi, atau diperlakukan tak adil oleh perusahaan.
Sebenarnya situasi ini lazim saja terjadi di dunia karier. Mari kita lihat apa yang bisa kamu lakukan untuk kemudian bisa bangkit lagi meski pernah gagal meraih promosi seperti yang diharapkan.
3 Hal yang harus segera dilakukan jika gagal meraih promosi
1. Tenangkan diri
Hal pertama yang bisa dilakukan saat menerima kabar bahwa kita gagal meraih promosi yang selama ini diincar adalah menenangkan diri, dan berhenti mengasihani diri sendiri.
Jika merasa sangat kecewa dan emosional, cobalah untuk diam sejenak. Tak perlu banyak berkomentar dulu untuk menghindari perkataan-perkataan yang bisa menjadi bumerang bagi masa depan karier kita.
Meskipun rasanya pengin banget menyatakan bahwa perusahaan tempat kita bekerja itu melakukan kesalahan karena tak mempromosikan kita, tapi pastinya kita juga nggak ingin terlihat bak seorang trouble maker, kan? Bisa-bisa tak hanya gagal meraih promosi, karier kita pun jadi terancam karenanya.
2. Mengevaluasi diri
Setelah perasaan dan pikiran tenang, selanjutnya yang perlu kita lakukan jika gagal meraih promosi adalah mengevaluasi diri sendiri. Kita bisa mulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut untuk kita jawab sendiri:
- Apakah kita sadar bahwa ada orang lain yang juga berpeluang untuk meraih promosi, di samping diri kita sendiri?
- Seberapa pentingkah sih promosi ini bagi kita?
- Mengapa kita sangat menginginkankannya?
- Apa yang membuat kita sangat menginginkan promosi jabatan itu? Gaji naik? Atau gengsi semata? Ataukah ada alasan lain?
- Apakah kita tahu, kriteria apa saja yang diminta oleh perusahaan terkait promosi jabatan karyawan?
- Apakah kita satu-satunya karyawan yang tidak mendapatkan promosi ini?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas akan memudahkan kita untuk mengatur langkah berikutnya dengan lebih praktis. Kita juga bisa mendiskusikan kekecewaan ini dengan rekan senior yang kita percayai, yang jauh lebih paham mengenai kebijakan dan struktur organisasi perusahaan. Mungkin akan ada pencerahan, mengenai alasan mengapa kita gagal meraih promosi.
Jika merasa sudah siap, kita bisa menemui pihak manajemen ataupun pihak HR, untuk menanyakan, apa saja kekurangan yang harus kita perbaiki supaya bisa meraih promosi jabatan di kesempatan berikutnya. Siapkan hati, karena barangkali saja kita akan harus menerima beberapa kritik dan masukan. Bakalan nggak enak pastinya, tapi harus diterima, agar kita tahu kesalahan kita di mana. Betul nggak?
3. Upgrade diri
Setelah mengevaluasi diri, dan mendapatkan jawaban, maka selanjutnya yang harus dilakukan adalah upgrade diri sendiri. Misalnya, jika sikap kita kurang baik atau kurang bisa dikendalikan, kurang komunikatif, penampilan kurang baik, atau mungkin produktivitas kita yang rendah.
Temukan akar permasalahannya, dan kemudian work on it untuk memperbaikinya.
Jangan lengah, cek juga kondisi keuangan kita, karena hal ini bisa jadi adalah salah satu “pencuri” fokus dan konsentrasi kita bekerja hingga jadi kurang produktif atau bermasalah. So, selain memperbaiki sikap profesional, ada baiknya kita juga melakukan financial checkup.
Apalagi jika saat proses mengevaluasi diri sebelumnya, kita menginginkan untuk meraih promosi karena pengin gaji naik. Keinginan ini timbul karena gaji yang memang kecil, ataukah kita yang merasa gaji tak cukup? Kalau yang jadi alasan adalah yang terakhir, hmmm … mungkin ini saatnya kita ikutan kelas finansial online QM Financial deh.
Nggak cuma diajari untuk mengatur cash flow dan hal-hal mendasar mengenai keuangan pribadi, kita juga akan belajar berinvestasi, hingga bikin PLAN sendiri lo. Tinggal pilih saja sesuai kebutuhan. Yuk, WA aja ke 0811 1500 688 (NITA/MIA). Follow Instagram QM Financial untuk info-info update-nya ya.
Mendingan Mana, Kerja di Perusahaan Besar atau Jadi Besar di Perusahaan Kecil? Berikut 4 Pertimbangannya
Sering kali di dunia kerja, kita mendengar pepatah (atau pertanyaan ya, tepatnya?), “Which one you choose: be a little fish in a big pond or be a big fish in a little pond?” Gampangnya, jika perusahaan dianalogikan sebagai sebuah kolam dan kita sebagai ikannya (karyawan), maka mana yang lebih enak? Menjadi ikan kecil di kolam besar atau jadi ikan besar di kolam kecil? Mau kerja di perusahaan besar dengan jabatan staf saja, ataukah memiliki jabatan tinggi di perusahaan kecil?
Jika dihadapkan pada dua pilihan itu, manakah yang akan kamu pilih? Jabatan tinggi di perusahaan besar? Well, amin! Tapi, sayangnya opsi itu tidak ada pada pilihan di atas. Lagi pula, jabatan tinggi di perusahaan besar itu berarti menjadi ikan besar di kolam besar, yang harus dilalui dengan menjadi ikan kecil dulu juga kan?
Dalam hidup, kita kadang memang harus memilih, sedangkan opsi yang tersedia nggak banyak. Termasuk dalam meniti karier, akan banyak pilihan-pilihan sulit seperti lebih memilih menjadi ikan besar di kolam kecil (jabatan tinggi di perusahaan kecil) ataukah menjadi ikan kecil di kolam besar (jabatan rendah di perusahaan besar).
Yang pasti, setiap opsi memiliki tuntutan, konsekuensi dan kompensasi masing-masing. Nah, mari kita lihat melalui beberapa aspek, siapa tahu nih, saat ini ada yang lagi bingung memutuskan jalan kariernya. Ya kan?
Mau milih kerja di perusahaan besar atau di perusahaan kecil? Berikut beberapa pertimbangannya.
1. Gengsi
Mungkin saat ini, kamu kerja di perusahaan besar nan mapan. Well, the good news is, di mata khalayak ramai, gengsi dan nilai dirimu bisa ikut terangkat. Kamu bisa memperkenalkan kantormu dengan percaya diri. Kalau Lebaran, kamu akan banyak ditanyai oleh saudara dan tetangga, gimana caranya bisa masuk perusahaan sebesar itu. Bahkan mungkin ada yang lantas mau nitip anaknya untuk kerja juga di kantormu.
Tapi sayang, gengsi tinggi ini kadang tak berbanding lurus dengan gaji yang diterima. Bisa jadi, setelah tengok kanan-kiri depan-belakang atas-bawah, kamu menemukan fakta bahwa ada jabatan serupa di perusahaan lain yang lebih kecil dengan gaji yang lebih besar.
Mau nego ulang gaji? Bisa saja, tetapi peluang untuk di-ACC sepertinya juga nggak terlalu besar, apalagi jika kita sendiri sebenarnya kompetensinya biasa aja. Singkatnya, bargaining power kita lemah, yang disebabkan oleh banyak faktor.
2. Prosedur
Kerja di perusahaan besar juga berarti akan banyak bersinggungan dengan prosedur panjang, yang kadang sangat rumit. Positifnya sih, setiap kewajiban, tugas, wewenang, dan hak masing-masing karyawan itu sangat jelas. Kita–sebagai karyawan (apalagi berjabatan rendah)–tinggal mengikuti saja. Kalau prosedur aman, maka posisi kita juga aman.
Ini juga termasuk semua paket kompensasi yang diterima oleh kita yang kerja di perusahaan besar, biasanya juga sudah fixed. Hitungannya jelas, dan sudah ada dalam sistem. Susah diutak-atik.
Namun, ini juga berarti, kerja di perusahaan besar itu sulit untuk melakukan perubahan sistem atau update kultur. Yah, kita semua tahu kan, kalau zaman itu berkembang. Kadang ada kemajuan dan update tertentu yang diperlukan oleh perusahaan untuk disesuaikan. Hal ini akan lebih sulit dilakukan kalau kita kerja di perusahaan besar.
Kalau kita adalah tipe karyawan yang sangat kreatif, dinamis, up-to-date, dan sangat berani ambil terobosan-terobosan baru, maka besar kemungkinan potensi kita akan kurang diakomodasi oleh perusahaan semacam ini. Apalagi kalau jabatan kita rendah.
3. Spesialis atau serabutan?
Kerja di perusahaan besar dengan ratusan atau bahkan ribuan karyawan, setiap karyawan biasanya diarahkan untuk menjadi spesialis. Itulah sebabnya, dengan kerja di perusahaan besar, kita jadi berpeluang untuk lebih terampil di satu bidang atau keahlian tertentu setelah bekerja beberapa tahun.
Sementara jika kita kerja di perusahaan kecil, kadang kita dituntut untuk menguasai segala hal (karena jumlah sumber daya manusia yang masih terbatas)–dan jadilah serabutan. Positifnya, kita bisa menguasai banyak hal–jika semangat belajar kita memang tinggi. Hanya saja, ini juga bisa bikin kita jadi kurang fokus, hingga hasil kerja juga hanya so-so saja.
4. Promosi jabatan
Kerja di perusahaan kecil, persaingan untuk mendapatkan promosi atau naik jabatan relatif lebih mudah. Mereka yang bisa menunjukkan kinerja yang baik akan mudah terlihat, sehingga jalan untuk dipromosikan (dan naik gaji) lebih lapang.
Sementara, kalau kita kerja di perusahaan besar, persaingan ini akan lebih berat karena banyak kandidat lain yang selain banyak, mungkin juga lebih berkompeten. Ini akan membuat kita jadi lebih sulit “terlihat”.
Dan, biasanya sih persaingan-persaingan akan diikuti dengan politik kantor. Di sini kita tak bisa menjamin bahwa semua akan berjalan mulus dan baik-baik saja. Namanya politik, we never know kan? Memang, untuk bisa menjadi ikan besar di perusahaan besar, kompetensi saja nggak cukup. Kita butuh juga kematangan berpolitik dan berstrategi.
Nah, gimana nih sampai di sini? Sudah bisa menentukan jalan karier, mau kerja di perusahaan besar atau di perusahaan kecil?
Well, yang pasti sih, mau kerja di perusahaan besar atau kecil, karyawan mana pun harus belajar mengelola keuangannya dengan baik, baik dengan gaji besar ataupun kecil. Percuma saja kan, kerja dengan gaji besar tapi kita nggak bisa mengelolanya dengan baik?
Yuk, ikut kelas-kelas finansial online dari QM Financial, yang bisa dipilih sesuai dengan kebutuhan. Follow juga Instagram QM Financial, karena banyak tip-tip keuangan yang dibagikan.
Upah dan Gaji: 4 Perbedaan Mendasar Antara Keduanya
Kita sudah sering bahas tentang upah dan gaji ya? Tapi memang keduanya ini sinonim ataukah beda arti sih?
Upah dan gaji adalah dua hal yang berbeda. Selama ini, memang banyak yang salah kaprah ya, upah dan gaji dianggap sebagai sinonim, tapi ternyata enggak lo! Memang upah dan gaji sama-sama merupakan bentuk imbalan yang diberikan oleh pihak pemberi kerja kepada pekerja, tetapi keduanya punya perbedaan yang prinsip meski tipis-tipis.
Sebagai pekerja dan pencari kerja, kita wajib tahu nih apa beda upah dan gaji, supaya kita pun paham hak dan kewajiban kita kepada pemberi kerja. Harapannya sih ya pada akhirnya, kita jadi bisa mengelola imbalan yang kita terima itu–baik yang berupa upah ataupun gaji–dengan bijak untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sehari-hari.
Setidaknya ada 5 perbedaan mendasar pada upah dan gaji yang perlu kita tahu. Apa saja?
1. Definisi upah dan gaji
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gaji berarti upah kerja yang dibayar dalam waktu yang tetap.
Sedangkan, upah–seperti yang tertulis dalam Undang-Undang no. 13 tahun 2003–berarti hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Upah dapat diberikan secara tidak tetap, disesuaikan dengan target kerja yang sudah disepakati antara pemberi kerja dan pekerjanya. Sedangkan gaji diberikan secara teratur dalam waktu yang tetap.
2. Komponen penyusun
Komponen penyusun besaran gaji terdiri atas 5 hal: gaji pokok, tunjangan tetap (seperti tunjangan jabatan), tunjangan tidak tetap (tunjangan yang diberikan berdasarkan jumlah kehadiran), uang lembur (jika ada), dan potongan (potongan pajak atau cicilan utang, misalnya).
Kelima komponen itu akan tetap tertulis di slip gaji sampai karyawan resign dari perusahaan. Meski mungkin angkanya akan berbeda, tetapi biasanya tidak terlalu banyak karena adanya tunjangan tidak tetap. Tunjangan tidak tetap ini misalnya tunjangan transportasi yang diberikan hanya jika pekerja datang ke kantor. Kalau cuti atau libur, maka tidak ada tunjangan transportasi.
Begitu juga dengan uang lembur, akan menambah besaran gaji yang diterima oleh pekerja. Sedangkan potongan–biasanya juga bersifat tetap paling tidak sementara waktu–akan menjadi faktor pengurang.
Upah bersifat lebih tidak tetap. Upah bisa diberikan berdasarkan jam kerja, tingkat kehadiran ataupun target kerja harian yang berhasil dicapai si pekerja. Meski lagi-lagi perhitungan tersebut didasarkan pada kesepakatan bersama antara pekerja dan pemberi kerja, namun besaran upah bisa saja berubah dari hari ke hari, juga tak sama antara pekerja satu dengan yang lainnya. Dalam upah bagi para pekerja ini kadang ada juga tunjangan makan ataupun uang lembur, yang diberikan atas dasar kehadiran ataupun jam kerja. Jadi selain upah pokok, juga ada tambahan lainnya.
Upah juga bisa diberikan pada para pekerja lepas, yang bekerja berdasarkan ikatan kerja informal. Biasanya upah yang diterima hanya berdasarkan hasil pekerjaan yang diserahkan pada pemberi kerja. Dalam upah bagi pekerja lepas, tidak ada komponen tunjangan seperti halnya gaji.
3. Status karyawan
Perbedaan upah dan gaji berikutnya berkaitan dengan status pekerja. Setidaknya, kita mengenal 2 strata karyawan dalam struktur organisasi perusahaan, yaitu jajaran staf manajerial dan staf pelaksana, atau yang sering disebut buruh.
Nah, biasanya dari sini saja sudah terlihat. Staf manajerial dibayar dengan sistem gaji, sedangkan buruh dibayar dengan sistem upah.
Gaji akan semakin besar seiring lama kerja karyawan, semakin tinggi jabatannya, dan semakin besar tanggung jawabnya. Sedangkan upah tidak akan dipengaruhi oleh jenjang karier pekerjanya.
4. Waktu pembayaran
Seperti yang sudah disebutkan pada poin pertama perbedaan upah dan gaji di atas, bahwa gaji diterimakan dalam jangka waktu yang teratur. Misalnya, sebulan sekali pada akhir bulan, awal bulan, ataupun tanggal-tanggal tertentu sesuai perjanjian kerja yang disepakati. Ada juga yang dibayarkan lebih lama, misalnya tahunan.
Buruh akan menerima upah lebih tidak tentu waktunya. Bisa menerima harian, mingguan, ataupun bulanan, tergantung kesepakatan dengan pemberi kerja.
Dan, beda lagi dengan pekerja lepas atau freelancer. Pada umumnya, upahnya akan dibayarkan setelah pekerjaan selesai, dengan mengirimkan tagihan pada pemberi kerja. Tapi, ada juga yang menerapkan sistem down payment per project. Jadi, memang tergantung kebijakan masing-masing secara profesional.
So, dari uraian di atas kita jadi bisa menyimpulkan perbedaan upah dan gaji secara sederhana dong ya? Bahwa gaji merupakan bagian dari upah, sedangkan upah belum tentu berupa gaji. Bener nggak?
Sudah tahu perbedaan upah dan gaji, next kita belajar mengatur gaji dan keuangan pribadi kita supaya bisa mencapai tujuan keuangan dengan sukses. Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA), untuk mengatur jadwal yang paling baik. Atau, bisa juga ikut kelas finansial online yang sesuai dengan kebutuhan dalam Financial Clinic Online Series. Silakan cek jadwalnya ya. Jangan lupa follow juga akun Instagram QM Financial.