Saat Gaji Istri Lebih Besar, 5 Hal yang Harus Diingat oleh Pasangan Bekerja
Mindset kebanyakan orang adalah suami bekerja atau berbisnis, dan istri tugasnya di rumah. Atau setidaknya kalau keduanya bekerja, maka suami seharusnya bergaji lebih besar. Lalu, kalau gaji istri lebih besar, bagaimana? Apakah itu berarti suaminya nggak becus?
Ada sedikit cerita.
Seorang teman akhirnya menikahi kekasihnya beberapa tahun yang lalu. Saat mereka menikah, posisinya adalah si teman adalah seorang head of general affairs di sebuah pabrik kosmetik besar, sedangkan istrinya adalah seorang dosen. Keduanya punya gaji yang besar, meski gaji sang istri agak lebih kecil karena saat itu posisinya masih dosen muda.
Karena ingin membangun bisnis sendiri, si teman akhirnya resign dan merintis usaha propertinya. Ternyata, nasib berkata lain. Ia kena tipu dan akhirnya kehabisan modal. Untuk kembali bekerja, ia merasa sudah terlalu berumur. Sudah susah cari kerja, karena kebanyakan perusahaan selalu mematok usia muda sebagai karyawan baru. Kecuali untuk menempati posisi manajer, mungkin masih bisa. Tetapi, lebih sulit pastinya mencari lowongan manajer.
Akhirnya lama kelamaan, mereka bersepakat. Istri tetap bekerja sebagai dosen (bahkan kemudian bisa menempuh S3, dan bergelar doktor. Sekarang sedang dalam perjalanan menuju guru besar di usianya yang masih berkepala 4). Gajinya semakin besar, bahkan bisa dipakai untuk KPR dan operasional rumah tangga, pastinya. Sementara sang suami tinggal di rumah, urus anak, urus keperluan rumah tangga, sambil mencoba kembali merintis bisnis impiannya: bisnis properti, meski tertatih. Tugas utamanya: ternak teri–anter anak anter istri.
Pergantian Peran dalam Rumah Tangga: Hal Biasa
Kalau dilihat, kisahnya cukup miris. Tak sekali keduanya berada di kondisi tak mengenakkan karena permasalahan “bertukar peran” seperti ini. Apalagi di zaman modern, tapi yang berpikiran konvensional masih bertahan. Banyak pihak yang melontarkan komentar miring terhadap pasangan ini.
“Jadi suami kok di rumah saja. Istrinya pergi terus.”
Begitulah mindset kebanyakan dari kita di sini. Saat gaji istri lebih besar, itu berarti ada yang salah. Kesan yang dicuatkan adalah istri yang nggak peduli terhadap keluarga, atau suami yang nggak becus cari uang.
Padahal, kalau berbicara soal rumah tangga, seharusnya pasangan adalah partner bukan? Jika suami memang sedang ada kesulitan, maka tugas istrilah untuk membantunya, dalam bentuk apa pun. Tapi, saat si istri berhasil dan sukses, cibiran pun mengalir.
Bukankah sebenarnya tak pernah ada aturan resmi yang mengatur pembagian peran dalam rumah tangga? Tapi, menurut Papalia dan Martorell, dalam buku Experience Human Development, memang ada perspektif yang disebut dengan gender roles pada kebanyakan budaya, yang membuat kita menjadi punya pandangan tertentu terhadap pembagian peran ini, yaitu perempuan itu tugasnya mengurus rumah tangga dan anak-anak, sedangkan suami mencari nafkah dan melindungi keluarga.
Meski demikian, kondisi gaji istri lebih besar dan mungkin membuat suami cemburu ini sebenarnya bisa diatasi. Pasangan suami istri tersebut haruslah mengingat 5 hal berikut.
1. Komunikasi
Yes, yakinkan diri terlebih dahulu bahwa hal seperti ini bisa diatasi, terutama jika komunikasi antara suami dan istri sudah terjalin dengan baik.
Untuk kasus di atas, misalnya. Memang mereka pernah berada di fase saling mencurigai, tapi melalui komunikasi yang intens, akhirnya keduanya bersepakat lagi. Bahwa apa yang terjadi di dalam rumah tangga mereka, harus tetap berada di dalam rumah. Artinya, orang lain di luar tak perlu tahu secara detail, sehingga tak perlu pula mencampurinya.
Gaji istri lebih besar termasuk privacy rumah tangga. Tak perlulah orang lain tahu. Kalau sudah begini, omongan yang lalu-lalang di luar sana, juga tak perlu terlalu diambil hati. Yang penting, bagaimana menjalin komunikasi dengan pasangan, agar kondisi ini dapat diterima oleh kedua belah pihak dengan ikhlas.
2. Kembali pada komitmen berbagi peran
Komunikasi sudah jalan, maka kembali ke komitmen berbagi peran menjadi hal penting berikutnya yang harus segera dilakukan, jika ternyata suami merasa resah akibat gaji istri lebih besar.
Masalah ekonomi memang terbukti menjadi penyebab pertama terbesar pasangan suami istri yang cekcok, bahkan berakhir bercerai. Namun, bukan berarti tak bisa diatasi. Dan, untuk bisa mengatasinya, kembali mulai ke awal adalah langkah yang terbaik.
3. Tekan rasa gengsi dan pikiran negatif
Tak hanya suami sebenarnya yang berpeluang untuk punya keresahan akibat gaji istri lebih besar. Sang istri sendiri mungkin juga digelayuti pikiran negatif. Hal seperti ini memang mudah sekali saling memengaruhi. Saat yang satu berpikiran negatif, maka yang lain besar kemungkinan akan ketularan juga.
Jika suami cemburu atau resah, maka bisa jadi sang istri juga merasakan hal yang sama. Akibatnya, kemungkinan ia juga jadi tak bisa menunjukkan kinerja yang baik di kantor. Akhirnya produktivitasnya menurun, yang bisa saja memengaruhi besaran pendapatan yang akan diterimanya nanti.
Jadi, siapa yang rugi? Semua pihak.
Karena itu, demi kemaslahatan bersama, tekan dan kesampingkan rasa gengsi dan pikiran negatif.
4. Tempatkan diri sesuai kondisi
Gaji istri lebih besar memang bisa menunjukkan bahwa istri lebih sukses ketimbang suami. Meski demikian, ia seharusnya tetap dapat menempatkan diri bahwa jika di rumah, kepala keluarga tetaplah suami, meski suami punya gaji lebih kecil, jabatan lebih rendah, bahkan jika suami sedang tak punya pekerjaan. Suami adalah partner dan pasangan hidup, suami tidak sama dengan karyawan atau bawahan istri di kantor.
Jika istri dapat menempatkan diri dengan baik, maka diharapkan kehidupan rumah tangga akan berjalan dengan baik, seiring dengan kesuksesannya dalam berkarier.
Bisa dibayangkan, jika si istri yang lebih sukses ini selalu memamerkan dan membanggakan diri di depan suami–apalagi menyepelekannya–wah, sudah pasti akan semakin memperuncing konflik yang sudah ada.
5. Buat waktu untuk berdua
Selalu sediakan waktu untuk satu sama lain. Suami perlu menyediakan telinganya untuk mendengarkan cerita istri mengenai kariernya, begitu pula dengan istri. Dengarkan cerita suami tentang apa pun.
Gaji istri lebih besar tak berarti menutup telinga terhadap pendapat pasangan, bukan?
Jika masalah masih saja tetap terjadi sampai di sini, maka masing-masing sebaiknya menyadari kembali tujuan awal menikah. Dengan kesadaran ini, biasanya akan timbul lagi pemahaman bahwa kehidupan berumah tangga itu seharusnya lebih berharga daripada materi yang didapatkan selama ini.
QM Financial sering lo mengadakan kelas finansial khusus untuk pasangan. Jika Anda mempunyai kasus yang sama seperti di atas–saat gaji istri lebih besar daripada suami, dan menemui masalah dengan hal ini–maka Anda bisa follow akun Instagram QM Financial, agar nggak ketinggalan info kalau diadakan kelas finansial khusus pasangan.
Selain itu, banyak juga kelas-kelas finansial lain yang bisa dipilih sesuai kebutuhan lo! Cek jadwalnya di sini ya.
Gaji Fresh Graduate 8 Juta? Coba Lihat Beberapa Fakta tentang Gaji Pertama
Kalau mengingat beberapa (puluh) tahun yang lalu menerima gaji fresh graduate pertama, dikasih berapa pun rasanya seneng aja. Pertama kalinya bisa cari uang sendiri, bermodal ijazah dan ilmu yang didapatkan dari bangku kuliah, minim pengalaman, minim pengetahuan praktis selain teori, rasa-rasanya gaji Rp1 juta aja sudah kayak dapat Rp8 juta di zaman sekarang.
Waktu itu juga belum mikirin banyak hal. Asal bisa buat bensin, pulsa (waktu itu juga masih hanya dipakai buat SMSan plus misscall-misscall-an sama gebetan) jadi ya enggak butuh kuota terlalu banyak kayak sekarang, sudah seneng banget. Syukur-syukur sekali waktu bisa ke toko buku, terus keluar sambil menenteng dua tiga novel terbaru karya penulis idola. Makan masih sama orang tua, kadang kalau saudara-saudara ada yang datang atau lagi dapat rezeki, ikut kecipratan angpao juga. Belum ada tanggungan keluarga, apalagi mikirin dana pendidikan anak.
Indahnya hidup sebagai fresh graduate.
Saat nego gaji waktu interview juga dengan polosnya bilang, “Yah, berapa aja deh. Asal sesuai UMR.” Yang penting jangan kelamaan nganggur di rumah. Omongan orang sekitar lebih kejam dibanding gaji Rp1 juta.
Gaji fresh graduate Rp1 juta atau Rp8 juta itu sebenarnya relatif, karena namanya juga gaji, banyak faktor dan komponen yang memengaruhi. Pun sangat subjektif.
Ada yang menganggap Rp1 juta itu sudah cukup banget, karena ya mungkin kurang lebih gambarannya seperti di atas. Masih makan sama orang tua, masih tinggal di rumah yang sama. Nggak butuh apa-apa, dan masih belum punya rencana terlalu jauh. Lagi pula, wewenang dan kewajiban juga masih pemula juga. Masih harus belajar banyak. So, gaji pertama Rp1 juta dirasa cukup bahkan mungkin berlebih, apalagi kalau tinggal di wilayah dengan UMR kecil.
Sementara, ada yang menganggap gaji Rp1 juta itu terlalu kecil. Ada fresh graduate yang memang sudah kaya pengalaman. Mungkin sembari kuliah, dia sudah pernah bekerja cukup lama dan punya jam terbang tinggi. Mungkin juga, sembari kuliah, dia sudah pernah punya bisnis dan jadi founder startup. Siapa tahu kan? Plus, dia tinggal dan mencari kerja di wilayah yang punya UMR tinggi. Ditambah, tanggung jawab dan wewenangnya di pekerjaan barunya juga cukup menantang. Menuntutnya untuk cepat beradaptasi dan belajar secara cepat.
Kalau seperti itu, ya wajar gaji Rp1 juta enggak cukup.
See? Banyak hal yang memengaruhi, so kita harus melihat kondisi realnya. Mari kita lihat.
Beberapa fakta yang mesti diketahui mengenai gaji fresh graduate
1. Gaji dipengaruhi wilayah
Yang perlu pertama kali dipahami adalah gaji itu sangat ditentukan oleh wilayah. Yang di Jakarta sudah pasti berbeda gajinya dengan mereka yang di Jogja. Update terbaru menyebutkan, bahwa UMP tertinggi untuk tahun 2019 masih dipegang oleh Jakarta, yakni sebesar Rp3,9 juta. Menyusul kemudian dengan Papua, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, lalu Papua Barat.
So, mau dapet gaji fresh graduate tinggi? Bekerjalah di perusahaan-perusahaan yang berbasis di kota-kota di atas.
Dan, kalau katanya lulusan universitas tertentu skalanya kerja di perusahaan asing, dan menolak gaji pertama sebesar Rp8 juta, rasanya ya wajar. Karena di Malaysia, gaji fresh graduate paling standar adalah Rp9 juta.
Jadi, nggak mau menerima gaji fresh graduate sebesar Rp8 juta? Ya mungkin ada baiknya yang bersangkutan segera mengurus visa tenaga kerja, supaya bisa langsung capcus ke Malaysia, minimal. Bagus kan? Jadi pahlawan devisa dong.
2. Self value
Besar enggaknya gaji fresh graduate juga tergantung pada self value para pelamar kerja. Gampangannya, kalau memang minim pengalaman, hanya punya pengetahuan teoretis dan bukan praktis, dan kemudian setelah melewati psikotes juga terbukti punya soft skill yang kurang, maka sudah bisa dipastikan, “harga diri” juga minim.
Kalau sudah begini, tinggal disesuaikan saja sih dengan kebijakan perusahaan. Pastinya setiap perusahan punya standar dan kebutuhan yang berbeda. Memang di sini, tak hanya soal ijazah terbitan mana saja yang menjadi penentu apakah kita bisa menerima gaji fresh graduate yang tinggi atau enggak. Tapi value diri kita sendiri. Karena kita bekerja hanya membawa diri sendiri saja, enggak ada lagi “sisa-sisa” dari tempat kuliah dulu.
Kalau masih pengin idealis, sebagian pasti berusaha mencari pekerjaan sesuai dengan ilmunya. Tapi, bagi sebagian yang lain, dapat kerjaan apa saja–yang penting halal–dengan gaji berapa pun itu sudah patut disyukuri banget. Karena mungkin kondisi dirinya butuh banget segera kerja dan mendapatkan penghasilan, berapa pun.
3. Tergantung skala perusahaan
Skala perusahaan tempat kita bekerja pertama kali juga akan memengaruhi, tak hanya gaji fresh graduate, tapi bahkan karier kita ke depan. Kalau kita pertama kali langsung bekerja di perusahaan-perusahaan yang bonafid, pastilah gaji juga mengikuti. Sedangkan, kalau kita bekeja di perusahaan average atau bahkan home based business, ya pastinya akan berbeda pula.
Ingat dong, bahasan mengenai menjadi ikan besar di kolam kecil ataukah menjadi ikan kecil di kolam besar. Hal ini juga akan memengaruhi besaran gaji yang akan kita terima.
So, gaji besar atau gaji kecil itu sangat relatif, boleh jadi nggak semua orang punya pandangan yang sama. Tapi pasti semua orang setuju, kalau mau berapa pun gaji yang diterima, bagaimana pengelolaannyalah yang utama. Karena tanpa pengelolaan keuangan yang baik, gaji besar atau kecil ya nggak ada artinya. Pasti jadinya, gaji satu koma empat; gajian tanggal satu koma di tanggal empat.
Yuk, belajar mengelola gaji fresh graduate kamu dengan mengikuti kelas-kelas finansial online dari QM Financial yang jadwalnya bisa kamu simak di web ini. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas terbaru.
Sebelum Mulai Bekerja di Startup dan Mengharap Gaji Besar, Pertimbangkan Dulu 3 Hal Berikut
Pengin bekerja di startup? Kenapa tertarik kerja di sana? Karena gaji yang besar? Ya enggak salah sih, memang ada beberapa startup yang berani memberikan gaji jauh di atas rata-rata.
Tapi ada baiknya tetap dipertimbangkan baik-baik. Terutama yang menyangkut 3 hal berikut.
3 Hal yang harus dipertimbangkan kalau pengin bekerja di startup
1. Self asseses
Tanpa terus bisa mengevaluasi dan memotivasi diri sendiri secara terus menerus, kita nggak akan survive bekerja di startup. Kemampuan kita untuk beradaptasi dituntut tinggi.
Terutama kita harus memberi perhatian pada:
- Perubahan. Bekerja di startup itu penuh dengan perubahan. Fast pace! Segala hal bisa berubah setiap hari, bahkan setiap jam. Mengapa? Karena startup biasanya berbasis teknologi, dan tahu sendirilah perkembangan teknologi seperti apa. Kalau enggak siap sejak awal, bakalan keteteran terus. Apalagi kalau startupnya–selain berbasis teknologi–juga berbasis tren. Ugh. Harus siap perubahan terjadi setiap waktu. Dan perubahan yang terlalu banyak dan terlalu cepat itu exhausting lo!
- Kemauan untuk belajar. Sounds cliche, tapi hal ini nggak bisa dimungkiri. Akibat perubahan yang terlalu cepat itu, maka kita harus dapat menyesuaikan diri dengan cepat pula. Mau nggak mau harus belajar segala sesuatunya juga dengan cepat. Dan bahkan mungkin, mandiri. Belajar sendiri dengan banyak trial and error.
- Chaos. Orang-orang tipe melankoli dan introver jelas harus berjuang keras di sini. Banyak startup yang berkantor di coworking space, yang mana enggak ada privacy sama sekali antar satu laptop dengan yang lainnya. Semua campur baur jadi satu. Kalaupun punya ruang kerja, ya ruang kerja bersama dengan open plan alias tanpa dinding pemisah. Bahkan kubikel pun enggak ada. Siapkah dengan lingkungan kerja seperti ini? Nggak semua orang bisa bekerja di area publik lo! Beberapa di antaranya adalah orang-orang berkepribadian melankoli dan introver itu. Mesti banget cari cara supaya bisa tetap fokus kerja, meski berada di tengah “keributan”.
Tanpa adanya disiplin diri dan manajemen terhadap diri sendiri yang baik, bekerja di startup akan sangat melelahkan. So, mau kerja di startup? Coba tanyakan pada diri sendiri dulu, apakah siap untuk menjadi pribadi yang tangguh.
2. Kondisi perusahaan
Startup menggaji karyawan dalam jumlah yang bikin mata melek, bahkan tanpa kopi. Well, iya sih, untuk startup unicorn. Pernah juga dibahas di sini. Sudah baca belum nih?
Dan yes, belum semua startup bervaluasi lebih dari US$1 miliar, hingga bisa disebut sebagai startup unicorn, yang kemudian bisa menggaji karyawannya sebesar Rp20 juta per bulan. Masih ada beberapa startup yang megap-megap untuk hidup, terseok-seok mengembangkan diri, bahkan sudah di ujung tanduk.
Jadi, mau bekerja di startup? Startup yang bagaimana?
- Founders. Siapa foundernya? Bagaimana rekam jejaknya? Apakah ia sudah ada bukti bahwa ia telah berhasil menginisiasi sebuah bisnis sebelumnya? Bagaimanakah caranya si founder(s) menetapkan tujuan bisnisnya? Apakah ia pernah menerima penghargaan? Apakah ia pernah punya masalah besar sebelumnya hingga jadi kontroversi? Memahami bagaimana profil founder dan bagaimana caranya menjadi leader ini penting, karena akan memengaruhi bagaimana kita akan melalui hari-hari kita bekerja di startup tersebut.
- Funding. Apakah pendanaan perusahaan cukup transparan dibicarakan? Memang akan sulit sih untuk bisa tahu kondisi keuangan sebuah perusahaan jika kita bukan staf finance. Apalagi kalau baru join. Tapi jika transparansi ini bisa didapatkan bahkan saat kita baru jadi anak baru, it’s a good sign anyway.
- Employee retention, seberapa banyakkah karyawan keluar masuk di perusahaan startup tersebut. Well, ini sebenarnya enggak hanya berlaku untuk perusahaan startup saja sih. Ini akan jadi bahan pertimbangan yang baik, kalau kita bisa tahu seberapa besar perbandingan karyawan keluar masuk perusahaan. Jika terlalu tinggi, yah, mungkin ada baiknya dipikirkan ulang, terutama harus dicari apa penyebabnya. Tingginya tingkat retensi karyawan bisa mengindikasikan kesehatan perusahaan kurang baik.
- Budaya kerja juga merupakan hal penting yang harus kita ketahui lebih dulu. Biasanya sih, saat harus wawancara kerja dan datang ke kantor startup tersebut, kita bisa menilai budaya kerja ini dari orang-orangnya. Bagaimana pakaian yang mereka pakai? Bagaimana sepak terjang mereka? Bagaimana suasana kerja secara keseluruhan? Dan seterusnya.
3. Produk yang dijual
Apa yang dijual oleh perusahaan startup yang kamu incar tersebut? Apakah mereka menjual produk berupa barang ataukah jasa?
Lalu, bagaimana pergerakannya selama ini? Apakah kamu sering melihat orang lain pakai? Apakah kamu pernah tahu kalau mereka punya aplikasi mobile? Apakah teman-temanmu ada yang pernah pakai produk mereka? Ataukah, malah kamu sendiri pakai selama ini?
Tingkat kepopuleran produk yang dijual oleh startup tersebut bisa memberikan sinyal atau tanda apakah mereka akan bertahan di bisnis yang sedang dijalani atau tidak. Kalaupun mereka masih struggling, apakah kita mau untuk struggling bersama mereka, karena kita menilai produknya bagus dan bermasa depan cerah?
Nah, kan? Enggak cuma soal gaji tinggi saja yang harus dipertimbangkan untuk bisa bekerja di startup. Ada banyak hal lain yang juga harus kita perhatikan. Jangan sampai nih, oke, gajinya tinggi, tapi cuma sebentar. Kita cuma bisa bekerja di startup tersebut beberapa bulan saja, lantaran gulung tikar. Duh, kan nyesek.
Dan kemudian, kalau memang sudah diterima bekerja di startup incaran tersebut, maka hal berikutnya yang harus dilakukan adalah belajar mengelola keuangan dari gaji yang besar itu. Jangan sampai nih, gaji sih besar, tapi kok enggak pernah ada sisa? Duh, lari ke mana coba?
Ikutikelas-kelas finansial online dari QM Financial yang jadwalnya bisa kamu simak di web ini. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas terbaru
Mendingan Mana, Kerja di Perusahaan Besar atau Jadi Besar di Perusahaan Kecil? Berikut 4 Pertimbangannya
Sering kali di dunia kerja, kita mendengar pepatah (atau pertanyaan ya, tepatnya?), “Which one you choose: be a little fish in a big pond or be a big fish in a little pond?” Gampangnya, jika perusahaan dianalogikan sebagai sebuah kolam dan kita sebagai ikannya (karyawan), maka mana yang lebih enak? Menjadi ikan kecil di kolam besar atau jadi ikan besar di kolam kecil? Mau kerja di perusahaan besar dengan jabatan staf saja, ataukah memiliki jabatan tinggi di perusahaan kecil?
Jika dihadapkan pada dua pilihan itu, manakah yang akan kamu pilih? Jabatan tinggi di perusahaan besar? Well, amin! Tapi, sayangnya opsi itu tidak ada pada pilihan di atas. Lagi pula, jabatan tinggi di perusahaan besar itu berarti menjadi ikan besar di kolam besar, yang harus dilalui dengan menjadi ikan kecil dulu juga kan?
Dalam hidup, kita kadang memang harus memilih, sedangkan opsi yang tersedia nggak banyak. Termasuk dalam meniti karier, akan banyak pilihan-pilihan sulit seperti lebih memilih menjadi ikan besar di kolam kecil (jabatan tinggi di perusahaan kecil) ataukah menjadi ikan kecil di kolam besar (jabatan rendah di perusahaan besar).
Yang pasti, setiap opsi memiliki tuntutan, konsekuensi dan kompensasi masing-masing. Nah, mari kita lihat melalui beberapa aspek, siapa tahu nih, saat ini ada yang lagi bingung memutuskan jalan kariernya. Ya kan?
Mau milih kerja di perusahaan besar atau di perusahaan kecil? Berikut beberapa pertimbangannya.
1. Gengsi
Mungkin saat ini, kamu kerja di perusahaan besar nan mapan. Well, the good news is, di mata khalayak ramai, gengsi dan nilai dirimu bisa ikut terangkat. Kamu bisa memperkenalkan kantormu dengan percaya diri. Kalau Lebaran, kamu akan banyak ditanyai oleh saudara dan tetangga, gimana caranya bisa masuk perusahaan sebesar itu. Bahkan mungkin ada yang lantas mau nitip anaknya untuk kerja juga di kantormu.
Tapi sayang, gengsi tinggi ini kadang tak berbanding lurus dengan gaji yang diterima. Bisa jadi, setelah tengok kanan-kiri depan-belakang atas-bawah, kamu menemukan fakta bahwa ada jabatan serupa di perusahaan lain yang lebih kecil dengan gaji yang lebih besar.
Mau nego ulang gaji? Bisa saja, tetapi peluang untuk di-ACC sepertinya juga nggak terlalu besar, apalagi jika kita sendiri sebenarnya kompetensinya biasa aja. Singkatnya, bargaining power kita lemah, yang disebabkan oleh banyak faktor.
2. Prosedur
Kerja di perusahaan besar juga berarti akan banyak bersinggungan dengan prosedur panjang, yang kadang sangat rumit. Positifnya sih, setiap kewajiban, tugas, wewenang, dan hak masing-masing karyawan itu sangat jelas. Kita–sebagai karyawan (apalagi berjabatan rendah)–tinggal mengikuti saja. Kalau prosedur aman, maka posisi kita juga aman.
Ini juga termasuk semua paket kompensasi yang diterima oleh kita yang kerja di perusahaan besar, biasanya juga sudah fixed. Hitungannya jelas, dan sudah ada dalam sistem. Susah diutak-atik.
Namun, ini juga berarti, kerja di perusahaan besar itu sulit untuk melakukan perubahan sistem atau update kultur. Yah, kita semua tahu kan, kalau zaman itu berkembang. Kadang ada kemajuan dan update tertentu yang diperlukan oleh perusahaan untuk disesuaikan. Hal ini akan lebih sulit dilakukan kalau kita kerja di perusahaan besar.
Kalau kita adalah tipe karyawan yang sangat kreatif, dinamis, up-to-date, dan sangat berani ambil terobosan-terobosan baru, maka besar kemungkinan potensi kita akan kurang diakomodasi oleh perusahaan semacam ini. Apalagi kalau jabatan kita rendah.
3. Spesialis atau serabutan?
Kerja di perusahaan besar dengan ratusan atau bahkan ribuan karyawan, setiap karyawan biasanya diarahkan untuk menjadi spesialis. Itulah sebabnya, dengan kerja di perusahaan besar, kita jadi berpeluang untuk lebih terampil di satu bidang atau keahlian tertentu setelah bekerja beberapa tahun.
Sementara jika kita kerja di perusahaan kecil, kadang kita dituntut untuk menguasai segala hal (karena jumlah sumber daya manusia yang masih terbatas)–dan jadilah serabutan. Positifnya, kita bisa menguasai banyak hal–jika semangat belajar kita memang tinggi. Hanya saja, ini juga bisa bikin kita jadi kurang fokus, hingga hasil kerja juga hanya so-so saja.
4. Promosi jabatan
Kerja di perusahaan kecil, persaingan untuk mendapatkan promosi atau naik jabatan relatif lebih mudah. Mereka yang bisa menunjukkan kinerja yang baik akan mudah terlihat, sehingga jalan untuk dipromosikan (dan naik gaji) lebih lapang.
Sementara, kalau kita kerja di perusahaan besar, persaingan ini akan lebih berat karena banyak kandidat lain yang selain banyak, mungkin juga lebih berkompeten. Ini akan membuat kita jadi lebih sulit “terlihat”.
Dan, biasanya sih persaingan-persaingan akan diikuti dengan politik kantor. Di sini kita tak bisa menjamin bahwa semua akan berjalan mulus dan baik-baik saja. Namanya politik, we never know kan? Memang, untuk bisa menjadi ikan besar di perusahaan besar, kompetensi saja nggak cukup. Kita butuh juga kematangan berpolitik dan berstrategi.
Nah, gimana nih sampai di sini? Sudah bisa menentukan jalan karier, mau kerja di perusahaan besar atau di perusahaan kecil?
Well, yang pasti sih, mau kerja di perusahaan besar atau kecil, karyawan mana pun harus belajar mengelola keuangannya dengan baik, baik dengan gaji besar ataupun kecil. Percuma saja kan, kerja dengan gaji besar tapi kita nggak bisa mengelolanya dengan baik?
Yuk, ikut kelas-kelas finansial online dari QM Financial, yang bisa dipilih sesuai dengan kebutuhan. Follow juga Instagram QM Financial, karena banyak tip-tip keuangan yang dibagikan.
Gaji Kecil? Meski Relatif, Mungkin Salah Satu dari 9 Hal Ini Alasannya
Ngomongin soal gaji, ada yang bilang tabu untuk diumbar secara publik, tetapi menarik untuk didiskusikan. Bener nggak? Tapi, mungkin ada di antara kita yang akhirnya menemukan fakta, bahwa kita menerima upah yang relatif lebih kecil ketimbang rekan lain yang berada di posisi sama. Lalu pastinya bertanya-tanya dong, kenapa kita punya gaji kecil?
Seperti yang kita tahu, banyak hal yang bisa memengaruhi besaran angka gaji, bisa datang dari luar perusahaan maupun dari dalam perusahaan itu sendiri. Hingga kemudian besar dan kecilnya gaji akan relatif. Namun, kadang kita juga bisa merasakan, kalau dibandingkan dengan beban, tanggung jawab, ataupun rekan kerja yang lain, kita memang punya gaji kecil.
Kira-kira, kenapa ya, kita hanya menerima gaji kecil? Mungkin salah satu dari 9 ini alasannya.
9 Alasan Gaji Kecil
1. Pendidikan standar
Memang sih, banyak orang yang sukses yang nggak lulus pendidikan tinggi. Mereka bisa mendapatkan penghasilan besar, bahkan punya bisnis sendiri dengan omzet miliaran dollar.
Tapi, enggak semua orang diberi nasib yang sama. Bagi sebagian besar yang lain, pendidikan tinggi akan dapat membantu untuk meraih penghasilan lebih besar lagi. Toh lebih banyak statistik yang menunjukkan, bahwa orang yang menempuh pendidikan tinggi cenderung menghasilkan banyak uang daripada mereka yang berpendidikan rendah.
So, kalau kita memang masih menerima gaji kecil, coba deh, cari informasi apakah jika kita melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi akan ada kemungkinan untuk naik gaji? Kalau iya, yuk, segera rencanakan untuk kuliah atau sekolah lagi.
2. Usia muda
Mereka yang berusia 25 tahun ke bawah cenderung punya gaji kecil dibandingkan dengan mereka yang sudah berusia 25 – 30 tahun ke atas. Ini masuk akal sih, mengingat keahlian di satu bidang, jika ditekuni dari tahun ke tahun akan membuat kita jadi lebih menguasainya.
Well, kecuali jika kita berhasil bekerja di startup level unicorn atau lebih sih, mungkin usia 25 tahun sudah bisa punya gaji besar.
Dengan keahlian kita yang bertambah, maka penghasilan pun akan tergenjot juga.
3. Minim pengalaman
Sudah pasti makin banyak dan lama pengalaman bekerja kita, maka makin tinggi pula nilai jual kita. Makanya, nggak heran sih kalau misalnya usia kita baru bekerja di usia 25 tahun ke atas, tapi gaji kecil, sedangkan mereka di usia sama gajinya relatif lebih besar, karena mereka mungkin sudah mulai bekerja di usia lebih awal.
4. Posisi karyawan
Usia boleh saja sudah di atas 30 tahun, atau bahkan 40 tahun. Tapi kalau statusnya masih saja staf, maka nggak heran kalau gaji kita jalan di tempat.
So, coba cari kemungkinan untuk mendapatkan promosi jabatan, jika ingin ada cahaya terang di slip gaji yang kita terima setiap bulannya.
5. Lahan “kering”
Setiap jenis usaha memiliki rentang gaji karyawan yang berbeda. Hal ini disesuaikan dengan beban kerja, waktu, tanggung jawab, dan hasil kerja masing-masing.
Misalnya, beban kerja dan tanggung jawab di industri migas tentu akan berbeda dengan perbankan. Meskipun posisi karyawan sama-sama staf dengan pengalaman kerja 5 tahun, besarnya gaji yang diperoleh masing-masing bisa sangat berbeda.
6. Kerja lapangan
Bekerja di luar kantor kerap dianggap lebih banyak menggunakan fisik, ketimbang pikiran dan kreativitas. Alhasil, mereka yang pekerja lapangan kerap menerima gaji kecil, setidaknya jika dibandingkan dengan karyawan yang lebih banyak berpikir strategis di dalam kantor.
Kalau di dunia kerja sih sering terdengar istilah white collar worker (pekerja kerah putih yang lebih banyak menggunakan pikiran dalam bekerja) dan blue collar worker (pekerja kerah biru yang lebih banyak menggunakan tenaga fisik). White collar worker pada umumnya bisa menghasilkan lebih banyak uang ketimbang blue collar worker.
7. Bad attitude
Pernah berbuat kesalahan yang fatal, membuat perusahaan rugi atau terancam, atau mungkin bikin atasan nggak menyukai kita lagi?
Wah, bisa jadi, hal ini juga menjadi alasan mengapa kita hanya menerima gaji kecil, dan nggak akan pernah terdongkrak naik. Kita mungkin dianggap sebagai sumber masalah yang sekarang harus dihadapi oleh perusahaan, sehingga tak ada lagi yang mau memberikan rekomendasi kenaikan gaji. Ouch.
8. Status karyawan
Apakah status kita adalah pegawai tetap, pegawai kontrak waktu tertentu, pegawai kontraktor (consultant), ataukah part timer, magang, ataupun pekerja lepas?
Semua status karyawan tersebut ikut menentukan besaran gaji yang kita terima. Pastinya, part timer, magang, dan pekerja lepas akan menerima gaji kecil, sedangkan mereka yang sudah berstatus karyawan tetap akan menerima gaji besar dengan berbagai tambahan tunjangan dan benefit.
Untuk beberapa kasus dan posisi, sering kali juga pekerja kontrak justru menerima gaji lebih besar ketimbang para karyawan tetap.
9. Diskriminasi
Yup, kesenjangan upah lantaran perbedaan gender memang masih sering bisa dijumpai di dunia kerja kita. Di beberapa perusahaan, memang berlaku para karyawan perempuan menerima gaji kecil, sedangkan karyawan pria menerima gaji yang lebih besar, padahal pekerjaannya sama.
Sedih sih memang untuk yang satu ini. Tapi, ya ini memang masih sering terjadi.
Nah, apakah sudah menemukan jawaban, mengapa kita menerima gaji kecil dari uraian di atas?
Sebenarnya gaji kecil atau gaji besar itu memang relatif–tergantung wilayah juga kan? Jika memang merasa menerima gaji kecil, maka tak perlu menyalahkan siapa-siapa. Sekarang yang penting, apa yang harus kita lakukan agar gaji kita cukup untuk hidup sampai gajian bulan berikutnya. Bagus lagi kalau mau ikut kelas-kelas finansial online dari QM Financial, yang bisa dipilih sesuai dengan kebutuhan. Follow juga Instagram QM Financial, karena banyak tip-tip keuangan yang dibagikan.
Dan, tentu saja, harus berusaha sebaik mungkin memberikan kinerja yang baik, supaya mendapatkan kesempatan untuk diberi promosi jabatan. Yes?
Ini Dia 10 Pekerjaan Bergaji Besar dengan Tingkat Stres Paling Kecil
Mau punya pekerjaan bergaji besar tanpa stres? Nggak perlu jawab, “Emang kerja di perusahaan bokap lo?”, karena ternyata memang ada beberapa pekerjaan bergaji besar dengan tingkat stres yang kecil. Mupeng nggak tuh?
Sebulan yang lalu–di awal Maret 2019–situs Business Insider merilis artikel yang berisi daftar 33 jenis pekerjaan bergaji besar dengan tingkat stres yang minim.
Daftar ke-33 jenis pekerjaan ini didapatkan dari data Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat yang dikumpulkan oleh ONet Online, biro ketenagakerjaan resmi yang berada di bawah Departemen Ketenagakerjaan langsung.
Dalam data tersebut dikemukakan, bahwa pekerjaan-pekerjaan yang masuk ke dalam daftar ini rata-rata menawarkan gaji sebesar USD75,000 per tahun. Ini artinya kalau dirupiahkan menjadi sekitar Rp787 M per tahun, yang berarti gaji tersebut diterimakan sekitar Rp65 juta/bulan.
Untuk tingkat stresnya sendiri, ONet mempunyai standar angka di rentang 0 (tingkat stres paling rendah) hingga 100 (tingkat stres paling tinggi). However, kalau dilihat-lihat di daftarnya sih nggak ada juga yang punya skor tingkat stres 0. Paling rendah adalah 53.
Yah, meski datanya merupakan gambaran data tenaga kerja di Amerika Serikat, tapi sepertinya ini menarik banget untuk dibahas. Karena ya, they’re such dream jobs–pekerjaan bergaji besar, tingkat stresnya kecil pula. Siapa sih yang nggak mau punya pekerjaan semacam ini? Iya nggak?
Tapi, kita nggak akan bahas ke-33 pekerjaan bergaji besar tersebut semuanya sih. Mari kita tengok yang berada di 10 besar saja. Shall we?
10 Pekerjaan Bergaji Besar dengan Tingkat Stres yang Paling Kecil
1. Materials scientists
Tingkat stres: 53
Gaji yang diterima per tahun: USD 101,910
Materials scientis mengerjakan berbagai penelitian terkait struktur dan sifat kimia berbagai bahan alami dan sintetis atau komposit.
2. Mathematicians
Tingkat stres: 57
Gaji yang diterima per tahun: USD 104,700
Mathematicians bertugas melakukan penelitian dalam matematika dasar atau dalam penerapan teknik matematika untuk sains, manajemen, dan bidang lainnya.
3. Ekonom (economists)
Tingkat stres: 59
Gaji yang diterima per tahun: USD 112,650
Ekonom melakukan penelitian, menyiapkan laporan, atau merumuskan rencana untuk mengatasi masalah ekonomi terkait dengan produksi dan distribusi barang dan jasa atau kebijakan moneter dan fiskal.
4. Statisticians
Tingkat stres: 59
Gaji yang diterima per tahun: USD 88,980
Tugasnya mengembangkan atau menerapkan teori dan metode matematika atau statistik untuk mengumpulkan, mengatur, menafsirkan, dan merangkum data numerik untuk memberikan informasi yang dapat digunakan oleh pihak lain yang membutuhkan.
5. Geografer
Tingkat stres: 59
Gaji yang diterima per tahun: USD 76,750
Geografer bertugas mempelajari sifat dan penggunaan area permukaan bumi, yang menghubungkan dan menafsirkan berbagai interaksi fenomena fisik dan budaya yang terjadi.
6. Fisikawan
Tingkat stres: 61
Gaji yang diterima per tahun: USD 123,080
Fisikawan melakukan penelitian terhadap fenomena fisik, mengembangkan teori berdasarkan pengamatan dan eksperimen, serta menyusun metode untuk menerapkan hukum dan teori fisik.
7. Chemical engineers (teknisi kimia)
Tingkat stres: 61
Gaji yang diterima per tahun: USD 112,430
Teknisi kimia bertugas mendesain peralatan-peralatan yang akan digunakan di pabrik kimia, serta merancang desain proses produksti untuk membuat bahan dalam industri kimia dan produk.
8. Political scientists
Tingkat stres: 61
Gaji yang diterima per tahun: USD 112,030
Para ilmuwan di bidang politik ini akan mempelajari asal, pengembangan, dan pengoperasian sistem politik untuk digunakan oleh para praktisi politik di negara tertentu.
9. Software Application Developers (Pengembang Aplikasi Software)
Tingkat stres: 61
Gaji yang diterima per tahun: USD 106,710
Pengembang aplikasi software akan mengembangkan, membuat, dan memodifikasi perangkat lunak aplikasi komputer umum atau program utilitas khusus.
10. Materials engineers
Tingkat stres: 61
Gaji yang diterima per tahun: USD 98,610
Materials engineers mengevaluasi bahan serta mengembangkan mesin dan proses untuk memproduksi bahan untuk digunakan dalam produk dengan harus memenuhi spesifikasi desain dan kinerja khusus.
Setelah materials engineers, masih ada analisis operasi penelitian (research operation analysts), para dosen pascasarjana, para ilmuwan astronomi, hidrolog, dokter gigi, teknisi hardware komputer, para ilmuwan biologi dan kimia, hingga art directors.
Hmmm, kalau dilihat-lihat, banyak pekerjaan bergaji besar ini yang area kerjanya di seputar ilmu-ilmu murni, penelitian, akademisi, dan angka-angka ya? Mungkinkah karena tidak terlalu banyak berhubungan langsung dengan manusia sebagai objek langsung? Ya, bisa jadi juga, karena angka-angka itu nggak pernah bohong dan nggak akan mungkin komplen kan?
Untuk Indonesia sendiri, pekerjaan yang termasuk dalam pekerjaan bergaji besar di antaranya adalah ahli teknik perminyakan, dokter spesialis, ahli konstruksi, ahli teknik informatika dan informasi, pengacara, hingga marketing. Data ini pernah dirilis oleh Kelly Services, sebuah perusahaan jasa lowongan kerja paling populer di Indonesia. Tapi tidak disebutkan apakah pekerjaan bergaji besar tersebut mempunyai tingkat stres yang kecil, seperti halnya data dari ONet di atas.
Jadi, bagaimana denganmu? Apakah pekerjaanmu saat ini termasuk dalam daftar di atas? Senangnya kalau punya pekerjaan bergaji besar! Tinggal masalahnya adalah bisakah kita mengelola gaji besar kita itu dengan benar, sehingga tujuan keuangan kita tercapai?
Yuk, undang QM Financial untuk memberikan edukasi keuangan di perusahaan tempat kamu bekerja. Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA/MIA). Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru yang sesuai kebutuhan.
Bekerja di Sektor Keuangan, Kita Akan Menerima Setidaknya 4 Benefit Ini
Bekerja di sektor keuangan–yang meliputi asuransi dan perbankan, dan termasuk di dalamnya adalah bagian teknologi informasi (IT) dan akuntan–tetap menjadi salah satu profesi terpopuler di masa sekarang.
Meski konon, generasi millenial zaman now cenderung lebih suka bekerja di perusahaan startup, apalagi yang sesuai dengan passion. Ada yang bilang, bekerja di sektor keuangan–terutama di bank–bikin kita melupakan mimpi dan passion.
Benarkah? Well, yang pasti, pada kenyataannya pelamar lowongan kerja di bank masih membludak di setiap job fair diadakan. Dan, biasanya selalu dipenuhi oleh para fresh graduate, alias mereka-mereka yang baru saja lulus dari kampus.
Mengapa? Pastinya bukan karena tanpa sebab.
Salah satu alasannya adalah karena perusahaan-perusahaan di sektor keuangan menjamin adanya hal-hal berikut ini pada karyawannya.
Benefit yang Didapatkan Jika Bekerja di Sektor Keuangan
1. Gaji
Seperti yang dilaporkan di Kompas.com, Kelly Services dan Persol Indonesia merilis panduan gaji beberapa posisi jabatan strategis di lingkungan asuransi dan perbankan.
Beberapa di antaranya disebutkan, untuk perusahaan asuransi, mereka yang menjabat sebagai Telemarketing Supervisor dengan ijazah pendidikan terakhir S1 dan masa kerja 3 tahun menerima gaji dalam rentang Rp 4,5 juta-Rp 6 juta.
Sedangkan di lingkungan perbankan, gaji seorang Senior Associate penyaluran kredit dengan ijazah pendidikan terakhir S1 dan masa kerja 2-4 tahun rentangnya berada di antara Rp 20 juta-Rp 25 juta per bulan.
Sedangkan untuk seorang Audit Manager, masih dengan kualifikasi pendidikan terakhir S1 dengan masa kerja 5-7 tahun, maka rata-rata gajinya diperkirakan Rp 15 juta-Rp 30 juta per bulan.
Memang, masih menurut laporan yang sama, dibandingkan dengan perusahaan di sektor lainnya, perusahaan yang bergerak di sektor keuangan menawarkan gaji yang relatif lebih tinggi pada para fresh graduate.
2. Mendapatkan Banyak Fasilitas Tunjangan
Tak hanya gaji, berbagai tunjangan pun diberikan untuk menjamin kesejahteraan karyawan. Tak hanya kesehatan yang diberikan fasilitas berupa tunjangan, bahkan ada dana pensiun yang biasanya juga terkelola dengan baik.
Selain dua jenis tunjangan utama tersebut, masih ada pula tunjangan hari raya, tunjangan cuti, hingga adanya bonus tahunan. Sehingga, bisa jadi nih, take home pay atau gaji yang dibawa pulang setiap bulannya dua kali lipat dari gaji pokok yang disepakati di awal.
3. Kesempatan luas untuk meningkatkan skill
Kesempatan untuk meningkatkan kemampuan diri sendiri juga terbuka lebar ketika kita bekerja di sektor keuangan, terutama di perbankan. Hal ini dikarenakan bank-bank cukup rajin memberikan training-training untuk membantu meningkatkan kualitas kinerja karyawannya.
Pelatihan yang diadakan sangat menyeluruh, untuk membentuk karyawan-karyawan kompenten yang siap untuk ikut menjadi bagian dari perkembangan bisnis perusahaan itu sendiri.
Kadang seorang karyawan juga ikut training yang sama sampai berulang kali, lantaran tuntutan pekerjaannya. Pastinya kesempatan ini tak selalu ada jika kita bekerja di sektor lain lo.
4. Jenjang karier yang luas
Bekerja di sektor keuangan, prestasi kerja sangat mudah ditelusuri. Jika etos kinerja kita sudah bagus dan tinggi, maka pendakian ke puncak karier pun bisa lebih cepat jika kita bekerja di sektor keuangan, terutama di perbankan ini.
Nah, bagaimana? Apakah Anda juga tertarik untuk bekerja di sektor keuangan? Atau, malahan sekarang Anda sudah bekerja di bank atau asuransi?
Tertarik untuk mengundang QM Financial untuk memberikan program edukasi keuangan di perusahaan Anda? Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA/MIA). Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas terbaru.
-Carolina Ratri-
Kerja di Startup Itu Berarti Gaji Besar? Coba Cek 3 Faktanya!
Belakangan semakin banyak millenial yang bercita-cita untuk kerja di startup. Startup apa aja kek, yang penting startup. Meski tetap ada generasi millenial yang berkeinginan melamar kerja di perusahaan konvensional, terutama yang sudah punya nama besar.
Meroketnya nama beberapa startup pioneer, seperti Gojek, Traveloka, Bukalapak dan Tokopedia, sepertinya juga memengaruhi fenomena perubahaan mindset ini. Selain tentunya cara berpikir para millenial yang memang berbeda dengan angkatan kerja sebelumnya.
Salah satu hal yang semakin membuat para millenial mupeng ingin bekerja di startup adalah konon gajinya yang berlipat-lipat kali dari UMR. Wah, benarkah gaji para karyawan startup sampai sedemikian tinggi?
Kelly Services, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa rekrutmen, pernah merilis daftar gaji yang diperoleh oleh karyawan perusahaan ecommerce Indonesia. Berikut bocoran gaji 13 posisinya:
- Sales executive 7 juta
- Merchandising Manager 20 juta
- Content Manager 20 juta
- Sales Manager 20 juta
- Head of Digital Marketing 20 juta
- Platform Manager 25 juta
- Product Manager 25 juta
- IT Operation Manager 25 juta
- UI/UX Manager 30 juta
- Head of Communication & Partnership 40 juta
- Head of Marketing 45 juta
- Head of Operation 50 juta
- Head of Merchandising 50 juta
Wah, kalau melihat daftar di atas, maka tak heran para millenial kepincut untuk bekerja di perusahaan startup ya? Namun, ada yang harus dicermati tuh. Gaji-gaji tersebut adalah milik para petinggi startup, yang berarti untuk naik ke jenjang yang setara, kita pun harus bekerja keras untuk meningkatkan kinerja kita. Betul?
Ada artikel lain lagi yang dilansir oleh Mojok.co, mengenai fenomena kerja di startup ini. Disebutkan bahwa gaji besar ini hanya mungkin ada di perusahaan startup unicorn, yang berarti perusahaan tersebut valuasinya mencapai lebih dari US$1 miliar, atau setara dengan Rp 13 triliun.
Pertanyaannya, apakah semua perusahaan startup valuasinya mencapai angka yang sangat fantastis itu? Jawabannya, tidak. Banyak perusahaan startup yang masih merintis pasar dan bisnisnya, sehingga belum bisa mencapai omzet penjualan yang kemudian dapat diberikan dalam bentuk gaji berdigit banyak pada karyawannya.
Banyak perusahaan startup yang boro-boro punya kantor di lokasi yang tetap, kadang mereka masih “menumpang” di coworking space satu dan pindah ke coworking space yang lain. Ada juga perusahaan startup yang masih menempati kantor di garasi rumah foundernya.
Namun, ada hal lain selain gaji yang mungkin membuat karyawannya tetap betah bekerja di perusahaan startup, ketimbang perusahaan konvensional. Ada beberapa hal yang tetap membuat para millenial tertarik untuk bekerja di perusahaan startup.
Beberapa Fakta Mengenai Kerja di Startup
1. Banyak kenyamanan yang diberikan
Dalam artikel mengenai sektor yang memberikan fasilitas kesehatan terbaik yang lalu, kita bisa melihat ada beberapa perusahaan startup yang memang memberikan kenyamanan yang baik bagi karyawannya.
Belum lagi soal jam kerja, yang konon lebih fleksibel ketimbang perusahaan konvensional yang memberlakukan batasan jam kerja. Bahkan sebagian besar juga mengizinkan karyawan bekerja secara remote, tidak harus berada di satu lokasi untuk bisa bekerja bersama.
Tentu saja, hal ini menjadi nilai plus untuk kerja di perusahaan startup ketimbang bekerja di perusahaan konvensional.
2. Gaji ekuivalen dengan beban kerja
Gaji besar pasti diberikan dengan tuntutan kinerja yang optimal pula. Hal ini juga berlaku di perusahaan startup, tak hanya di perusahaan konvensional.
Dalam perusahan startup, terutama yang masih rintisan, kadangkala karyawan juga harus merangkap-rangkap berbagai jabatan dan tugas. Hal ini terjadi lantaran rata-rata jumlah karyawan perusahaan startup rintisan juga hanya terdiri atas beberapa orang saja demi efisiensi kerja.
3. Siap bersaing dan harus bertumbuh dengan cepat
Tuntutan untuk memberikan kinerja yang optimal bagi para karyawan perusahaan startup ini juga bukan karena tanpa sebab. Seperti yang sudah dilansir oleh Tech In Asia, di Indonesia setiap bulannya ada startup baru. Dan tidak hanya satu, tapi sampai puluhan. Jadi, bisa dibayangkan berapa banyak perusahaan startup baru dalam satu tahun.
Ini berarti persaingan bisnis akan semakin ketat. Butuh pribadi-pribadi kreatif untuk bisa bertahan, apalagi untuk bisa berkembang dan melejit di antara yang lainnya.
Jadi, apakah kerja di startup itu berarti gaji besar? Mungkin, namun sepadan pula dengan target dan beban kerja yang juga besar.
Tertarik untuk mengundang QM Financial untuk memberikan program edukasi keuangan di perusahaan Anda? Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA/MIA). Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas terbaru.