Tren #KaburAjaDulu: Apakah Pindah ke Luar Negeri Benar-Benar Lebih Menguntungkan Secara Finansial?
Belakangan, tren kabur aja dulu ramai dibahas di media sosial. Banyak anak muda merasa tinggal di Indonesia makin sulit, terutama soal ekonomi dan pekerjaan. Gaji kecil, harga barang naik, dan biaya hidup makin tinggi bikin banyak orang kepikiran buat pindah ke luar negeri. Harapannya, bisa dapat gaji lebih besar, hidup lebih nyaman, dan masa depan lebih terjamin.
Tapi, apakah benar pindah ke luar negeri selalu lebih menguntungkan? Jangan-jangan hanya sekadar rumput tetangga lebih hijau?
Memang, di luar sana, gaji mungkin lebih tinggi, fasilitas juga bagus, dan peluang karier lebih luas. Tapi, ada banyak faktor yang juga perlu dipertimbangkan, dan justru luput dari perhatian.
So, sebelum buru-buru ikut tren kabur aja dulu, penting untuk melihat gambaran besarnya. Pindah ke luar negeri bukan sekadar soal gaji, tapi juga ada ina inu yang kudu dipikirkan.
Table of Contents
Ina dan Inu tentang Kabur Aja Dulu ke Luar Negeri

Sebelum ikut tren kabur aja dulu, penting untuk melihat apa saja keuntungan dan tantangan finansial yang bisa didapat dengan pindah ke luar negeri. Apa saja?
1. Gaji Lebih Besar
Tren kabur aja dulu dan pindah ke luar negeri sepertinya memang didorong oleh fakta bahwa gaji bekerja di luar sana lebih besar. Negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Singapura memang terkenal dengan standar gaji yang tinggi.
Apalagi buat mereka yang bekerja di bidang IT, kesehatan, atau teknik. Profesi seperti software engineer, perawat, atau insinyur bisa mendapat bayaran yang jauh lebih besar dibandingkan di Indonesia.
Pastinya sih hal ini menggiurkan, terutama kalau dikonversi ke rupiah. Bisa terlihat jauh lebih besar dari pendapatan di dalam negeri.
Baca juga: Ada Tawaran Pindah Kerja, Apa yang Harus Dipertimbangkan?
2. Stabil
Gaji di luar negeri bukan cuma lebih besar, tapi juga lebih stabil. Mata uang seperti dolar AS (USD), euro (EUR), atau dolar Singapura (SGD) punya nilai yang lebih kuat dibanding rupiah. Artinya, uang yang didapat dari bekerja di luar negeri bisa bertahan lebih lama.
Misalnya, gaji dalam dolar tetap punya daya beli yang baik meskipun inflasi terjadi. Sementara di Indonesia, nilai rupiah bisa naik turun dan harga barang sering ikut berubah. Dengan mata uang yang lebih stabil, penghasilan jadi lebih aman, terutama kalau punya rencana investasi atau simpanan jangka panjang.
Sisi lainnya, kalau masih punya keluarga di Indonesia dan sering kirim uang ke kampung halaman, nilai tukar bisa jadi keuntungan. Uang yang dikirim bisa lebih besar saat dikonversi ke rupiah. Namun, kalau harus membayar biaya hidup di negara asal, tetap perlu hati-hati dalam mengatur keuangan.
3. Lebih Banyak Peluang
Kabur aja dulu ke luar negeri juga dianggap bisa membuka lebih banyak peluang. Negara maju punya banyak industri besar yang terus berkembang. Perusahaan-perusahaannya sering mencari tenaga kerja dengan keterampilan khusus. Terutama di bidang teknologi, kesehatan, keuangan, dan teknik.
Jenjang karier juga lebih jelas. Di banyak negara, sistem kerja lebih terstruktur. Karyawan bisa tahu jalur promosi yang tersedia dan apa saja yang harus dilakukan untuk naik jabatan. Kalau kerja keras dan punya keterampilan yang dibutuhkan, peluang naik gaji dan mendapatkan posisi lebih tinggi cukup terbuka.
Selain itu, lingkungan kerja di luar negeri juga cenderung bisa menghargai keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi. Banyak perusahaan juga memberikan fasilitas tambahan seperti asuransi kesehatan dan cuti tahunan yang layak. Ini bisa membuat pekerjaan terasa lebih nyaman dan terjamin.
Tapi tentu saja, semua itu tetap tergantung pada bidang pekerjaan dan negara tujuan. Ada tempat yang menawarkan kesempatan besar, ada juga yang persaingannya sangat ketat. Makanya, sebelum memutuskan pindah, penting untuk riset dulu tentang industri dan prospek kerja di negara yang dituju.

4. Fasilitas yang Lebih Baik
Salah satu hal yang jadi pertimbangan besar kalau mau kabur aja dulu untuk bekerja di luar negeri adalah fasilitas dan kesejahteraan yang ditawarkan relatif lebih baik. Banyak negara maju punya sistem jaminan sosial yang kuat. Warga dan pekerja di sana bisa mendapatkan perlindungan finansial, terutama dalam hal kesehatan, pendidikan, dan tunjangan sosial.
Layanan kesehatan juga jadi poin penting. Di beberapa negara, biaya rumah sakit dan obat-obatan bahkan ditanggung pemerintah dari puluhan persen sampai gratis tis. Selain itu, sistem kesehatan yang lebih baik juga berarti akses ke dokter dan rumah sakit yang lebih berkualitas.
Sektor pendidikan juga banyak mendapat subsidi dari pemerintah. Ada sekolah dan universitas yang menawarkan biaya lebih murah atau bahkan gratis untuk warganya. Bagi yang punya anak atau ingin melanjutkan pendidikan, ini bisa mengurangi beban finansial jangka panjang.
Nah, masalahnya, banyak di antara fasilitas tersebut yang diberikan untuk warga negara atau penduduk tetap. So, kamu sebagai pekerja asing yang bisa jadi harus memenuhi syarat tertentu dulu untuk menikmatinya.
5. Biaya Hidup Sebanding dengan Gaji
Nah, mau kabur aja dulu karena gaji di luar lebih besar? Kalau iya, kamu juga kudu memperhitungkan soal biaya hidup.
Kota-kota besar seperti London, New York, dan Sydney terkenal dengan harga sewa yang mahal. Cari apartemen di lokasi strategis bisa menguras kantong. Bahkan, untuk kamar kecil di pusat kota, harga sewanya bisa jauh lebih tinggi dibandingkan rumah di Indonesia.
Belanja kebutuhan pokok juga lebih mahal. Makanan, transportasi, dan tagihan listrik atau air bisa menghabiskan sebagian besar gaji. Transportasi umum memang lebih nyaman, tapi tarifnya juga lebih tinggi. So, mau kabur aja dulu, ya kudu menghitung semua pengeluaran dengan cermat dulu.
6. Pajak Tinggi
Selain sewa, pajak juga jadi beban yang harus diperhitungkan. Banyak negara menerapkan pajak penghasilan yang cukup besar. Semakin tinggi gaji, semakin besar potongan pajaknya.
Di banyak negara maju, pajak penghasilan bisa mencapai 30-50% dari gaji. Jadi, meskipun angka gaji kelihatannya besar, jumlah uang yang benar-benar masuk ke rekening bisa jauh lebih kecil setelah dipotong pajak. Meskipun ya manfaatnya kembali ke warga, dengan bagusnya dan lengkapnya fasilitas dari pemerintah.
Sistem pajak di luar negeri juga lebih ketat. Semua penghasilan tercatat dan langsung dipotong sebelum gaji diterima. Enggak ada cerita gaji utuh dulu baru bayar pajak belakangan. Kalau nggak paham cara kerja pajak di negara tujuan, bisa jadi kaget saat melihat jumlah bersih yang diterima setiap bulan.
7. Biaya Lain-Lain
Selain dari sisi pekerjaan, ada banyak biaya yang harus dikeluarkan sebelum benar-benar bisa menetap di sana kalau kamu mau kabur aja dulu ke luar negeri. Mulai dari pengurusan visa, tiket pesawat, tempat tinggal awal, sampai legalisasi dokumen. Semua itu butuh dana yang enggak sedikit.
Visa kerja atau izin tinggal biasanya punya biaya sendiri. Belum lagi, beberapa negara meminta bukti keuangan sebelum memberikan izin masuk. Artinya, kamu harus punya tabungan cukup sebelum berangkat.
Setelah sampai di negara tujuan, tantangan belum selesai. Akomodasi awal sering jadi pengeluaran terbesar. Jika belum punya pekerjaan tetap, harus siap membayar tempat tinggal dengan dana pribadi. Biaya makan dan transportasi juga harus diperhitungkan, karena harga di negara maju biasanya lebih tinggi dibandingkan Indonesia.

8. Adaptasi
Culture shock bisa jadi tantangan yang cukup berat kalau kamu mau kabur aja dulu ke luar negeri. Cara orang berbicara, bersikap, atau bekerja bisa sangat berbeda dengan di Indonesia. Kalau enggak siap, kamu bisa merasa terasing dan kesulitan membangun koneksi sosial.
Aturan kerja juga sering jadi kejutan. Di beberapa negara, budaya kerja lebih disiplin dan terstruktur. Ada yang menuntut ketepatan waktu, komunikasi yang jelas, atau sistem kerja yang lebih individual. Kalau terbiasa dengan gaya kerja yang lebih santai, perubahan ini bisa bikin stres.
Sistem sosial pun berbeda. Di Indonesia, ada budaya gotong royong dan kehangatan dalam pergaulan. Di luar negeri, banyak orang lebih mandiri dan menjaga batasan pribadi. Enggak semua orang terbuka untuk ngobrol santai atau bergaul dengan rekan kerja di luar kantor. Ini bisa bikin rasa kesepian muncul, terutama di awal masa tinggal.
Kesulitan adaptasi ini bisa berdampak pada keuangan. Kalau belum terbiasa dengan sistem kerja, bisa sulit mendapat promosi atau mempertahankan pekerjaan. So, selain persiapan finansial, kesiapan mental juga sangat penting sebelum memutuskan untuk kabur aja dulu ke luar negeri.
Baca juga: Kenapa Gaji Kecil sementara Orang Lain Bisa Bergaji Besar?
Kabur aja dulu ke luar negeri bisa lebih menguntungkan secara finansial jika mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi dan bisa beradaptasi dengan baik. Namun, jika biaya hidup lebih tinggi dari pendapatan atau kesulitan mendapatkan pekerjaan stabil, ya, agak berat juga. Di sisi lain, jika rencana ini dilakukan untuk mencari peluang dan pengalaman, ya tak ada salahnya dicoba.
Yang penting, kamu harus punya perencanaan matang kalau mau ikut tren kabur aja dulu ini, dan melakukan riset mendalam agar tak gegabah dalam mengambil keputusan.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Kenapa Gaji Kecil sementara Orang Lain Bisa Bergaji Besar?
Kenapa gaji kecil sering menjadi pertanyaan penting? Gaji yang diterima oleh pekerja bisa berbeda-beda, bahkan untuk posisi yang sama dalam satu perusahaan. Misalnya, dua manajer di satu perusahaan yang sama bisa jadi memiliki penghasilan yang enggak sama. Hal ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pengalaman kerja, pendidikan, dan kinerjanya.
Ketika gaji yang diterima cukup besar, biasanya ya enggak banyak pertanyaan yang muncul. Namun, ketika menyadari kenapa gaji kecil, banyak yang mulai bertanya-tanya apa penyebabnya.
Table of Contents
Faktor Penyebab Kenapa Gaji Kecil

Kenapa gaji kecil menjadi pertanyaan yang sering muncul di benak banyak orang saat membandingkan penghasilan mereka dengan orang lain? Ternyata ada sejumlah hal yang bisa memengaruhi besar kecil gaji yang kita terima sebagai karyawan.
1. Pendidikan Standar
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa pendidikan tinggi sering dikaitkan dengan peluang mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Meskipun terdapat contoh pengusaha sukses yang enggak menyelesaikan pendidikan tinggi, statistik umumnya menunjukkan tren yang berbeda.
Orang-orang dengan latar belakang pendidikan tinggi cenderung memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendidikan yang lebih rendah. Hal ini mungkin karena pendidikan tinggi memberikan akses ke pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus dan pengetahuan yang lebih dalam, yang sering kali dinilai dengan gaji yang lebih tinggi dan menjadi pertanyaan kenapa gaji kecil.
Baca juga: 5 Langkah Cara Mengatur Keuangan Rumah Tangga dengan Gaji 3 Juta
2. Usia Muda
Usia muda juga sering juga menjadi penyebab kenapa gaji kecil. Biasanya, orang yang berumur 25 tahun ke bawah mendapatkan gaji yang lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang lebih tua, seperti di atas usia 25 atau 30 tahun.
Wajar sih, karena pengalaman kerja yang bertambah seiring berjalannya waktu. Dengan bertambahnya tahun, pengetahuan dan keterampilan di suatu bidang kerja juga meningkat. Pada akhirnya, hal ini dapat meningkatkan nilai seorang pekerja di pasar kerja. Oleh karena itu, penghasilan cenderung meningkat seiring bertambahnya usia dan pengalaman.
3. Minim Pengalaman
Pengalaman kerja yang minim juga bisa berpengaruh pada tingkat gaji yang diterima dan menjadi penyebab kenapa gaji kecil. Semakin banyak dan lama pengalaman yang dimiliki, semakin tinggi pula nilai jual di pasar kerja.
Jadi, jika seseorang baru mulai bekerja di atas usia 25 tahun, gaji yang diterima mungkin tidak sebesar mereka yang telah memulai karier yang sama tiga tahun lebih awal. Pengalaman ini dianggap sebagai aset berharga yang menambah kemampuan dan pengetahuan, sehingga meningkatkan potensi penghasilan.
Nah, hal ini juga menjelaskan mengapa gaji bisa berbeda signifikan antara pekerja yang memiliki lebih banyak pengalaman dengan yang lebih baru memulai.
4. Jabatan Staf
Jabatan sebagai staf juga banyak dihubungkan dengan pertumbuhan gaji yang terbatas dan memengaruhi kenapa gaji kecil, meskipun memiliki usia di atas 30 tahun dan cukup banyak pengalaman kerja. Jika posisi di tempat kerja hanya terbatas pada peran staf, maka kemungkinan besar gaji tidak akan meningkat secara signifikan seiring waktu.
Hal ini bisa terjadi karena keterbatasan peluang promosi atau peningkatan yang lebih besar dalam peran tersebut. Meskipun memiliki pengalaman yang luas, tanpa adanya perubahan posisi atau peningkatan tanggung jawab, pertumbuhan gaji besar kemungkinan memang hanya akan “jalan di tempat”.

5. Perkembangan Sektor Usaha Lambat
Setiap sektor usaha memiliki skala gaji yang bervariasi, yang disesuaikan dengan berbagai aspek seperti beban kerja, waktu, tanggung jawab, dan pengaruh keputusan yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut.
Contohnya, industri minyak dan gas memiliki tanggung jawab dan beban kerja yang berbeda dibandingkan dengan sektor perbankan, meskipun dalam kedua bidang tersebut posisi yang diisi adalah staf dengan pengalaman kerja lima tahun.
Perbedaan ini mencerminkan variasi dalam tingkat kompensasi yang ditawarkan, yang kemudian terkait dengan tingkat kesulitan dan risiko yang terkait dengan masing-masing jenis pekerjaan. Ya, karena itu ada istilah “lahan kering” dan “lahan basah”.
6. Blue Collar
Pekerjaan lapangan sering kali melibatkan lebih banyak aktivitas fisik dibandingkan dengan tugas-tugas yang dikerjakan di dalam kantor. Hal ini mencerminkan perbedaan antara pekerja kerah putih atau yang sering disebut white collar, dan pekerja kerah biru atau blue collar.
Pekerjaan pekerja white collar lebih banyak melibatkan pemikiran dan pengambilan keputusan. Sementara tugas blue collar lebih berorientasi pada tenaga fisik. Biasanya, pekerja kerah putih mendapatkan gaji yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja kerah biru.
Perbedaan ini bukan hanya terkait dengan lokasi kerja, tetapi juga dengan jenis keterampilan yang dibutuhkan dan tingkat tanggung jawab yang diemban. Pekerja kerah putih cenderung berpeluang karier dengan pendapatan yang lebih tinggi karena peran mereka dalam perencanaan strategis dan pengambilan keputusan.
7. Status Kerja
Status kepegawaian memiliki pengaruh besar terhadap skala gaji, dan bisa jadi merupakan jawaban kenapa gaji kecil. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pegawai tetap, pegawai kontrak waktu tertentu (PKWT), dan pegawai dari kontraktor atau konsultan. Secara umum, pegawai kontrak pada level non-staf sering menerima gaji yang lebih kecil dibandingkan dengan pegawai tetap.
Namun, ketika melihat posisi staf ke atas, situasinya sering terbalik. Dalam hal ini, pekerja kontrak bisa jadi memiliki gaji yang lebih tinggi daripada pegawai tetap. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk kebutuhan untuk spesialisasi, tingkat keahlian yang dibutuhkan, dan durasi kontrak yang terbatas yang bisa jadi menuntut kompensasi lebih tinggi untuk menarik tenaga ahli yang memenuhi kualifikasi tertentu.

8. Rekam Jejak
Memiliki sikap yang kurang baik di tempat kerja bisa berdampak negatif pada peluang mendapatkan kenaikan gaji. Jika pernah melakukan kesalahan yang menyebabkan atasan tidak lagi menyukai atau memercayai, hal ini dapat menjadi penghalang dalam mendapatkan rekomendasi untuk kenaikan gaji.
Sikap atau perilaku yang tidak profesional sering kali dianggap sebagai indikasi kurangnya kesesuaian dengan nilai-nilai perusahaan. Hal ini akhirnya dapat memengaruhi keputusan atasan dalam menilai kelayakan karyawan untuk mendapatkan peningkatan gaji atau promosi.
Baca juga: Perencanaan Keuangan untuk Keluarga Baru: Bagaimana Mengatur Anggaran dengan Gaji Kecil
Demikianlah, kenapa gaji kecil bisa menjadi pengalaman yang beragam tergantung pada banyak faktor, termasuk pendidikan, usia, dan status kepegawaian. Memahami hal ini membantu dalam upaya merintis karier dan menetapkan harapan yang realistis terkait potensi penghasilan di masa depan.
Namun, penting juga untuk diingat bahwa besar kecil gaji, jika dikelola dengan baik, akan membawa manfaat yang baik pula untuk diri sendiri, memberikan fondasi yang kuat untuk stabilitas finansial jangka panjang.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
6 Situasi Love-Hate Relationship dengan Uang yang Sering Terjadi
Uang merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan modern yang memiliki peran kompleks dan sering kali ambigu dalam kehidupan kita sehari-hari. Fenomena ini menciptakan apa yang sering disebut sebagai love-hate relationship atau hubungan cinta-benci dengan uang. Fenomena ini bisa kita rasakan ketika kita mendapatkan emosi positif dan negatif yang intens terhadap uang secara bersamaan.
Di satu sisi, uang bisa menjadi sumber kebahagiaan, keamanan, dan kebebasan, memungkinkan kita untuk memenuhi kebutuhan, mewujudkan impian, dan menikmati kehidupan. Di sisi lain, uang juga bisa menjadi sumber stres, kecemasan, dan konflik, baik internal maupun dalam hubungan dengan orang lain.
Table of Contents
Pengaruh Love-Hate Relationship dengan Uang

Love-hate relationship ini bukan sekadar fenomena psikologis yang semata. Bahkan, hal ini bisa memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kesehatan finansial kita.
Cara kita merasakan dan berinteraksi dengan uang dapat memengaruhi keputusan finansial yang kita buat, dari pengelolaan pengeluaran sehari-hari hingga strategi investasi jangka panjang. Misalnya, ada di antara kamu yang merasa bahagia banget ketika belanja, di saat yang sama mungkin kamu juga sulit menabung untuk tujuan finansial jangka panjang. Sementara itu, ada orang yang terlalu fokus berhemat, hingga enggak punya kesempatan untuk menikmati hidup.
Memahami dinamika hubungan kita dengan uang adalah langkah pertama untuk mengelolanya dengan lebih bijak. Dengan menyadari emosi dan pola pikir yang mendasari perilaku finansial kita, kita bisa mengambil langkah-langkah untuk menyeimbangkan antara mengejar kebahagiaan jangka pendek dan keamanan jangka panjang.
Pada akhirnya nanti, dengan kebijakan pengelolaan keuangan yan baik, kita pun mampu membuat keputusan finansial yang lebih sehat, mengurangi stres yang berkaitan dengan uang, dan meningkatkan kualitas hidup kita secara keseluruhan.
6 Love-Hate Relationship dengan Uang yang Sering Terjadi
So, setidaknya ada enam situasi love-hate relationship dengan uang yang umum terjadi. Menariknya, kita sering kali enggak menyadarinya. Seperti apa saja?

1. Happy saat Belanja, Menyesal Setelahnya
Bagi banyak orang, berbelanja merupakan aktivitas yang lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan. Banyak yang bilang, belanja itu bikin bahagia, bahkan terapi.
Konon, saat kita membeli sesuatu yang sangat diinginkan, ada ledakan endorfin—hormon kebahagiaan—yang membuat kita feel better. Mood menjadi lebih baik, sehingga pembelian impulsif semakin menjadi.
Namun, enggak jarang kesenangan belanja ini segera digantikan oleh perasaan bersalah atau menyesal setelah belanja. Apalagi ketika kita mengevaluasi pembelian dan dampaknya terhadap keuangan, kita jadi sadar bahwa pengeluaran tersebut sebenarnya enggak perlu atau berlebihan. Situasi ini menjadi semakin rumit ketika melibatkan aktivitas utang untuk belanja. Love-hate relationship-nya semakin menjadi deh.
2. Merasa Aman saat Menabung, sekaligus Merasa Tak Bebas Menikmati Hidup
Menabung itu adalah salah satu aktivitas keuangan yang penting, karena terkait dengan keamanan dan kesehatan keuangan kita sendiri. Punya tabungan yang cukup artinya kita siap menghadapi berbagai situasi, baik saat ini, masa mendatang, bahkan ketika ada ketidakpastian.
Biasanya, ketika melihat saldo rekening bertambah, kita juga merasa semakin aman. Perasaan ini diperkuat oleh prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang baik yang sering diajarkan kepada kita: pentingnya memiliki dana darurat, pentingnya persiapan untuk masa pensiun, dan kebutuhan untuk menjadi bebas finansial.
Namun, untuk bisa menabung, kadang kita memang perlu “mengorbankan” beberapa hal. Misalnya, mengurangi nongkrong dengan teman-teman, mengurangi belanja, mengurangi self-reward, dan sebagainya.
Karena banyak membatasi diri, akhirnya kita pun merasa terkekang oleh “aturan” yang kita buat sendiri. Banyak hal yang enggak bisa kita lakukan. Of course, hal ini akan berdampak pada kesehatan mental kita.
3. Senang Punya Penghasilan Besar, tetapi Tekanan Meningkat
Siapa sih yang enggak pengin punya gaji besar? Rasanya pasti puas, dan yang pasti merasa energi yang dikeluarkan jadi tak sia-sia. Betul?
Gaji besar sering dianggap sebagai pengakuan atas kerja keras dan pencapaian. Namun enggak cuma berhenti di situ. Gaji besar juga (akhirnya) membuka peluang untuk dapat meningkatkan gaya hidup, investasi, dan pengalaman yang mungkin sebelumnya enggak terjangkau.
Penghasilan yang lebih tinggi juga memberikan rasa aman yang lebih besar. Kita bisa jadi menabung lebih banyak, menekan peluang berutang, dan bisa memenuhi beragam kebutuhan dengan lebih baik.
Tapi gaji besar juga umumnya datang dengan pressure pekerjaan yang lebih tinggi. Tanggung jawabnya lebih besar, bahkan kadang menuntut lebih banyak energi dan waktu. Kadang, semakin tinggi jabatan, semakin besar gaji, waktu untuk kebersamaan dengan orang-orang tercinta juga semakin berkurang.
4. Senang Bisa Berinvestasi, tetapi sekaligus Takut Rugi
Semakin banyak kita belajar keuangan, semakin kenal dengan beragam produk yang bisa dimanfaatkan, mendorong kita untuk bisa berinvestasi lebih banyak lagi.
Bagi banyak orang, berinvestasi melambangkan peralihan dari sekadar menyimpan uang menjadi aktif mengembangkannya. Sebuah proses yang “berisiko”, bukan?
Apalagi semua orang juga tahu, bahwa kondisi pasar bisa sangat berfluktuasi dan tidak dapat diprediksi. Bahkan investasi yang paling direncanakan sekalipun bisa berakhir dengan kerugian, karena berbagai sebab. Ditambah lagi, enggak semua penyebab itu bisa kita kontrol atau kelola risikonya.
5. Antusias saat Mengajukan Pinjaman Uang, tetapi Bingung ketika Harus Mengembalikan
Hingga muncullah fenomena yang berutang justru lebih galak daripada yang menagih utang.
Mengambil utang memang enggak dilarang. Untuk kondisi-kondisi tertentu, berutang bisa menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang mungkin enggak dapat kita capai dengan dana yang tersedia saat ini. Misalnya seperti membeli rumah, atau bahkan memulai bisnis.
Pada saat pengajuan pinjaman disetujui, kita pun merasa lega dan antusias. Rasanya, kita telah diberi kesempatan untuk bergerak maju dengan rencana atau keinginan kita, dan masa depan tampak lebih cerah karena kemungkinan-kemungkinan baru yang terbuka.
Namun, kegembiraan ini cepat berubah menjadi tekanan ketika tiba saatnya untuk memenuhi kewajiban pembayaran. Ketegangan dan kecemasan muncul saat kita dihadapkan dengan realitas cicilan bulanan yang harus dibayar setiap bulannya.
Beban ini menjadi lebih berat jika kondisi finansial kita mengalami perubahan yang enggak terduga, seperti kehilangan pekerjaan, pengurangan pendapatan, atau keadaan darurat finansial lainnya. Apa yang awalnya tampak sebagai langkah maju dalam mencapai tujuan bisa menjadi beban yang menekan. Enggak hanya pada keuangan kita tetapi juga pada kesejahteraan emosional dan mental.

6. Rasa Aman Punya Asuransi, Frustrasi dengan Premi dan Klaim
Asuransi merupakan instrumen keuangan yang dirancang untuk memberikan perlindungan. Baik itu asuransi kesehatan, kendaraan, properti, atau jenis asuransi lainnya.
Tujuan semua asuransi itu sama, yakni untuk mengurangi beban finansial yang dapat timbul akibat kejadian tak terduga. Kepemilikan atas polis asuransi menawarkan ketenangan pikiran, mengetahui bahwa dalam situasi darurat, kita enggak akan dibiarkan menghadapi kesulitan finansial sendirian.
Kepastian ini sangat penting, memberikan rasa aman yang memungkinkan kita untuk lebih bebas menikmati kehidupan sehari-hari tanpa khawatir akan risiko finansial dari kemungkinan bencana.
Namun, pengalaman memiliki asuransi juga enggak selalu bebas dari frustrasi. Salah satunya adalah besarnya premi yang harus dibayarkan secara berkala.
Premi asuransi, terutama untuk polis dengan cakupan luas atau jumlah pertanggungan tinggi, bisa menjadi beban finansial yang cukup signifikan. Bagi sebagian orang, rasanya kayak “buang-buang uang” saja, apalagi kalau ternyata enggak ada klaim.
Frustrasi ini juga sering muncul saat proses klaim, yang bisa terasa rumit dan melelahkan. Ada banyak persyaratan dokumen yang harus disiapkan, prosedur klaimnya sendiri juga membingungkan, sudah begitu, klaimnya ditolak.
Begitulah, dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui love-hate relationship dengan uang yang cukup rumit.
Dari situasi ketika kita merasa bahagia karena bisa membeli sesuatu yang diinginkan hingga perasaan stres karena tekanan finansial, love-hate relationship dengan uang adalah bagian alami dari kehidupan modern.
So, penting bagi kita untuk memahami dinamika ini agar dapat mengelola keuangan dengan lebih baik dan mencapai keseimbangan yang lebih sehat dalam hubungan kita dengan uang.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Punya Gaji 2 Digit Juga Kudu Punya Keterampilan Mengelola Keuangan yang Baik – Mengapa?
Punya gaji 2 digit? Duh, kebayang deh, bebasnya mau ngapain aja bisa.
Eits, tapi jangan salah loh. Mau punya gaji 2 digit, gaji 3 digit, gaji 1000 digit, kalau enggak tahu cara mengelola keuangan dengan baik, pada akhirnya ya bakalan boncos juga. Mubazir, kasihan deh uangnya enggak ada gunanya.
Punya gaji besar bukan berarti tinggal ongkang-ongkang saja menikmati gaji. Kudu dikelola dengan baik juga, supaya ada manfaatnya. Kalau enggak untuk diri sendiri, ya untuk sesama. Bener nggak sih?
Sudah banyak bukti tuh, ada yang kerja dan mendapat gaji besar, punya banyak barang mewah, tetapi ternyata enggak punya tabungan. Bukan mendoakan, tetapi kadang di hidup itu juga ada badai. Misalnya, ndilalah badainya terlalu besar, dan kita enggak siap, gimana? Punya gaji segede apa pun, enggak ada artinya kan?
Table of Contents
Mengapa Pengelolaan Keuangan Itu Penting, Juga untuk yang Punya Gaji 2 Digit?

Pada prinsipnya, pengelolaan keuangan adalah proses merencanakan, mengatur, mengarahkan, dan mengontrol aset finansial dalam kehidupan kita. Termasuk di dalamnya ada kegiatan seperti budgeting, mengatur prioritas, investasi, menabung, hingga aktivitas sosial, seperti membayar zakat misalnya.
Tujuan pengelolaan keuangan ini sama saja—baik untuk yang punya gaji besar ataupun yang UMR—untuk memastikan bahwa kita dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, sambil juga menabung untuk tujuan jangka panjang dan menghadapi keadaan darurat tanpa stres finansial yang enggak perlu.
Nah, konsep dasar ini harus dipahami dengan baik dulu, karena pengelolaan keuangan yang baik itu dapat memengaruhi hampir setiap aspek kehidupan kita. Dari membeli kebutuhan sehari-hari, membayar tagihan, menyisihkan dana untuk pendidikan atau pensiun, hingga berinvestasi untuk masa depan. Semua ini memerlukan perencanaan dan pengelolaan yang cermat agar dapat tercapai tanpa mengorbankan kestabilan finansial.
Kesalahan Pengelolaan Keuangan Mereka yang Punya Gaji 2 Digit

Betul, sering banget lihat sambat finansial di media-media sosial, seperti di akun fess atau perseorangan. Katanya, gaji besar, tapi kok susah nabung ya?
Nah, di kalangan orang berpendapatan tinggi, ada beberapa kesalahan pengelolaan keuangan yang umum dilakukan sehingga membuat mereka jadi enggak bisa stabil secara finansial (meskipun gajinya besar). Di antaranya:
- Terjadi inflasi gaya hidup. Yes, istilah ini merujuk pada meningkatnya gaya hidup atau lifestyle ketika gaji naik. Akibatnya, muncul pengeluaran tambahan yang mengikis pendapatan, tanpa meningkatkan tabungan atau investasi.
- Kurang diversifikasi. Berinvestasi dalam satu aset atau sektor saja, yang meningkatkan risiko finansial jika pasar aset atau sektor tersebut turun.
- Enggak punya asuransi atau dana darurat, karena merasa cukup nyaman dengan pendapatan rutin yang tinggi. Akhirnya begitu ada yang di luar rencana dan biayanya besar, jadi bingung kan?
- Pengelolaan utang yang buruk. Ada banyak kasus, ketika orang bergaji tinggi ternyata punya utang konsumtif yang tinggi juga. Mirisnya, mereka justru enggak punya rencana keuangan yang solid untuk mengembalikan pinjamannya.
So, pengelolaan keuangan yang baik adalah kunci untuk mencapai dan memelihara kestabilan finansial. Bukan soal nominal banyak dan sedikit yang didapatkan, tetapi justru pada pengeluarannya.
Keterampilan Pengelolaan Keuangan yang Wajib Dimiliki

Mengelola keuangan pribadi bagi yang punya gaji 2 digit akan membutuhkan keterampilan dan pengetahuan yang cukup untuk membuat keputusan yang bijaksana. Berikut adalah beberapa keterampilan utama yang perlu dimiliki oleh kamu yang bergaji besar, agar bisa mengelola keuangan dengan baik.
1. Budgeting: Cara Membuat Anggaran yang Realistis
Mulailah dengan mendokumentasikan semua sumber pendapatan dan mencatat semua pengeluaran untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang situasi keuangan kamu.
Bedakan antara kebutuhan dan keinginan. Alokasikan dana terlebih dahulu untuk kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan. Tetapkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang, dan buat anggaran yang membantu kamu mencapai tujuan tersebut.
Sesuaikan anggaran secara berkala agar dapat beradaptasi dengan cepat jika terjadi perubahan dalam pendapatan atau pengeluaran.
2. Investasi: Memilih Investasi yang Sesuai Tujuan
Untuk bisa memulai investasi, kamu perlu membuat rencana keuangan dulu. Tentukan judul, jangka waktu, dan targetnya. Meskipun gajimu besar, tiga hal ini—judul, jangka waktu, dan target investasi—tetap perlu kamu miliki ya.
Dengan adanya judul, jangka waktu, dan target, kamu akan bisa melakukan investasi dengan lebih terarah. Hingga nanti akhirnya, kamu enggak gampang menyabotase keuanganmu sendiri demi hal-hal lain yang kurang penting.
Setelah menentukan judul, jangka waktu, dan target, selanjutnya kamu bisa memilih instrumennya. Sesuaikan karakter instrumen dengan rencana investasi yang sudah kamu buat. Dengan demikian, diharapkan, investasimu dapat berkembang secara optimal.
3. Hemat dan Efisien: Mengurangi Pengeluaran
Periksa pengeluaran bulanan dan identifikasi area di mana kamu bisa berhemat. Meskipun gaji besar, tak ada salahnya jika kamu menerapkan frugal living. Justru, dengan konsep ini, bisa dipastikan, tabungan dan investasimu akan berkembang dengan lebih baik.
4. Perencanaan Pajak: Jadi Warga Negara yang Baik
Bayar semua pajak yang diwajibkan ya. Simpan dokumen dan bukti terkait pajak dengan rapi untuk memudahkan pelaporan dan audit. Update segala peraturan yang berlaku, agar memudahkanmu dalam proses pembayarannya.
5. Persiapan untuk Masa Depan: Asuransi dan Dana Pensiun
Asuransi itu penting dimiliki oleh siapa saja, baik yang bergaji UMR maupun yang punya gaji 2 digit. Apalagi kalau kamu merupakan tulang punggung keluarga. Pastikan semua orang yang hidupnya kamu tanggung memiliki asuransi kesehatan. Paling basic adalah BPJS Kesehatan. Kalau perlu, boleh dilengkapi dengan asuransi kesehatan swasta.
Jangan lupa untuk melindungi dirimu sendiri dengan asuransi jiwa. Agar jika terjadi apa-apa, orang-orang terkasih yang hidupnya bergantung padamu bisa tetap bertahan hidup.
Rencanakan juga dana pensiun kamu. Jangan sampai lupa untuk menyisihkan kontribusi ke dana atau program pensiun, baik yang diberikan oleh kantor ataupun yang kamu bangun secara mandiri. Pastikan masa pensiunmu nanti juga senyaman sekarang, saat kamu masih punya gaji 2 digit.
Nah, jadi meskipun punya gaji 2 digit, ternyata PR-nya juga banyak kan?
Menguasai keterampilan ini membutuhkan waktu, kesabaran, dan praktik. Namun, dengan komitmen untuk belajar dan menerapkan prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan, kamu pasti dapat membangun dasar yang kuat untuk kesejahteraan finansialmu sendiri dan keluarga, bahkan bisa menjamin masa pensiunmu tetap bisa dijalani seperti sekarang saat masih bergaji besar.
Nah, gimana? Kalau mau, kamu bisa mengundang QM Financial team untuk mengadakan financial training di kantormu, untuk memastikan semua orang punya skill pengelolaan keuangan yang baik, dari yang gajinya sudah besar maupun yang masih entry level. Kamu bisa langsung menghubungi ini ya!
Ini 3 Masalah Keuangan yang Dihadapi oleh HR dari Karyawannya
Banyak yang mengira, bahwa masalah keuangan muncul sebagai akibat dari penghasilan sebagai karyawan yang terlalu kecil. Lalu, solusinya, karyawan pun menuntut pada perusahaan melalui divisi HR, atau Human Resources, untuk menaikkan gaji.
Nah, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah dengan begitu, masalah keuangan lantas bisa hilang atau terselesaikan? Ternyata, enggak juga. Faktanya, gaji naik eh … ternyata lifestyle juga naik. Gaji besar pun juga dirasa enggak cukup, karena seiring waktu, kebutuhan juga lebih banyak. Bahkan bisa jadi, gaji besar, utang juga besar. Ouch!
Mau tahu, masalah keuangan apa yang biasanya dihadapi oleh HR dari karyawan? Ternyata 3 hal ini loh yang paling sering.

3 Masalah Keuangan yang Paling Sering Dihadapi oleh Karyawan
1. Kelola gaji
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Virginia Tech Study di Amerika Serikat menyebutkan, bahwa 1 dari 5 karyawan terlilit masalah keuangan, yang lantas menghambat kinerja karyawan itu sendiri selama di kantor; tingkat ketidakhadiran tinggi dan produktivitas menurun. Sementara, QM Financial sendiri pernah melakukan survei, yang hasilnya menyebutkan bahwa 51% karyawan merasa gajinya tidak cukup.
Kedua hasil survei di atas mengungkapkan satu fakta besar: tingkat pengelolaan gaji karyawan masih kurang.
Sebagian besar perusahaan sudah memberikan gaji yang sesuai dengan aturan, yakni sama dengan atau di atas UMR. Tentu saja, banyak faktor lain yang juga memengaruhi besaran gaji karyawan. Tetapi, pada dasarnya, UMR ditentukan sudah melalui prosedur yang panjang, dengan beracuan pada besaran kebutuhan hidup minimal seorang lajang di domisili yang sama dengan kantornya. Jadi, seharusnya besaran gaji akan cukup jika digunakan dengan bijak.
So, besar kemungkinan akar masalahnya memang pada skill untuk mengelola gaji dengan baik. Tanpa pengelolaan keuangan yang benar, gaji seberapa besarnya pun pasti akan enggak cukup. Karyawan tidak dapat mengatur prioritas, sehingga tak pernah ada rencana keuangan. Kalau sudah begini, berbagai kebutuhan hidup bisa terhambat untuk dipenuhi.

2. Utang
Utang juga merupakan salah satu masalah keuangan yang kerap dihadapi oleh HR dari karyawan.
Salah satu contohnya adalah karyawan terlilit utang pinjaman online, alias pinjol. Faktanya, karyawan memang sasaran empuk penipu-penipu utang pinjol. Tak sedikit kasus lilitan pinjaman online, dari yang hanya Rp1 juta menjadi puluhan juta yang muncul dengan korban para karyawan. Dan, salah satu yang sering dibuat repot oleh karyawan karena utang pinjol adalah bagian HR kantor. Terutama jika pinjol yang bersangkutan adalah pinjol ilegal. Teman-teman sekantor ikut menjadi korban teror. Belum lagi banyaknya penawaran jenis utang lainnya, seperti paylater, kartu kredit, KTA, dan berbagai jenis utang lainnya.
Posisi sebagai karyawan sebenarnya menguntungkan, jika dilihat dari sudut pandang yang lain. Penghasilan yang teratur membuat skema pengembalian utang dengan cicilan seharusnya bisa dilakukan dengan baik. Memang utang sekali waktu bisa menjadi solusi, terutama untuk tujuan produktif. Namun, bahkan masih banyak yang belum paham beda utang yang perlu dan tidak perlu. Tanpa pertimbangan matang dan skema pengembalian yang sesuai, utang bisa jadi masalah keuangan yang cukup besar di kemudian hari.

3. Pensiun
Masalah keuangan lain yang juga sering harus dihadapi oleh HR dari karyawan adalah soal pensiun.
Masalah pensiun ini memang seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing karyawan. Tetapi, perusahaan yang baik juga akan ikut mempersiapkan pensiun bagi karyawannya. Hal ini sesuai dengan UU No. 13 Taun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa perusahaan punya kewajiban untuk membayarkan imbalan pascakerja, yang termasuk di dalamnya adalah dana pensiun. Memang sudah ada Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun, dengan alokasi dana yang dibagi antara karyawan dan perusahaan, tetapi apakah memang cukup? Mengingat angka harapan hidup masyarakat Indonesia juga naik di tahun 2022 ini, dari 73.4 menjadi 73.5.
Tanpa menyiapkan dana pensiun yang memadai, bisa jadi nantinya cash flow perusahaan terganggu karena mendadak harus membayar dana pesangon pensiun untuk karyawannya. Apalagi jika ternyata, si karyawan juga tak siap dana pensiun secara mandiri.
Dikutip dari Detik Finance, dalam survei yang dilakukan oleh HSBC global bertajuk Future of Retirement, yang dilakukan terhadap 17.405 orang di 16 negara dengan 1.050 di antaranya responden dari Indonesia, menunjukkan fakta yang menarik. Tiga dari 4 responden dalam survei ini mengaku bahwa mereka mengharapkan bantuan dari orang lain—dalam hal ini, anak-anak mereka—untuk dapat memenuhi kebutuhan di masa pensiun. Sementara, sebanyak 2 dari 3 responden usia kerja bertekad akan terus bekerja setelah masa pensiun tiba, dengan 54% di antaranya ingin berwirausaha dan 25%-nya ingin kembali mencari pekerjaan.
Padahal seharusnya, masa pensiun adalah masa-masa karyawan menikmati hasil kerja kerasnya selama puluhan tahun bekerja. Betul?
Kesimpulan
Kalau dilihat per masalahnya, kunci permasalahan yang umum terjadi adalah pada mindset karyawan yang masih keliru dalam pemahaman pengelolaan dan perencanaan keuangannya.
Bahwa bukan masalah besar kecilnya gaji yang jadi akar masalah keuangan yang dihadapi oleh karyawan, melainkan bahwa gaji yang tidak dikelola dengan baik maka tetap saja kebutuhan akan sulit dipenuhi. Alih-alih memanfaatkannya untuk hal-hal esensial, gaji malah dihabiskan untuk hal-hal yang kurang penting. Bahkan sering kali, karyawan malah enggak tahu ke mana saja gajinya pergi.
Tanpa pengelolaan dan perencanaan keuangan yang baik, tujuan keuangan—baik jangka pendek, menengah, hingga jangka panjang—akan sulit untuk dicapai.
Apakah kantor atau komunitasmu mengalami masalah keuangan yang sama? Ataukah, punya kebutuhan training finansial yang lain? Sila kontak WA 0811 1500 688 untuk mendiskusikan kebutuhan training finansialmu. Semua modul dibuat SIMPEL, PRAKTIS, dan tentu saja FUN!
3 Langkah Mengatur Keuangan dan Memperbaiki Kondisi yang Sudah Tak Sehat bagi Karyawan
Sebagai karyawan, banyak di antara kita yang masih terjebak dalam kondisi paycheck to paycheck, alias hidup dari gaji ke gaji. Baru terima gaji, banyak uang, lalu habis. Tanggal tua, merana, menghitung hari kapan gajian lagi. Kondisi ini jamak banget dijumpai, padahal sebenarnya bisa diatasi dengan satu hal saja: mengatur keuangan dengan lebih baik.
Yang namanya gaji, memang relatif. Kadang gaji kecil, ya cukup-cukup saja dipakai buat hidup. Gaji besar kadang terjadi sebaliknya. Kok bisa gitu? Banyak sebab sih, karena kondisi orang juga berbeda satu dengan yang lain.
Ada yang memang tanggungannya banyak. Ada yang memang belum memiliki keterampilan yang cukup untuk mengatur uang, dan sebagainya.
Padahal, keuangan yang sehat adalah pangkal hidup sejahtera. Kita kan tak bisa memungkiri, bahwa hidup itu butuh biaya. Karena itu, sudah pasti harus siap dengan biaya yang sepadan juga. Baik yang punya tanggungan banyak, ataupun yang memang belum punya keterampilan, semua bisa diatasi dengan satu cara: belajar mengatur keuangan.
Memang personal finance is very personal. Tak ada rumus yang sama untuk memperbaiki setiap masalah keuangan yang terjadi, karena semua tergantung kondisi masing-masing. Tetapi, untuk memperbaiki dan mengatur keuangan yang sudah telanjur tak sehat, kamu bisa mulai dari 3 langkah sederhana ini.

Memperbaiki Kondisi dan Mengatur Keuangan yang Sudah Tak Sehat
1. Perkecil rasio utang
Biasanya, utang memang jadi biang kerok tidak sehatnya keuangan kita. Rerata sih karena rasionya besar, lebih dari 30%.
Apakah ini yang juga terjadi padamu? Ayo, coba dihitung. Ada berapa cicilan yang harus kamu bayar setiap bulannya? Coba dibuat daftar yang terdiri atas besarnya utang total, besarnya bunga, berapa cicilannya, berapa lama lagi lunasnya, dan kepada siapa.
Memang harus detail ya, agar kamu bisa mendapatkan gambaran betapa tidak sehatnya kondisi keuangan kamu, sehingga kamu bisa membuat rencana untuk memperbaiki dan mengatur keuangan kamu.
Setelah daftarnya selesai, coba lihat, berapa total cicilannya? Apakah melebihi 30% dari penghasilan rutinmu? Jika iya, bisa jadi memang ini yang jadi ‘penyakit’-nya.
Segera cari solusi untuk bisa mengurangi rasio utang, hingga di bawah 30% ya. Butuh tekad dan niat yang besar, juga kerja keras untuk melakukannya.

2. Catat dan pantau cash flow
Salah satu ciri keuangan sehat adalah cash flow yang positif.
Cash flow adalah kelancaran antara uang masuk dan uang keluar. Jika pengeluaran lebih besar daripada pemasukan, maka itu berarti cash flow kamu negatif. Sedangkan, jika pemasukan lebih besar daripada pengeluaran, maka ini artinya cash flow positif, dan inilah yang disebut dengan kondisi keuangan yang sehat.
Untuk bisa menentukan apakah positif atau negatif, maka kamu perlu membuat catatan pengeluaran dan pemasukan dalam satu bulan. Nanti akan terlihat bagaimana kondisinya, apakah pengeluaran lebih besar daripada pemasukan?
Jika pengeluaran sama dengan atau memang lebih besar daripada pemasukan, maka kamu perlu untuk segera mengatur keuangan kamu. Cari bagian mana dalam pengeluaran kamu yang memiliki porsi besar. Lalu cermati, apakah memang perlu sebesar itu? Bisakah dikurangi? Teliti juga bagian lainnya yang mungkin bisa membuatmu boncos berkepanjangan.

3. Buat tujuan keuangan dan disiplin
Bisa jadi, kondisi keuanganmu tak sehat disebabkan karena kamu tak punya tujuan keuangan. Buatmu, hidup ya gini-gini aja. Just go with the flow. Mengikuti ke mana angin berarah. Tsah.
Yah, enggak salah sih. Kadang memang ada tipe orang santuy seperti ini. Kita toh enggak boleh menghakimi, ya kan?
Namun, tanpa tujuan memang hanya membuatmu di situ-situ saja. Ibarat mau pergi, pastinya kita akan menentukan tujuan. Baru kemudian mencari tahu, berapa lama perjalanannya, dan bisa naik apa agar sampai ke tujuan tersebut.
Begitu juga dengan hidup. Tujuan keuangan itu penting untuk kita miliki, agar kita bisa maju dan lebih baik. Setelah ada tujuan keuangan, baru deh kita tentukan jangka waktu dan instrumen yang cocok agar bisa mewujudkan tujuan tersebut.
So, enggak heran kan, kalau keuangan kamu nggak jelas, karena tujuan hidup aja enggak ada.
Jadi, mau ngapain ke depannya? Mau menikah? Mau sekolah lagi, lanjut ke jenjang berikutnya? Mau liburan ke luar negeri? Mau beli mobil baru? Mau beli rumah? Mau umrah? Kesemua inilah yang disebut tujuan keuangan. Tentukan dulu, baru kemudian tanyakan, kapan mau mewujudkannya?
Dengan adanya tujuan, hidup kamu akan lebih fokus dan tertarget. Kamu juga termotivasi untuk mengatur keuangan lebih baik, dan akhirnya bisa menyehatkan kondisi keuanganmu.
Yuk, belajar mengatur keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
1 2 3 Prinsip Mengelola Keuangan untuk Kamu yang Produktif
Buat kamu yang sudah memiliki penghasilan sendiri—baik itu yang sudah bekerja di sebuah perusahaan, ataupun menjalankan usaha seperti bisnis atau sebagai seorang freelancer—maka sudah sewajarnyalah kamu memanfaatkan uang hasil keringat untuk berbagai keperluan. Namun, tentu saja rezeki harus dikelola dengan baik, bukan? Persoalan mengelola keuangan inilah yang biasanya menjadi PR tersendiri.
Pengelolaan keuangan yang kurang baik akan membuat keuangan siapa saja menjadi tidak sehat. Apalagi kalau membuat penghasilanmu menjadi habis begitu saja, tanpa bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang akan kamu butuhkan di masa depan. Semua terpakai untuk kebutuhan kekinian, yang kurang berfaedah. Jangankan masa depan, nanti ketika tanggal tua saja barangkali kita sudah bermasalah.
Karenanya, setiap orang yang sudah berpenghasilan wajib untuk punya keterampilan mengelola keuangan dengan baik. Pasalnya, pengelolaan keuangan yang baik ini tak akan memberikan efek baik di masa sekarang saja, tetapi hingga jauh ke depan nanti, baik untuk kamu yang punya gaji tinggi maupun gaji UMR.
Tak perlu pusing, sebagai awal sebenarnya kamu hanya perlu memahami 3 prinsip mengelola keuangan ini, yang bisa dilakukan olehmu yang produktif, baik yang bergaji besar maupun yang bergaji UMR saja.
Apa saja prinsipnya? Mari kita lihat.

3 Prinsip Mengelola Keuangan
1. Menghasilkan uang
Prinsip pertama tentu saja how we make money. Bagaimana kita bisa menghasilkan uang, untuk kemudian kita pakai memenuhi kebutuhan hidup di masa sekarang hingga masa mendatang.
Ketahuilah, bahwa pada dasarnya, cara menghasilkan uang itu tidak hanya bisa dilakukan dengan bekerja di kantor selama 9 to 5 saja. Ada banyak peluang yang bisa dimanfaatkan untuk kita bisa menghasilkan uang. Mengelola keuangan agar cukup dimanfaatkan sampai dengan waktunya gajian tiba itu tentu saja bagus, tapi menambah stream income juga akan membantumu mencapai tujuan finansial lebih cepat.
So, buat kamu yang saat ini sudah bekerja di suatu perusahaan—of course, kamu akan harus berusaha sebaik-baiknya dalam bekerja dan menunjukkan kinerja yang baik—tetapi ada bagusnya juga untuk mencoba melihat peluang di sekitar, yang bisa dimanfaatkan tanpa mengganggu jam kerja pekerjaan utama. Barangkali kamu punya waktu selow di afterhours? Atau, mungkin di weekend? Sisihkanlah beberapa jam, agar kamu bisa menambah stream income.
Pandemi membuat kita belajar, bukan? Bahwa, tak ada pekerjaan yang benar-benar “safe” dari krisis.

2. Pakai uang untuk menghasilkan uang
Artinya apa dong? Yes, berinvestasi.
Investasi itu banyak manfaatnya, antara lain:
Senjata melawan inflasi
Tanpa investasi, rasanya akan sulit bagi kita untuk bisa mewujudkan berbagai cita-cita itu. Taruh saja soal inflasi. Inflasi berjalan sebesar kurang lebih 3% saat artikel ini ditulis, sedangkan bunga deposito hanya sekitar 2% saja per tahun. Kalau cuma menabung saja, rasanya akan sulit bagi kita untuk melawan inflasi di masa-masa yang akan datang.
Menjadi sumber pendapatan kedua, ketiga, dan selanjutnya
Nah, ini balik ke poin pertama di atas, mengenai pentingnya menghasilkan uang dengan dua hingga tiga—kalau perlu—stream income. Ini juga merupakan salah satu usaha untuk meminimalkan risiko keuangan yang bisa terjadi kalau ada apa-apa dengan pekerjaan utama kita lho.
Lebih cepat mencapai tujuan finansial
Tujuan finansial—terutama dengan nominal besar, seperti dana rumah, dana pendidikan anak, atau dana pensiun—akan mustahil bisa diwujudkan kalau tidak dibantu dengan investasi. Bekerja dan menabung saja sungguh tidak cukup. Kenaikan gaji atas inflasi hanya sekian persen, sedangkan semua kebutuhan juga akan naik, pada akhirnya akibat dari inflasi.
So, mulailah berinvestasi demi masa depan. Mulailah dari mengenali berbagai produk investasi yang ada, mengenali profil risiko sendiri, dapat menghitung kebutuhan, dan akhirnya nanti bisa benar-benar mengelola investasi sendiri dengan baik.
Sulit? Enggak kok, tapi memang butuh langkah kecil untuk memulainya.

3. Live below your means
Prinsip ketiga dalam mengelola keuangan adalah hidup sesuai kemampuan. Meski terdengar sederhana, tetapi faktanya masih banyak yang kesulitan melakukannya.
Hidup sesuai kemampuan itu artinya pengeluaran harus setidaknya disamakan dengan penghasilan. Ini setidaknya, artinya minimal banget. Itu pun artinya kalau kita bisa mengelola keuangan dengan lebih baik lagi, pengeluaran itu seharusnya lebih kecil daripada penghasilan.
Terutama, yang banyak berperan besar di sini adalah soal utang.
Utang tidak dilarang, tetapi harus dikelola dengan baik. Ingat akan 3 syarat utang sehat, dan penuhi. Buat skema pengembalian secara realistis dengan berpedoman pada penghasilan rutinmu. Jangan pernah menganggap utang sebagai cara untuk memenuhi keinginan. Siapa pun pasti akan terjebak jika sampai salah mindset terhadap utang.
Nah, gimana? Simpel saja kan, sebenarnya, untuk mengelola keuangan itu?
Apakah kantor atau komunitasmu mengalami masalah keuangan yang sama? Ataukah, punya kebutuhan training finansial yang lain? Sila kontak WA 0811 1500 688 untuk mendiskusikan kebutuhan training finansialmu. Semua modul dibuat SIMPEL, PRAKTIS, dan tentu saja FUN!
Jangan lupa juga follow Instagram QM Financial untuk berbagai update kelas finansial online dan tip praktis lainnya.
Gaji Tidak Naik Juga Setelah Lama Bekerja, Mungkin 4 Hal Ini Penyebabnya
Seseorang bekerja pastilah dengan mengharapkan imbalan. Tapi, setelah sekian lama bekerja, gaji tidak naik juga. Padahal teman-teman seangkatan yang diterima kerja bareng sudah pada dipromosikan (yang pasti dibarengi dengan besaran gaji yang disesuaikan).
Ada apa ya?
Kalau peraturannya sih, gaji akan selalu disesuaikan setiap tahun lantaran adanya inflasi. Tapi, hmmm … bukankah seharusnya ada jenjang-jenjang tertentu yang disesuaikan juga, seiring lama waktu kita bekerja?
Ada yang sedang mengalami kebingungan seperti ini?
Memang ya, jadi karyawan itu adaaa aja permasalahannya. Mulai dari soal beban kerja hingga hubungan antar rekan. Apalagi masalah gaji, yang menyangkut hajat hidup sehari-hari. Duh, padahal ada cicilan KPR yang harus disetor setiap bulan, belum tagihan kartu kredit. Masih ada kebutuhan kuota dan pulsa HP, terus makan. Dan seterusnya. Biaya hidup ini setiap tahun selalu naik dan bertambah.
Masa gaji tidak naik juga sih, setelah sekian lama?
Apa ya penyebabnya? Mungkin ada salah satu dari beberapa alasan berikut ini.
4 Alasan mengapa gaji tidak naik juga setelah sekian lama bekerja
1. Termasuk karyawan toxic
Nah, yang paling baik memang mari kita introspeksi diri dulu deh, kenapa gaji tidak naik juga padahal kita sudah bekerja keras selama ini. Jangan-jangan kesalahan itu ada pada diri kita sendiri.
Jangan-jangan kita termasuk karyawan toxic?
Duh! Hayuk, coba-coba dicek ya. Apakah selama ini kita ngeselin? Mungkin menurut kita, tindakan kita selama ini sudah tepat. Tapi ingat, kita enggak kerja sendirian. Kita punya rekan kerja, atasan, dan organisasi lo. Apakah menurut mereka, ada tindakan kita yang merugikan?
2. Tidak ada prestasi signifikan
Hal kedua yang harus dicek mengapa gaji tidak naik juga setelah sekian lama adalah apakah kita sudah menunjukkan performa yang cukup baik? Apakah kita sudah memberikan hasil kinerja optimal, yang bermanfaat untuk seluruh organisasi?
Yes, introspeksi memang merupakan langkah pertama yang harus kita lakukan jika kita menghadapi masalah seperti ini, sebelum kemudian kita mencari-cari kesalahan orang lain.
Jika memang kita belum perform secara optimal, kinerja kita masih standar-standar aja, masih hanya melakukan apa yang dijelaskan dalam job desc, dan tidak mau mencoba melangkah keluar dari zona nyaman, ya sepertinya wajar saja sih kalau gaji tidak naik. Gaji yang naik karena alasan inflasi itu berarti sudah bagus untuk kita.
3. Soft skill kurang
Soft skill ini bisa sangat luas sih cakupannya. Tapi lagi-lagi ini merupakan bagian dari introspeksi diri. Bisa jadi masalah soft skill ini berkaitan dengan profesionalitas hingga kecerdasan mengelola emosi.
Misalnya saja, leadership. Hal ini memang tidak dipunyai oleh setiap orang, meski bisa dilatih. Perusahaan–melalui staf HR–biasanya memantau siapa saja yang punya sifat kepemimpinan yang lebih. Mereka-mereka yang dianggap mampu memimpin, punya kemampuan manajerial yang baik, kecerdasan emosi yang matang, dan mampu berkomunikasi dengan baik, pasti akan menjadi kandidat untuk dipromosikan.
Kalau dipromosikan, sudah pasti ada gaji dan tunjangan-tunjangan yang mengikuti.
So, kamu merasakan setelah sekian lama bekerja tidak ada kemajuan dalam jenjang karier? Well, mungkin kamu perlu melatih lagi soft skill kamu agar lebih baik lagi.
4. Perusahaan sedang bermasalah
Salah satu ciri perusahaan yang bermasalah adalah ketika mereka tidak bisa menaikkan benefit bagi karyawan–tapi ini juga nggak melulu berarti kalau gaji tidak naik itu pasti karena perusahaan bermasalah lo. Belum tentu juga.
So, ada baiknya kamu melihat-lihat situasi, apakah ada tanda-tanda perusahaan tempat kamu bekerja sedang mengalami masalah?
Jika iya, well, ada baiknya kamu bersabar dan menahan diri untuk menanyakan kenaikan gaji yang mungkin sudah layak kamu dapatkan. Pihak manajemen pasti sekarang sedang fokus untuk menangani masalah yang ada, yang menjadi prioritas mereka.
Bahkan, ada baiknya bagi kamu untuk juga ikut berpartisipasi memberikan pendapat atau ide agar masalahnya cepat terselesaikan.
Solusi
Jadi, sambil menunggu ada perbaikan–baik dari dalam diri kita sendiri maupun dari pihak perusahaan–ada baiknya kita benahi lagi saja apa yang ada dulu. Jangan-jangan perasaan gaji yang enggak pernah cukup ini disebabkan oleh kita sendiri yang kurang terampil mengelola cash flow?
Coba cek catatan keuangan yang sudah pernah kita buat? Apakah cash flow sudah sehat? Bagaimana dengan rasio utangmu? Apakah kamu masih bisa menabung/berinvestasi?
Lakukan financial checkup ini secara berkala–3 bulan, 6 bulan, atau 1 tahun, agar kamu bisa memastikan kondisi kesehatan keuanganmu. Kalau ada masalah dan kamu butuh pencerahan, segera cek jadwal kelas finansial online QM Financial. Cari kelas yang kamu butuhkan, dan cus, segera daftar sebelum ketinggalan.
Jadi, belajar finansial apa hari ini?
Bekerja di Perusahaan Kecil, Ini Dia 5 Keasyikannya
Hampir setiap orang biasanya selalu kepingin bekerja di perusahaan bonafid, besar, dan terkenal. Harapannya sih pastinya bisa berkembang dengan baik, banyak pengalaman, gaji besar, tunjangan lengkap, jenjang karier panjang, dan seribu alasan lain. Tapi, sebenarnya, bekerja di perusahaan kecil pun bisa sebaik itu lo.
Mau tahu beberapa keasyikan bekerja di perusahaan kecil?
5 Asyiknya bekerja di perusahaan kecil
1. Kesempatan berkembang besar
Menjadi bagian dalam tim kecil, ada kemungkinan setiap karyawan akan memiliki skill yang berbeda, bahkan multitalenta.
Misalnya saja, kita adalah desainer grafis yang bekerja di perusahaan kecil berbasis advertising agency, bisa jadi hanya kita sendirilah yang akan memegang posisi tersebut.
Dan, seiring waktu, kita juga dituntut untuk mempelajari keterampilan lain pula–yang bisa jadi malah membuat kita semakin ahli di bidang yang kita geluti. Misalnya lagi, untuk desainer grafis, mungkin mau enggak mau kita pun jadi harus belajar copywriting.
Hal seperti ini enggak mungkin jadi kerugian kan? Bahkan keuntungan, karena semisal kita harus mencari pekerjaan lain karena suatu sebab, CV kita bisa bertambah panjang dengan sendirinya. Pasti banyak deh yang mau menerima seorang desainer grafis yang gape juga copywriting.
2. Mengasah semangat entrepreneur
Bekerja di perusahaan kecil membuka kesempatan karyawan untuk lebih banyak berinteraksi langsung dengan pemilik perusahaan. Sehingga kita pun menjadi punya banyak waktu untuk belajar langsung darinya mengenai entrepreneurship. Mulai dari membangun bisnis hingga pola pikir yang ia punyai.
Sebuah pelajaran yang mungkin enggak akan bisa kita temukan di sembarang tempat, secara cuma-cuma dan dengan mudah saat bekerja di korporasi besar.
Siapa tahu kan, kita akhirnya punya nyali untuk membangun perusahaan sendiri?
Tapi, untuk tipe-tipe orang yang lebih suka pekerjaan dengan ritme yang teratur, tak terlalu nyaman dengan perubahan-perubahan baru, bekerja di perusahaan kecil mungkin akan terasa menyiksa. Tsah. Ya, tipe yang begini memang lebih cocok untuk bekerja di korporasi besar.
Karena, bekerja di perusahaan kecil menuntut kita untuk lebih adaptif, baik soal skill, job description, hingga peraturan perusahaan. Belum lagi soal rekan kerja yang kadang juga lebih “eksentrik” ketimbang mereka yang bekerja di korporasi besar.
3. Bisa jadi ikan besar lebih cepat
Mungkin akan butuh waktu bertahun-tahun bagi seorang manajemen trainee untuk menjadi seorang manajer beneran di perusahaan besar. Akan butuh waktu lama kalau kita memulai dengan menjadi desain grafis untuk menjadi creative director jika kita bekerja di perusahaan advertising besar.
Namun, kita bisa mencapai posisi tersebut lebih cepat ketika kita bekerja di perusahaan kecil, dengan cara menunjukkan kinerja yang baik–bahkan jika bisa sampai melampaui target–dan menjalin hubungan baik dengan pemilik perusahaan dan rekan kerja yang lain.
Kita akan lebih mudah menonjolkan diri di antara rekan yang lain ketimbang saat kita bekerja di korporasi besar.
4. Kepuasan kerja lebih terpenuhi
Masalah besaran gaji itu relatif. Gaji berapa pun bisa kita rasakan besar, jika kita bisa mengelolanya dengan baik, termasuk saat kita bekerja di perusahaan kecil.
Bekerja di perusahaan kecil, setiap kinerja yang baik maupun pencapaian prestasi akan lebih mudah terlihat, sehingga kepuasan kerja bisa jauh lebih tinggi. Berlaku juga sebaliknya sih. Ketika kita menunjukkan kinerja yang kurang bagus, maka tim juga akan sangat mudah mendeteksinya.
5. Lebih bebas berekspresi
Aturan yang ditetapkan oleh perusahaan kecil biasanya juga enggak (belum) seketat korporasi besar. Soal baju kerja, misalnya. Karyawan akan lebih dibebaskan dalam hal berpakaian dan mengenakan makeup, sesuai gaya masing-masing.
Selain itu, kita juga punya banyak kesempatan untuk dilibatkan dalam proyek-proyek baru yang membuat skill bertambah.
So, memang tinggal gimana kita aja sih, mau besar di kolam kecil ataukah jadi ikan kecil di kolam besar. Yang pasti, kalau mau punya gaji besar, atau jaminan jenjang karier, itu enggak hanya dengan bekerja di korporasi besar kok. Dengan bekerja di perusahaan kecil pun bisa.
Bekali diri juga secara lengkap terutama soal mengatur gaji. Karena, sekali lagi, gaji besar atau gaji kecil itu semua tergantung pada mindset kita. Kita juga bisa mengusulkan pada pemilik perusahaan untuk mengadakan training keuangan demi meningkatkan keterampilan mengelola keuangan karyawan.
#QMTraining dari QM Financial juga sangat affordable untuk perusahaan-perusahaan kecil, karena materinya bisa disesuaikan dengan kebutuhan karyawan. Hubungi kami melalui WhatsApp ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru.
Sekalian saja, ikutan #CelebrateYou dalam rangka ulang tahun QM Financial yang ke-16! Ceritakan pencapaian finansialmu yang paling berarti bagi kamu!
Rayakan pencapaianmu yang paling berarti dengan QM Financial. Karena siapa tahu cerita kamu bisa jadi salah satu dari 16 cerita terpilih. Bagi 16 cerita terpilih, kalian berhak mendapatkan special gift dari QM Financial senilai 1,6 juta untuk setiap cerita terpilih!
Share ceritamu di , atau di kolom komentar post Instagram QM Financial di atas, ya! Atau, bisa juga DM langsung ke QM Financial. It’s time to #CelebrateYou!
Rekan Kerja Punya Gaji Lebih Besar Padahal Jabatan Sama – Protes atau Diam Saja?
Besar kecil gaji yang diterima bisa memengaruhi semangat kerja seseorang. Gaji lebih besar seharusnya bisa membuat seseorang menjadi lebih terpacu untuk bekerja lebih giat dan lebih produktif lagi. Gaji kecil, apalagi jika nggak sebanding dengan beban dan tanggung jawab, wah … hampir bisa dipastikan akan menurunkan semangat kerja karyawan.
Apalagi jika kemudian kita tahu, kalau ada rekan kerja–dengan posisi dan jabatan serta tanggung jawab yang sama–ternyata punya gaji lebih besar. Ouch
Pertanyaan yang pertama kali muncul pastilah: Kok bisa ya? Apa yang salah? Apa yang dia lebih punya dibanding kita? Apa kita kerjanya enggak bener? Apa dia disayang bos, sehingga punya gaji lebih besar?
Eits, tenang dulu. Calm down, dear. Untuk mengatasi fakta kurang menyenangkan dan kemudian mencari solusinya, kita mesti meredam emosi dulu. Singkirkan segala prasangka buruk, lalu coba lakukan beberapa langkah berikut.
Rekan Kerja Punya Gaji Lebih Besar, Apa yang Harus Dilakukan?
1. Cari fakta lebih banyak
Enggak lucu kalau kita sudah protes, tapi ternyata gaji lebih besar punya rekan kerja itu adalah gosip belaka. Jadi, ayo coba cari tahu info lebih banyak lagi. Kita bisa menanyakan kebenaran hal ini pada pihak HR. Meskipun ada semacam etika tak tertulis, bahwa besaran gaji itu sebaiknya enggak dibocorkan, tapi setidaknya kita bisa membujuk dengan berdasarkan gosip yang kita dengar.
Jika memang rekan kerja punya gaji lebih besar, lalu coba cari tahu, apa yang membuatnya berhak menerima gaji sebesar itu, sedangkan kita enggak? Saat mencari informasi mengenai hal ini, kita mesti selalu ingat, bahwa bicara dan diskusi dengan kepala dingin itu penting.
Jadi, singkirkan dulu semua emosi negatif yang mungkin muncul. Lebih baik menunda diskusi dan obrolan jika kita masih emosi tinggi, karena hasilnya enggak akan baik dan bisa jadi malah akan memperburuk keadaan.
2. Cari kelebihan diri
Setelah tahu apa yang “lebih” dari rekan kerja sehingga mereka punya gaji lebih besar–sedangkan kita tidak–lalu pertimbangkan langkah selanjutnya. Mau ngapain nih? Minta naik gaji? Hmmm, boleh saja.
Tapi, tentu saja, kita enggak bisa ujug-ujug saja gitu datang ke bos dan minta naik gaji, tanpa ada argumen mengapa kita pantas menerimanya. Datanglah untuk menegosiasi gaji agar setidaknya sama dengan rekan kerja yang lain dengan bekal data serta argumen yang meyakinkan.
Jangan permalukan diri sendiri, karena sudahlah ngotot, ternyata salah argumen. Duh. Makin jatuh deh kredibilitas kita di mata perusahaan, terutama atasan dan HR.
3. Bicarakan dengan atasan
Setelah punya data yang cukup, dan pede dengan kelebihan diri yang ada–yang juga menjadi kelebihan rekan kerja lain yang punya gaji lebih besar–maka sekaranglah saatnya meminta waktu bertemu dengan atasan.
Diskusi dengan atasan ini perlu dilakukan lebih dulu sebelum kemudian bernegosiasi gaji dengan HR, karena atasanlah yang seharusnya paling tahu beban, kapasitas, serta performa kerja kita, bukan? Selain mempertimbangkan mengenai kriteria dan komposisi gaji yang mungkin missed, ada pula peluang untuk membicarakan kesempatan bagi diri sendiri untuk lebih berkembang agar semakin “pantas” untuk naik gaji.
4. Tingkatkan performa
Meningkatkan performa kerja bisa menjadi salah satu cara untuk memberikan bukti nyata pada atasan dan pihak perusahaan pada umumnya, bahwa kita pun berhak atas gaji lebih besar.
Mengapa demikian? Karena gaji berbanding lurus dengan beban kerja, yang juga berbanding lurus dengan hasil kerja kita.
Jadi, dengan memberikan hasil kerja baik yang nyata, hal tersebut seharusnya sudah bisa menjadi catatan bagi atasan dan perusahaan akan kinerja kita sendiri, tanpa perlu kita menegosiasi gaji. Bahkan mungkin jika memang kinerja kita sudah optimal, tanpa kita minta pun, gaji akan naik dengan sendirinya.
5. Atur gaji sebaik-baiknya
Ataukah, kita merasa, bahwa rekan kerja punya gaji lebih besar karena kita enggak pernah bisa mengelola gaji dengan baik? Nominal yang diterima mungkin sama, tapi si rekan kerja rasanya selalu saja punya uang. Sedangkan, kita setiap kali menerima gaji di rekening, beberapa hari kemudian kok sudah kosong aja?
Nah, berarti kesalahan bukan terletak pada rekan kerja yang punya gaji lebih besar. Tetapi, kemungkinan ada yang salah dengan pengelolaan keuangan kita. Saat seseorang sudah punya keterampilan mengatur keuangan pribadinya dengan baik, maka akan besar kemungkinan ia tak akan terlalu banyak rewel mengenai gaji yang diterimanya.
Malahan, bisa jadi ia akan bisa mendapatkan penghasilan yang lain, selain dari gaji. Karena dengan pengelolaan dan tujuan finansial yang baik dan jelas, sebagai karyawan pun, kita bisa berinvestasi dan dapat cuan lo.
Makanya, ikut kelas-kelas finansial online dari QM Financial yuk! Dari kelas basic–yang berupa pelatihan dasar mengatur keuangan pribadi–hingga kelas intermediate dan advanced–sampai kenalan dengan berbagai produk investasi–bisa kamu dapatkan sekaligus. Cek jadwalnya di web Event QM Financial atau follow akun Instagram QM Financial biar update terus ya.
Jadi gimana? Masih mau mempersoalkan rekan kerja yang dapat gaji lebih besar? Ya boleh saja sih, tapi pastikan kita juga sudah terampil mengelola keuangan. Karena percuma saja gaji naik atau punya gaji besar, tapi kemampuan pengelolaan juga nol besar.