Kondisi Keuangan yang Lebih Horor daripada Pengabdi Setan 2
Sudah nonton film horor yang paling ditunggu-tunggu tahun ini? Ya, Pengabdi Setan 2 Communion, besutan sutradara Joko Anwar, yang merupakan sekuel dari Pengabdi Setan pertama yang rilis tahun 2017.
Gimana? Apakah kamu termasuk dari mereka yang selalu menutup muka sepanjang filmnya diputar? Yang kemudian saat keluar dari bioskop dan ditanya komentar soal film, menjawab enggak tahu karena memang beneran enggak nonton apa-apa saking ditutup terus mukanya?
Memang horor banget sih ya? Adrenalin jadi mengalir deras, dan begitu keluar dari bioskop, bakalan masih kebayang-bayang deh. Jadi takut … Takut ke toilet sendirian. Takut di lift sendirian. Takut jalan di selasar sendirian. Jangan-jangan … hiiiy!
Tapi, kamu tahu dan merasa enggak, bahwa kita tuh sebenarnya sering loh harus berhadapan dengan situasi sehoror Pengabdi Setan 2. Namun, mungkin karena harus berhadapan sendiri, ya takut sih, tapi mau enggak mau harus berani menghadapi. Bahkan, dalam konteks keuangan, banyak juga dari kita yang harus mengalami kejadian dan situasi horor, bahkan lebih horor daripada Pengabdi Setan.
Situasi macam apa tuh? Coba yuk, kita lihat beberapa hal berikut ini.
Situasi dan Kondisi Keuangan yang Lebih Horor daripada Pengabdi Setan 2
1. Nggak bisa bayar utang pinjol
Duh, ini horor sehoror-horornya, lebih horor banget daripada Pengabdi Setan 2. Apalagi kalau pinjol yang terlibat adalah pinjol ilegal.
Bayangkan, dari utang hanya Rp1 juta, diterima hanya Rp900 ribuan, janji pengembalian satu bulan kemudian ternyata lusa sudah ditagih. Dan, jumlah tagihannya? Tiba-tiba saja menjadi 5 kali lipat! Kalau minta kebijakan perpanjangan waktu, jangan harap diberi. Yang ada malah preman berkedok debt collector yang nongol. Enggak hanya meneror melalui telepon, WhatsApp atau pesan pribadi, preman-preman ini bahkan datang ke kantor. Teman-teman yang nomornya tersimpan di daftar kontak handphone juga ikut terteror.
Enggak hanya horor buat diri sendiri, tapi melebar ke mana-mana.
2. Hilang penghasilan
Sejak pandemi dimulai, kita belajar akan kenyataan bahwa tidak ada pekerjaan yang 100% aman. Sewaktu-waktu, meskipun perusahaan tempat kita bekerja sudah terlihat dikelola dengan baik, nyatanya bisa saja tiba-tiba gulung tikar.
Kondisi ketidakpastian ekonomi bahkan berlanjut hingga sekarang. Kita mengalami beberapa kali gelombang badai PHK, hingga yang terakhir ada fenomena startup bubble burst. Dalam sekejap, penghasilan bisa hilang.
Hilangnya penghasilan bisa jadi horor banget, lebih horor ketimbang Pengabdi Setan 2. Apalagi kalau kita enggak siap dengan dana darurat yang cukup, padahal tanggungan kita sekian banyak jiwa di rumah. Duh … Gimana ya bisa bertahan?
3. Kerja terus sampai tua
Kalau kita sekarang bekerja, itu memang sudah sewajarnya, karena usia masih muda, masih produktif. Kebutuhan hidup juga banyak, dengan apa lagi bisa dipenuhi kalau bukan dengan bekerja?
Namun, seiring waktu, fisik dan energi kita akan menurun. Hingga pada batas tertentu, kita pun seharusnya beristirahat. Tidak bekerja secara aktif lagi, dan beristirahat menikmati hasil kerja keras selama ini. Batas usia pensiun untuk ASN ditentukan ketika menginjak usia 58 tahun. Lalu, bagaimana dengan mereka yang bekerja mandiri? Atau, pengusaha? Pada saatnya ya teteup … harus beristirahat.
Ya, itu sih harapan semua orang. Faktanya, enggak banyak orang bisa pensiun dan beristirahat menikmati hari tua. Banyak yang harus kembali bekerja, demi memenuhi kebutuhan.
Sebenarnya definisi pensiun juga enggak melulu berhenti bekerja total. Kita sih boleh saja tetap bekerja, tetapi tujuan bekerja sudah bukan lagi untuk kejar setoran memenuhi kebutuhan. Seharusnya, jika masih bekerja saat sudah pensiun, tujuannya lebih pada kepuasan diri, soal eksistensi, dan berbagi. Sudah bukan berorientasi pada uang.
Tapi ya, apa daya? Uang pensiun ternyata enggak bisa dipakai untuk menutup kebutuhan. Jadi terpaksa bekerja lagi deh, padahal usia sudah senja. Duh, sudah enggak full energy tapi harus tetap bekerja? Ya, lebih horor dari Pengabdi Setan 2 banget pastinya.
4. Nggak bisa bayar biaya rumah sakit dan/atau pengobatan
Berobat merupakan salah satu alasan terbanyak yang dimiliki oleh orang yang kemudian berutang. Ini sebenaranya miris banget sih. Pasalnya, berobat enggak seharusnya menjadi masalah sehingga membuat stres. Penyakit sudah membuat daya tahan tubuh menurun, stres karena masalah keuangan akan membuatnya semakin memburuk.
Namun, hal ini juga banyak banget terjadi. Banyak orang terlilit utang karena tak dapat membayar biaya rumah sakit ataupun berobat. Atau, kondisi lain: berobat enggak sampai tuntas karena ketiadaan biaya. Pasien pun dibawa pulang, padahal belum sembuh.
Sedih banget nggak sih? Ini kondisi keuangan yang horor banget, lebih horor daripada Pengabdi Setan 2.
5. Nggak punya tabungan
Sudah bekerja belasan, bahkan puluhan tahun, tapi enggak punya aset? Boro-boro aset, tabungan saja enggak punya. Terus ke mana saja uang pergi, kok sampai enggak punya tabungan sama sekali? Entah.
Terus, gimana masa depan? Gimana nanti kalau ada apa-apa? Kalau misalnya kehilangan pekerjaan seperti di poin 3? Gimana jika tiba-tiba ada kondisi darurat yang butuh uang untuk menyelesaikannya? Berutang?
Duh, horor banget! Lebih horor ketimbang Pengabdi Setan 2!
So, situasi horor mana nih yang kamu alami? Atau, pernah punya pengalaman situasi horor keuangan lain, selain dari 5 situasi di atas, yang lebih horor daripada Pengabdi Setan 2?
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Klik poster ini untuk upgrade ilmu dasar financial planning kamu!
Ini 3 Masalah Keuangan yang Dihadapi oleh HR dari Karyawannya
Banyak yang mengira, bahwa masalah keuangan muncul sebagai akibat dari penghasilan sebagai karyawan yang terlalu kecil. Lalu, solusinya, karyawan pun menuntut pada perusahaan melalui divisi HR, atau Human Resources, untuk menaikkan gaji.
Nah, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah dengan begitu, masalah keuangan lantas bisa hilang atau terselesaikan? Ternyata, enggak juga. Faktanya, gaji naik eh … ternyata lifestyle juga naik. Gaji besar pun juga dirasa enggak cukup, karena seiring waktu, kebutuhan juga lebih banyak. Bahkan bisa jadi, gaji besar, utang juga besar. Ouch!
Mau tahu, masalah keuangan apa yang biasanya dihadapi oleh HR dari karyawan? Ternyata 3 hal ini loh yang paling sering.
3 Masalah Keuangan yang Paling Sering Dihadapi oleh Karyawan
1. Kelola gaji
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Virginia Tech Study di Amerika Serikat menyebutkan, bahwa 1 dari 5 karyawan terlilit masalah keuangan, yang lantas menghambat kinerja karyawan itu sendiri selama di kantor; tingkat ketidakhadiran tinggi dan produktivitas menurun. Sementara, QM Financial sendiri pernah melakukan survei, yang hasilnya menyebutkan bahwa 51% karyawan merasa gajinya tidak cukup.
Kedua hasil survei di atas mengungkapkan satu fakta besar: tingkat pengelolaan gaji karyawan masih kurang.
Sebagian besar perusahaan sudah memberikan gaji yang sesuai dengan aturan, yakni sama dengan atau di atas UMR. Tentu saja, banyak faktor lain yang juga memengaruhi besaran gaji karyawan. Tetapi, pada dasarnya, UMR ditentukan sudah melalui prosedur yang panjang, dengan beracuan pada besaran kebutuhan hidup minimal seorang lajang di domisili yang sama dengan kantornya. Jadi, seharusnya besaran gaji akan cukup jika digunakan dengan bijak.
So, besar kemungkinan akar masalahnya memang pada skill untuk mengelola gaji dengan baik. Tanpa pengelolaan keuangan yang benar, gaji seberapa besarnya pun pasti akan enggak cukup. Karyawan tidak dapat mengatur prioritas, sehingga tak pernah ada rencana keuangan. Kalau sudah begini, berbagai kebutuhan hidup bisa terhambat untuk dipenuhi.
2. Utang
Utang juga merupakan salah satu masalah keuangan yang kerap dihadapi oleh HR dari karyawan.
Salah satu contohnya adalah karyawan terlilit utang pinjaman online, alias pinjol. Faktanya, karyawan memang sasaran empuk penipu-penipu utang pinjol. Tak sedikit kasus lilitan pinjaman online, dari yang hanya Rp1 juta menjadi puluhan juta yang muncul dengan korban para karyawan. Dan, salah satu yang sering dibuat repot oleh karyawan karena utang pinjol adalah bagian HR kantor. Terutama jika pinjol yang bersangkutan adalah pinjol ilegal. Teman-teman sekantor ikut menjadi korban teror. Belum lagi banyaknya penawaran jenis utang lainnya, seperti paylater, kartu kredit, KTA, dan berbagai jenis utang lainnya.
Posisi sebagai karyawan sebenarnya menguntungkan, jika dilihat dari sudut pandang yang lain. Penghasilan yang teratur membuat skema pengembalian utang dengan cicilan seharusnya bisa dilakukan dengan baik. Memang utang sekali waktu bisa menjadi solusi, terutama untuk tujuan produktif. Namun, bahkan masih banyak yang belum paham beda utang yang perlu dan tidak perlu. Tanpa pertimbangan matang dan skema pengembalian yang sesuai, utang bisa jadi masalah keuangan yang cukup besar di kemudian hari.
3. Pensiun
Masalah keuangan lain yang juga sering harus dihadapi oleh HR dari karyawan adalah soal pensiun.
Masalah pensiun ini memang seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing karyawan. Tetapi, perusahaan yang baik juga akan ikut mempersiapkan pensiun bagi karyawannya. Hal ini sesuai dengan UU No. 13 Taun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa perusahaan punya kewajiban untuk membayarkan imbalan pascakerja, yang termasuk di dalamnya adalah dana pensiun. Memang sudah ada Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun, dengan alokasi dana yang dibagi antara karyawan dan perusahaan, tetapi apakah memang cukup? Mengingat angka harapan hidup masyarakat Indonesia juga naik di tahun 2022 ini, dari 73.4 menjadi 73.5.
Tanpa menyiapkan dana pensiun yang memadai, bisa jadi nantinya cash flow perusahaan terganggu karena mendadak harus membayar dana pesangon pensiun untuk karyawannya. Apalagi jika ternyata, si karyawan juga tak siap dana pensiun secara mandiri.
Dikutip dari Detik Finance, dalam survei yang dilakukan oleh HSBC global bertajuk Future of Retirement, yang dilakukan terhadap 17.405 orang di 16 negara dengan 1.050 di antaranya responden dari Indonesia, menunjukkan fakta yang menarik. Tiga dari 4 responden dalam survei ini mengaku bahwa mereka mengharapkan bantuan dari orang lain—dalam hal ini, anak-anak mereka—untuk dapat memenuhi kebutuhan di masa pensiun. Sementara, sebanyak 2 dari 3 responden usia kerja bertekad akan terus bekerja setelah masa pensiun tiba, dengan 54% di antaranya ingin berwirausaha dan 25%-nya ingin kembali mencari pekerjaan.
Padahal seharusnya, masa pensiun adalah masa-masa karyawan menikmati hasil kerja kerasnya selama puluhan tahun bekerja. Betul?
Kesimpulan
Kalau dilihat per masalahnya, kunci permasalahan yang umum terjadi adalah pada mindset karyawan yang masih keliru dalam pemahaman pengelolaan dan perencanaan keuangannya.
Bahwa bukan masalah besar kecilnya gaji yang jadi akar masalah keuangan yang dihadapi oleh karyawan, melainkan bahwa gaji yang tidak dikelola dengan baik maka tetap saja kebutuhan akan sulit dipenuhi. Alih-alih memanfaatkannya untuk hal-hal esensial, gaji malah dihabiskan untuk hal-hal yang kurang penting. Bahkan sering kali, karyawan malah enggak tahu ke mana saja gajinya pergi.
Tanpa pengelolaan dan perencanaan keuangan yang baik, tujuan keuangan—baik jangka pendek, menengah, hingga jangka panjang—akan sulit untuk dicapai.
Apakah kantor atau komunitasmu mengalami masalah keuangan yang sama? Ataukah, punya kebutuhan training finansial yang lain? Sila kontak WA 0811 1500 688 untuk mendiskusikan kebutuhan training finansialmu. Semua modul dibuat SIMPEL, PRAKTIS, dan tentu saja FUN!
3 Level Literasi Keuangan yang Harus Kamu Tahu
Kita harus mengakui, bahwa beberapa kasus investasi bodong dan juga kasus pinjol yang masih terus terjadi belakangan tak lepas dari masih rendahnya literasi keuangan masyarakat kita.
Namanya juga usaha, para oknum penyelenggara investasi bodong pastilah menawarkan berbagai iming-iming agar kita tertarik dan kemudian ikut bergabung dalam skemanya. Ada yang berjanji memberikan imbal hasil yang lebih tinggi daripada instrumen lain, ada juga yang menjanjikan keuntungan pasti dan teratur layaknya gaji, sampai ada juga yang mengklaim, bahwa investasinya akan memberi return yang sangat cepat.
Mendengar klaim-klaim ‘lebih tinggi’, ‘lebih pasti’, dan ‘lebih cepat’ membuat banyak orang jadi tergiur untuk menyetorkan dana. Padahal, ketiga hal tersebutlah yang tak akan pernah ada dalam sebuah skema investasi yang benar.
Pada akhirnya, para korban baru sadar ketika tak ada satu pun janji yang terealisasi. So, siapa yang harus disalahkan? Yah, enggak usah menyalahkan pihak lain. Lebih baik, fokus pada diri sendiri: sudahkah kita memiliki tingkat literasi keuangan yang baik, sehingga bisa memfilter hal-hal tak wajar itu?
Seharusnya sih bisa.
Apa Sih Literasi Keuangan Itu?
Pemerintah sendiri sih sudah memiliki berbagai aturan dan hukum yang sah untuk melindungi masyarakat dari upaya-upaya penipuan seperti ini. Tapi ya, sepertinya semua hukum tersebut akan percuma saja, kalau kita sendiri tak berusaha juga meningkatkan literasi keuangan kita.
Pasalnya, oknum yang bermaksud jahat itu biasanya juga kreatif. Mereka akan selalu bisa menemukan cara agar tujuannya tercapai. Dan, kitalah yang menjadi sasarannya. Bisa apa kita kalau literasi keuangan kita rendah?
Sebenarnya apa sih literasi keuangan itu?
Otoritas Jasa Keuangan, atau OJK, sendiri memberi definisi, bahwa literasi keuangan adalah pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan yang memengaruhi kualitas pengambilan dan pengelolaan keuangang demi meningkatkan kesejahteraan kita dalam hidup.
Ada juga definisi dari Organization for Economic Co-operation and Development, atau OECD, yang menjelaskan bahwa literasi keuangan adalah pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep risiko keuangan, sekaligus juga keterampilan untuk menerapkannya demi membuat keputusan finansial yang efektif dalam meningkatkan financial wellbeing.
Tingkat Literasi Keuangan yang Rendah Membuat Orang Lebih Mudah Terlibat Masalah
Sampai dengan tahun 2019, OJK mencatat bahwa tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia masih sangat rendah, yaitu sebesar 38% saja, dengan inklusi 76%. Ini artinya, dari 100 orang Indonesia, baru sebanyak 38 orang saja yang sudah memiliki pemahaman yang cukup baik soal finansial.
Meski terbilang rendah, tetapi sebenarnya rasio ini justru meningkat, karena di tahun 2016, tingkat literasi kita hanyalah sebesar 29.7%, dengan indeks inklusi keuangan sebesar 67.8%
Rendahnya rasio literasi ini menghasilkan begitu mudahnya orang tergiur iming-iming investasi yang tak masuk akal, berutang ke pinjol ilegal sampai tak terkendali, over-belanja, dan sebagainya, yang akhirnya menyebabkan mereka menjadi tak punya tabungan, tak punya rencana masa depan, sampai terlihat kesulitan keuangan yang besar sampai-sampai membahayakan kesehatannya.
Apakah hal tersebut yang kita inginkan? Pastinya sih enggak.
Segala macam iming-iming investasi bodong dan pinjol bisa kita tolak, jika kita punya bekal pengetahuan keuangan yang cukup.
3 Level Literasi Keuangan
Lead trainer QM Financial, Ligwina Hananto, menjelaskan bahwa ada 3 level literasi keuangan yang harus dilalui ketika orang mulai belajar mengelola finansialnya.
Awareness
Level ini merupakan level paling dasar, dan terjadi ketika orang mulai sadar akan kondisinya yang kurang baik secara finansial dan butuh untuk belajar lebih banyak. Niat untuk menjadi lebih baik secara finansial mulai timbul pada level ini; dari mulai enggak peduli kemudian berubah menjadi lebih care terhadap masa depan sendiri.
Biasanya orang akan mulai mencari-cari tahu apa saja yang bisa dipelajari untuk membuat kondisi keuangan lebih baik. Ia akan mulai mencari informasi mengenai berbagai sumber belajar. So, di sini ia akan mulai follow akun-akun yang suka berbagi tip keuangan dasar, biasanya sih dimulai dari yang gratis-gratis dulu.
Knowledge
Pada level ini, seseorang sudah mulai mengerti dan paham, bahwa ada banyak hal yang harus dipelajari untuk bisa meningkatkan literasi keuangannya.
Ia mulai paham beberapa produk keuangan, dan bisa mulai memilih mana yang paling sesuai untuk dimanfaatkan. Ia juga mulai bisa bercerita pada temannya, bahwa ia tahu produk A, B, C, dan D, dan apa fungsinya masing-masing, tetapi sebenarnya ia sendiri belum mencobanya. Seenggaknya belum semua atau secara lengkap.
Action
Setelah minat dan sudah cukup paham, maka level literasi keuangan selanjutnya adalah action. Di sini seseorang mulai mempraktikkan apa yang ia ketahui. Ia akan tahu dari mana ia bisa mulai, dan ia mulai dengan cermat sembari belajar lebih banyak lagi.
Pada level ketiga ini, seseorang sudah bisa dikatakan memiliki tingkat literasi keuangan yang baik.
Nah, bagaimana dengan kamu sendiri? Apakah kamu merasa masih sering tergoda oleh berbagai iming-iming yang bisa bikin tabungan jebol? Mulai dari iming-iming investasi return cepat, belanja impulsif, utang tak terkendali, dan sebagainya?
Jika memang demikian, ayo, segera ajak dirimu sendiri untuk segera sadar, bahwa pengetahuan finansial itu sangat penting untuk kita miliki demi masa depan dan hidup yang lebih baik.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!