10 Pertanyaan tentang NPWP yang Paling Sering Ditanyakan
Sebagai wajib pajak baru, mungkin kamu punya pertanyaan tentang NPWP sekebon yang masih bergelayut di benak. Tsah. Wajar sih, namanya juga newbie, ya kan? Malahan bagus kalau memang kamu punya banyak pertanyaan tentang NPWP. Itu artinya kamu memang berniat sungguh-sungguh untuk memenuhi kewajibanmu.
Dan memang, salah satu hal yang perlu kamu pelajari saat belajar keuangan adalah soal membayar pajak dan segala printilannya termasuk kamu harus mendaftar NPWP.
Nah, ini dia beberapa pertanyaan tentang NPWP yang paling sering diajukan. Mungkin ada di antaranya yang menjadi pertanyaanmu juga.
10 Pertanyaan tentang NPWP
Apa itu NPWP?
NPWP adalah singkatan dari Nomor Pokok Wajib Pajak. NPWP adalah nomor identitas yang diberikan kepada wajib pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak Indonesia. NPWP digunakan untuk mengidentifikasi dan melacak aktivitas perpajakan dari seorang wajib pajak, seperti pembayaran pajak penghasilan, pengajuan laporan pajak, dan kegiatan perpajakan lainnya.
NPWP biasanya terdiri dari 15 digit dan terdiri dari kode identifikasi unik yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada setiap wajib pajak yang terdaftar.
Siapa yang harus memiliki NPWP?
Jawaban untuk pertanyaan tentang NPWP kedua ini adalah sebagai berikut:
- Warga negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun atau lebih.
- Penduduk tetap Indonesia, yaitu orang yang tinggal di Indonesia selama lebih dari 183 hari dalam setahun.
- Orang asing yang memiliki penghasilan di Indonesia atau yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
- Badan usaha, seperti perusahaan, firma, koperasi, yayasan, dan sejenisnya.
Selain itu, ada beberapa kondisi khusus yang membuat seseorang atau badan usaha wajib memiliki NPWP, meskipun tidak memenuhi kriteria di atas. Misanya seperti seseorang yang menerima penghasilan dari luar negeri dan ingin mendapatkan pembebasan pajak atau tarif yang rendah.
Bagaimana cara mendaftar NPWP?
Pertanyaan tentang NPWP yang satu ini biasanya ditanyakan oleh kamu yang ingin mulai membayar pajak. Ikuti langkah berikut:
- Buka situs web resmi Direktorat Jenderal Pajak di https://www.pajak.go.id/.
- Pilih menu “Layanan Online” di bagian atas halaman.
- Pilih opsi “e-Registration”.
- Pilih jenis wajib pajak yang ingin mendaftar, misalnya individu atau badan usaha.
- Isi formulir pendaftaran dengan lengkap dan benar, dan pastikan untuk memberikan informasi yang akurat dan valid.
- Unggah dokumen-dokumen yang diperlukan sesuai dengan instruksi yang diberikan, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor, NPWP orang tua (jika masih di bawah umur), surat keterangan domisili, dan dokumen pendukung lainnya.
- Setelah selesai mengisi formulir dan mengunggah dokumen, klik tombol “Submit”.
- Tunggu proses verifikasi data dan persetujuan pendaftaran dari pihak Direktorat Jenderal Pajak.
Jika pendaftaran disetujui, kamu akan mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang dapat dicetak langsung dari situs e-registration atau diterima melalui kantor pos atau kurir yang ditunjuk.
Apa konsekuensi jika tidak memiliki NPWP?
Ada konsekuensi besar yang harus ditanggung, yaitu:
- Orang yang wajib memiliki NPWP tetapi tidak memilikinya bisa dikenakan denda
- Tidak memiliki NPWP berarti seseorang atau badan usaha tidak dapat membayar pajak, baik itu pajak penghasilan maupun pajak lainnya. Ini dapat mengakibatkan masalah hukum dan keuangan yang serius.
- Nggak bisa bertransaksi di bank, lantaran beberapa bank dan lembaga keuangan memerlukan NPWP sebagai persyaratan untuk membuka rekening bank atau melakukan transaksi perbankan tertentu.
- NPWP sering kali juga menjadi persyaratan untuk mengajukan izin usaha tertentu.
- Beberapa lelang pemerintah memerlukan NPWP sebagai persyaratan untuk mengikuti lelang.
Bagaimana cara memperpanjang NPWP?
Jika kamu punya pertanyaan tentang NPWP yang satu ini, jawabannya sebenarnya singkat: NWPWP berlaku seumur hidup, jadi tak perlu diperpanjang. Namun, NPWP perlu di-update jika ada perubahan kondisi, terutama yang berkaitan dengan aktivitas perpajakanmu.
Apa yang harus dilakukan jika NPWP hilang atau rusak?
Ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan jika kamu punya pertanyaan tentang NPWP ini:
- Melaporkan kehilangan atau kerusakan NPWP ke kantor pelayanan pajak terdekat atau melalui sistem online di situs web resmi Direktorat Jenderal Pajak Indonesia.
- Mengajukan permohonan untuk mendapatkan NPWP baru melalui kantor pelayanan pajak terdekat atau dengan menggunakan sistem e-registration di situs web resmi DJP. Permohonan harus dilengkapi dengan dokumen pendukung yang dibutuhkan, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor, dan surat keterangan hilang atau rusak dari kepolisian.
Setelah permohonanmu disetujui, kamu akan mendapatkan NPWP yang baru dengan nomor yang sama seperti NPWP yang hilang atau rusak. NPWP baru ini dapat dicetak langsung dari situs e-registration atau diterima melalui kantor pos atau kurir yang ditunjuk.
Apa yang harus dilakukan jika terjadi kesalahan pada NPWP?
Kadang memang terjadi kesalahan pada NPWP, sehingga pertanyaan tentang NPWP satu ini muncul.
Berikut adalah beberapa langkah yang dapat kamu lakukan:
- Melaporkan kesalahan pada kantor pelayanan pajak terdekat atau melalui sistem online di situs web resmi DJP.
- Memberikan dokumen pendukung yang diperlukan, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat pernyataan dari pihak yang bersangkutan.
- Menjelaskan secara detail jenis kesalahan yang terjadi dan memberikan informasi yang akurat dan valid.
- Jika kesalahan yang terjadi adalah kesalahan penulisan atau ketik, maka kamu dapat mengajukan permohonan untuk mengganti NPWP lama dengan NPWP baru yang telah diperbaiki.
- Jika kesalahan yang terjadi adalah pengambilan nomor yang salah, maka Anda harus mengajukan permohonan untuk memperbaiki nomor yang salah pada NPWP yang telah ada.
Bagaimana cara mengubah data pada NPWP?
Pertanyaan tentang NPWP berikutnya ini juga sangat sering muncul. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Mengumpulkan dokumen pendukung yang diperlukan untuk perubahan data pada NPWP, seperti KTP, surat pernyataan, dan dokumen lain yang relevan.
- Mengunjungi kantor pelayanan pajak terdekat atau menggunakan layanan online di situs web resmi Dirjen Pajak Indonesia untuk mengajukan permohonan perubahan data.
- Mengisi formulir perubahan data NPWP, termasuk informasi yang akan diubah dan alasan perubahan data.
- Melampirkan dokumen pendukung yang diperlukan pada saat mengajukan permohonan perubahan data NPWP.
- Menyerahkan permohonan perubahan data dan dokumen pendukung ke kantor pelayanan pajak terdekat atau mengirimkannya melalui sistem online di situs web DJP.
- Tunggu konfirmasi dari Direktorat Jenderal Pajak tentang persetujuan perubahan data yang diajukan.
- Jika permohonan disetujui, kamu akan menerima NPWP dengan data yang diperbarui.
Apakah NPWP berlaku seumur hidup atau perlu diperbaharui?
Seperti pertanyaan tentang NPWP yang sudah sempat dijelaskan di atas, NPWP berlaku seumur hidup. Tetapi, ada beberapa situasi di mana NPWP harus di-update. Di antaranya:
- Perubahan status perpajakan, misalnya jika ada perubahan dalam status perpajakan wajib pajak, seperti perubahan kewarganegaraan, status penduduk tetap, atau jenis kegiatan usaha.
- Perubahan data wajib pajak, misalnya jika ada perubahan dalam data pribadi atau data perusahaan, seperti alamat, nama, nomor telepon, atau jenis usaha.
- Update data keuangan, misalnya dengan melaporkan perubahan modal, pengalihan saham, atau pembubaran perusahaan.
- Pengajuan pembatalan NPWP, atau menonaktifkan NPWP.
Wajib pajak yang enggak meng-update NPWP sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku, dapat dikenakan sanksi administratif, seperti denda atau penutupan sementara usaha.
Apa saja kegunaan NPWP?
Jawaban pertanyaan tentang NPWP ini penting untuk kamu ketahui, agar kamu bisa membayar pajak secara ikhlas dan antusias. NPWP memiliki beberapa kegunaan penting dalam perpajakan di Indonesia, di antaranya:
- NPWP digunakan sebagai identifikasi unik untuk setiap wajib pajak yang terdaftar, memungkinkan pemerintah untuk memantau dan melacak aktivitas perpajakan dari masing-masing wajib pajak secara efektif.
- NPWP diperlukan untuk pelaporan pajak, seperti pelaporan SPT (Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan) dan SPT Masa. Tanpa NPWP, seseorang atau badan usaha tidak dapat melaporkan pajak dan dapat dikenakan sanksi administratif atau hukuman.
- NPWP juga diperlukan untuk pembayaran pajak, baik itu pajak penghasilan maupun pajak lainnya. Pemerintah menggunakan NPWP untuk melacak pembayaran pajak dan memastikan bahwa setiap wajib pajak membayar pajak yang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
- Beberapa bank dan lembaga keuangan memerlukan NPWP sebagai persyaratan untuk membuka rekening bank atau melakukan transaksi perbankan tertentu.
- NPWP sering kali menjadi persyaratan untuk mengajukan izin usaha tertentu, seperti SIUP atau TDP.
- Beberapa lelang pemerintah memerlukan NPWP sebagai persyaratan untuk mengikuti lelang, sehingga tidak memiliki NPWP dapat menghalangi seseorang atau badan usaha untuk berpartisipasi dalam lelang tersebut.
Karena kegunaannya yang sangat penting dalam perpajakan, setiap wajib pajak di Indonesia harus memiliki NPWP dan mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku.
Nah, itu dia 10 pertanyaan tentang NPWP yang sering ditanyakan. Kamu juga dapat mengajukan berbagai pertanyaan tentang NPWP ini langsung ke akun-akun media sosial resmi milik Dirjen Pajak, seperti di Instagram agar bisa langsung mendapatkan penjelasan.
Semoga bermanfaat ya.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
NIK Jadi NPWP, Ini Artinya, dan Yuk, Kelola Keuangan Agar Bisa Bayar Pajak Tepat Waktu!
Pemerintah telah mengumumkan kebijakan integrasi NIK jadi NPWP, dan hal ini akan berlaku secara efektif mulai tahun 2023. Wacana ini sebenarnya sudah lama sekali didengungkan, dan sepertinya akan benar-benar dilaksanakan dalam waktu dekat.
Kebijakan ini bukan untuk mempersulit atau untuk memaksa rakyat membayar pajak, tetapi justru untuk memudahkan administrasi, terutama dalam hal pajak. Selama ini, kita sering menemukan kasus ketika data pajak dan kependudukan jadi ruwet karena ketidaksesuaian ini dan itu. Dari website Kemenkeu sendiri juga dijelaskan, justru penyatuan identitas ini akan mempersingkat birokrasi dan memudahkan wajib pajak sekaligus warga negara Indonesia.
Untuk lebih jelasnya, berikut serba-serbi soal kebijakan NIK jadi NPWP yang perlu kamu pahami.
Fakta-Fakta NIK Jadi NPWP
1. Berlaku tahun 2023
Kebijakan NIK jadi NPWP akan dimulai secara efektif dan sepenuhnya tahun 2023. Realisasi kebijakan ini akan ditandai dengan penandatanganan kerja sama soal pemanfaatan semua data kependudukan, mulai dari NIK hingga E-KTP dalam layanan perpajakan Ditjen Pajak Indonesia, bekerja sama dengan Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil.
Jadi, mari kita tunggu realisasinya ini.
2. Tidak semua orang wajib pajak
Salah satu hal yang menjadi “biang” keributan penolakan kebijakan ini adalah banyaknya orang yang mengira, bahwa dengan NIK jadi NPWP, maka semua orang otomatis diharuskan membayar pajak.
Nah, ini adalah salah paham ya. Bukan begitu mainnya.
Memang semua orang yang menjadi warga negara Indonesia wajib memiliki NIK, tetapi tidak lantas semua menjadi wajib pajak. Anak-anak yang belum masuk usia produktif, lansia, pekerja sektor riil dengan penghasilan minim, mereka punya NIK, tetapi mereka adalah beberapa contoh individu yang tidak wajib membayar pajak. Dengan demikian, ketika kebijakan NIK jadi NPWP berlaku, bukan berarti mereka secara otomatis harus membayar pajak.
Tentang siapa saja yang menjadi wajib pajak tetap mengikuti peraturan yang berlaku, yaitu UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam undang-undang tersebut, disebutkan bahwa orang yang menjadi wajib pajak adalah mereka yang berusia produktif dan berpenghasilan minimal Rp60 juta per tahun, atau Rp4.5 juta per bulan.
Jadi, yang tidak berpenghasilan—seperti anak-anak dan pensiunan atau lansia, juga mereka yang pengangguran—tidak secara otomatis diharuskan membayar pajak ketika kebijakan NIK jadi NPWP berlaku.
3. Tidak perlu membuat NPWP, hanya perlu aktivasi
Lalu, seperti apa prosedurnya kalau penerapan wajib pajaknya tetap mengikuti UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan? Berarti kan, ada yang tidak membayar pajak, dan ada yang wajib membayar pajak?
Simpel saja. Nantinya akan diatur skema aktivasi NIK jadi NPWP bagi wajib pajak sesuai peraturannya.
Dilansir dari Kompas, dijelaskan bahwa saat ini sedang dibahas prosedur pola aktivasi NIK jadi NPWP ini. Opsi pertama, wajib pajak menghubungi Ditjen Pajak melalui saluran-saluran yang nantinya akan disiapkan untuk mengaktivasi NIK jadi NPWP. Selain itu, jika memang datanya sudah lengkap, Ditjen Pajaklah yang akan mengaktivasi NIK para wajib pajak menjadi NPWP secara otomatis. Kemudian, pihak Ditjen Pajak yang akan menghubungi para wajib pajak untuk menginfokan bahwa NPWP-nya sudah aktif dan sesuai dengan NIK.
Nah, jadi, kita tunggu saja ya soal prosedurnya. Nggak perlu heboh dari sekarang. Kalau dibayangkan, dengan satu data kependudukan nasional yang terintegrasi seperti ini, beberapa prosedur bisa dipangkas. Nantinya, jika diperlukan, kita hanya perlu menyebutkan NIK, dan langsung deh terhubung ke data perpajakan.
Yah, siapa tahu, entar dengan NIK juga bisa langsung dimanfaatkan untuk mengakses data SIM, e-wallet, sampai kartu kredit? Ya, siapa tahu kan? Teknologi kan berkembang terus.
Tip Taat Membayar Pajak
Pajak adalah kewajiban warga negara seperti kita. Dengan membayar pajak, kita berkontribusi dalam pembangunan dan pertumbuhan negara kita. Dari siapa lagi negara bisa meminta bantuan, kalau bukan dari warganya?
Tanpa diiringi pengelolaan keuangan yang baik, membayar pajak itu memang bisa jadi beban tersendiri. Jadi, yuk, simak beberapa tip mengelola keuangan agar kita bisa memastikan diri kita taat membayar pajak.
1. Anggarkan
Menganggarkan adalah salah satu tip keuangan untuk mengatasi segala kondisi dan situasi. Begitu juga soal pajak.
Pajak ada yang ditarik bulanan, misalnya seperti potongan PPh oleh kantor. Ada juga yang harus dibayarkan secara mandiri setiap tahun, misalnya seperti pajak bermotor, pajak bumi dan bangunan. Untuk segala macam jenis pajak, jangan lupa untuk memasukkannya ke dalam daftar pengeluaranmu. Dengan demikian, pada periode berikutnya kamu juga tidak akan lupa membuat anggarannya.
Pajak adalah kewajiban, sifatnya seperti cicilan utang. Jika kita tidak disipin membayarnya, bisa jadi kita akan terkena masalah karena ada denda yang diberlakukan. Jangan sampai deh mengeluarkan uang untuk denda, padahal ini sebenarnya bisa dihindari.
2. Menabung
Untuk beberapa jenis pajak, kamu bisa mengumpulkan uang dulu dengan menabung. Misalnya untuk Pajak Bumi dan Bangunan yang tergolong tinggi dan dibayarkan setahun sekali. Kamu bisa membuat pos khusus, dan setiap bulan menyisihkan uang sesuai perhitungan. Dengan demikian, beban pun tidak akan terasa terlalu berat.
Begitu juga jika misalnya karena satu dan lain sebab, ada tunggakan PPh. Jika memang besar, perhitungkanlah, agar bisa menabung dulu.
Ini adalah cara old school, tapi terbukti efektif untuk mengatasi pengeluaran-pengeluaran wajib dalam nominal besar seperti pajak.
3. Pasang reminder
Sekali lagi, jangan bebani dirimu sendiri dengan denda hanya gara-gara lupa jatuh tempo pajak. Pasang reminder, kalau perlu. Beberapa aplikasi keuangan atau mobile banking bahkan menyediakan juga fitur reminder dan juga autodebit. Manfaatkan fitur ini, supaya enggak sampai lupa.
Nah, demikian sekilas serba-serbi mengenai kebijakan NIK jadi NPWP. So, tak perlu berlebihan dalam menyikapi. Mari kita sadari bahwa pajak nantinya juga akan kembali pada kita manfaatnya. Mari kita kawal, agar penggunaannya sesuai peraturan yang ada.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
5 Hal tentang Pajak Pekerja Lepas atau Freelancer
Sudah ngomongin pajak penghasilan karyawan kantoran, lalu bagaimana dengan pajak pekerja lepas? Atau, malah ada yang baru tahu kalau pekerja lepas juga kena pajak?
Ya, iyalah. Pekerjaan sih memang freelancer, tapi kan tetap sebagai warga negara Indonesia kan–yang salah satu kewajibannya adalah membayar pajak?
Nah, faktanya, sebagai pekerja lepas atau freelancer, memang ada beberapa hal yang bikin males untuk mengurus pajak. Salah satunya adalah perhitungan yang rumit, yang harus dilakukan secara mandiri.
Yes, memang enggak semua orang punya “passion” dengan matematika dan angka. Apalagi buat pekerja lepas, yang penghasilannya tidak tentu jumlahnya. Bahkan, kadang tak tentu pula dalam sebulan dapat job. Bisa jadi bulan ini dapat job full sampai keteteran, bulan depan zonk sama sekali. Males banget ngitung deh. Makanya, banyak pajak pekerja lepas yang tidak terurus.
Well, coba baca beberapa hal tentang pajak pekerja lepas berikut ini ya. Siapa tahu, dengan begini, kamu mengerti dan paham arti pentingnya kita membayar pajak, meski kita adalah para pekerja lepas yang penghasilannya tidak tetap setiap bulannya.
5 Hal tentang Pajak Pekerja Lepas yang Harus Diketahui
1. Pentingnya punya NPWP
Banyak di antara pekerja lepas yang pajaknya langsung dipotong oleh klien atau pemberi kerja saat invoice mereka cair. Di sini baru deh ketahuan juga, bahwa banyak dari pekerja lepas yang bahkan nggak punya NPWP, entah apa pun alasannya.
Tahukah kamu, tidak punya NPWP justru akan membuatmu harus membayar pajak lebih banyak. Pajak pekerja lepas yang tidak memiliki NPWP akan ditambah 2% daripada mereka yang memiliki NPWP.
Selain itu, ada beberapa kesulitan lain yang juga bisa kamu alami jika tidak punya NPWP, salah satunya kamu akan kesulitan mengajukan pinjaman bank, atau bahkan saat mengajukan visa untuk mengunjungi negara lain.
So, yuk, bikin NPWP. Kan bisa dilakukan secara online, lebih praktis dan mudah.
2. Formulir yang digunakan
Untuk melaporkan pajak pekerja lepas, kamu bisa menggunakan Formulir 1770, yang khusus diperuntukkan bagi para pekerja yang menerima penghasilan tidak dari satu sumber saja.
Formulir 1770 ini juga digunakan untuk wajib pajak yang dikenakan PPh final, penghasilan dalam negeri lain, dan penghasilan luar negeri.
Jadi, jangan salah isi formulir ya.
3. Ketahui tentang penghasilan yang kena dan tidak kena pajak
Salah satu hal yang bikin males untuk lapor dan bayar pajak pekerja lepas adalah penghasilan yang dari banyak sumber, pun mungkin besarnya yang masing-masing enggak seberapa. Bukan apa-apa, males banget nyatet-nya!
Tapi ini penting, jadi catatlah. Lagi pula, kalau enggak punya catatan penghasilan, bagaimana juga kita akan bisa mengatur cash flow harian, right? Kalau perlu, miliki satu akun rekening bank khusus yang dipakai untuk menerima fee jasa, sehingga kamu akan lebih mudah lagi nge-trace-nya.
Setelah itu, pahami juga bahwa ada yang namanya penghasilan kena pajak. Kalau setelah dihitung ternyata tidak lebih dari ketentuan penghasilan tidak kena pajak, maka kamu sebagai seorang freelancer bisa bebas untuk tidak membayar pajak.
Tapi, ini bukan berarti lantas kamu nggak perlu lapor ya. Tetap harus melapor, tetapi ada Surat Pemberitahuan Nihil.
4. Mandiri membayar dan melapor
Lalu, gimana cara menentukan besaran pajak yang harus disetorkan, kan kita juga kesulitan untuk menentukan penghasilan yang nggak tetap ini?
Untuk masalah ini, Dirjen Pajak memberikan angka fix pengali yang disebut Norma Penghitungan Penghasilan Netto. Untuk pekerja lepas di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Palembang, Denpasar, Pontianak, Manado, dan Makassar, besarnya adalah 40% dari total penghasilan selama satu tahun. Di luar kota-kota tersebut dikenakan 35%.
Nah, jadi enggak sulit dong, menentukan pajak pekerja lepas ini ya?
Misalnya, dalam satu tahun–menurut catatanmu–penghasilanmu Rp96.000.000, maka penghasilan neto yang terkena pajak adalah 40% x Rp96.000.000 = Rp38.400.000.
Angka ini nanti masih diperhitungkan dengan penghasilan tidak kena pajak jika kita sudah berkeluarga, ataupun ketika penghasilan sudah dipotong pajak sekalian oleh pemberi kerja.
5. Jangan lupa minta bukti potong
Dari poin 4 di atas, kita jadi tahu deh bahwa penting untuk meminta bukti potong pada klien, jika memang fee kita sudah nett, tanpa pajak lagi. Bukti potong ini nantinya harus dilampirkan saat pelaporan SPT Tahunan sebagai faktor pengurang pajak.
Jadi, jangan sampai lupa untuk diminta ya, bukti potongnya.
Nah, itu dia beberapa hal yang penting untuk diketahui terkait pajak pekerja lepas.
Gimana, masih bingung? Coba cek jadwal kelas finansial online QM Financial yuk, siapa tahu ada kelas pajak yang bisa kamu ikuti. Atau, kalau belum ada, kamu bisa mengusulkannya melalui Instagram QM Financial. Kalau memang banyak yang request, pasti akan dipertimbangkan untuk diadakan. Kamu bisa belajar tentang serba-serbi pajak, dan juga belajar mengisi SPT Tahunan supaya nggak terjadi kesalahan yang nggak perlu.
Stay tuned juga di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
5 Contoh Masalah Pajak di Indonesia yang Sering Terjadi
Buat sebagian orang, masalah pajak pribadi memang agak-agak rumit. Memahami peraturannya pun kadang masih kurang paham, masih diminta untuk menghitung sendiri pajak yang dibayarkan dari penghasilannya.
Karena itu, nggak heran, meski sudah dilakukan setiap tahun, masalah pajak pribadi yang muncul kadang ya sama saja. Terjadi lagi, terjadi lagi.
Sebel enggak sih? Ya, sebel. Apalagi kalau ada kurang bayar cukup banyak. Gemes juga rasanya. Tapi ya, gimana lagi kan ya? Itu sudah jadi kewajiban kita untuk membayar pajak, sebagai wajib pajak. Mau nggak mau ya, harus dipenuhi.
Jadi, apa saja sih masalah pajak pribadi yang sering terjadi ini? Jangan-jangan kita juga masih saja melakukannya, berulang kali pula. Yuk, disimak, biar nggak salah-salah terus. Berikut ini adalah contoh masalah pajak di Indonesia yang sering terjadi.
5 Masalah Pajak Pribadi yang Sering Terjadi
1. Tidak merasa perlu melapor pajak
Ada memang yang belum punya kesadaran untuk membayar pajak. Memprihatinkan? Iya. Tapi, inilah tantangan kita semua.
Kalau kamu merupakan salah satu dari mereka yang belum sadar akan arti pentingnya taat membayar pajak, sekarang saatnya kamu untuk menyadari dan memahami, bahwa pajak merupakan tulang punggung negara untuk dapat melaksanakan operasionalnya.
Apalagi di masa-masa sulit–seperti ketika artikel ini ditulis, Indonesia sedang terlanda bencana COVID-19–negara butuh kita untuk bergotong royong demi mengatasi kesulitan bersama. Dengan taat membayar pajak, kita sudah separuh jalan membantu negara agar dapat mencari jalan terbaik untuk kita semua.
2. Tidak melaporkan pajak dari penghasilan lainnya
Ada beberapa orang yang mungkin belum paham, bahwa penghasilan pribadi yang wajib dilaporkan pada negara tak hanya penghasilan berupa gaji dari kantor saja, tetapi juga penghasilan-penghasilan sampingan lainnya. Misalnya, kamu punya side hustle berupa bisnis toko online, atau punya booth kopi franchise, itu semua juga wajib dilaporkan lo.
Pun kamu yang misalnya sering menjadi speaker atau mungkin kamu mengerjakan beberapa gigs based on project dan menghasilkan uang darinya, kamu pun wajib melaporkannya.
Masalah pajak pribadi yang biasanya timbul akibat kelalaian ini adalah ada kekurangan bayar, karena akan ada denda 2% yang dihitung selama 24 bulan dari kekurangan pajaknya. Lumayan juga lo, dendanya apalagi kalau kumulatif.
3. Kesalahan administrasi
Masalah pajak pribadi yang sering terjadi akibat kesalahan administrasi biasanya adalah kesalahan email. Biasanya, banyak yang mempergunakan email bisnis untuk mendaftar efilling, padahal seharusnya kamu menggunakan email pribadi.
Kenapa harus email pribadi? Ya, karena pajak meskipun berkaitan dengan gaji dan kerjaan, tapi itu adalah urusan pribadi. Bukan urusan kantor, tetapi menjadi tanggung jawab kita sendiri. Kalau daftarnya pakai email kantor, nanti kalau kita sudah tidak bekerja di kantor yang sama, gimana dong? Malah jadi susah kan?
Kesalahan admnistrasi lain adalah salah mengisi form laporan SPT. Biasanya yang rancu adalah form SPT Tahunan 1770S untuk yang berpenghasilan lebih dari Rp60 juta per tahun, dan SPT Tahunan 1770SS untuk yang berpenghasilan kurang dari Rp60 juta per tahun. Biasanya ini terjadi, lantaran si wajib pajak salah menghitung penghasilannya sendiri.
Ya, ini juga salah satu risiko dari sistem pelaporan pajak yang self assessment ini sih ya. Kalau kita salah menghitung, ya kita juga yang harus bertanggung jawab.
Kesalahan administrasi lain yang kerap menimbulkan masalah pajak pribadi adalah kesalahan input nomor NPWP. Misalnya, yang dimasukkan no NPWP perusahaan pemberi kerja, alih-alih nomor NPWP si wajib pajak.
Yes, sepele, tapi bikin pusing juga kalau sampai salah.
4. Lupa meminta bukti potong
Ini adalah kesalahan berikutnya yang juga sering terjadi, kita lupa minta bukti potong.
Hal ini rentan terjadi kalau kita lagi ngerjain pekerjaan sampingan. Misalnya, ada proyek. Klien kadang lupa memberikan bukti potong pajak atas fee kita, setelah invoice cair. Nah, kita sendiri juga lupa meminta. Akhirnya, kita harus membayar kekurangan pajak, padahal sebenarnya sudah dipotong terlebih dahulu.
Ini yang kadang bikin membengkak deh, pengeluaran untuk pajaknya.
So, jangan pernah lupa untuk meminta bukti potong untuk kelengkapan pengiriman SPT Tahunanmu ya, termasuk bukti potong dari penghasilan-penghasilan sampingan.
5. Terlalu mepet batas waktu pelaporan
Memang sih, batas waktu pelaporan biasanya ada di akhir Maret. Tapi sebenarnya kita bisa melaporkannya sejak sebulan sebelumnya.
Jangan mepet-mepet batas waktu pelaporan, apalagi kalau kamu melaporkannya secara online. Kasihan server kantor pajaknya, jadi terlalu berat. Nanti malah jadi error, siapa hayo yang pusing sendiri?
Masih bingung ya? Yuk, belajar keuangan, termasuk juga belajar seluk-beluk pajak. Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
Serba-Serbi Menjadi Wajib Pajak yang Perlu Diketahui
Di artikel sebelumnya, kita sudah membahas serba-serbi pajak penghasilan. Nah, dalam artikel ini kita akan membahas serba-serbi mengenai Wajib Pajak. Ya, kita-kita ini.
Kira-kira siapa saja sih yang bisa disebut sebagai Wajib Pajak itu? Dan, apa saja kewajiban kita? Apakah sudah dipenuhi semua, sebagai warga negara Indonesia yang baik?
Enggak tahu jawabannya? Atau, nggak pasti? Nah, makanya, simak artikel ini sampai selesai ya.
Wajib Pajak Itu Siapa?
Wajib Pajak adalah siapa saja yang memenuhi persyaratan untuk menjadi subjek pajak yang memiliki kewajiban untuk membayar pajak pada pemerintah. Subjek pajak di sini bisa berarti individu ataupun berupa badan usaha.
Sebagai yang memiliki kewajiban, yang bersangkutan bisa bertempat tinggal di dalam wilayah Indonesia, ataupun di luar negeri, tetapi mendapatkan penghasilan dari Indonesia. Nah, makanya ada Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.
Wajib Pajak Dalam Negeri
Seperti yang disebutkan dalam undang-undang pajak penghasilan, Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Nomor 36 Tahun 2008, mereka yang termasuk dalam Wajib Pajak dalam negeri adalah:
- Mereka yang bertempat tinggal di Indonesia.
- Mereka yang menetap di Indonesia sekurang-kurangnya 183 hari dalam 1 tahun pajak.
- Mereka yang memiliki keinginan untuk menetap di Indonesia dalam satu tahun pajak ke depan.
Wajib Pajak Luar Negeri
Mereka yang termasuk ke dalam Wajib Pajak luar negeri, menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Nomor 36 Tahun 2008 adalah:
- Orang-orang yang tidak tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam satu tahun pajak dengan penghasilan pribadi, ataupun melakukan usaha dan kegiatan yang memberinya penghasilan melalui badan usaha di Indonesia.
- Orang-orang yang yang selama 183 hari lebih tidak tinggal di Indonesia, tetapi mendapatkan penghasilan dari Indonesia, meski kegiatannya tidak di Indonesia.
Nah, semoga jelas deh, definisi antara kedua pengertian Wajib Pajak luar negeri itu ya. Memang agak rancu sih, tapi bisa kok dipahami.
Apa Kewajiban Wajib Pajak?
Sebagai warga negara yang baik, kita memiliki beberapa kewajiban, di antaranya:
1. Mendaftar sebagai Wajib Pajak dan mendapatkan NPWP
NPWP, atau Nomor Pokok Wajib Pajak, merupakan nomor identitas kita, yang dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kewajiban membayar pajak berikut hak-hak yang menyertainya.
Untuk mendaftar dan mendapatkan NPWP, kamu bisa datang ke Kantor Pelayananan Pajak terdekat di kotamu, atau bisa juga ke Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP). Atau, kalau kebetulan sambil jalan-jalan, kamu menemui Mobile Tax Unit, kamu juga bisa sekalian mendaftarkan diri.
Untuk kebutuhan zaman now yang serbadigital, Direktorat Jendral Pajak juga menyediakan sarana online untuk mendaftar NPWP ini. Jadi, enggak ada alasan untuk nggak mendaftar ya.
2. Menghitung dan membayar Pajak
Kewajiban keduanya adalah harus menghitung dan membayar pajak pada pemerintah, sesuai dengan pajak terutang yang sudah dihitung.
Untuk menghitung besaran pajak yang harus kita bayarkan, tarifnya adalah sebagai berikut, seperti yang tercantum di undang-undang:
Wajib Pajak dalam negeri:
- Penghasilan sampai dengan Rp50.000.000: 5%
- Penghasilan antara Rp50.000.001 hingga Rp250.000.000: 15%
- Penghasilan antara Rp250.000.001 hingga Rp500.000.000: 25%
- Penghasilan di atas Rp500.000.001: 30%
Untuk Wajib Pajak luar negeri tarif pajak penghasilannya adalah 20%.
Untuk membayar pajak, kamu harus memiliki kode billing terlebih dahulu. Pembuatannya sudah dijelaskan langkah demi langkah di Klikpajak. Cukup mudah diikuti kok.
Setelah mendapatkan kode billing, kita bisa membayar pajak sesuai perhitungan ke bank, kantor pos, ATM, atau yang praktis bisa juga melalui SMS Banking atau Internet Banking. Nggak harus datang ke Kantor Pelayanan Pajak. Mudah, jadi seharusnya sih enggak telat lagi memenuhi kewajibanmu kan?
3. Laporkan SPT Pajak Tahunan
Setelah menghitung dan membayarkan pajaknya, maka selanjutnya kita berkewajiban untuk melaporkan penghasilan melalui SPT, atau Suprat Pemberitahuan Tahunan.
Sistem dari pelaporan SPT yang berlaku di negara kita adalah self assessment, yang berarti negara memberikan wewenang dan kepercayaan penuh kepada setiap pribadi untuk menghitung, membayar, dan membuat laporan penyetoran pajak.
Demi mempersingkat langkah dan praktisnya, pemerintah juga sudah menyediakan layanan online untuk pelaporan SPT ini. Lagi-lagi, enggak ada alasan untuk tidak bisa melakukannya tepat waktu, ya kan?
Itu dia beberapa hal terkait apa itu yang dimaksud dengan Wajib Pajak dan juga apa saja kewajibannya.
Jadi, apakah kamu sudah melaksanakan kewajibanmu tahun ini? Kalau belum–apalagi kalau masih bingung–kenapa kamu enggak bergabung dengan kelas khusus pajak yang diadakan oleh QM Financial? Yuk, cek jadwal kelas-kelas finansial online QM Financial di sini, dan pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
5 Hal tentang Pajak Penghasilan yang Harus Diketahui
Maret adalah waktunya mengirimkan laporan SPT Pajak Penghasilan pribadi. Kamu sudah?
Semakin banyak orang sadar akan pentingnya taat pajak. Seneng enggak sih lihat negara kita bertumbuh dari hari ke hari? Kian kuat menghadapi masalah dan krisis? Itu semua tak lepas dari peran serta kita sebagai warga negara yang baik, yang taat dalam membayar pajak lo!
Meski mkamu adalah salah satu dari mereka yang taat pajak, tetapi mungkin saja kamu juga belum paham betul mengenai seluk-beluk pajak, terutama pajak penghasilan.
Nah, bagaimana kalau kita bahas kali ini? Kita akan merangkum dari UU Pajak Penghasilan, tepatnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, dan membuatnya menjadi lebih mudah dipahami ya. Kamu boleh menambahkan informasi lain yang belum tercakup dalam artikel ini di kolom komen ya, supaya informasinya semakin lengkap.
Serba-Serbi Pajak Penghasilan yang Perlu Diketahui
1. Apa Itu Pajak Penghasilan?
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima oleh seseorang ataupun badan tertentu, dalam kurun waktu 1 tahun pajak.
Ini artinya setiap pihak yang mendapatkan penghasilan di Indonesia–baik yang asli Indonesia ataupun pendatang dari luar Indonesia dan berpenghasilan di Indonesia, yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun menambah kekayaan–wajib untuk membayar pajak ini pada pemerintah.
2. Jenis-Jenis Pajak Penghasilan
Jenis Pajak Penghasilan berdasarkan wajib pajaknya ada dua, yaitu:
- Pajak Penghasilan pribadi, yaitu pajak yang dikenakan atas penghasilan individu atau pribadi yang bekerja di dalam wilayah Indonesia, berdasarkan penghasilan kotor yang diterima yang dikurangi oleh faktor pengurangnya.
- Pajak Penghasilan badan usaha, yaitu pajak yang dikenakan atas penghasilan badan usaha–atau perusahaan–yang berbentuk perseroan, CV, dan sebagainya, yang dihitung berdasarkan laba dalam satu tahun pajak.
3. Siapa yang Termasuk dan Tidak Termasuk Subjek Pajak?
Subjek pajak adalah mereka berkewajiban untuk membayar pajak sesuai jenisnya, yang kemudian disebut sebagai wajib pajak.
Untuk Pajak Penghasilan, subjek pajaknya adalah:
- Orang pribadi, yang bertempat tinggal di Indonesia, atau selama 183 hari berturut-turut tinggal di Indonesia dalam 12 bulan, yang kemudian disebut Subjek Pajak dalam negeri.
- Badan usaha yang berbasis di Indonesia, dan menjalankan kegiatan usahanya secara teratur di Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah agen, kantor cabang, kantor perwakilan, dan sebagainya–meski jika perusahaan induknya tidak berada di Indonesia.
- Ada pula pihak-pihak yang tidak berkedudukan di Indonesia, tetapi mendapat penghasilan dari Indonesia, yang kemudian disebut dengan Subjek Pajak luar negeri.
Sedangkan, yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah para konsulat, perwakilan diplomatik, pejabat-pejabat negara lain (termasuk staf yang bekerja pada mereka), serta pihak-pihak yang ditentukan oleh Mentri Keuangan, misalnya seperti pejabat organisasi internasional atau semacamnya, selama mereka bukan WNI dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Nah, semoga jelas deh, siapa saja yang punya kewajiban membayar pajak ya?
4. Apa Saja yang Termasuk dan Tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan?
Objek pajak ini meliputi apa saja yang dapat menambah kemampuan ekonomis, bisa dipakai untuk konsumsi, ataupun menambah kekayaan Subjek Pajak, yang bisa berupa:
- Gaji dan/atau upah
- Honorarium, hadiah, penghargaan, dan sejenisnya
- Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta
- Hasil menyewakan sesuatu, royalti, dividen, bunga, dan sejenisnya.
Nah, jadi kalau kamu adalah pengusaha kontrakan rumah, atau indekos, jangan lupa juga untuk membayar pajak juga ya, karena termasuk dalam penghasilan yang terkena pajak. Termasuk deposito, juga ada pajak atas bunga yang diterima.
Ada objek terkena pajak, ada pula objek yang tak terkena pajak. Apa saja? Di antaranya:
- Santunan asuransi untuk orang yang meninggal atau cacat
- Beasiswa
- Harta hibahan atau warisan, yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan atau jabatan pada yang bersangkutan
- Hasil iuran dana pensiun, yang disetujui oleh Mentri Keuangan
- Penghasilan dari yayasan nirlaba yang bekerja untuk kepentingan umum
- Dividen yang diterima dari perusahaan yang berkedudukan di Indonesia, dengan syarat-syarat tertentu yang disetujui oleh Mentri Keuangan.
5. Penghitungan Pajak Penghasilan
Nah, perhitungan Pajak Penghasilan ini sebenarnya sederhana, tetapi memang butuh fokus untuk memahaminya. Kalau mau prinsipnya, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Pasal 17 yang dilansir oleh situs Klikpajak, bisa dirangkum sebagai berikut:
- Tarif Pajak penghasilan < Rp50.000.000 per tahun: 5%.
- Tarif Pajak Penghasilan Rp50.000.000 – Rp250.000.000: 15%.
- Tarif Pajak Penghasilan Rp250.000.000 – Rp500.000.000: 25%.
- Tarif Pajak Penghasilan > Rp500.000.000: 30%.
- Untuk wajib pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan dan memenuhi kriteria membayar pajak tapi tidak memiliki NPWP, tarifnya akan 20% lebih tinggi.
Untuk Wajib Pajak yang berupa badan usaha, ketentuannya sebagai berikut, menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 dan PPP Tahun 2013 Nomor 46:
- Tarif pajak untuk perusahaan beromzet bruto < Rp4.8 miliar per tahun: 1%.
- Tarif pajak untuk perusahaan beromzet bruto antara Rp4.8 miliar – Rp5 miliar per tahun: (0,25 – (0,6 Milyar / omzet bruto x Penghasilan Kena Pajak)
- Tarif pajak untuk perusahaan beromzet bruto lebih dari Rp50 miliar per tahun: 25% dari PKP
Nah, kalau kamu pengin tahu lebih banyak mengenai perhitungan Pajak Penghasilan–apalagi jika kamu masih kesulitan membuat laporan SPT–kamu bisa gabung di kelas pajak yang diadakan oleh QM Financial. Cek jadwal kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned juga di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
6 Jenis Pajak di Indonesia yang Penting untuk Diketahui
Sebagai warga negara (yang baik), kita tentu tak lepas dari kewajiban untuk membayar pajak. Memang, dalam kehidupan bernegara, pajak merupakan salah satu pemasukan yang menjadi tulang punggung pendapatan negara. Termasuk di Indonesia.
Untuk apa sih kita harus membayar pajak? Ya, pastinya kan kita ingin negara kita bertumbuh dan berkembang. Nantinya, kita sendiri juga yang akan merasakan manfaatnya. Makanya, sebagai warga negara yang baik, kita harus taat pajak.
So, ada baiknya juga kita, sebagai wajib pajak, juga tahu jenis-jenis pajak yang ada di Indonesia. So far, mungkin hanya beberapa saja yang kita tahu ya? Biasanya kita familier dengan jenis pajak yang bersinggungan langsung dengan kehidupan kita sehari-hari. Yang masuk ke dalam pengeluaran tahunan, iya kan? Yang enggak, ya kurang paham.
Ya enggak apa-apa sih, cukup tahu yang memang jadi kewajiban kita saja itu juga sudah baik. Tapi, kalau bisa tahu beberapa jenis pajak yang lain, enggak ada salahnya juga bukan?
Jadi, mari kita lihat beberapa jenis pajak yang ada di Indonesia. Sekilas saja, tapi ada perlunya kamu paham.
Pajak sebenarnya dibagi ke dalam dua kategori, berdasarkan pengelolanya. Yaitu pajak pusat, yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP), dan pajak daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah–yang kemudian dibagi lagi menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota, yang administrasinya dipegang oleh Dinas Pendapatan Daerah.
Nah, mari kita lihat satu per satu.
Pajak Pusat
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan–atau PPh–adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan, baik perseorangan maupun instansi dan badan usaha. Ternyata, jenis pajak penghasilan ini juga banyak, enggak cuma Pajak Penghasilan pribadi doang yang dilaporkan setiap Maret itu lo!
Apa saja? Coba simak deh:
- PPh pasal 15: mengatur pajak penghasilan pelayaran, maskapai, asuransi asing, pengeboran minyak, dan perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan infrastruktur negara.
- PPh pasal 21: mengatur pajak pribadi yang berupa gaji, upah, hadiah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dalam bentuk apa pun yang berkaitan dengan pekerjaan.
- PPh pasal 22: mengatur pajak perdagangan barang.
- PPh pasal 23: mengatur pajak penghasilan atas modal, hadiah, atau hal lain, selain yang tercakup dalam PPh pasal 21.
- PPh pasal 24: mengatur wajib pajak yang mempergunakan hak pajaknya di luar negeri, agar tidak terjadi pajak ganda.
- PPh pasal 26: mengatur pajak yang dibebankan pada wajib pajak yang memiliki penghasilan di luar negeri, tetapi bukan badan usaha tetap.
Hmmm, banyak ya? Pajak mana yang terbebankan pada kamu? PPh pasal 21-kah?
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai merupakan jenis pajak yang dikenakan pada setiap jenis barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
Gampangannya begini, PPN biasanya dibebankan pada konsumen terakhir terhadap barang atau jasa yang dibelinya tetapi tidak secara langsung, melainkan dibayarkan melalui pedagang atau pengedar barang tersebut. Baru dari pedagang disetorkan pada Dirjen Pajak. Istilahnya mereka ini adalah Pengusaha Kena Pajak.
Di Indonesia, PPN ini besarnya adalah 10% untuk barang yang diperdagangkan dalam negeri, dan 0% untuk ekspor.
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Selain PPN, juga ada jenis Pajak Penjualan atas Barang Mewah ini nih, yang dibebankan dalam kegiatan perdagangan dalam negeri.
Kriteria barang mewahnya seperti apa? Di antaranya:
- Barang yang hanya bisa dibeli oleh kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi
- Barang yang hanya dikonsumsi oleh kelompok orang tertentu.
- Barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
- Barang yang dibeli demi status atau gengsi
- Barang yang dapat mengganggu kesehatan atau moral masyarakat.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, yang sudah diubah beberapa kali dan terakhir menjadi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
Jenis pajak barang mewah ini diatur dan dihitung bersama dengan PPN, karena tidak bisa lepas dari Pajak Pertambahan Nilai itu sendiri.
4. Materai
Jenis pajak keempat yang diatur oleh Dirjen Pajak adalah bea materai. Biasanya ini dikenakan pada kita yang sedang mengurus surat-surat atau perjanjian yang bernilai tertentu. Ini adalah pajak atas pemanfaatan dokumen.
Ketentuannya:
- Untuk surat-surat penting seperti surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan yang dibuat untuk membuktikan suatu perbuatan atau kondisi yang bersifat perdata, bea materainya Rp6.000
- Untuk surat-surat dan akta-akta notaris dan Pembuat Akta Tanah, bea materainya Rp6.000
- Surat yang memuat jumlah uang, kalau nilainya kurang dari Rp250.000 tidak ada bea materai, antara Rp250.000 – Rp1.000.000 dikenakan bea materai Rp3.000, dan di atas Rp1.000.000 ada bea materai Rp6.000.
5. Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan yang dikelola oleh Dirjen Pajak pusat adalah pajak untuk perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Sedangkan untuk bangunan di pedesaan dan perkotaan dikelola oleh pemerintah daerah, sehingga masuk ke pajak daerah.
Hal ini mulai berlaku sejak tahun 2014 yang lalu, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Pajak Daerah
1. Pajak Provinsi
Pajak Provinsi adalah jenis pajak yang dikelola oleh pemerinta provinsi, meliputi Pajak Kendaraan–termasuk di dalamnya adalah pajak kendaraan bermotor tahunan, 5 tahunan, bea balik nama, dan sebagainya–Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok.
2. Pajak Kabupaten/Kota
Pajak Kabupaten/Kota merupakan jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah tingkat II, yaitu kabupaten atau kota. Berupa pajak hotel, hiburan, restoran, reklame, parkir, air tanah, dan sebagainya.
Nah, banyak kan jenis pajak yang ada di Indonesia? Sebagian besar kamu pasti juga sudah familier ya?
Mau belajar lebih jauh tentang pajak? QM Financial juga menyediakan beberapa kelas terkait pajak lo! Cek jadwal kelas-kelas finansial online QM Financial, lalu pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned juga di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.