Dapat BLT 600 Ribu sebagai Subsidi Gaji Karyawan Swasta, Begini Cara Terbijak Pemanfaatannya
Di akhir Agustus lalu, pemerintah telah mencairkan BLT 600 ribu sebagai subsidi gaji para karyawan swasta yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulannya.
Bantuan pemerintah ini diberikan sesuai janji sebagai stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional lantaran dampak pandemi COVID-19. Jumlahnya memang tak seberapa, dan diberikan untuk 4 bulan ke depan dengan 2 kali pembayaran. Dengan demikian, karyawan swasta akan memperoleh total Rp2.4 juta masing-masing.
Bersyukur dong ya, karena sudah mendapat bantuan? Lumayan untuk menyambung napas, setidaknya jadi tambahan. Gimana cara pemanfaatannya yang paling bijak? Ini dia tip dari QM Financial.
Memanfaatkan BLT 600 Ribu dengan Bijak
1. Bukan untuk gaya hidup
BLT 600 ribu ini memang tak banyak, tetapi bisa dipergunakan untuk apa pun, sepanjang untuk kebutuhan kita. Mau dipakai untuk liburan, atau untuk jajan-jajan es kopi susu literan, atau mungkin untuk checkout barang-barang lucu di marketplace yang sudah masuk ke wishlist?
Ya boleh saja. Kan, begitu dana tersebut masuk ke rekening kita, maka mau dipakai apa pun ya terserah kita. Betul? Tetapi, jika hanya dipakai untuk keperluan gaya hidup yang bersifat tersier begitu, maka manfaatnya tidak akan dapat kita rasakan secara optimal.
Sayang banget kan? Padahal di masa pandemi ini, kita bisa saja akan menghadapi berbagai situasi darurat. Enggak ada yang bisa memastikan kapan masa sulit ini akan berakhir. Apalagi sebagai karyawan, kita selalu berpotensi untuk kehilangan mata pencaharian atau mengalami penurunan penghasilan. BLT 600 ribu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebutuhan hidup yang bersifat pokok.
2. Tambahkan ke pos dana darurat
Yang pertama harus diamankan adalah pos dana darurat. Apakah dana daruratmu saat ini sudah cukup setidaknya untuk 3 – 6 bulan ke depan? Jika belum, maka BLT 600 ribu ini bisa ditambahkan ke pos dana darurat. Lumayan juga nanti akhirnya bisa bertambah Rp2.4 juta kan?
Memang besaran dana darurat idealnya adalah 4 bulan pengeluaran rutin (bagi lajang), dan 6 bulan untuk pasangan yang sudah menikah. Ditambah dengan masing-masing 3 bulan untuk tambahan per satu anak. Namun, ingat ya, bahwa di masa krisis dan resesi seperti ini, semakin besar cadangan dana maka akan semakin bagus, demi menghadapi ketidakpastian dalam beberapa waktu ke depan.
So, segera simpan di rekening dana darurat, dan jangan diutak-atik kecuali untuk keperluan darurat.
3. Untuk membayar utang
Jika saat ini kamu sedang struggling untuk membayar cicilan utang, maka BLT 600 ribu ini juga bisa dimanfaatkan.
Punya utang di masa-masa sulit seperti ini memang menjadi tambahan beban, ya kan? Mungkin penghasilanmu menurun, sehingga rasanya beban cicilan menjadi lebih besar. BLT ini bisa jadi tambahan agar kamu bisa membayar cicilan tepat waktu.
Kalau memang bisa dilunasi dengan uang insentif dari pemerintah ini, ya nggak usahlah ditunda lagi. Segera saja lunasi.
4. Investasikan
Buat yang belum punya kebiasaan untuk berinvestasi, nah, mumpung dapat bantuan uang tunai, coba yuk sekarang investasi!
Ya, instrumen investasi ada banyak sih. Tapi dengan total bantuan sebesar Rp2.4 juta, rasanya kan enggak mungkin dipakai untuk investasi properti. Untuk investasi emas, rasanya juga kurang. Maka alternatifnya adalah reksa dana, yang bisa dimulai dari dana Rp100.000 saja. Kamu bisa mencoba untuk menginvestasikannya di Reksa Dana Pasar Uang. Instrumen ini cocok buat kamu yang pemula, karena risikonya relatif paling rendah, dan imbalnya lebih besar ketimbang deposito. Meskipun, kalau kamu berniat untuk berinvestasi ke deposito ya enggak salah juga.
Yes, BLT 600 ribu mungkin memang tak seberapa. Tetapi, kalau kita bisa mengelolanya dengan baik, maka manfaatnya juga akan bisa optimal kita rasakan. Jangan sampai mubazir ya. Tetap belanja di warung-warung dekat rumah, agar ekonomi kita tetap bergerak.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
5 Langkah Mengelola Gaji yang Belum Pulih di Masa New Normal
Sebagian dari kamu mungkin saat ini sudah mulai menerapkan work from office, alias sudah kembali ke kantor untuk bekerja, dengan tetap menjalankan protokol kesehatan sesuai dengan anjuran pemerintah. Yep, rutinitas sudah balik, tapi sayangnya, gaji belum kembali seperti sebelum pandemi. So, sepertinya butuh cara tepat untuk mengelola gaji agar bisa survive nih.
Mengapa begitu?
Ya, karena sebagian dari perusahaan masih belum bisa membiarkanmu untuk lembur, atau melakukan perjalanan dinas, dan lain sebagainya, yang biasanya “membuahkan” tambahan gaji, insentif, bonus, dan lain-lain pada slip gajimu. Dengan demikian, sebagian dari karyawan sekarang masih harus puas dengan menerima gaji pokok dan beberapa tunjangan wajib saja, seperti tunjangan makan dan transportasi.
Padahal, rutinitas sudah kembali, yang berarti kebutuhan hidup juga jalan terus seperti sebelumnya, meski harus diadakan penyesuaian di sana-sini.
Jadi, gimana dong?
5 Hal untuk Mengelola Gaji yang Belum Pulih di Masa New Normal
1. Dahulukan kebutuhan dasar
Kebutuhan dasar adalah kebutuhan yang secara rutin kamu pakai, yang kamu gunakan untuk hidup, yang tidak bisa disubstitusi oleh barang lain. Mulai dari makanan, kebutuhan rumah tangga, transportasi, pulsa, listrik, air, dan sebagainya.
Enggak, langganan streaming film dan musik nggak termasuk kebutuhan dasar, karena tanpa langganan pun sebenarnya hidupmu baik-baik saja. Enggak, jajan kopi dan boba sebenarnya juga nggak termasuk kebutuhan dasar. Tetapi, beli air minum dalam galon bisa jadi kebutuhan dasar. Makanan termasuk kebutuhan dasar, tetapi pesan makanan online setiap hari yang masih ditambah ongkos kirim, itu bukan termasuk kebutuhan dasar. Beras, dan stok bahan makanan yang bisa kamu masak sendiri dan dijadikan lauk adalah kebutuhan dasar.
Nah, sudah terasa bedanya ya.
It’s ok sih kalau misalnya kamu mau tetap langganan streaming, jajan, pesan makanan online. Tapi kalau memang gaji kamu tidak mencukup, hal-hal ini bisa diatur lagi. Turunkan standar, dan coba cari cara agar pengeluaran bisa dikurangi.
Itu saja inti dari mengelola gaji yang belum pulih di masa new normal.
2. Prioritaskan utang
Untuk bisa mengelola gaji dengan lebih baik lagi di masa new normal, coba cek yuk, sampai dengan hari ini, posisi utangmu ada di mana? Masih kurang berapa banyak dan berapa lama?
Selain kebutuhan dasar, cicilan utang harus menjadi top priority dalam usaha kamu mengelola gaji yang belum normal di masa yang sudah “dinormalkan” ini.
Kalau memang perlu, kamu bisa meminta keringanan cicilan pada pihak pemberi pinjaman. Coba cek artikel yang sudah ditautkan ya. Memang sih, aturan stimulus pemerintah ini ditujukan bagi pekerja informal dan harian. Tetapi enggak ada salahnya kamu ajukan, meski kamu adalah karyawan suatu perusahaan, karena pada dasarnya setiap institusi keuangan memiliki kebijakan masing-masing.
Coba dulu boleh, siapa tahu lolos dan bisa membantu keuanganmu kan?
3. Cek dana darurat
Dana darurat akan menjadi jaring pengaman pertamamu untuk bisa survive di masa new normal, sementara gaji belum normal seperti sebelumnya.
Coba cek lagi ya, sebelum kamu benar-benar menggunakan tabungan untuk hidup ataupun mencairkan instrumen yang memang kamu gunakan sebagai dana darurat, seperti reksa dana pasar uang ataupun emas. Kamu harus tetap memperhitungkan setiap detailnya agar penggunaan dana darurat dapat seefektif mungkin.
Jangan lupa untuk mengembalikan dana darurat, begitu krisis ini berlalu.
4. Asuransi kesehatan harus tetap jalan
Yes, seharusnya sih iuran asuransi kesehatan–terutama BPJS Kesehatan dengan subsidi dari kantor–tetap jalan. Coba kamu cek ke bagian HR di kantormu ya. Pastikan iuran tetap dibayarkan, karena asuransi kesehatan seperti halnya kebutuhan dasar, sangat penting untuk tetap diprioritaskan dalam kondisi krisis sekalipun.
Jika kamu terpaksa harus dirumahkan atau terkena PHK, maka segera urus BPJS Kesehatan mandiri, agar iuranmu bisa tetap diteruskan.
5. Investasi jika mampu
Kalau di masa normal sebelumnya, investasi dan/atau menabung bisa kamu lakukan di awal setelah kamu menerima gaji. Tetapi, dalam kondisi krisis–meski kamu tidak disarankan untuk berhenti menabung dan/atau investasi–tetapi kamu bisa menurunkan prioritasnya setelah kebutuhan dasar dan cicilan utang aman.
Investasi di masa sulit mungkin memang akan sulit dilakukan oleh sebagian orang–termasuk mereka yang berstatus karyawan. Ya, kalau memang belum bisa memulai investasi, ya enggak apa. Yang penting, kamu bisa mengelola gaji yang belum pulih ini dengan baik, agar bisa survive sampai semua normal kembali.
Bagaimana? Apakah langkah-langkah mengelola gaji di atas dirasa sulit untukmu? Semoga enggak ya.
Kalau memang kamu merasa kesulitan mengelola gaji di masa new normal, coba usulkan diadakan training keuangan di perusahaan tempat kamu bekerja.
Kesemua hal tersebut bisa dipelajari bersama QM Financial dalam sebuah training karyawan yang dikemas interaktif dengan silabus yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Hubungi kami melalui WhatsApp ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru.
Sebagai Karyawan, Kamu Harus Mulai Investasi Sekarang! Ini 5 Produk Investasi yang Cocok!
Kadang kala, status sebagai karyawan bikin kita keenakan. Setiap bulan sudah dapat gaji teratur, pun tunjangan-tunjangan lancar mengalir. Hidup sudah terjamin, bahkan sampai masa pensiun. Nah, ini yang bahaya, karena akhirnya kita enggak pernah tahu, pentingnya mulai investasi sejak masih muda.
Padahal banyak tujuan finansial yang belum tercapai kan? Memangnya cukup kalau hanya mengandalkan gaji dan tabungan saja? Ingat, kita ada yang namanya inflasi, yang senyata-nyatanya, membuat apa yang tadinya tampak terjangkau jadi enggak terjangkau.
Dana menikah, dana melahirkan, dana pendidikan anak, dana pensiun, adalah beberapa tujuan finansial yang wajib kamu pikirkan, bahkan sejak kamu mulai bekerja. Semua itu enggak akan tercapai, tanpa kamu mulai investasi sejak sekarang.
Tapi kok … serem ya? Kesan yang timbul selama ini tentang investasi memang menyeramkan sih, karena identik dengan “rugi” dan “duit ilang”.
Itu karena kamu belum banyak tahu saja. Makanya, ayo belajar dan mulai investasi dari jumlah yang kecil dulu.
Lalu, investasi apa ya yang cocok untuk karyawan? Kan, gaji juga enggak seberapa nih. Sudah habis buat bayar tagihan, memenuhi kebutuhan hidup, dan hedon.
Tenang, kamu selalu bisa mulai investasi dari nominal yang kecil, dari mulai Rp100.000 saja. Tuh, kan itu seharga kopi susu dan boba selama seminggu aja? Nggak seberapa kan?
Mari kita lihat beberapa produk yang cocok untuk para karyawan yang baru mulai investasi
1. Deposito
Nah, jika kamu memang baru mulai investasi banget, maka deposito adalah produk yang paling tepat untuk menjadi yang pertama. Dijamin oleh LPS (di bawah Rp2 miliar), dan merupakan produk perbankan. Jadi tingkat keamanannya sangat tinggi. Ya risiko tetap ada, yaitu ketika bunga terus mengecil. Tapi selama ini jarang banget terjadi.
Deposito punya jangka waktu penyimpanan tertentu yang enggak boleh dilanggar. Kalau kamu mengambil tabunganmu sebelum jatuh tempo, maka akan ada denda yang harus dibayar, yang dinamakan penalti.
Suku bunganya lumayan sih, antara 4% hingga 8%. Naik turunnya masih wajar. Tetapi itu belum dipotong pajak ya.
2. Obligasi
Obligasi adalah salah satu produk investasi berupa surat utang. Penerbit obligasi atau surat utang ini bisa saja perseorangan, perusahaan, maupun negara.
Buat kamu yang baru mulai investasi, obligasi negara menjadi pilihan tepat. Soal keamanannya, sudah pasti aman, karena negara sendiri yang menjamin. Masa sih enggak percaya sama pemerintah sendiri?
Keuntungan lainnya yang bisa kamu dapatkan jika kamu turut berinvestasi pada negara melalui obligasi ini adalah kamu bisa mendapatkan kupon atau bunga secara tetap yang lebih besar dari bunga deposito.
Untuk bisa membeli surat utang negara ini sekarang juga semakin dipermudah. Kamu bisa beli secara online di beberapa pihak yang ditunjuk sebagai mitra distribusi.
3. Reksa dana
Reksa dana merupakan produk investasi yang cocok buat kamu yang enggak pengin ribet melakukan analisis ini itu, selayaknya saham. Reksa dana ini cocok banget buat kamu yang baru mulai investasi, lantaran dana investasimu akan dikelola oleh mereka yang sudah profesional.
Untuk membeli reksa dana, kamu juga enggak perlu menyediakan modal terlalu banyak. Bisa mulai dari Rp100.000, dan bahkan kamu bisa membayarnya dengan GoPay di manajer investasi tertentu.
Tuh kan, ketimbang hanya kamu pakai buat foya-foya dengan PayLater tanpa tujuan yang jelas, mending kamu alihkan dana untuk mulai investasi di reksa dana.
4. Saham
Kalau kamu pengin mengelola dana investasimu sendiri–tanpa melalui manajer investasi seperti pada reksa dana–kamu bisa langsung nyebur ke saham. Tapi, ya sebaiknya belajar dulu ya, biar beli sahamnya enggak ngitung kancing atau pakai bakar-bakar sesajen.
Dengan keterampilan analisis fundamental dan analisis teknikal yang mumpuni, kamu akan bisa membaca saham perusahaan mana yang akan mendatangkan keuntungan untukmu.
Buat kamu yang baru mulai investasi, lebih baik memilih saham bluechip dulu saja. Saham bluechip adalah saham perusahaan-perusahaan besar yang sudah mapan, dan punya sistem yang sudah mantap.
Seiring waktu, kamu bisa belajar lagi hingga bisa mengenali perusahaan mana yang cukup agresif mengembangkan diri, sehingga layak kamu tambah modalnya.
5. Properti
Enggak hanya cocok untuk kalangan karyawan, investasi properti memang banyak diminati. Dari ibu rumah tangga sampai pengusaha besar.
Semua itu lantaran harga properti yang cenderung naik setiap tahun. Memang kalau mau mulai investasi properti ini, kamu akan butuh modal besar sih. Tapi, siapa tahu kan, kamu masih tinggal di rumah orang tua, masih single, belum butuh tempat tinggal sendiri tapi sudah bisa mencicil KPR. Enggak ada salahnya, properti yang kamu beli lantas kamu sewakan pada orang lain untuk memberimu penghasilan.
Good idea, huh?
Nah, itu dia 5 produk yang bisa dipilih jika kamu mau mulai investasi sekarang. Mumpung masih muda, masih jadi karyawan–pendapatan bisa diharapkan untuk tetap dan pastinya akan bertambah seiring waktu. Iya kan? Amin!
Yuk, tambah lagi pengetahuanmu akan pengelolaan keuangan! Biar karyawan, punya gaji tetap, sudah dijamin masa pensiunnya, kamu harus tetap bisa mengelola uang dengan baik dong! Ikuti kelas finansial online QM Financial dan pilih kelas yang kamu butuhkan sesuai tujuan finansialmu.
Jangan lupa juga follow akun Instagram QM Financial, supaya enggak ketinggalan berbagai update dan tip keuangan terbaru.
Gaji Besar Versus Kepuasan Kerja: Pilih Mana?
Dalam suatu obrolan, seorang teman ikrib (saking akrabnya) pernah bilang begini, “Buat kerja, seenggaknya harus salah satu lu dapet: kalau lu gak suka sama kerjaannya, lu harus punya gaji besar. Tapi, kalau duitnya dikit, setidaknya lu mesti hepi ngerjainnya. Ya, syukur-syukur dapet dua-duanya. Kalau enggak ada, ya ngapain?”
Setuju enggak kira-kira dengan kata-kata di atas? Pendapat pribadi nih ya–kalau memang bisa memilih pekerjaan–saya sih setuju dengan pernyataan tersebut.
Maksudnya, nasib ya siapa yang bisa menentukan. Betul? Kadang kita memang bisa dapat semua yang kita mau, kadang juga enggak. Kalau memang nasib lagi baik, dan kita bisa memilih pekerjaan, maunya sih ya dapat gaji besar dan hepi ngerjainnya. Tapi kalau enggak bisa dapat yang ideal macam itu, ya setidaknya harus salah satu yang dipilih. Kalau enggak ada yang bisa dipilih (plus kepepet), ya akhirnya apa aja deh dikerjain, asal halal.
Ternyata kontroversi soal gaji besar versus kepuasan kerja ini masih saja diperdebatkan di antara para pelaku dunia kerja. Ya, wajar sih, karena masing-masing punya kebutuhan dan prioritas yang berbeda. So–lagi-lagi opini pribadi nih–enggak ada yang salah dan enggak ada yang benar 100% tentang gaji besar versus kepuasan kerja. Tergantung kondisi masing-masing.
Pilih Mana?
Gaji Besar
Siapa sih yang enggak butuh duit? Enggak ada, iya nggak sih? Realistis saja, sepertinya enggak ada orang yang nggak butuh duit. Makanya, banyak karyawan yang seneng-seneng saja kalau dapat gaji besar. Enggak heran juga, ada fresh graduate yang menolak gaji Rp8 juta.
Tapi, kadang banyak yang lupa. Bahwa nominal gaji itu ekuivalen dengan besarnya beban, tanggung jawab, dan tuntutan.
The New York Times pernah mengulas dan memberikan data survei yang dilakukannya pada 500.000 pekerja di Amerika Serikat, yang membawa kesimpulan akhir bahwa gaji besar ternyata tak menjamin seseorang bahagia dan puas dengan pekerjaannya. Beberapa orang mengungkapkan, gaji mereka yang besar menuntut aneka bentuk pengorbanan–hilangnya waktu kebersamaan dengan keluarga, dengan teman-teman, enggak bisa menekuni hobi, kurangnya waktu beristirahat, dan sebagainya.
Belum lagi, jika kondisi dan situasi di tempat kerja juga kurang nyaman; terlalu banyak politik kantor, drama ina-inu, gosip, kurangnya kerja sama antar rekan, dan sebagainya.
Hal-hal tersebut seakan membuat nominal besar di slip gaji yang diterima setiap bulan menjadi “bukan apa-apa” lagi.
Namun, di sisi lain, gaji besar bisa menjadi motivasi bagi seorang karyawan untuk berusaha lebih baik dan berkontribusi lebih banyak. Gaji dan berbagai kompensasi bisa menjadi “bensin” yang selalu membakar semangat untuk terus bekerja dengan baik.
Ada yang enggak setuju dengan hal ini? Kayaknya sih semua setuju ya?
Kepuasan Kerja
Di sisi lain, kepuasan kerja memang bisa dicapai saat kita mendapatkan gaji yang selayaknya dengan hasil dan kinerja yang sudah kita berikan. Logikanya, kalau hasil kerja bisa memuaskan pastinya kita juga boleh mengharap gaji besar. Sehingga besaran gaji dan juga kepuasan ini akan saling memengaruhi. Dengan logika yang sama pula, kita seharusnya jadi bisa menyimpulkan, saat kepuasan kerja tercapai maka kita pun pasti happy menjalani kerja tersebut.
Tetapi, ternyata, fakta yang dibawa oleh survei yang dilakukan The New York Times mengatakan, bahwa gaji besar enggak selamanya bisa menjamin orang bahagia saat bekerja. Alih-alih, banyak yang mengungkapkan justru hal-hal di luar gajilah yang menentukan apakah mereka akan bertahan di suatu pekerjaan atau lebih memilih pindah kantor atau bahkan pindah bidang kerja.
Banyak responden yang mengungkapkan, bahwa mereka punya gaji besar namun gerah akan kompetisi antarkaryawan di kantor yang sangat ketat. Bukannya saling membantu, masing-masing malah saling menjatuhkan. Lama-kelamaan mereka tak merasa puas lagi pada pekerjaannya. Bukan lantaran tak dibayar cukup, tetapi karena pekerjaan yang dimiliki tidak mencakup kebutuhan jiwa dasar, yaitu kenyamanan dan keamanan, kebutuhan untuk berkembang, menjalin hubungan baik dengan sesama, serta ikut berkontribusi dalam bidang yang digeluti.
Hmmm, kalau dari sini tampak bahwa kebutuhan untuk eksis dan dihargai ternyata jauh lebih tinggi ketimbang kebutuhan untuk mendapatkan gaji besar.
Gaji Besar Versus Kepuasan Kerja: Mana yang Dipilih?
Sekali lagi, hal ini tergantung pada prioritas masing-masing karyawan. Ada yang memang berharap punya gaji besar. Karena itu, ia siap dengan segala konsekuensinya, seperti siap bersaing dengan rekan kerja sendiri, siap bekerja keras dengan target ketat, hingga siap pula dengan beban kerja yang lebih banyak dan berat. Suasana kurang kondusif pun bisa diatasi, karena ia sudah siap dengan konsekuensi itu juga.
Di sisi lain, ada karyawan yang lebih puas dengan mengejar passion-nya, meskipun mungkin gajinya tak sebesar karyawan yang lain. Tapi ada beberapa faktor keamanan dan kenyamanan yang dirasakan, sehingga ia merasa bisa berkontribusi pula dengan maksimal.
Well, berapa pun gaji yang kita terima–baik gaji besar ataupun gaji kecil–itu sebenarnya relatif dan harus selalu disyukuri, karena banyak hal yang memengaruhi. Permasalahan terbesarnya adalah mampukah kita mengelola gaji kita–seberapa pun besarnya itu–sehingga bisa membuat kita bertahan hidup sampai tiba waktu gajian berikutnya? Banyak lo, yang punya gaji besar tapi ternyata di pertengahan bulan sudah terlanda sindrom tanggal tua.
Duh, semoga enggak banyak yang tersindir ya.
Yuk, ikut kelas-kelas finansial online dari QM Financial yang bisa dipilih sesuai kebutuhan! Cek jadwalnya di web Event QM Financial atau follow akun Instagram QM Financial biar update terus ya.
Saat Gaji Terlambat Dibayarkan, 5 Hal untuk Dilakukan
Adakah yang pernah mengalami gaji terlambat dibayarkan? Gimana ya, rasanya? Hmmm, gaji yang ditunggu, mau dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ternyata nggak nongol juga di rekening. Hadeh. Apa kabar topup reksa dana nih? Boro-boro, mau ngopi aja berarti mesti ganti kopi sachet dulu.
Yah, begitulah. Dunia kerja dan segala permasalahan dan isunya. Terkait juga sih dengan perputaran roda bisnis, kalau tersendat, ya bisa jadi semua-mua jadi kena efek. Paling nggak enak, kalau hak-hak karyawan mulai terhambat.
Well, bisa dibilang, saat gaji terlambat dibayarkan ini merupakan salah satu “isyarat” paling jelas bahwa perusahaan sedang berada di kondisi yang sangat sulit. Karena ketika perusahaan terlambat membayarkan gaji, itu berarti sebenarnya mereka sedang menghadapi ancaman sanksi dari negara, selain mungkin bisnis mereka sendiri juga sedang terancam.
Sanksi dari negara? Iya, ada lo aturannya mengenai keterlambatan pembayaran gaji. Mari kita kutip sedikit.
Seperti yang sudah disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan pada Pasal 55 ayat (1), bahwa pengusaha yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar upah dikenai denda, dengan ketentuan:
- Keterlambatan pemberian upah mulai dari hari ke-4 – hari ke-8, pengusaha dikenakan denda sebesar 5% per hari.
- Keterlambatan pemberian upah sampai dengan sesudah hari ke-8, pengusaha akan terkena denda keterlambatan 5% (seperti poin 1 di atas) dan ditambah 1% per hari keterlambatan, dengan ketentuan 1 bulan tidak boleh melebihi 50% dari besaran upah yang seharusnya dibayarkan.
- Saat gaji terlambat dibayarkan sampai lebih dari 1 bulan, maka pengusaha dikenakan denda keterlambatan 5% + 1% (seperti ketentuan poin 1 dan 2 di atas) dan ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.
- Pengenaan denda sebagaimana dimaksud di atas tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah, seperti yang dijelaskan pada Pasal 55 ayat 2 PP Pengupahan.
Nah lo. Banyak ternyata sanksinya ya? Karena itu, sepertinya kan enggak mungkin ada perusahaan yang sengaja menghambat pemberian gaji, bukan? So, kalau kamu ngalamin gaji terlambat dibayarkan, maka ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan segera, demi bisa memperpanjang hidup sampai ada pemasukan lagi.
Jika Gaji Terlambat Dibayarkan, Apa yang Harus Kamu Lakukan?
1. Tanyakan penyebabnya
Biasanya sih–menurut pengalaman yang sudah-sudah–saat perusahaan sedang dalam kesulitan, pihak manajer tidak akan serta merta mengumumkan kondisi tersebut pada anak buah secara langsung dan terbuka. Mereka hanya akan membicarakannya dengan pihak-pihak tertentu yang punya andil dalam situasi darurat tersebut.
Tapi, kalau sampai gaji terlambat dibayarkan, ada baiknya karyawan langsung bertanya (bisa melalui HR) mengenai penyebabnya, dengan kalimat yang baik tentu saja. Setelah mengetahui penyebab, kita sebagai karyawan juga berhak tahu, sampai kapankah situasi ini akan “dipertahankan”. Kita berhak tahu dan mendapatkan kepastian, harus sampai kapan kita menunggu.
Nah, kalau perlu, ajak rekan-rekan kerja yang lain untuk ikut berdiskusi dengan pihak manajemen terkait hal ini. Yang penting, jangan emosional, kepala harus tetap dingin, dan berdiskusilah untuk menemukan solusi bersama.
2. Cek dana darurat
Langkah kedua yang harus segera dilakukan saat gaji terlambat dibayarkan adalah mengecek kondisi dana darurat kita. Semoga sih, sudah ada dana darurat seenggaknya 4 kali pengeluaran bulanan ya. Ini minimal banget nih. Buat yang sudah berkeluarga, pastinya akan lebih aman kalau memenuhi 9 kali pengeluaran bulanan.
3. Lakukan financial checkup
Lalu, setelah mengecek kondisi dana darurat, segera lakukan financial checkup. Berapa tabungan yang ada sekarang, berapa pengeluaran bulanan (sekalian dicek, apa saja yang bisa dipangkas dan dihemat), dan kemudian cek posisi utang dan cicilan.
Meski keringat dingin akan mengucur selama melakukan financial checkup, tapi ini penting banget untuk dilakukan ya. Biar kita tahu pasti posisi kita berada di mana.
4. Bersiap untuk kemungkinan terburuk
Nah, setelah melakukan financial checkup, maka segeralah bersiap untuk kemungkinan terburuk. Apa itu? Duh, mesti banget disebutkan ya? Amit-amitlah ya, semoga enggak perlu terjadi, tapi kita harus tetap siap.
Yang pasti, tetap tenang jangan panik. Bisa saja memang ini sudah waktunya kita berhenti, mundur sejenak, lalu melihat peluang lain yang lebih baik.
5. Pertimbangkan apakah perlu menempuh jalur hukum
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), sebagai karyawan kita bisa menyelesaikan perkara ini melalui beberapa cara. Yaitu cara bipartit (antara karyawan dan perusahaan), tripartit (dengan menghadirkan mediator antara karyawan dan perusahaan), ataupun dengan cara pengadilan hubungan industrial.
Well, memang prosedurnya akan panjang. So, pertimbangkan dengan saksama, apakah memang ini jalur yang akan ditempuh demi mendapatkan hak kita sebagai karyawan, ataukah move on saja dan mencari alternatif penghasilan yang lain.
Yuk. gabung di kelas-kelas finansial online QM Financial, terutama untuk membantumu melewati saat-saat tersulit dalam hidup. Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA). Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk berbagai info dan tip keuangan yang praktis.
5 Pos Pengeluaran Karyawan yang Sebenarnya Mubazir dan Bikin Bocor Halus
Ya ampun, punya gaji kok 25 koma 1. Gajian tanggal 25 koma di tanggal 1. Apa yang salah? Perasaan, semua sudah baik-baik saja, atur pos pengeluaran juga sudah oke. Yang wajib-wajib dulu–cicilan, investasi, operasional, iuran anggota … sebentar, iuran anggota? Iya, anggota klub hobi, membership gym, arisan …
Hmmm, ini nih. Kadang ya, sebagai karyawan, kita sudah berusaha atur cash flow sesuai dengan yang disarankan. Tapi, si bocor-bocor halus kadang teteup aja ada. Bocor halus artinya kondisi saat kita merasa enggak boros, tapi duit hilang aja gitu dari dompet.
Kalau kata Mbak Ligwina Hananto, Lead Trainer QM Financial, adanya bocor halus ini berarti menandakan kita masih belum gape mengatur cash flow. Nah lo. Berarti ayo, belajar lagi.
Untuk bisa mengatasi si bocor halus, maka kita mesti tahu dulu penyebabnya. Kalau bocor halus di ban mobil, kita mesti nyari bolongnya di mana. Kalau bocor halus di pengeluaran? Ya, berarti kita harus cari tahu, pos pengeluaran mana yang mubazir?
Sebagai karyawan, kita memang akan banyak mengeluarkan uang sehari-hari, mulai bangun pagi hingga nanti akhir hari. Masih juga ada pengeluaran bulanan hingga tahunan. Ayo, kita lihat.
5 Pos Pengeluaran Karyawan yang Mubazir
1. Membership gym
Niatnya bagus sih, pengin hidup sehat. Tapi, kalau olahraga sendirian aja, kurang asyik ah. Enakan sekalian aja jadi anggota pusat kebugaran. So, apply deh membership di gym yang oke. Ada iuran administrasi, besarnya sih variatif. Salah satu gym–dari hasil penelusuran–mematok harga Rp700.000 sebagai “mahar” pertama. Lalu, ada iuran anggota sebesar Rp300.000 setiap bulan.
Sekalian deh, membership di fasilitas kolam renangnya juga. Sekali datang sih Rp250.000. Tapi kalau pakai membership, tiap bulan Rp170.000 aja.
Tapi oh tapi, ke gym-nya cuma rajin di 4 bulan pertama aja. Setelah itu, duh, sibuk. Nggak sempat olahraga di gym. Yoga di rumah pakai Youtube, cukuplah.
Terus, membership di gym-nya gimana? Ya udah tetap iuran aja deh, siapa tahu nanti-nanti mau rajin lagi.
Duh, duh. Sungguh pos pengeluaran yang mubazir, Kakak.
2. TV kabel
Maunya sih cari hiburan. Tapi yang bisa di rumah saja. TV kabel jadi pilihan. Tapi … hmmm. Kok channel-channelnya kurang oke ya? Upgrade layanan ah, biar dapat channel yang nayangin film-film box office.
Tapi, akhirnya apa yang terjadi? Lebih banyak nonton Youtube atau Netflix. Akhir pekan? Nonton di bioskop dong, sama teman-teman.
Nonton TV kabelnya kapan?
Padahal pos pengeluaran langganan TV kabel tiap bulannya ini lumayan juga lo. Bisa sampai sekian ratus ribu kan? Iya sih, memang sekalian dengan fasilitas wifi internet yang kenceng. Tapi kalau memang enggak butuh TV kabel, coba cari informasi, apakah kita bisa langganan internetnya aja, terus Youtube-an aja atau Netflix-an aja.
3. Langganan bulanan
Langganan bulanan apa? Majalah? Koran? Aplikasi musik online?
Kalau seumpama nih, baca-baca online saja, kira-kira cukup enggak? Banyak majalah dan koran punya versi online-nya kan? Yang berlangganan ada sih, tapi yang bisa dibaca gratisan juga banyak. Tinggal kita saja yang harus bijak memilih bacaan–yang sebenarnya harus kita lakukan baik ketika membaca media offline maupun online.
Selain itu, pos pengeluaran berlangganan aplikasi musik online juga sepenting itukah? Pilihannya adalah, kalau kita enggak berlangganan, maka akan ada beberapa iklan lewat. Kalau misalkan iklan nggak terasa mengganggu, sepertinya pilihan untuk dengarkan secara gratis aja, nggak masalah kan?
Berlangganan majalah bisa jadi sekian ratus ribu per bulan. Berlangganan aplikasi musik beberapa puluh ribu. Nah, kalau kedua pos pengeluaran yang tak perlu ini dikurangi, lumayan banget kan buat beli reksa dana?
4. Beli boba, kopi kekinian, atau air mineral
Berangkat ke kantor, pilihannya ada dua: beli boba atau beli kopsus alias kopi susu ya? Kemarin sudah menikmati boba, hari ini kayaknya pilihan jatuh ke segelas plastik kopi susu. Oh, jangan lupa juga beli air mineral di minimarket terdekat, kan harus memenuhi kebutuhan tubuh akan air sebanyak 8 gelas sehari, bukan?
Well, coba deh. Beli tumbler yang bagus, lalu bikin kopi sendiri di rumah dan bawa ke kantor. Air mineral juga bisa bawa sendiri dari rumah kan? Beli galon–kalau nggak malah bisa rebus air sendiri dari PAM, lalu isi tumbler yang lain.
Pos pengeluaran untuk boba, kopsus dan air mineral pun bisa dicoret dari anggaran.
5. Belanja di supermarket
Supermarket–apalagi yang berada di dalam mal–memang menyimpan kenyamanan buat belanja. Makanya, banyak yang lebih hepi kalau belanja di supermarket.
Tapi, suasana yang nyaman ini juga costly pada pos pengeluaran lo, karena harga-harga di supermarket tentunya lebih mahal ketimbang harga barang di pasar tradisional. Selisihnya lumayan, satu barang bisa ada selisih harga antara Rp3.000 hingga belasan ribu, dikalikan dengan jumlah barangnya jadi berapa? Pernah nggak menghitung selisih ini?
Pasar tradisional dewasa ini banyak dibangun pemerintah lo. Tak lagi berkesan becek dan jorok, bahkan ada yang bangunannya sudah mirip pusat perbelanjaan. Minus AC saja barangkali, tapi untuk selisih harga yang bisa menyelamatkan pos pengeluaran, ya mengapa nggak belanja aja di pasar tradisional?
Nah, apakah beberapa pos pengeluaran di atas masih ada dalam anggaran bulan ini? Kalau iya, yuk, diatur lagi, supaya bulan depan bisa dikurangi.
Yuk, gabung di kelas-kelas finansial online QM Financial. Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA). Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk berbagai info dan tip keuangan yang praktis.
Gaji Fresh Graduate 8 Juta? Coba Lihat Beberapa Fakta tentang Gaji Pertama
Kalau mengingat beberapa (puluh) tahun yang lalu menerima gaji fresh graduate pertama, dikasih berapa pun rasanya seneng aja. Pertama kalinya bisa cari uang sendiri, bermodal ijazah dan ilmu yang didapatkan dari bangku kuliah, minim pengalaman, minim pengetahuan praktis selain teori, rasa-rasanya gaji Rp1 juta aja sudah kayak dapat Rp8 juta di zaman sekarang.
Waktu itu juga belum mikirin banyak hal. Asal bisa buat bensin, pulsa (waktu itu juga masih hanya dipakai buat SMSan plus misscall-misscall-an sama gebetan) jadi ya enggak butuh kuota terlalu banyak kayak sekarang, sudah seneng banget. Syukur-syukur sekali waktu bisa ke toko buku, terus keluar sambil menenteng dua tiga novel terbaru karya penulis idola. Makan masih sama orang tua, kadang kalau saudara-saudara ada yang datang atau lagi dapat rezeki, ikut kecipratan angpao juga. Belum ada tanggungan keluarga, apalagi mikirin dana pendidikan anak.
Indahnya hidup sebagai fresh graduate.
Saat nego gaji waktu interview juga dengan polosnya bilang, “Yah, berapa aja deh. Asal sesuai UMR.” Yang penting jangan kelamaan nganggur di rumah. Omongan orang sekitar lebih kejam dibanding gaji Rp1 juta.
Gaji fresh graduate Rp1 juta atau Rp8 juta itu sebenarnya relatif, karena namanya juga gaji, banyak faktor dan komponen yang memengaruhi. Pun sangat subjektif.
Ada yang menganggap Rp1 juta itu sudah cukup banget, karena ya mungkin kurang lebih gambarannya seperti di atas. Masih makan sama orang tua, masih tinggal di rumah yang sama. Nggak butuh apa-apa, dan masih belum punya rencana terlalu jauh. Lagi pula, wewenang dan kewajiban juga masih pemula juga. Masih harus belajar banyak. So, gaji pertama Rp1 juta dirasa cukup bahkan mungkin berlebih, apalagi kalau tinggal di wilayah dengan UMR kecil.
Sementara, ada yang menganggap gaji Rp1 juta itu terlalu kecil. Ada fresh graduate yang memang sudah kaya pengalaman. Mungkin sembari kuliah, dia sudah pernah bekerja cukup lama dan punya jam terbang tinggi. Mungkin juga, sembari kuliah, dia sudah pernah punya bisnis dan jadi founder startup. Siapa tahu kan? Plus, dia tinggal dan mencari kerja di wilayah yang punya UMR tinggi. Ditambah, tanggung jawab dan wewenangnya di pekerjaan barunya juga cukup menantang. Menuntutnya untuk cepat beradaptasi dan belajar secara cepat.
Kalau seperti itu, ya wajar gaji Rp1 juta enggak cukup.
See? Banyak hal yang memengaruhi, so kita harus melihat kondisi realnya. Mari kita lihat.
Beberapa fakta yang mesti diketahui mengenai gaji fresh graduate
1. Gaji dipengaruhi wilayah
Yang perlu pertama kali dipahami adalah gaji itu sangat ditentukan oleh wilayah. Yang di Jakarta sudah pasti berbeda gajinya dengan mereka yang di Jogja. Update terbaru menyebutkan, bahwa UMP tertinggi untuk tahun 2019 masih dipegang oleh Jakarta, yakni sebesar Rp3,9 juta. Menyusul kemudian dengan Papua, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, lalu Papua Barat.
So, mau dapet gaji fresh graduate tinggi? Bekerjalah di perusahaan-perusahaan yang berbasis di kota-kota di atas.
Dan, kalau katanya lulusan universitas tertentu skalanya kerja di perusahaan asing, dan menolak gaji pertama sebesar Rp8 juta, rasanya ya wajar. Karena di Malaysia, gaji fresh graduate paling standar adalah Rp9 juta.
Jadi, nggak mau menerima gaji fresh graduate sebesar Rp8 juta? Ya mungkin ada baiknya yang bersangkutan segera mengurus visa tenaga kerja, supaya bisa langsung capcus ke Malaysia, minimal. Bagus kan? Jadi pahlawan devisa dong.
2. Self value
Besar enggaknya gaji fresh graduate juga tergantung pada self value para pelamar kerja. Gampangannya, kalau memang minim pengalaman, hanya punya pengetahuan teoretis dan bukan praktis, dan kemudian setelah melewati psikotes juga terbukti punya soft skill yang kurang, maka sudah bisa dipastikan, “harga diri” juga minim.
Kalau sudah begini, tinggal disesuaikan saja sih dengan kebijakan perusahaan. Pastinya setiap perusahan punya standar dan kebutuhan yang berbeda. Memang di sini, tak hanya soal ijazah terbitan mana saja yang menjadi penentu apakah kita bisa menerima gaji fresh graduate yang tinggi atau enggak. Tapi value diri kita sendiri. Karena kita bekerja hanya membawa diri sendiri saja, enggak ada lagi “sisa-sisa” dari tempat kuliah dulu.
Kalau masih pengin idealis, sebagian pasti berusaha mencari pekerjaan sesuai dengan ilmunya. Tapi, bagi sebagian yang lain, dapat kerjaan apa saja–yang penting halal–dengan gaji berapa pun itu sudah patut disyukuri banget. Karena mungkin kondisi dirinya butuh banget segera kerja dan mendapatkan penghasilan, berapa pun.
3. Tergantung skala perusahaan
Skala perusahaan tempat kita bekerja pertama kali juga akan memengaruhi, tak hanya gaji fresh graduate, tapi bahkan karier kita ke depan. Kalau kita pertama kali langsung bekerja di perusahaan-perusahaan yang bonafid, pastilah gaji juga mengikuti. Sedangkan, kalau kita bekeja di perusahaan average atau bahkan home based business, ya pastinya akan berbeda pula.
Ingat dong, bahasan mengenai menjadi ikan besar di kolam kecil ataukah menjadi ikan kecil di kolam besar. Hal ini juga akan memengaruhi besaran gaji yang akan kita terima.
So, gaji besar atau gaji kecil itu sangat relatif, boleh jadi nggak semua orang punya pandangan yang sama. Tapi pasti semua orang setuju, kalau mau berapa pun gaji yang diterima, bagaimana pengelolaannyalah yang utama. Karena tanpa pengelolaan keuangan yang baik, gaji besar atau kecil ya nggak ada artinya. Pasti jadinya, gaji satu koma empat; gajian tanggal satu koma di tanggal empat.
Yuk, belajar mengelola gaji fresh graduate kamu dengan mengikuti kelas-kelas finansial online dari QM Financial yang jadwalnya bisa kamu simak di web ini. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas terbaru.
Upah dan Gaji: 4 Perbedaan Mendasar Antara Keduanya
Kita sudah sering bahas tentang upah dan gaji ya? Tapi memang keduanya ini sinonim ataukah beda arti sih?
Upah dan gaji adalah dua hal yang berbeda. Selama ini, memang banyak yang salah kaprah ya, upah dan gaji dianggap sebagai sinonim, tapi ternyata enggak lo! Memang upah dan gaji sama-sama merupakan bentuk imbalan yang diberikan oleh pihak pemberi kerja kepada pekerja, tetapi keduanya punya perbedaan yang prinsip meski tipis-tipis.
Sebagai pekerja dan pencari kerja, kita wajib tahu nih apa beda upah dan gaji, supaya kita pun paham hak dan kewajiban kita kepada pemberi kerja. Harapannya sih ya pada akhirnya, kita jadi bisa mengelola imbalan yang kita terima itu–baik yang berupa upah ataupun gaji–dengan bijak untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sehari-hari.
Setidaknya ada 5 perbedaan mendasar pada upah dan gaji yang perlu kita tahu. Apa saja?
1. Definisi upah dan gaji
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gaji berarti upah kerja yang dibayar dalam waktu yang tetap.
Sedangkan, upah–seperti yang tertulis dalam Undang-Undang no. 13 tahun 2003–berarti hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Upah dapat diberikan secara tidak tetap, disesuaikan dengan target kerja yang sudah disepakati antara pemberi kerja dan pekerjanya. Sedangkan gaji diberikan secara teratur dalam waktu yang tetap.
2. Komponen penyusun
Komponen penyusun besaran gaji terdiri atas 5 hal: gaji pokok, tunjangan tetap (seperti tunjangan jabatan), tunjangan tidak tetap (tunjangan yang diberikan berdasarkan jumlah kehadiran), uang lembur (jika ada), dan potongan (potongan pajak atau cicilan utang, misalnya).
Kelima komponen itu akan tetap tertulis di slip gaji sampai karyawan resign dari perusahaan. Meski mungkin angkanya akan berbeda, tetapi biasanya tidak terlalu banyak karena adanya tunjangan tidak tetap. Tunjangan tidak tetap ini misalnya tunjangan transportasi yang diberikan hanya jika pekerja datang ke kantor. Kalau cuti atau libur, maka tidak ada tunjangan transportasi.
Begitu juga dengan uang lembur, akan menambah besaran gaji yang diterima oleh pekerja. Sedangkan potongan–biasanya juga bersifat tetap paling tidak sementara waktu–akan menjadi faktor pengurang.
Upah bersifat lebih tidak tetap. Upah bisa diberikan berdasarkan jam kerja, tingkat kehadiran ataupun target kerja harian yang berhasil dicapai si pekerja. Meski lagi-lagi perhitungan tersebut didasarkan pada kesepakatan bersama antara pekerja dan pemberi kerja, namun besaran upah bisa saja berubah dari hari ke hari, juga tak sama antara pekerja satu dengan yang lainnya. Dalam upah bagi para pekerja ini kadang ada juga tunjangan makan ataupun uang lembur, yang diberikan atas dasar kehadiran ataupun jam kerja. Jadi selain upah pokok, juga ada tambahan lainnya.
Upah juga bisa diberikan pada para pekerja lepas, yang bekerja berdasarkan ikatan kerja informal. Biasanya upah yang diterima hanya berdasarkan hasil pekerjaan yang diserahkan pada pemberi kerja. Dalam upah bagi pekerja lepas, tidak ada komponen tunjangan seperti halnya gaji.
3. Status karyawan
Perbedaan upah dan gaji berikutnya berkaitan dengan status pekerja. Setidaknya, kita mengenal 2 strata karyawan dalam struktur organisasi perusahaan, yaitu jajaran staf manajerial dan staf pelaksana, atau yang sering disebut buruh.
Nah, biasanya dari sini saja sudah terlihat. Staf manajerial dibayar dengan sistem gaji, sedangkan buruh dibayar dengan sistem upah.
Gaji akan semakin besar seiring lama kerja karyawan, semakin tinggi jabatannya, dan semakin besar tanggung jawabnya. Sedangkan upah tidak akan dipengaruhi oleh jenjang karier pekerjanya.
4. Waktu pembayaran
Seperti yang sudah disebutkan pada poin pertama perbedaan upah dan gaji di atas, bahwa gaji diterimakan dalam jangka waktu yang teratur. Misalnya, sebulan sekali pada akhir bulan, awal bulan, ataupun tanggal-tanggal tertentu sesuai perjanjian kerja yang disepakati. Ada juga yang dibayarkan lebih lama, misalnya tahunan.
Buruh akan menerima upah lebih tidak tentu waktunya. Bisa menerima harian, mingguan, ataupun bulanan, tergantung kesepakatan dengan pemberi kerja.
Dan, beda lagi dengan pekerja lepas atau freelancer. Pada umumnya, upahnya akan dibayarkan setelah pekerjaan selesai, dengan mengirimkan tagihan pada pemberi kerja. Tapi, ada juga yang menerapkan sistem down payment per project. Jadi, memang tergantung kebijakan masing-masing secara profesional.
So, dari uraian di atas kita jadi bisa menyimpulkan perbedaan upah dan gaji secara sederhana dong ya? Bahwa gaji merupakan bagian dari upah, sedangkan upah belum tentu berupa gaji. Bener nggak?
Sudah tahu perbedaan upah dan gaji, next kita belajar mengatur gaji dan keuangan pribadi kita supaya bisa mencapai tujuan keuangan dengan sukses. Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA), untuk mengatur jadwal yang paling baik. Atau, bisa juga ikut kelas finansial online yang sesuai dengan kebutuhan dalam Financial Clinic Online Series. Silakan cek jadwalnya ya. Jangan lupa follow juga akun Instagram QM Financial.
Gaji Naik, Lifestyle Nggak Harus Naik Juga – Coba Pertimbangkan 5 Hal Ini!
Hei, selamat ya, gaji naik! Ciyeee … makan-makan nih, karena negosiasi gaji berhasil! Atau mungkin, mendapatkan promosi ya? Eits! Sebentar, jangan buru-buru langsung undang semua teman untuk ditraktir makan atau ngopi untuk merayakan gaji naik. Tahan dulu, pikir dulu.
Ya, begitulah yang terjadi pada dunia kerja kita ya. Gaji naik means lebih royal dalam mengeluarkan uang. Standar hidup pun naik. Yang tadinya puas pakai netbook dengan spek paling minim, jadi beli Macbook Air. Yang tadinya bawa bekal dari rumah, sekarang mampir aja ke drive-thru atau pesan makanan online. Yang tadinya cukup ngopi sachet, sekarang ngopi mesti ke warung kopi dan minum kopi manual brew.
Salah emang? Enggak sih, nggak salah. Hanya saja, alangkah baiknya kalau dipertimbangkan lagi. Perlukah lifestyle juga naik standarnya kalau gaji naik?
Ada seorang pengusaha yang bertanya pada seseorang yang merupakan karyawan sebuah perusahaan, “Kalau gaji kamu Rp1.000.000, kamu bisa nabung Rp100.000. Lalu kalau gaji kamu naik jadi Rp2.000.000, berapa kamu bisa nabung?”
Saat dijawab, “Rp200.000.”, serta merta sang pengusaha menyergah, “Salah! Kalau kamu bisa nabung Rp100.000 saat gajimu Rp1.000.000, maka saat gajimu Rp2.000.000, kamu seharusnya bisa nabung Rp1.100.000. Gaji naik, boleh. Lifestyle, jangan.”
Hmmm …. Jadi mikir, iya nggak sih?
Jadi, apa yang harus kita lakukan saat gaji naik? Setop niat nraktir teman-teman, setop niat untuk segera ganti gawai atau beli laptop keluaran terbaru. Coba pertimbangkan 5 hal berikut dulu.
5 Hal tentang Gaji Naik tapi Lifestyle Tak Ikut Naik
1. Catat pengeluaran
Ini tip klise di setiap strategi pengelolaan uang untuk siapa pun, di mana pun, kapan pun. Tapi ya memang dari sinilah kita bisa memulai. Termasuk saat harus mengelola keuangan kalau gaji naik, supaya lifestyle nggak ikut naik.
Catat pengeluaran kita dalam satu bulan. Buat catatan ini berdasarkan pengeluaran saat sebelum gaji naik. Lalu, jadikan pengeluaran ini sebagai acuan atau patokan untuk membuat anggaran bulan berikutnya. Lalu, kalau sudah membuat anggaran, ya kita harus disiplin. Sekali dua kali cheating karena terpaksa dan darurat, ya apa boleh buat. Tapi usahakan supaya enggak keterusan.
2. Atur ulang alokasi
Nah, biasanya sih memang beberapa pos pengeluaran jadi bertambah karena jatahnya ditambah. So, coba deh pertimbangkan dan atur ulang alokasi gaji kita.
Mungkin tadinya memang ada keperluan yang tidak tercukupi, dan setelah gaji naik, kita jadi bisa memenuhi. Kalau seperti ini, ya sah-sah saja alokasi gaji untuk kebutuhan jadi naik. Yang penting, sesuaikan dengan persentase pos pengeluaran rutin seperti yang disarankan.
3. Tahan godaan
Saat jumlah saldo di rekening gaji kita naik atau membesar, sudah pasti godaan akan mengikuti kemudian. Kalau sudah begini, banyak-banyak istigfar. Maksudnya, kita harus tahan godaan.
Sekali lagi tanyakan pada diri sendiri, “Sekadar pengin atau benar-benar butuh? Kalau beli, kira-kira manfaatnya apa dan maksimal enggak? Kalau enggak beli, bakalan terhambat enggak kesehariannya?”
Tahan dulu, jangan langsung belanja apalagi sampai impulsif. Saat pengin beli ini itu, tahan dulu barang 2 – 3 hari. Semoga sih, dua atau tiga hari lagi, keinginan untuk belanja barang tersebut sudah berkurang. Tapi berganti dengan barang lain #hloh?
4. Pilah pengaruh
Perilaku konsumtif kadang timbul karena pengaruh lingkungan lo! Bener nggak? Kalau kita berada di lingkungan yang anteng-anteng saja, pasti kita juga akan anteng walau gaji naik. Tapi, ketika kita melihat orang-orang di sekitar kita yang sering memamerkan gawai terbaru mereka, liburan mereka yang tiada henti, maka pasti godaan untuk seperti mereka makin kenceng.
Hal yang seperti ini sebenarnya wajar. Memang pada dasarnya manusia, suka banget membandingkan diri dengan orang lain, yes? Karena itu, cobalah untuk tetap tenang. Kalau perlu, kurangi berada di sekitar orang-orang yang punya potensi untuk membuat keuangan kita jadi kacau.
Tetap berteman sih enggak masalah, tapi jangan sampai terseret gaya hidupnya.
5. Tambahkan di investasi
Hal terakhir yang harus kita lakukan kalau gaji naik adalah alokasikan pada investasi yang sudah berjalan. Topup reksa dananya, transfer ke rekening dana darurat, beli saham baru, tambah deposito, ataupun melakukan opsi-opsi yang lain.
Dengan demikian, gaji kita yang sekarang besar itu akan termanfaatkan dengan baik dan justru bisa menjadi jaminan bagi masa depan kita.
Nah, supaya makin mantap, coba usulkan pada HRD perusahaan tempat kita bekerja untuk mengadakan training keuangan, agar para karyawannya semakin bijak mengelola uang. Apalagi kalau gaji naik, supaya tidak ada yang terjebak dengan perilaku gaji naik, lifestyle naik.
Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA), untuk mengatur jadwal yang paling baik. Atau, bisa juga ikut kelas finansial online yang sesuai dengan kebutuhan dalam Financial Clinic Online Series. Silakan cek jadwalnya ya. Jangan lupa follow juga akun Instagram QM Financial.
Gaji Dirahasiakan atau Tidak? Berikut 3 Pertimbangannya!
Sudah beberapa hari ini, dunia media sosial diramaikan oleh gaji. Kalau tak salah, keramaian ini awalnya berasal dari diskusi alokasi gaji pertama. Dari sini kemudian ada beberapa orang yang dengan terbuka dan sukarela membocorkan angka gaji yang mereka terima, hingga akhirnya yang menjadi topik hangat adalah apakah sebaiknya angka gaji dirahasiakan atau tidak?
Seperti biasa, para netizen punya pendapat sendiri-sendiri. Kubu terbelah. Ada yang berpendapat bahwa gaji itu boleh saja tidak dirahasiakan. Dengan berbagi, siapa tahu kita mendapat insight yang lebih baik. Sedangkan yang lain bilang, bahwa seharusnyalah gaji dirahasiakan, karena gaji adalah urusan pribadi. Nggak patut rasanya kalau digembar-gemborkan.
Gaji Oh Gaji
Hmmm, kalau dilihat-lihat, berbagai pendapat di atas datang dari para penerima gaji ya? Bagaimana dengan para pemberi gaji, alias para bos, pengusaha, dan pihak perusahaan–dalam hal ini diwakili oleh HRD? Apakah menurut mereka, seharusnya gaji dirahasiakan ataukah angka-angka itu layak diperbincangkan secara terbuka?
Sebenarnya ada banyak hal yang memengaruhi besaran gaji ini, sehingga gaji seharusnya tak hanya dilihat sebagai deretan angka semata yang tertulis di atas kertas, yang kemudian bisa disebutkan angkanya di media sosial.
Dalam besaran gaji, ada penghargaan dari perusahaan terhadap pekerjanya. Dalam angka gaji, ada keringat dan pembelajaran terus menerus dari seorang karyawan. Ingat, bahwa dalam komponen gaji sendiri ada banyak elemen yang memengaruhi juga, sehingga bisa saja satu karyawan dengan lainnya berbeda angka gaji, padahal posisinya sama. Beban divisi dan individual saja bisa berbeda.
Apakah adil jika karyawan yang punya tanggung jawab lebih besar, mampu menyelesaikan pekerjaan dengan lebih efisien, dibayar dengan angka yang sama dengan karyawan lain yang kurang perform meski posisinya sama? Rasanya tidak.
Namun, biasanya perusahaan memang punya kebijakan sendiri-sendiri. Seperti halnya kepribadian karyawan juga bisa berbeda-beda. Ada yang terbuka, ada yang lebih suka menjaga privacy demi etika.
Tetapi, lain pihak, informasi angka gaji ini juga penting didapatkan oleh karyawan, untuk mengetahui apakah mereka ini sudah diberi imbalan yang sesuai dengan keluaran kerja yang mereka hasilkan.
Jadi, gimana dong?
Setidaknya ada 3 hal yang menjadi pertimbangan, apakah perlu gaji dirahasiakan atau tidak, terlepas dari kebijakan perusahaan dan pendapat masing-masing individu karyawannya.
Perlukah Gaji Dirahasiakan? 3 Pertimbangan:
1. Motivasi atau demotivasi?
Sebagian orang berpendapat, bahwa nggak perlulah gaji dirahasiakan. Dengan berbagi angka gaji, kita jadi tahu, apakah kita sudah dibayar sesuai dengan porsinya. Dan, dengan mengetahui gaji sesama karyawan lainnya–terutama yang berkaitan dengan insentif–motivasi untuk bekerja lebih keras akan timbul. Harapannya, kalau karyawan yang kurang perform tahu bahwa ada karyawan lain yang digaji lebih besar karena bisa memberikan kontribusi lebih banyak, maka ia akan termotivasi untuk bisa lebih baik lagi.
Masalahnya, siapa yang bisa menjamin karyawan tersebut bisa termotivasi dengan baik lalu bisa meningkatkan kinerjanya? Menurut seorang HRD staf yang sempat diinterview, bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya. Si karyawan malah terdemotivasi, hingga malah timbul perasaan negatif terhadap perusahaan. Yang lebih parah lagi, malah jadi krisis kepercayaan diri pada karyawan sehingga ada berbagai dampak kurang baik untuk perkembangan ke depannya.
Pastinya, hal ini harus dicegah kan? Nah, salah satu pencegahannya adalah memilah informasi apa yang sebaiknya di-share dengan karyawan secara terbuka, dan mana yang sebaiknya dibicarakan dalam kalangan terbatas. Kalau soal gaji, ada yang menyarankan, kalau fixed pay lebih baik tetap menjadi privacy masing-masing, namun variable pay bisa dibicarakan dengan lebih terbuka di antara karyawan.
2. Apakah menimbulkan ketidaknyamanan?
Salah satu hal lagi yang bisa menjadi bahan pertimbangan, apakah perlu gaji dirahasiakan antar karyawan, atau bahkan antarteman (termasuk disebar di media sosial) adalah apakah akan menimbulkan ketidaknyamanan atau tidak.
Satu contoh saja. Dalam satu perusahaan, satu divisi, bisa saja (dan boleh saja) perusahaan memperkerjakan dua karyawan atau lebih, dengan gaji yang berbeda. Apa yang membuat berbeda? Banyak hal, misalnya saja senioritas ataupun performa kerja, belum lagi kalau ada kebijakan-kebijakan lain dari perusahaan yang tergantung pada kondisi dan situasi perusahaan itu sendiri.
Jika kemudian perusahaan memutuskan agar besaran gaji dirahasiakan, maka bisa jadi maksudnya supaya tidak terjadi perselisihan ataupun persaingan tidak sehat antar karyawan. Sudah pasti, perusahaan mana pun ingin agar karyawannya bisa bekerja sama dan bersinergi demi mencapai tujuan bersama bukan?
Begitu juga kalau di pihak para karyawan sendiri. Memang adalah hak masing-masing untuk tetap pengin gaji dirahasiakan, atau dengan senang hati membaginya dengan orang lain. Yang pasti harus dipertimbangkan adalah apakah akan menimbulkan ketidaknyamanan di depan, baik bagi orang lain maupun bagi diri sendiri?
3. Tujuan informasi
Ada kalanya karyawan memang butuh informasi angka gaji orang lain. Untuk apa? Misalnya untuk negosiasi gaji dengan atasan. Dengan data angka gaji yang real dan list tanggung jawab yang jelas, pastinya karyawan akan bisa berargumen lebih baik mengapa seharusnya ia naik gaji.
Kalau tujuan informasinya untuk riset seperti ini, pastinya sah-sah saja jika karyawan yang bersangkutan bertanya angka gaji pada karyawan lain ataupun pada teman yang posisi dan tanggung jawabnya sama dan bekerja di perusahaan lain. Tapi bukan berarti angka gaji disebutkan secara terbuka juga, melainkan melalui obrolan pribadi. Lewat jalur pribadi WhatsApp, misalnya.
Jadi, apa nih yang bisa kita simpulkan?
Well, gaji dirahasiakan atau tidak, itu kembali ke pribadi masing-masing sih. Namun, sebaiknya pertimbangkan dengan saksama, karena topik gaji ini memang sensitif–setidaknya di Indonesia. Dengan mempertimbangkan 3 hal di atas, pastinya kita semua bisa memutuskan dengan bijak, apakah sebaiknya gaji dirahasiakan atau tidak.
Bagi pihak perusahaan dan pemberi gaji, sebaiknya juga tetap bijak menentukan sikap. Akan lebih bagus jika karyawan diberikan edukasi yang baik mengenai pengelolaan keuangan yang baik, agar bisa mengalokasikan gaji masing-masing dengan bijak pula. Jika karyawan bisa mengelola gaji dengan baik, mereka tidak akan merasa gaji kurang, sehingga kecenderungan untuk membanding-bandingkan gaji satu sama lain pun akan bisa dikurangi.
Jika kantor kamu pengin mengundang tim QM Financial untuk belajar finansial bareng, kamu bisa langsung menghubungi ini ya!
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!