Entah bisa disebut sebagai tradisi ataukah mindset, tapi kecenderungan ini banyak terjadi di Indonesia. Perempuan akan berhenti berkarier begitu mereka menikah atau melahirkan, sehingga bisa dibilang, usia produktif perempuan hanya sebatas itu saja. Pendek.
Sebagian perempuan mampu kembali bekerja lagi setelah anak-anaknya bisa ditinggal, sebagian lagi memilih berusaha membangun bisnis sendiri, atau bekerja dari rumah. Namun, banyak pula yang memang total berhenti bekerja dan memilih fokus mengurus keluarganya.
Meski hal tersebut bisa kita lihat di sekeliling, namun pola pandang yang melihat bahwa perempuan tidak bisa menjanjikan karier yang panjang jika sudah berkeluarga ini perlu digali dan dievaluasi lebih jauh.
Apakah memang semua perempuan begitu? Atau bisa saja hal ini terlihat lantaran kita hidup di tengah orang sekitar yang kebetulan tidak menaruh minat tinggi pada karier dan tak peduli pada passion, sehingga punya usia produktif yang relatif pendek.
Jadi, jika kita adalah seorang perempuan dan berstatus karyawan serta kini sedang meniti karier puncak namun sebentar lagi menikah atau melahirkan, sebelum memutuskan resign (dan mungkin memilih bekerja dari rumah), ada baiknya mempertimbangkan beberapa hal berikut.
Sebelum memutuskan untuk mengakhiri usia produktif kita lantaran menikah atau melahirkan, lakukan 5 hal berikut dulu
1. Cari role model
Kumpulkan data sebanyak-banyaknya, mengenai berapa banyak perempuan yang “survive” untuk mempertahankan karier di bidang yang sedang digeluti saat ini. Akan lebih bagus, mereka yang menggeluti bidang yang sama dengan kita, dengan posisi jabatan yang sama pula.
Terutama perempuan-perempuan yang bisa mencetak karya-karya luar biasa, terlepas dari segala macam rintangan dan kesulitan yang mereka temui di sepanjang usia produktif mereka.
Mereka yang survive, mereka yang bisa mencetak prestasi mengagumkan, mereka yang terus berdedikasi dalam karyanya dalam kondisi up and down kehidupan, adalah bukti bahwa perempuan juga bisa punya passion tinggi di bidang yang ditekuninya. Dengan demikian, mereka bisa tetap tegar dan kreatif, serta selalu bisa menemukan solusi atas segala permasalahan yang mungkin menghambatnya dalam meniti karier.
Bukalah wawasan kita dengan banyak-banyak berdiskusi dan melakukan konsultasi dengan mereka, para senior tersebut.
2. Jangan berhenti saat berada di fase pause button
Ya, kondisi saat kita berhenti bekerja dan kemudian fokus memilih mengurus keluarga ini sering disebut dengan pause button. Dan, kita tak sendirian kok, bahkan Ligwina Hananto–lead trainer QM Financial–pun juga pernah melewati fase ini.
Perempuan-perempuan yang ditantang usia produktif pendek dan harus menghadapi dilema seperti ini harus benar-benar mengevaluasi diri sendiri dan juga situasi yang melingkupinya.
Coba lihat dan pikirkan, adakah bidang lain yang sesuai dengan minat dan passion? Jika ada, buatlah perencanaan dengan saksama jika memang terpaksa harus menjalani fase pause button ini. Sebisa mungkin, jangan biarkan usia produktif kita memendek begitu saja dengan sia-sia. Berhenti bekerja oke saja, tapi jangan berhenti mengasah diri sendiri.
Antara lain, apakah dari penghasilan saat ini, kita bisa menabung untuk kuliah lagi atau mengambil kursus sesuai minat dan passion?
3. Mencari alternatif penghasilan lain
Memang saat kita berada dalam pause button, keseharian kita mungkin akan melulu seputar mengurus anak dan suami. Namun, sebenarnya bisa lebih dari itu, jika memang kita mau berusaha.
Selagi tidak berstatus karyawan, sebaiknya pertimbangkan kemungkinan adanya sumber finansial lain agar kita tetap bisa mempunyai penghasilan sendiri.
Mengapa harus mempunyai penghasilan sendiri? Supaya keluarga kita tak hanya bergantung pada satu pemberi nafkah saja. Bahkan kalau perlu, kita harus belajar investasi, agar meski dalam fase pause button, kita akan tetap bisa berperan dalam pencapaian tujuan keuangan keluarga.
4. Tanyakan pada diri sendiri, “Benarkah ini passion saya?”
Ada juga orang yang memilih resign dan berhenti bekerja dengan alasan pekerjaan yang digeluti sekarang bukanlah passion mereka. Jika kita punya pemikiran seperti ini, sebelum akhirnya benar-benar resign, coba tanyakan dulu pada diri sendiri, apakah benar karena tak sesuai passion ataukah sekadar bosan karena merasa monoton?
Kita harus bisa membedakan mana saja yang kurang tantangan dengan sekadar punya sikap yang kurang tekun dan tangguh. Bedakan pula mana yang berorientasi pada solusi, dan manakah yang berorientasi pada halangan tanpa mau memikirkan solusi.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut bisa memengaruhi keputusan kita pada akhirnya. Jangan biarkan emosi sesaat yang memutuskan, alih-alih pikiran yang jernihlah yang seharusnya dilibatkan.
5. Rencanakan strategi
Setelah melalui beberapa pertimbangan yang sudah dipikirkan matang-matang, mungkin kita memutuskan untuk tetap bekerja. Apa pun bidang kerjanya, kita juga perlu mempertimbangkan, dengan kondisi telah berkeluarga nanti, kita akan tetap membutuhkan penyesuaian dan strategi bila ingin survive dan terus berkarya sambil menjaga keharmonisan keluarga.
Bukan perkara mudah, memang.
Jangan berhenti bereksplorasi sampai kita lebih paham mengenai passion dan bisa meniti karier secara lebih matang.
Pada akhirnya, kita harus ingat, if you believe that you can do it, you will.
Jika tak ingin terjebak pada mindset bahwa usia produktif perempuan itu pendek, maka jangan pernah mensugesti diri dengan kalimat ini. Lingkungan bisa saja menjadi pengaruh, tapi semua tetap kembali pada diri sendiri.
Percayalah, saat semakin banyak masalah dan rintangan yang harus dicari solusi, maka saat itu pulalah kita semakin kreatif dan produktif.
Tertarik mengundang QM Financial untuk memberikan program edukasi keuangan dan HR di perusahaan Anda? Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA/MIA). Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru yang sesuai kebutuhan.