5 Hal tentang Pajak Penghasilan yang Harus Diketahui
Maret adalah waktunya mengirimkan laporan SPT Pajak Penghasilan pribadi. Kamu sudah?
Semakin banyak orang sadar akan pentingnya taat pajak. Seneng enggak sih lihat negara kita bertumbuh dari hari ke hari? Kian kuat menghadapi masalah dan krisis? Itu semua tak lepas dari peran serta kita sebagai warga negara yang baik, yang taat dalam membayar pajak lo!
Meski mkamu adalah salah satu dari mereka yang taat pajak, tetapi mungkin saja kamu juga belum paham betul mengenai seluk-beluk pajak, terutama pajak penghasilan.
Nah, bagaimana kalau kita bahas kali ini? Kita akan merangkum dari UU Pajak Penghasilan, tepatnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, dan membuatnya menjadi lebih mudah dipahami ya. Kamu boleh menambahkan informasi lain yang belum tercakup dalam artikel ini di kolom komen ya, supaya informasinya semakin lengkap.
Serba-Serbi Pajak Penghasilan yang Perlu Diketahui
1. Apa Itu Pajak Penghasilan?
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima oleh seseorang ataupun badan tertentu, dalam kurun waktu 1 tahun pajak.
Ini artinya setiap pihak yang mendapatkan penghasilan di Indonesia–baik yang asli Indonesia ataupun pendatang dari luar Indonesia dan berpenghasilan di Indonesia, yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun menambah kekayaan–wajib untuk membayar pajak ini pada pemerintah.
2. Jenis-Jenis Pajak Penghasilan
Jenis Pajak Penghasilan berdasarkan wajib pajaknya ada dua, yaitu:
- Pajak Penghasilan pribadi, yaitu pajak yang dikenakan atas penghasilan individu atau pribadi yang bekerja di dalam wilayah Indonesia, berdasarkan penghasilan kotor yang diterima yang dikurangi oleh faktor pengurangnya.
- Pajak Penghasilan badan usaha, yaitu pajak yang dikenakan atas penghasilan badan usaha–atau perusahaan–yang berbentuk perseroan, CV, dan sebagainya, yang dihitung berdasarkan laba dalam satu tahun pajak.
3. Siapa yang Termasuk dan Tidak Termasuk Subjek Pajak?
Subjek pajak adalah mereka berkewajiban untuk membayar pajak sesuai jenisnya, yang kemudian disebut sebagai wajib pajak.
Untuk Pajak Penghasilan, subjek pajaknya adalah:
- Orang pribadi, yang bertempat tinggal di Indonesia, atau selama 183 hari berturut-turut tinggal di Indonesia dalam 12 bulan, yang kemudian disebut Subjek Pajak dalam negeri.
- Badan usaha yang berbasis di Indonesia, dan menjalankan kegiatan usahanya secara teratur di Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah agen, kantor cabang, kantor perwakilan, dan sebagainya–meski jika perusahaan induknya tidak berada di Indonesia.
- Ada pula pihak-pihak yang tidak berkedudukan di Indonesia, tetapi mendapat penghasilan dari Indonesia, yang kemudian disebut dengan Subjek Pajak luar negeri.
Sedangkan, yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah para konsulat, perwakilan diplomatik, pejabat-pejabat negara lain (termasuk staf yang bekerja pada mereka), serta pihak-pihak yang ditentukan oleh Mentri Keuangan, misalnya seperti pejabat organisasi internasional atau semacamnya, selama mereka bukan WNI dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Nah, semoga jelas deh, siapa saja yang punya kewajiban membayar pajak ya?
4. Apa Saja yang Termasuk dan Tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan?
Objek pajak ini meliputi apa saja yang dapat menambah kemampuan ekonomis, bisa dipakai untuk konsumsi, ataupun menambah kekayaan Subjek Pajak, yang bisa berupa:
- Gaji dan/atau upah
- Honorarium, hadiah, penghargaan, dan sejenisnya
- Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta
- Hasil menyewakan sesuatu, royalti, dividen, bunga, dan sejenisnya.
Nah, jadi kalau kamu adalah pengusaha kontrakan rumah, atau indekos, jangan lupa juga untuk membayar pajak juga ya, karena termasuk dalam penghasilan yang terkena pajak. Termasuk deposito, juga ada pajak atas bunga yang diterima.
Ada objek terkena pajak, ada pula objek yang tak terkena pajak. Apa saja? Di antaranya:
- Santunan asuransi untuk orang yang meninggal atau cacat
- Beasiswa
- Harta hibahan atau warisan, yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan atau jabatan pada yang bersangkutan
- Hasil iuran dana pensiun, yang disetujui oleh Mentri Keuangan
- Penghasilan dari yayasan nirlaba yang bekerja untuk kepentingan umum
- Dividen yang diterima dari perusahaan yang berkedudukan di Indonesia, dengan syarat-syarat tertentu yang disetujui oleh Mentri Keuangan.
5. Penghitungan Pajak Penghasilan
Nah, perhitungan Pajak Penghasilan ini sebenarnya sederhana, tetapi memang butuh fokus untuk memahaminya. Kalau mau prinsipnya, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Pasal 17 yang dilansir oleh situs Klikpajak, bisa dirangkum sebagai berikut:
- Tarif Pajak penghasilan < Rp50.000.000 per tahun: 5%.
- Tarif Pajak Penghasilan Rp50.000.000 – Rp250.000.000: 15%.
- Tarif Pajak Penghasilan Rp250.000.000 – Rp500.000.000: 25%.
- Tarif Pajak Penghasilan > Rp500.000.000: 30%.
- Untuk wajib pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan dan memenuhi kriteria membayar pajak tapi tidak memiliki NPWP, tarifnya akan 20% lebih tinggi.
Untuk Wajib Pajak yang berupa badan usaha, ketentuannya sebagai berikut, menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 dan PPP Tahun 2013 Nomor 46:
- Tarif pajak untuk perusahaan beromzet bruto < Rp4.8 miliar per tahun: 1%.
- Tarif pajak untuk perusahaan beromzet bruto antara Rp4.8 miliar – Rp5 miliar per tahun: (0,25 – (0,6 Milyar / omzet bruto x Penghasilan Kena Pajak)
- Tarif pajak untuk perusahaan beromzet bruto lebih dari Rp50 miliar per tahun: 25% dari PKP
Nah, kalau kamu pengin tahu lebih banyak mengenai perhitungan Pajak Penghasilan–apalagi jika kamu masih kesulitan membuat laporan SPT–kamu bisa gabung di kelas pajak yang diadakan oleh QM Financial. Cek jadwal kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned juga di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
6 Jenis Pajak di Indonesia yang Penting untuk Diketahui
Sebagai warga negara (yang baik), kita tentu tak lepas dari kewajiban untuk membayar pajak. Memang, dalam kehidupan bernegara, pajak merupakan salah satu pemasukan yang menjadi tulang punggung pendapatan negara. Termasuk di Indonesia.
Untuk apa sih kita harus membayar pajak? Ya, pastinya kan kita ingin negara kita bertumbuh dan berkembang. Nantinya, kita sendiri juga yang akan merasakan manfaatnya. Makanya, sebagai warga negara yang baik, kita harus taat pajak.
So, ada baiknya juga kita, sebagai wajib pajak, juga tahu jenis-jenis pajak yang ada di Indonesia. So far, mungkin hanya beberapa saja yang kita tahu ya? Biasanya kita familier dengan jenis pajak yang bersinggungan langsung dengan kehidupan kita sehari-hari. Yang masuk ke dalam pengeluaran tahunan, iya kan? Yang enggak, ya kurang paham.
Ya enggak apa-apa sih, cukup tahu yang memang jadi kewajiban kita saja itu juga sudah baik. Tapi, kalau bisa tahu beberapa jenis pajak yang lain, enggak ada salahnya juga bukan?
Jadi, mari kita lihat beberapa jenis pajak yang ada di Indonesia. Sekilas saja, tapi ada perlunya kamu paham.
Pajak sebenarnya dibagi ke dalam dua kategori, berdasarkan pengelolanya. Yaitu pajak pusat, yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP), dan pajak daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah–yang kemudian dibagi lagi menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota, yang administrasinya dipegang oleh Dinas Pendapatan Daerah.
Nah, mari kita lihat satu per satu.
Pajak Pusat
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan–atau PPh–adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan, baik perseorangan maupun instansi dan badan usaha. Ternyata, jenis pajak penghasilan ini juga banyak, enggak cuma Pajak Penghasilan pribadi doang yang dilaporkan setiap Maret itu lo!
Apa saja? Coba simak deh:
- PPh pasal 15: mengatur pajak penghasilan pelayaran, maskapai, asuransi asing, pengeboran minyak, dan perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan infrastruktur negara.
- PPh pasal 21: mengatur pajak pribadi yang berupa gaji, upah, hadiah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dalam bentuk apa pun yang berkaitan dengan pekerjaan.
- PPh pasal 22: mengatur pajak perdagangan barang.
- PPh pasal 23: mengatur pajak penghasilan atas modal, hadiah, atau hal lain, selain yang tercakup dalam PPh pasal 21.
- PPh pasal 24: mengatur wajib pajak yang mempergunakan hak pajaknya di luar negeri, agar tidak terjadi pajak ganda.
- PPh pasal 26: mengatur pajak yang dibebankan pada wajib pajak yang memiliki penghasilan di luar negeri, tetapi bukan badan usaha tetap.
Hmmm, banyak ya? Pajak mana yang terbebankan pada kamu? PPh pasal 21-kah?
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai merupakan jenis pajak yang dikenakan pada setiap jenis barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
Gampangannya begini, PPN biasanya dibebankan pada konsumen terakhir terhadap barang atau jasa yang dibelinya tetapi tidak secara langsung, melainkan dibayarkan melalui pedagang atau pengedar barang tersebut. Baru dari pedagang disetorkan pada Dirjen Pajak. Istilahnya mereka ini adalah Pengusaha Kena Pajak.
Di Indonesia, PPN ini besarnya adalah 10% untuk barang yang diperdagangkan dalam negeri, dan 0% untuk ekspor.
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Selain PPN, juga ada jenis Pajak Penjualan atas Barang Mewah ini nih, yang dibebankan dalam kegiatan perdagangan dalam negeri.
Kriteria barang mewahnya seperti apa? Di antaranya:
- Barang yang hanya bisa dibeli oleh kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi
- Barang yang hanya dikonsumsi oleh kelompok orang tertentu.
- Barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
- Barang yang dibeli demi status atau gengsi
- Barang yang dapat mengganggu kesehatan atau moral masyarakat.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, yang sudah diubah beberapa kali dan terakhir menjadi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
Jenis pajak barang mewah ini diatur dan dihitung bersama dengan PPN, karena tidak bisa lepas dari Pajak Pertambahan Nilai itu sendiri.
4. Materai
Jenis pajak keempat yang diatur oleh Dirjen Pajak adalah bea materai. Biasanya ini dikenakan pada kita yang sedang mengurus surat-surat atau perjanjian yang bernilai tertentu. Ini adalah pajak atas pemanfaatan dokumen.
Ketentuannya:
- Untuk surat-surat penting seperti surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan yang dibuat untuk membuktikan suatu perbuatan atau kondisi yang bersifat perdata, bea materainya Rp6.000
- Untuk surat-surat dan akta-akta notaris dan Pembuat Akta Tanah, bea materainya Rp6.000
- Surat yang memuat jumlah uang, kalau nilainya kurang dari Rp250.000 tidak ada bea materai, antara Rp250.000 – Rp1.000.000 dikenakan bea materai Rp3.000, dan di atas Rp1.000.000 ada bea materai Rp6.000.
5. Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan yang dikelola oleh Dirjen Pajak pusat adalah pajak untuk perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Sedangkan untuk bangunan di pedesaan dan perkotaan dikelola oleh pemerintah daerah, sehingga masuk ke pajak daerah.
Hal ini mulai berlaku sejak tahun 2014 yang lalu, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Pajak Daerah
1. Pajak Provinsi
Pajak Provinsi adalah jenis pajak yang dikelola oleh pemerinta provinsi, meliputi Pajak Kendaraan–termasuk di dalamnya adalah pajak kendaraan bermotor tahunan, 5 tahunan, bea balik nama, dan sebagainya–Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok.
2. Pajak Kabupaten/Kota
Pajak Kabupaten/Kota merupakan jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah tingkat II, yaitu kabupaten atau kota. Berupa pajak hotel, hiburan, restoran, reklame, parkir, air tanah, dan sebagainya.
Nah, banyak kan jenis pajak yang ada di Indonesia? Sebagian besar kamu pasti juga sudah familier ya?
Mau belajar lebih jauh tentang pajak? QM Financial juga menyediakan beberapa kelas terkait pajak lo! Cek jadwal kelas-kelas finansial online QM Financial, lalu pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned juga di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
Sudah Menyiapkan Laporan SPT Tahunan Pajak Pribadi? Lakukan 5 Hal Ini Sebelumnya
Wah, sudah Maret saja nih! Menteri Keuangan sudah mulai menagih laporan SPT Tahunan dari kita-kita. Gimana, sudah pada melaporkan SPT Tahunan untuk pajak pribadi belum?
Sebagai warga negara yang baik, membayar pajak adalah kewajiban kita. Apa lagi kalau bukan demi majunya negara kita ini juga kan? Dan, sebagai karyawan, biasanya pendapatan kita memang sudah dipotong oleh perusahaan untuk dibayarkan ke kantor pajak. Meski ada juga yang tidak dipotong, karena pajak penghasilannya ditanggung oleh perusahaan.
Akan tetapi, kita tetap wajib mengirimkan laporan SPT Tahunan pajak pribadi, karena siapa tahu kita punya sumber penghasilan lain, selain dari perusahaan tempat kita bekerja. Misalnya, bagi yang punya side job sebagai freelancer atau berbisnis kecil-kecilan.
So, buat yang belum melaporkan, yuk, segera mengirimkan laporan SPT Tahunan pajak pribadi! Kini prosedurnya sudah dibuat semakin mudah, bisa kita lakukan secara online, sehingga bebas antrean dan juga lebih cepat prosesnya. Jadi, tak ada alasan lagi untuk tidak menyetorkan laporan SPT Tahunan.
Namun, sebelumnya ada beberapa hal yang mesti diperhatikan nih, karena sering juga terjadi kesalahan yang ditemukan pada hasil pelaporan SPT Tahunan–terutama untuk pajak pribadi.
Apa yang perlu dilakukan sebelum mengirimkan laporan SPT Tahunan
1. Pastikan formulir SPT Tahunan dan NPWP-nya benar
Kesalahan paling sepele namun fatal adalah saat kita salah memilih formulir SPT Tahunan untuk diisi. Hal ini, konon menurut laporan beberapa kantor pajak yang tersebar di Indonesia, justru merupakan kesalahan yang paling sering terjadi. Kesalahan sepele, tapi bikin usaha jadi sia-sia.
Jadi, sebaiknya diperhatikan ya. Jangan sampai salah. Jika status kita adalah karyawan dengan penghasilan di atas Rp60 juta per tahun, maka yang harus diisi adalah formulir SPT Tahunan 1770S. Sedangkan untuk yang berpenghasilan kurang dari Rp60 juta/tahun, yang diisi adalah formulir SPT Tahunan 1770SS.
Menurut laporan kantor pajak, banyak pula kesalahan yang terjadi lantaran yang diisikan di formulir SPT Tahunan 1770SS adalah nomor NPWP perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja.
Nah, karena itu, sebelum beranjak ke pengisian formulir, coba cek dulu beberapa hal yang terlihat sepele namun bisa menyebabkan kegagalan pelaporan ini.
2. Lakukan financial checkup
Financial checkup berarti adalah melakukan pemeriksaan terhadap kondisi keuangan kita secara menyeluruh. Menurut saran Ligwina Hananto, lead trainer di QM Financial, financial checkup ini sebaiknya kita lakukan secara teratur. Boleh sebulan sekali, 6 bulan sekali, atau satu tahun sekali, untuk memastikan kesehatan kondisi keuangan kita.
Financial checkup pada dasarnya akan membuat kita memeriksa kembali rasio antara penghasilan dan pengeluaran. Nah, saat kita memeriksa penghasilan, kita bisa sekalian sambil mengisi formulir SPT Tahunan untuk dilaporkan, jika financial checkup ini kita lakukan setahun sekali.
Coba dicek, dari mana saja kita mendapatkan penghasilan selain sebagai karyawan. Karena banyak juga lo, yang mengabaikan penghasilan di luar gaji yang diterima setiap bulan dari kantor. Banyak juga yang tidak tahu, bahwa penghasilan di luar gaji juga harus dilaporkan–termasuk warisan ataupun hibah.
Nah, mumpung harus mengisi formulir laporan SPT Tahunan, sekalian saja cek kita mendapatkan penghasilan dari mana saja, plus pengeluarannya. Sekalian cek juga untuk PTKP–atau Penghasilan Tak Kena Pajak, yang akan menjadi faktor pengurang dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak. Tentukanlah angkanya yang sesuai keadaan di awal tahun.
3. Siapkan dokumen dengan lengkap
Setelah melakukan financial checkup, kumpulkan bukti potong pajak yang mungkin sudah dilakukan oleh kantor tempat kita bekerja. Dokumen ini merupakan salah satu kelengkapan pelaporan SPT Tahunan pajak pribadi lo. Lampirkanlah fotokopinya bersama formulir yang sudah diisi.
Kadang yang terjadi, penghasilan kita sudah dipotong pajak oleh perusahaan atau pemberi kerja, tetapi kita tidak menerima bukti potong. Kalau begini, sebenarnya kita lo yang dirugikan. Jadi, jangan sampai lupa untuk meminta bukti potong pajak penghasilan ya.
Demikian juga jika ada kewajiban lain, seperti pembayaran zakat, kepemilikan kendaraan, dan lain sebagainya.
4. Jangan mepet-mepet lapornya
Nah, kebiasaan nih, kita selalu mepet batas waktu akhir untuk mengirim laporan SPT Tahunan pajak pribadi. Masuk minggu terakhir, baru deh mulai laporan.
Menurut berita yang dilansir oleh Detik, pelapor SPT melalui elektronik setiap detiknya bisa sampai sebanyak 200 orang, saat sudah mendekati batas waktu akhir pelaporan. Kalau dihitung-hitung, berarti ada 3 juta orang per jam, yang online memasukkan data ke server Ditjen Pajak. Tentu saja hal ini bisa memberatkan beban server Ditjen Pajak, sehingga akan sering terjadi error.
Untuk menghindari hal-hal yang sebenarnya tak perlu terjadi, maka ada baiknya kita melaporkan SPT Tahunan lebih awal. Misalnya, lakukan di bulan Februari. Kan jadi lebih lancar urusannya.
5. Cek kembali KPP-nya
Ditjen Pajak juga sempat mengimbau, agar kita melakukan pengecekan kembali lokasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat kita terdaftar, sebelum mengirimkan formulir SPT Tahunan.
Tahun 2018 kemarin saja, tercatat ada puluhan Kantor Pelayanan Pajak baru di seluruh Indonesia. Maka, akan ada kemungkinan, data kita sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi, telah dipindahkan ke KPP baru, namun tidak ada pemberitahuan secara tertulis.
Jadi, ada baiknya kita cek dulu, sebelum mulai mengirimkan laporan SPT Tahunan.
Setelah memahami beberapa hal di atas, selanjutnya tentu akan lebih mudah bagi kita untuk mengisi formulir dan melaporkan pajak sesuai kewajiban bukan?
Tertarik untuk mengundang QM Financial untuk memberikan program edukasi keuangan di perusahaan Anda? Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA/MIA). Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas terbaru.