Menjadi Generasi Sandwich sekaligus Ibu Muda: Ini Tantangannya
Jadi ibu muda sekaligus generasi sandwich, bisa dibilang ‘double kill’ enggak sih? Yah, meskipun menjadi generasi sandwich itu memang berat sepanjang masa. Nanti kalau sudah menjadi ‘ibu tua’, dan masih jadi generasi sandwich, juga akan tetep berat. Hanya saja, mungkin sudah terbiasa dijalani.
Tapi, di fase menjadi ibu muda itu hidup memang mungkin lagi berat-beratnya. Baru punya anak, masih belum fasih menjalani peran sebagai ibu, pun masih tetap harus menanggung biaya hidup orang tua. Makanya, konon, jadi ibu muda itu fase “rentan” dalam hal kesehatan mental.
Jadi, mari untuk tidak menyebutnya sebagai beban, tetapi tantangan. Tantangan ibu muda yang sekaligus sandwich generation. Apa saja? Banyak.
Table of Contents
Tantangan sebagai Ibu Muda yang Juga Generasi Sandwich
1. Tanggung Jawab Ganda
Merawat anak-anak yang masih kecil dan orang tua yang lanjut usia membutuhkan energi dan perhatian yang sangat besar. Setiap hari harus dibagi antara mengurus kebutuhan anak-anak, seperti pendidikan dan kesehatan, sekaligus di saat yang sama harus memastikan orang tua mendapatkan perawatan yang layak.
“Tugas” ini kadang bikin overwhelming enggak sih? Fisik dan emosional terkuras, sehingga sulit untuk menemukan waktu untuk diri sendiri atau bahkan untuk beristirahat sejenak. Kombinasi dari tanggung jawab ini menuntut kesabaran dan keterampilan manajemen waktu yang tinggi.
Baca juga: Waspada! Ini Ciri-Ciri Kamu Akan Jadi Sandwich Generation
2. Keterbatasan Waktu
Mengatur waktu untuk pekerjaan, keluarga, dan diri sendiri bisa menjadi sangat menantang. Mayoritas waktu sering dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dan orang tua. Akibatnya, sangat sedikit waktu tersisa untuk merawat diri sendiri atau mengejar hobi pribadi.
Mengelola waktu dengan bijak dan menetapkan prioritas yang jelas adalah kunci untuk menghadapi tantangan ini. It’s a relentless juggling act. Siapa setuju?
3. Stres dan Kelelahan
Berbagai tanggung jawab yang harus diemban, seperti mengurus anak-anak, merawat orang tua, dan menjalankan pekerjaan, dapat menyebabkan stres berkepanjangan dan kelelahan. Stres ini bukan hanya fisik, tetapi juga emosional, karena tekanan untuk memenuhi kebutuhan semua pihak bisa sangat berat.
Akumulasi stres ini bisa berakibat pada masalah kesehatan dan kesejahteraan jika tidak ditangani dengan baik.
4. Keuangan
Nah, ini nih. Jadi kebayang tantangannya seperti apa kan, karena sebagai generasi sandwich, ibu muda kudu mengatur keuangan dengan sebaik-baiknya. Kalau memang ada uangnya, ya disyukuri dan bisalah diatur. Masalah semakin pelik, ketika ternyata enggak cukup sumber daya untuk mengcover semua kebutuhan.
Sudahlah menjadi dampak, keuangan juga menjadi penyebab tantangan yang lain lagi.
Menyeimbangkan pengeluaran untuk anak-anak, orang tua, dan kebutuhan pribadi memang bisa menjadi tantangan besar. Pengeluaran untuk dana pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan sehari-hari sering kali menguras dana yang ada.
Akibatnya, sulit untuk menabung atau berinvestasi untuk masa depan. Perencanaan keuangan yang hati-hati dan disiplin sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan kestabilan finansial dalam jangka panjang.
5. Kesehatan Mental
Tantangan mengurus anak-anak, merawat orang tua, dan menjalankan pekerjaan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental. Tekanan yang terus-menerus ini bisa menimbulkan perasaan kewalahan, cemas, dan bahkan depresi. Tidak jarang ibu muda merasa sulit menemukan waktu untuk merawat diri sendiri, yang pada akhirnya memperburuk kondisi mental.
Oleh karena itu, penting untuk mencari dukungan, baik dari keluarga maupun profesional, dan menyediakan waktu untuk self-care. Balance is crucial to maintain mental well-being.
6. Karier dan Pengembangan Diri
Nah, tantangan ini juga sama beratnya. Waktu dan energi yang terbatas bisa sangat membatasi kesempatan bagi ibu muda untuk mengembangkan karier atau mengejar pendidikan lebih lanjut.
Tanggung jawab ganda dalam mengurus anak-anak dan merawat orang tua sering kali menyisakan sedikit waktu bagi diri sendiri. Akibatnya, sulit untuk menghadiri pelatihan, mengambil kursus, atau bahkan mengikuti peluang karier yang baru.
Hal ini bisa menghambat pertumbuhan profesional dan mengurangi kepuasan diri dalam jangka panjang. Prioritas yang tumpang tindih memerlukan manajemen waktu yang sangat baik agar tetap bisa berkembang secara pribadi dan profesional.
7. Dukungan Sosial
Dukungan dari teman dan keluarga sangat penting dalam mengelola tanggung jawab ganda, tetapi sayangnya hal ini enggak selalu tersedia atau memadai. Ketika dukungan sosial kurang, beban tanggung jawab terasa lebih berat dan menambah tekanan mental serta emosional.
8. Manajemen Prioritas
Memang sih, inti dari pengaturan dan pengelolaan hidup itu adalah menyusun prioritas. Namun, bagi ibu muda yang juga generasi sandwich, menentukan prioritas antara kebutuhan anak-anak, orang tua, dan diri sendiri ini juga menjadi tantangan besar.
Setiap hari, situasi yang berbeda memerlukan penyesuaian dan fleksibilitas yang tinggi. Kesulitan dalam menentukan apa yang harus diutamakan dapat mengakibatkan kebingungan dan stres.
9. Penyediaan Fasilitas dan Layanan
Mengakses layanan kesehatan, pendidikan, dan dukungan lainnya untuk anak-anak dan orang tua membutuhkan usaha tambahan dan waktu. Proses ini bisa rumit, melibatkan banyak birokrasi dan koordinasi. Bahkan tak jarang energi dan emosi tersedot habis di sini.
Tantangan ini dapat mengganggu waktu dan energi yang seharusnya bisa digunakan untuk aktivitas lainnya, membuat manajemen sehari-hari semakin kompleks.
10. Tekanan Eksternal
Tekanan dari lingkungan sosial dan budaya untuk menjadi “ibu sempurna” dan “anak yang berbakti”, kalau enggak merawat orang tua berarti durhaka, dapat meningkatkan beban emosional.
Harapan tinggi ini sering kali menyebabkan stres dan rasa tidak cukup baik. Tuntutan untuk selalu memenuhi standar sosial dapat menguras energi dan memengaruhi kesejahteraan emosional, membuat keseimbangan hidup semakin sulit dicapai.
Baca juga: Tips Hemat ala Ibu Muda Masa Kini
Yah, memang berat ya Bun. Tapi, tak ada cara lain yang bisa dilakukan selain dijalani penuh syukur. Yuk, coba atur ulang lagi semuanya kalau memang sudah begitu berat. Langkah pertama bisa dari mengatur keuangan supaya hal ini enggak menimbulkan stres tambahan.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
10 Berita Finansial yang Terjadi di Sepanjang Tahun 2023 yang Patut Dicatat
Sepanjang tahun 2023, ada beberapa berita finansial yang mengundang refleksi dan pembelajaran. Dari kisah viral Zoe Gabriel yang membuka mata tentang investasi tas branded, hingga fenomena childfree yang kembali mencuri perhatian, setiap cerita memiliki pelajaran tersendiri.
Berita-berita ini membuat kita semakin sadar, bahwa keuangan itu enggak hanya ngomongin soal angka, tetapi juga tentang pilihan hidup dan hubungan kita dengan sesama kita.
Coba yuk, kita lihat 10 berita finansial berikut, sehingga nantinya bisa jadi bahan pembelajaran kita lagi. Apalagi kan, kita sudah akan masuk ke tahun 2024. Pastinya, mau dong kondisi kita lebih baik, ya kan?
Table of Contents
10 Berita Finansial yang Terjadi di 2023 dan Pelajaran yang Bisa Kita Petik
Ini adalah sebuah kaleidoskop. Kisah-kisah ini bukan hanya tentang uang, melainkan tentang bagaimana kita memandang dan mengelola keuangan dalam berbagai aspek kehidupan.
1. Investasi Tas Branded
Di awal tahun, media sosial ramai akan berita mengenai video unboxing tas yang dilakukan Zoe Gabriel. Zoe menyebut tas yang baru saja dibelikan oleh ayahnya tersebut “tas mewah” pertamanya. Namun, Zoe kemudian mengalami bullying online karena tas baru yang dia unboxing ternyata bukan dari merek mewah terkenal seperti LV atau Celine, melainkan sebuah merek yang tidak dianggap sebagai luxury brand oleh beberapa orang.
Dari viralnya Zoe Gabriel, kita jadi belajar, ternyata tas branded bisa juga menjadi investasi. Nah, tapi tentu saja, kita perlu paham cara kerja dan juga risikonya jika memang ingin memanfaatkan tas sebagai instrumen investasi.
2. Pilihan Childfree
Meski sebenarnya sudah mulai heboh di penghujung 2022, tetapi di awal tahun 2023, gaya hidup childfree kembali jadi perbincangan. Semua itu lantaran ada pendapat bahwa childfree bikin kita jadi awet muda.
Lucunya, banyak yang menganggap pernyataan ini salah. Bukan childfree yang bikin kita jadi awet muda, melainkan uang! Nah, gimana pendapatmu tentang hal ini? Apakah benar, uang bikin awet muda?
3. Enggak Mampu Bayar Biaya Persalinan
Ternyata masalah biaya pendidikan anak bukan menjadi persoalan pertama yang muncul antara suami dan istri setelah menikah. Masih di awal tahun 2023, ada berita mengenai seorang public figure yang mengaku tak mampu membayar biaya persalinan sang istri hingga harus dibantu oleh public figure lainnya.
Yah, mungkin yang bersangkutan punya tujuan keuangan lain yang juga sama besarnya, sehingga jadi tak mampu membayar biaya persalinan. Untung banyak orang baik, maka masalah pun dibantu.
Di sini kita belajar, bahwa ternyata biaya melahirkan itu juga merupakan salah satu tujuan keuangan sangat penting yang harus segera disiapkan setelah menikah.
4. Coldplay Konser di Jakarta
Coldplay adalah band idola banyak orang di dunia, termasuk di Indonesia. Ketika muncul pengumuman bahwa band dengan lead vocal Chris Martin ini bakalan mampir ke Indonesia, sontak semua orang pun geger. War ticket bikin orang enggak fokus kerja. Enggak sedikit pula yang malah tertipu orang tak bertanggung jawab.
Jadi, gimana, gaes? Utang buat beli tiketnya sudah lunas belum sekarang? #eh
5. Gagal Kerja Gara-Gara BI Checking
Diawali dari sebuah tweet di platform media sosial X yang menarik perhatian, tenatng ditolaknya 5 calon karyawan untuk bekerja di sebuah perusahaan. Penyebab penolakan tersebut adalah hasil BI Checking yang menunjukkan bahwa skor kredit mereka berada pada KOL5.
Ternyata, penyebabnya adalah keterlambatan pembayaran Paylater dalam jumlah ratusan ribu yang berlangsung selama beberapa bulan. Ouch!
Situasi ini menggarisbawahi betapa dampak kecil dari pinjaman ratusan ribu bisa menghilangkan peluang karier yang signifikan, hingga bisa berpengaruh sepanjang hidup seseorang.
6. Irfan Bachdim Jadi Bapak Rumah Tangga
Dalam sebuah podcast, Jennifer Bachdim mengungkapkan bahwa saat ini ia menjadi penyokong utama keluarganya. Hal ini terjadi karena suaminya, Irfan Bachdim, seorang pesepakbola, telah menyelesaikan kontraknya dengan Persis Solo dan masih mencari klub sepakbola baru yang sesuai dengan keinginannya. Akibat situasi ini, Irfan Bachdim mengambil peran sebagai bapak rumah tangga, fokus mengasuh keempat anak mereka di rumah.
Jadi, dari berita finansial ini, kita jadi tahu, bahwa bertukar peran dalam keluarga itu bisa terjadi pada siapa saja. Penafkah utama bisa saja terhambat, sehingga harus ada yang segera menggantikannya agar cash flow keluarga tetap lancar.
7. Demam Belanja Habis Nonton TikTok Live
Yah, tren konsumsi masyarakat Indonesia memang sudah berubah. TikTok dan Instagram mengambil alih pasar dan memengaruhi kebiasaan belanja orang-orang.
Saat menonton video atau sekadar scrolling, kita jadi sering terpapar oleh beragam produk dan jasa. Fenomena ini sering berujung pada pembelian impulsif. Besoknya menyesal, karena ada debit dari ewallet atau rekening yang enggak disadari.
Proses pengambilan keputusan belanja jadi lebih didasarkan pada faktor lucu atau enggaknya suatu produk, daripada kebutuhan nyata. Hal ini menimbulkan kecenderungan berbelanja yang kadang-kadang enggak terprediksi dan perlu diwaspadai.
8. Istri Kabur setelah Menikah
Seorang istri di Tiongkok melarikan diri dari rumahnya tidak lama setelah pernikahan. Penyebabnya? Dia terkejut mengetahui bahwa gaji suaminya hanya sebesar Rp3.9 juta.
Kejadian ini menyoroti betapa sensitifnya masalah keuangan dan ekonomi, mulai dari lingkup makro sebuah negara hingga dalam skala rumah tangga. Meskipun cerita ini berlangsung di Tiongkok, bukan tidak mungkin hal serupa terjadi di Indonesia, meski tidak terdengar secara luas. Mungkin ada istri yang tetap tinggal meskipun terkejut dengan gaji suami yang tidak seberapa, atau mungkin kasus serupa terjadi tetapi tidak terungkap ke publik.
Kisah ini memunculkan pertanyaan penting: apakah pasangan ini pernah mendiskusikan masalah keuangan sebelum menikah?
9. Stres Kerja Bikin Nangys
Berita finansial ini belum lama. Diawali sebuah postingan di media sosial yang memperlihatkan seorang gadis yang menangis sedih lantaran terpaksa harus resign dari pekerjaannya yang dinilai toxic. Kondisi semakin sulit, karena dia adalah seorang sandwich generation, dan saat ini juga masih berpenghasilan setara UMR.
Semoga si Mba baik-baik saja ya. Dan, kita pun belajar darinya mengenai pentingnya dana darurat.
10. Studi: Pernikahan Mewah Berpeluang Perceraian Tinggi
Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa pernikahan yang dilakukan dengan cara mewah cenderung memiliki risiko perceraian yang lebih tinggi. The Economic Times melaporkan temuan ini pada tanggal 7 Agustus 2023. Menariknya, studi yang sama menunjukkan bahwa pasangan yang memilih pernikahan sederhana memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk menjaga hubungan mereka tetap langgeng, dengan tingkat perceraian yang lebih rendah.
Gimana menurutmu, apakah memang ada hubungannya antara pernikahan mewah dan perceraian?
Di akhir perjalanan, setuju kan, bahwa keuangan bukan hanya soal angka, melainkan juga tentang bagaimana kita membuat keputusan, menyesuaikan dengan situasi, dan belajar dari setiap peristiwa.
Melalui refleksi atas berita finansial di atas, diharapkan kita pun dapat mengambil langkah yang lebih bijaksana dalam mengelola keuangan pribadi maupun keluarga, sehingga membangun fondasi yang kuat untuk masa depan yang lebih sejahtera dan stabil.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Cara Bijak Mengatur Keuangan Pribadi di Usia 20-an: Langkah Demi Langkah
Usia 20 itu rerata merupakan first jobber. Usia yang kata orang merupakan garis start untuk memasuki hidup yang sebenarnya. Tsah. Mulai punya tanggung jawab, mulai punya penghasilan sendiri, termasuk usia yang pas untuk mulai belajar cara bijak mengatur keuangan pribadi.
Memang, kondisi orang akan berbeda. Ada yang memang sudah melek sejak awal mengenai pentingnya mengelola keuangan, tetapi enggak sedikit juga penganut paham YOLO—alias you only live once. Alias, kita cuma hidup sekali, masa enggak mau senang-senang sih?
Ya, hidup memang cuma sekali. Tapi kalau dihabiskan hanya untuk senang-senang tanpa mau bijak memiliki rencana keuangan, pada akhirnya ya sama saja. You only live once, ketika kamu salah dan tidak tahu cara bijak mengatur keuangan, kamu juga enggak bisa mengulanginya lagi untuk memperbaiki kesalahan itu.
Jadi, mau pilih yang mana?
Table of Contents
Pentingnya Mengatur Keuangan Pribadi di Usia 20-an
Yes, mulai belajar cara bijak mengatur keuangan pribadi sejak dini itu baik. Sejak dini itu kapan? Ya, sejak kamu mulai punya penghasilan. Hal ini adalah langkah krusial yang menentukan kualitas hidup di masa depan.
Di usia ini, kamu sudah memulai karier, yang umumnya disertai dengan penghasilan tetap pertama. So, pengelolaannya bukan cuma soal bagaimana menyimpan uang saja, tapi juga tentang memahami cara mengalokasikannya untuk kebutuhan, keinginan, dan tabungan.
Mengelola keuangan pada usia ini juga berarti belajar untuk menyeimbangkan antara menikmati masa muda dan merencanakan masa depan finansial yang stabil.
Di sisi lain, tantangan finansial di usia 20-an itu memang cukup banyak. Mulai dari gaji awal yang masih belum seberapa, adanya tekanan untuk mengikuti gaya hidup, sampai soal menjadi sandwich generation.
Di saat yang sama, ini adalah masa ketika peluang untuk bertumbuh sangat besar. Mulai dari peluang investasi yang bisa dimulai dengan modal kecil, hingga kesempatan untuk menaikkan skor kredit yang akan sangat berguna di masa mendatang.
Dengan mengetahui cara bijak mengatur keuangan, si usia 20 akan dapat membangun fondasi keuangan yang kuat untuk masa depannya sendiri. Karenanya, memahami dan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan pribadi di usia 20-an bukan hanya penting, tapi juga menjadi kunci untuk masa depan yang lebih cerah dan terjamin.
Cara Bijak Mengatur Keuangan di Usia 20-an
1. Menetapkan Tujuan Keuangan
Tujuan lo apa? Kamu pengin apa di hidupmu nanti? Nah, inilah yang harus ditentukan pertama kali dalam cara bijak mengatur keuangan.
So, tentukan targetmu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Karena kamu berusia 20 tahun, kamu bisa mulai dari beberapa tujuan jangka pendek dulu. Enggak perlu ngadi-ngadi, kamu bisa mulai dari membangun dana darurat, menabung untuk liburan, sampai membeli gadget terbaru
Seiring waktu, kamu juga perlu menyusun tujuan jangka menengah hingga panjang. Misalnya mempersiapkan dana menikah, dana rumah, sampai dana pensiun.
Ingat, setiap tujuan harus ada judul, nominal, dan waktu. Tujuan yang jelas dan terukur memberikanmu arah yang jelas dalam membuat keputusan finansial sehari-hari, memastikan bahwa setiap pengeluaran atau investasi yang dilakukan selaras dengan apa yang ingin dicapai di masa depan.
2. Membuat Anggaran
Setelah menentukan tujuan, kamu bisa mulai melakukan proses cara bijak mengatur keuangan dengan mencatat secara jelas semua sumber pendapatan. Di dalamnya termasuk gaji, pendapatan sampingan, atau sumber lainnya.
Setelah mengetahui total pendapatan, langkah selanjutnya adalah mendokumentasikan semua pengeluaran, mulai dari biaya tetap seperti sewa rumah atau cicilan kendaraan, hingga pengeluaran variabel seperti makanan, hiburan, dan belanja.
Dengan memahami aliran masuk dan keluar uang secara detail, kamu dapat mengidentifikasi area di mana penghematan bisa dilakukan. Catatan ini juga akan membantumu memprioritaskan pengeluaran. Artinya kamu bisa memastikan kebutuhan wajib terpenuhi dulu, sebelum kamu memenuhi keinginan. Dalam jangka panjang, catatan ini akan menjadi alat penting dalam mencapai keseimbangan finansial dan mencapai tujuan finansial kamu.
3. Mengelola Utang
Usia 20 artinya juga kamu mulai berkenalan dengan utang. Umumnya sih, mulai pada punya kartu kredit.
Dalam menggunakan kartu kredit, bijaksana dan terkendali adalah kuncinya. Cara bijak mengatur keuangan termasuk di dalamnya menggunakan kartu kredit untuk transaksi yang kamu yakin bisa dibayar penuh setiap bulannya, sehingga menghindari akumulasi bunga. Memanfaatkan manfaat tambahan seperti poin reward atau cashback juga bisa menjadi strategi cerdas asalkan tidak mengundang pembelian impulsif.
4. Menabung dan Investasi
Untuk keduanya, kamu akan memerlukan disiplin dan konsistensi. Cara bijak mengatur keuangan terbaik adalah dengan menetapkan tujuan tabungan yang spesifik dan realistis, lalu secara rutin menyisihkan sebagian pendapatan ke dalam tabungan tersebut.
Sebuah metode efektif adalah dengan menggunakan prinsip “sisihkan di depan”, yaitu mengalokasikan sejumlah uang untuk ditabung segera setelah menerima penghasilan, sebelum uang tersebut digunakan untuk keperluan lain.
Sementara menabung fokus pada penyimpanan dan perlindungan aset, investasi bertujuan untuk pertumbuhan aset tersebut. Pengenalan dasar tentang investasi meliputi pemahaman terhadap pilihan investasi seperti saham, obligasi, dan reksa dana. Mana yang bisa dimanfaatkan, nah, kamu perlu mengenali tujuan keuangan, jangka waktu investasi, serta toleransi risiko.
Ikut kelasnya saja, makanya! Biar dapat penjelasan langsung dari trainer tentang cara bijak mengatur keuangan, plus langsung berkenalan dengan berbagai produk keuangannya. Nggak pakai ribet.
5. Miliki Proteksi
Enggak harus semua jenis asuransi kamu miliki. Minimal kamu harus punya asuransi kesehatan dulu. Biasanya sih setiap perusahaan secara otomatis akan mengikutsertakan karyawannya di program asuransi milik pemerintah ini, karena memang sudah jadi aturannya. Mengapa asuransi ini penting? Karena risiko kesehatan bisa datang tiba-tiba dan biaya perawatan medis terus meningkat.
Selain itu, kamu juga bisa mempertimbangkan untuk punya asuransi jiwa, apalagi kalau misalnya kamu adalah tulang punggung keluarga besar alias menjadi sandwich generation. Asuransi ini penting untuk melindungi orang-orang yang kamu sayang,
Selain asuransi, proteksi juga mencakup dana darurat, yang berfungsi sebagai jaring pengaman finansial untuk menghadapi situasi tak terduga. Umumnya, dianjurkan untuk memiliki dana darurat setidaknya sejumlah 3 hingga 6 kali pengeluaran bulanan.
6. Optimalkan Penghasilan
Di usia 20-an, peluang karier dan pengembangan diri itu berlimpah. Jadi, jangan sia-siakan peluangmu, mumpung energi juga masih full.
So, jajaki apakah kamu bisa mendapatkan sumber pendapatan tambahan. Mungkin dengan melakukan pekerjaan sampingan atau hobi yang dapat menghasilkan uang, seperti freelance, menjual produk atau jasa secara online, atau bahkan mengikuti gig ekonomi.
Sumber pendapatan tambahan ini enggak hanya menambah pemasukan, tapi juga bisa menjadi jaring pengaman finansial jika terjadi masalah dengan pekerjaan utama.
Selain itu, berusaha mendapatkan promosi di tempat kerja adalah cara lain untuk meningkatkan penghasilan. Ini bisa dicapai dengan meningkatkan keterampilan dan kinerja, atau dengan mengambil peran dan tanggung jawab tambahan.
Nah, gimana nih kamu yang sekarang usia 20-an? Apakah beberapa cara bijak mengatur keuangan pribadi di atas sudah kamu lakukan?
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
4 Tipe Manusia Habis Gajian: Kamu yang Mana?
Ciyeee … yang habis gajian!
Buat sebagian besar pekerja, momen ini adalah memang salah satu yang paling ditunggu-tunggu, ya kan? Menerima upah atas kerja keras selama sebulan penuh, banyak yang merasa lega dan bahagia.
Namun, tak sedikit pula yang merasa cemas karena merasa tak dapat mengendalikan pengeluaran pasca habis gajian. Ternyata, reaksi seseorang terhadap gaji yang baru diterima bisa menggambarkan tipe-tipe perilaku konsumtif dan bagaimana cara seseorang mengatur keuangan mereka.
Seiring dengan kegembiraan habis gajian, tak jarang muncul berbagai tipe individu dengan cara berbeda dalam menghabiskan, menyimpan, atau bahkan menginvestasikannya.
Tipe-Tipe Manusia Habis Gajian
Apa yang kamu lakukan setelah menerima gaji, biasanya ya itulah karakteristikmu kalau dicermati secara keseluruhan. Jadi, dari tipe-tipe berikut, kamu termasuk yang mana nih?
Si Strategis
Si Strategis adalah tipe orang yang selalu memiliki rencana keuangan matang terkait bagaimana ia akan menggunakan uangnya habis gajian. Sebelum gaji diterima, ia sudah memiliki daftar prioritas yang jelas, mulai dari kebutuhan pokok, tabungan, investasi, hingga alokasi untuk hiburan.
Namun, yang membedakan Si Strategis dari tipe lainnya adalah kemampuannya untuk selalu beradaptasi dengan situasi. Jika tiba-tiba muncul kebutuhan mendesak, ia mampu mengalokasikan ulang anggarannya tanpa mengganggu porsi keuangan jangka panjangnya.
Tidak hanya itu, Si Strategis juga dikenal sebagai orang yang selalu mencari informasi terbaru tentang tren investasi, cara menghemat, atau peluang bisnis yang mungkin bisa dijalankan. Ini semua dilakukan bukan karena ia takut menghabiskan uang, tetapi lebih kepada bagaimana membuat setiap rupiah yang ia miliki bekerja seoptimal mungkin untuk masa depannya.
Sikap ini tentu saja memerlukan disiplin yang tinggi. Namun, bagi Si Strategis, setiap keputusan keuangan adalah langkah penting untuk meraih impian dan kestabilan finansial di masa depan. Meski terkadang terlihat terlalu kaku dalam pengeluarannya, Si Strategis tahu bahwa dengan perencanaan yang baik, ia bisa menikmati hidup sekarang tanpa mengorbankan masa depannya.
Si Pencinta Merek
Si Pencinta Merek adalah tipe orang yang sangat memprioritaskan produk atau jasa dari merek-merek ternama atau berlabel premium. Bagi mereka, kualitas dan citra yang disandang oleh merek tersebut bukan hanya sekadar simbol status, tetapi juga bentuk apresiasi atas kualitas, desain, dan prestise yang dimiliki produk tersebut.
Tidak jarang, Si Pencinta Merek rela mengalokasikan sebagian besar gajinya untuk membeli barang-barang dari merek favoritnya, mulai dari pakaian, aksesori, kosmetik, hingga barang elektronik. Meskipun terkadang mendapat kritik karena dianggap boros atau terlalu mementingkan image, bagi Si Pencinta Merek, pengalaman dan kepuasan yang didapatkan dari memiliki produk berkualitas dari merek terkenal tak ternilai harganya.
Namun, menjadi Si Pencinta Merek juga memerlukan pertimbangan dan kebijakan finansial yang baik. Membelanjakan sebagian besar uangnya setiap habis gajian hanya untuk memenuhi keinginan akan merek-merek ternama tanpa memikirkan kebutuhan lain atau masa depan keuangan bisa menjadi bumerang.
Oleh karena itu, meskipun memiliki kecintaan pada merek tertentu, penting bagi Si Pencinta Merek untuk tetap bijak dalam mengelola keuangan agar tidak jatuh ke dalam utang atau kesulitan finansial.
Si Sandwich
Sebutan “Si Sandwich” berasal dari konsep “generasi sandwich”, yang merujuk pada seseorang yang berada di posisi terjepit antara dua kewajiban finansial utama: merawat dan mendukung orang tua atau anggota keluarga yang lebih tua, sambil pada saat yang sama mendukung dan membiayai kebutuhan anak atau anggota keluarga yang lebih muda.
Ini adalah fenomena yang umum terjadi di masyarakat modern, terutama di negara-negara dengan pertumbuhan demografis dan tantangan ekonomi tertentu.
Setiap habis gajian, Si Sandwich harus pintar-pintar mengalokasikan pendapatan untuk memastikan bahwa kedua kewajiban ini terpenuhi. Gaji yang diterima mungkin harus dibagi untuk biaya pendidikan anak, kebutuhan sehari-hari keluarga, biaya kesehatan orang tua, dan terkadang, juga untuk kebutuhan saudara atau anggota keluarga lain yang memerlukan bantuan.
Kendala yang dihadapi oleh Si Sandwich bukan hanya finansial, tetapi juga emosional. Mereka sering kali merasa tertekan dan cemas, khawatir tidak dapat memenuhi semua kebutuhan dan harapan yang ada. Meskipun demikian, Si Sandwich biasanya memiliki ketahanan mental dan emosi yang kuat, didorong oleh rasa cinta dan tanggung jawab kepada keluarga.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi Si Sandwich untuk memiliki perencanaan keuangan yang baik, memahami prioritas, serta mungkin mempertimbangkan untuk memiliki sumber pendapatan tambahan. Meski berat, banyak dari Si Sandwich yang menemukan kepuasan dalam peran mereka, karena pada akhirnya, mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk orang-orang yang mereka cintai.
Si Paling FIRE
Si Paling FIRE adalah tipe orang yang sangat fokus pada tujuan untuk bebas finansial dan memiliki kebebasan untuk mengejar kehidupan yang mereka inginkan tanpa harus terikat pada pekerjaan rutin 9-5.
Habis gajian, prioritas utama mereka adalah mengalokasikan sebagian besar pendapatan ke dalam investasi, tabungan, dan aset yang dapat menghasilkan pendapatan pasif. Mereka cenderung hidup di bawah kemampuan finansial mereka dan menghindari utang konsumtif.
Apa yang membedakan Si Paling FIRE dari tipe strategis atau investor biasa adalah intensitas dan dedikasi mereka terhadap tujuan. Mereka mempelajari berbagai strategi investasi, memahami keuangan pribadi dengan mendalam, dan sering kali memiliki komunitas atau kelompok diskusi di mana mereka berbagi tips dan trik untuk memaksimalkan pengembalian dan mengurangi biaya.
Namun, menjadi bagian dari gerakan FIRE bukanlah tanpa tantangan. Ini memerlukan disiplin yang ketat, kesabaran, dan ketahanan dalam menghadapi fluktuasi pasar atau perubahan ekonomi. Namun, bagi Si Paling FIRE, pengorbanan ini dianggap sepadan dengan kebebasan dan kemampuan untuk menikmati hidup sesuai dengan ketentuan mereka sendiri, tanpa harus khawatir tentang tekanan finansial.
Dalam perjalanan kehidupan, setiap orang memiliki cara mereka sendiri dalam mengelola keuangan, terutama saat habis gajian. Baik itu Si Pencinta Merek yang mengejar prestise, Si Strategis yang punya rencana realistis, Si Sandwich yang punya beban berat, atau Si Paling FIRE dengan visi kemerdekaan finansialnya. Semua tipe ini mencerminkan keunikan dan prioritas masing-masing orang.
Yang paling penting adalah kesadaran untuk mengelola keuangan dengan bijak habis gajian, disiplin, dan sesuai dengan tujuan hidup. Karena pada akhirnya, keberhasilan finansial bukan hanya tentang berapa banyak uang yang kita miliki, tetapi bagaimana kita memanfaatkannya untuk menciptakan hidup yang lebih bermakna dan memuaskan.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
7 Ceklis Keuangan yang Harus Dibicarakan Berdua Sebelum Menikah
Banyak orang yang bilang, menikahlah maka masalah hidup akan lebih ringan. Tapi, apa benar menikah adalah solusi? Bukannya menikah itu justru awal dari hidup yang sebenarnya ya? Karena itu, kita harus mempersiapkan banyak hal sebelum menikah.
So, buat kamu yang setuju dengan pernyataan terakhir, mari sini ngumpul! Kita akan mengobrol lebih jauh soal ini.
Menikah Awal Hidup yang Sebenarnya
Jika kamu masih melanjutkan bacanya sampai bagian ini, berarti kamu setuju ya dengan pernyataan di atas?
Memang benar, sebelum memutuskan untuk menikah atau merencanakannya, ada banyak hal yang harus kamu pahami, perhatikan, dan persiapkan dulu bersama pasangan. Mengapa? Karena kamu akan hidup bersamanya sampai cukup lama lo! Tentu saja kamu pengin menikah sekali untuk selamanya kan? Bisa jadi kamu akan hidup sampai lebih dari 50 tahun bareng-bareng, kalau iya.
So, untuk menempuh perjalanan yang sebegitu panjang, sudah pasti butuh persiapan yang baik. Satu hal terbesar yang enggak boleh lupa untuk dihayati adalah bahwa kamu akan hidup bersama pasanganmu itu 100% tanpa ragu lagi. Pasalnya, setelah menikah itu bisa jadi berbeda banget dengan masa-masa pacaran—sebelum menikah.
Untuk bisa 100% enggak ragu dan bisa mantap melangkah menempuh perjalanan hidup berdua, salah satu masalah yang harus dipersiapkan sejak awal adalah keuangan.
Enggak bisa memungkiri, bahwa topik keuangan itu memang topik yang sensitif banget, bahkan buat kamu yang sudah berpasangan. Kamu tahu, bahwa masalah ekonomi merupakan penyebab kedua terbesar perceraian suami istri?
Ini dia datanya, sesuai yang dirilis oleh Pengadilan Agama Indonesia tahun 2021.
So, jangan sampai masalah ini menjadi masalah kamu dan pasangan deh ke depannya ya, karena pada dasarnya masalah keuangan ini bisa kok diatasi sejak dini. Terutama, dari sisi kamu sendiri.
Lalu, bagaimana cara mengantisipasi munculnya masalah keuangan saat sesudah menikah? Ya, dengan mempersiapkannya sebelum menikah.
Berikut beberapa hal keuangan yang harus benar-benar kamu cek dan pastikan kalau kondisinya aman sebelum menikah.
Ceklis Keuangan Sebelum Menikah
Bisa terbuka enggak satu sama lain?
Terbuka ini penting banget lo. Bisa dikatakan, ini dulu yang harus dicek, sebelum ke yang lain-lainnya. Kalau keterbukaan ini tidak bisa dicapai, maka kamu bisa anggap bahwa sudah muncul satu red flags di sini, dan harus segera kamu atasi sebelum menikah.
Pasalnya, masih banyak yang menganggap tabu untuk ngomongin duit. Sebatas, “Besok nikah, biayanya bujet berapa ya? Siapa yang tanggung? Kalau patungan, berapaan?” seperti itu saja ada yang merasa risih untuk membicarakannya. Salah satu penyebabnya adalah takut dibilang matre.
Padahal, kita harus realistis. Karena terbuka soal keuangan artinya kamu mengakui batasan-batasan finansial yang bisa dicapai oleh kamu dan pasanganmu.
So, sebelum menikah, biasakan untuk mengobrol apa saja termasuk keuangan. Memang sih, mungkin akan belum terlalu terbuka semacam gaji juga masih diomongin kisaran saja. Atau belum punya rekening bersama. Tapi setidaknya, sudah mulai saling tahu pola pengelolaan keuangan masing-masing. Ibaratnya, siapa yang boros, siapa yang hemat, siapa yang impulsif, dan seterusnya harus sudah diketahui sebelum menikah.
Sumber penghasilan
Semakin serius hubungan, maka bisa jadi obrolan keuangan juga semakin serius. Pada akhirnya, kamu dan pasanganmu harus saling tahu sumber penghasilan masing-masing. Memang enggak gampang sih, apalagi kalau ada ketimpangan penghasilan antara kedua pasangan. Ya, itu tadi, soal dianggap matre.
Tapi, apa pun itu, harus dicoba untuk diobrolkan. Karena ke depannya akan lebih mudah bagi kamu dan pasanganmu untuk mengelola keuangan keluarga saat sudah menikah. Efeknya akan jangka panjang.
Peran masing-masing
Nah, ini juga sangat penting dan sebaiknya sudah ditentukan sejak sebelum menikah. Siapa yang jadi pencari nafkah utama, siapa yang akan jadi bendahara, siapa bayar apa, siapa bagian apa, sistemnya seperti apa, dan seterusnya. Jangan sampai terkena sindrom Papa Bos, Mama Bos—dua-duanya bos, yang jadinya malah membuat pembagian peran enggak jelas.
Ini penting, karena pola pengelolaan keuangan—terutama soal anggaran—ini akan berbeda sekali antara sesudah dan sebelum menikah. Pertama, karena dua orang pasti berbeda juga cara pengelolaannya. Kedua, kondisi berubah dan kebutuhan juga bisa jadi bertambah.
Sampai di sini, kalau sudah terbiasa terbuka seperti yang dijabarkan di point pertama di atas sih biasanya tidak akan banyak menemui kesulitan untuk bersepakat.
Utang piutang
Kamu dan pasanganmu juga harus tahu persis, apakah masing-masing punya utang atau tidak.
Jika punya, berapa jumlahnya? Bagaimana cara pembayarannya? Masih berapa lagi nyicilnya? Hal ini perlu diobrolkan baik jika kamu ataupun pasanganmu yang memiliki utang.
Meskipun secara hukum, utang yang dibuat sebelum menikah tidak menjadi tanggung jawab bersama, tetapi nantinya hal ini akan berdampak ke pengaturan keuangan keluarga. Banyak lo, pasangan yang tidak berterus terang soal utang ini sebelum menikah, dan pada akhirnya jadi merasa terjebak.
Sandwich generation?
Hal lain yang juga harus dicek dan dibicarakan sebelum menikah apakah kamu dan pasanganmu merupakan sandwich generation atau bukan.
Kondisi ini nantinya seakan banyak dapur yang dibiayai oleh satu orang. Pastinya, akan berpengaruh ke keuangan kan, nantinya? Dan, pengaruhnya enggak kecil lo!
So, cobalah bahas secara santai dengan pasanganmu ya, bagaimana pengaturan anggarannya supaya masing-masing tidak terganggu.
Tujuan keuangan
Sejak sebelum menikah, akan baik adanya jika kamu dan pasangan sudah mulai membicarakan juga berbagai tujuan keuangan keluarga yang hendak dicapai berdua.
Misalnya, mau tinggal di mana? Kapan mulai merencanakan punya rumah sendiri? Mau punya anak berapa? Bagaimana pendidikannya nanti? Mau beli mobil? Mau punya tabungan liburan? Pengin beribadah ke tanah suci? Kira-kira bakalan pensiun usia berapa?
Kok banyak ya? Ya memang banyak, bestie. Karena itu, susun prioritas. Buat tujuan jangka pendek, menengah, hingga panjang. Enggak harus semua langsung dieksekusi, yang harus dibicarakan berdua adalah rencana dulu. Selanjutnya, bisa dimatangkan sambil jalan. Dengan demikian, keuangan bisa terarah sesuai tujuan dan cita-cita masing-masing.
Boleh bekerja?
Nah, ini juga masalah yang sering jadi batu sandungan. Bahkan, kadang bisa mengarah ke tindak kekerasan finansial kalau misalnya tidak ada kesepakatan sejak awal.
So, ada baiknya dibicarakan sejak sebelum menikah. Setidaknya, persepsi haruslah sama. Kalau tidak, ya harus ada kompromi agar tercapai solusi yang baik untuk semuanya. Pada dasarnya boleh saja jika memang memutuskan untuk satu penghasilan, asalkan merupakan hasil kesepakatan.
Nah, itu dia 7 ceklis keuangan yang harus dibicarakan berdua dengan pasangan sebelum menikah. Banyak ya, ternyata persiapannya? Iya, karena menikah adalah sebuah tahapan hidup. Berani melangkah ke pelaminan artinya kita siap untuk naik kelas. Untuk naik kelas, ya harus usaha dan bersiap, karena di kelas selanjutnya, biasanya juga bakalan ada ujian yang tidak mudah.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
7 Langkah Cara Bebas Finansial Efektif dan Efisien
Barangkali, setiap orang yang sudah punya literasi keuangan yang baik akan bercita-cita dan memimpikan untuk bisa bebas finansial secepatnya.
Bebas finansial adalah kondisi ketika kamu merasakan kebebasan sepenuhnya untuk mengatur, memanfaatkan, mempergunakan uangmu sesuai kebutuhan. Penghasilanmu dapat kamu manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan menjalani hidup yang kamu mau. Nggak ada kekhawatiran, keraguan, atau ketakutan tidak bisa membayar tagihan, iuran, pajak, dan pengeluaran tak terduga. Semua sudah teralokasi dengan baik. Apalagi soal utang. Seseorang yang sudah mencapai kemerdekaan finansial enggak akan punya utang lagi.
Intinya, saat kamu mencapai kondisi ini, keuangan bukan jadi beban hidupmu lagi.
Nah, jadi paham kan, mengapa orang menginginkan untuk bisa mencapai kebebasan finansial?
Masalahnya, upaya untuk mencapai kondisi ini pasti sulit. Apalagi buat kita, orang-orang yang mengandalkan gaji kecil setiap bulan untuk bertahan hidup. Juga para sandwich generation.
Well, the good news is kondisi bebas finansial ini bisa dicapai oleh siapa pun. Yes, termasuk mereka yang berstatus sebagai generasi sandwich. Tinggal komitmen atau enggak untuk melakukan langkah-langkah persiapannya.
Cara Bebas Finansial yang Efektif dan Efisien
1. Financial check up
Untuk bisa bebas finansial, pertama kamu harus memastikan bahwa kondisi keuangan kamu sehat. Tanpa didukung dengan kesehatan keuangan yang baik, kondisi ini akan sulit untuk diwujudkan.
Financial check up ibaratnya medical check up. Namun, alih-alih kesehatan fisik yang diperiksa, kamu melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap keuangan. Cek dan pastikan beberapa hal berikut:
- Ada penghasilan dan aset
- Pengeluaran tidak lebih besar daripada penghasilan, catatlah agar kamu tahu ke mana saja uangmu pergi
- Kebutuhan pokok terpenuhi dengan baik, tanpa tersiksa
- Punya dana darurat yang memadai
- Punya asuransi untuk melindungi aset, terutama bagi diri sendiri
- Punya rencana keuangan untuk setiap tujuan
Nah, jika ada yang belum checked, kamu perlu membuat langkah solutif untuk bisa memperbaiki keadaanmu dulu, baru kemudian membuat rencana realistis untuk bisa bebas finansial.
2. Punya mindset positif tentang uang
Banyak orang memiliki mindset yang keliru tentang uang. Uang sering kali dianggap sebagai barang yang “tabu”; tabu untuk didiskusikan dengan pasangan, tabu untuk didapatkan secara lebih banyak (padahal jalannya ya halal), tabu untuk dikelola, dan sebagainya. Banyak orang menganggap, ngomongin uang sama dengan matre. Padahal ya, enggak selalu begitu juga.
Uang perlu dibahas, uang perlu dipekerjakan agar kemudian mau mendatangkan “teman” yang lebih banyak—tentu saja dengan cara yang benar. Uang harus dikelola supaya “betah”, dan sebagainya.
Saat kamu punya mindset positif tentang uang, maka saat itu kamu siap untuk membuat rencana keuangan menuju bebas finansial.
3. Rincikan tujuan keuangan
“Pengin kaya!”
Begitu kebanyakan orang menjawab ketika ditanya apa tujuan hidupnya. Padahal “kaya” itu bukan tujuan keuangan yang baik. Mengapa? Karena kaya itu tidak terdefinisikan.
Rincikan tujuan keuanganmu dengan detail. Ada “judul”, nominal, dan jangka waktu. Contoh: 5 tahun lagi, dana DP rumah sebesar Rp150 juta siap. 10 tahun lagi, dana untuk kuliah anak harus siap sebesar Rp200 juta. 30 tahun lagi, dana pensiun harus siap sebesar Rp3 miliar. Dan seterusnya.
Dengan adanya tujuan keuangan yang terdefinisikan dengan rinci seperti itu, kamu akan dapat membuat rencana keuangan yang juga realistis dan mudah untuk dieksekusi.
4. Menabung dan berinvestasi
Banyak orang yang keliru di sini. Mereka menabung dan berinvestasi menggunakan uang sisa belanja.
Bebas finansial dapat kamu capai jika didukung dengan komitmen untuk menabung dan investasi dengan disiplin. Tentukan berapa besar alokasi tabungan dan investasi, dan konsistenlah dengan jumlah yang sudah ditentukan. Akan lebih baik jika kamu dapat menyisihkan 10% hingga 20% dari penghasilan rutinmu setiap bulan. Segera transfer ke rekening tabungan dan investasi begitu kamu menerima gaji atau penghasilan.
Dengan begitu, kamu bisa menjaga konsistensi menabung dan berinvestasi dengan lebih baik. Inilah yang akan jadi modalmu untuk bisa bebas finansial. Pasalnya, uang belanja tidak akan pernah bersisa.
Lakukan analisis mendalam terkait pemilihan jenis instrumennya, terutama instrumen investasi. Kesesuaian karakter instrumen dengan kebutuhan akan jadi kunci sukses investasimu. Belajar dulu ya, supaya kamu paham betul akan hal ini.
5. Cukupkan pengeluaran
Buat anggaran untuk setiap kebutuhan dan pos pengeluaran. Anggaran ini akan bisa kamu manfaatkan untuk mengendalikan belanja agar tidak berlebihan.
Kata kuncinya memang hanya satu: cukup. Tapi, meski hanya satu kata, hal ini akan sangat tricky; tak mudah untuk dilakukan.
Kurangi pengeluaran yang tidak penting. Di sinilah yang membedakan orang yang kaya betulan dengan mereka yang berpura-pura kaya. Miliuner sejati jarang tampil mewah. Sementara, yang pura-pura kaya, ya begitulah.
Jika memang harus berutang, utanglah secara sehat; mampu bayarnya, ada tujuan yang jelas, dan penggunaan barang (atau apa pun itu) lebih lama dari jangka waktu pembayarannya kembali.
6. Investasi pada diri sendiri
Kamu boleh saja investasi pada berbagai instrumen, mulai dari yang rendah risiko seperti deposito, sampai yang sangat agresif seperti saham dan kripto sekalipun. Namun, jangan sampai lupa untuk investasi pada diri sendiri. Justru hal ini adalah modal terbesar untuk kamu bisa bebas finansial.
Cari ilmu dari mana saja, dari siapa saja, di mana saja. Ikutan kelas online, webinar; dengarkan podcast, tonton video, ikut diskusi. Baca artikel dan buku. Semua bisa kamu lakukan demi mendapatkan ilmu, wawasan, dan pemahaman yang baru dan variatif.
Nantinya, ilmu dan wawasan yang kamu miliki bisa berguna, misalnya untuk mendukung karier di kantor sehingga naik jabatan dan naik gaji. Atau, bisa juga dimanfaatkan untuk mendapat penghasilan tambahan. Dengan begini, jalan menuju bebas finansial akan lebih cepat dan lancar.
7. Tambah penghasilan
Agar bebas finansial lebih cepat, maka kamu mungkin perlu untuk menambah penghasilan. Perlua stream income kamu, jangan hanya mengandalkan diri pada gaji pekerjaan utama saja. Kamu bisa berbisnis, atau melakukan pekerjaan lepas sesuai skill yang kamu punya.
Nah, itu dia 7 langkah cara bebas finansial yang efektif dan efisien. Mumpung masih muda, yuk, segera buat rencana realistis menuju bebas finansial hari ini!
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Sri Mulyani: Generasi Muda Akan Sulit Membeli Rumah di Tahun 2022 ke Depan
Di tengah berbagai situasi ekonomi belakangan, tampaknya generasi muda Indonesia akan semakin sulit untuk bisa membeli rumah.
Hal tersebut diungkapkan sendiri oleh Ibu Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia, dalam satu kesempatan. Hal ini terkait dengan adanya tren kenaikan suku bunga acuan yang dimulai oleh The Fed secara agresif belakangan ini, dan direncanakan masih akan terjadi hingga akhir tahun 2022 nanti.
Saat ini, Bank Indonesia diketahui masih berusaha menahan suku bunga acuannya, tetapi peluang untuk naik akan tetap ada, mengingat kondisi yang semakin berkembang dewasa ini.
Benarkah Akan Sulit untuk Membeli Rumah Impian?
Impitan kebutuhan ekonomi ditambah dengan harga berbagai kebutuhan yang meningkat dan suku bunga yang semakin tinggi membuat milenial semakin jauh dari impian untuk memiliki rumah sendiri. Padahal, sepertinya segala upaya program bantuan sudah diberikan oleh pemerintah untuk meringankan beban, dari mulai memberikan subsidi selisih bunga hingga pengadaan rumah subsidi.
Tetapi, tampaknya beban yang berat belum terangkat. Apalagi dengan kondisi kebanyakan generasi milenial juga merupakan sandwich generation, yang tak hanya harus menghidupi diri sendiri tetapi juga harus membiayai hidup orang tua atau keluarga besarnya.
Beberapa Hal yang Membuat Milenial Sulit untuk Membeli Rumah
Dalam penelusuran ke beberapa media, berhasil dikumpulkan beberapa alasan mengapa milenial dan generasi muda Indonesia sulit untuk membeli rumah. Yuk, dikepoin!
1. Kesulitan mengumpulkan DP
Salah satu alasan mengapa terasa sulit untuk membeli rumah, termasuk dengan cara kredit adalah harus menyiapkan down payment alias DP yang terhitung juga sangat besar. Besaran DP biasanya memang ada di kisaran 10% hingga 20%. Jadi, misalnya, untuk membeli rumah Rp500 juta, maka DP yang harus disediakan setidaknya adalah Rp100.000.000.
So, dengan besaran DP ini, banyak milenial mengeluh, bukannya enggak pengin beli rumah, tapi ketika mencoba menabung DP, saat DP sudah terkumpul, ternyata harganya juga sudah naik.
Memang ada opsi DP 0%, tetapi dengan DP seringan ini maka sudah bisa dipastikan, cicilannya akan semakin besar.
2. Skema fixed dan floating rate
Selain masalah besarnya DP, suku bunga yang tinggi juga membuat cicilan KPR setiap bulannya akan terasa sangat berat.
Perlu diketahui, bahwa rata-rata bank yang memiliki program KPR akan menawarkan 2 skema besaran bunga, yakni fixed dan floating rate. Memang bisa berbeda di setiap bank karena tergantung dengan kebijakannya, tetapi kebanyakan menawarkan fixed rate selama 2 tahun. Setelah itu, akan berlaku floating rate dengan mengikuti perkembangan suku bunga di pasar.
Memang ada skema KPR syariah, yang memungkinkan nasabah membayar bunga tetap hingga lunas. Tetapi, cicilannya tetap dianggap terlalu besar.
3. Rumah subsidi kurang memenuhi standar
So, pemerintah bukannya menutup mata juga dengan kesulitan yang harus dihadapi oleh sebagian besar masyarakat ini. Ada banyak program bantuan dibuat, demi meringankan beban, terutama mereka yang berpenghasilan pas-pasan untuk bisa membeli rumah. Salah satunya dengan penyediaan rumah bersubsidi.
Namun, hasil dari penelusuran berbagai sumber, rumah subsidi ternyata banyak yang belum bisa memenuhi harapan masyarakat. Ada beberapa alasan, di antaranya:
- Sering kali yang terjadi, lokasi rumah subsidi terlalu jauh dari tempat kerja, sehingga butuh tambahan biaya lebih banyak untuk transportasi. Setelah dihitung-hitung, malah jadi beberapa kali lipat pengeluaran.
- Banyak yang merasa, kualitas rumah subsidi jauh di bawah kualitas rumah komersial. Banyakk terjadi, ketika sudah mulai dihuni, beberapa bagian rusak dan harus diperbaiki.
- Biaya renovasi rumah subsidi juga akhirnya menghabiskan anggaran. Mulai dari menutup dapur, membuat sumur, sampai memperbaiki bagian rumah yang lain.
So, kalau bisa mendapatkan rumah subsidi, milenial tetap harus punya dana untuk tambahan ini.
4. Penghasilan tidak tetap
Skema penghasilan dari para milenial sendiri juga bergeser akhir-akhir ini. Banyak dari mereka yang lebih memilih untuk merintis usaha sendiri, alih-alih bekerja di perusahaan. Memang ada banyak hal lebih positif yang ditawarkan oleh upaya bisnis atau usaha sendiri ini. Tetapi, pastinya, ada juga trade off-nya.
Salah satunya, dengan penghasilan yang tidak tetap, kebanyakan pengajuan KPR ke bank akan ditolak.
Memang ada sekian banyak syarat yang harus dipenuhi untuk bisa mendapatkan KPR. Salah satunya adalah penghasilan. Bank sendiri menerapkan hal ini sebagai satu upaya manajemen risiko kredit, sehingga mereka harus menetapkan cicilan maksimal 30% dari penghasilan debitur. So, misalnya kamu memilih rumah yang cicilan KPRnya Rp5 juta per bulan, maka penghasilanmu setidaknya harus Rp15 juta per bulan.
Nah, ini akan terasa berat bagi milenial yang masih merintis usaha, atau mereka yang bekerja dan berpenghasilan tidak tetap.
5. Masih terdesak kebutuhan lain
Nah, alasan kelima sulitnya milenial untuk membeli rumah ini sudah sempat disinggung sebelumnya, yaitu terkait dengan statusnya sebagai sandwich generation.
Apalagi dengan potensi kenaikan inflasi yang bisa terjadi ke depannya, harga berbagai kebutuhan juga diprediksi dapat naik sewaktu-waktu tanpa ampun. Belum lagi berbagai keperluan mendesak lain yang juga butuh dibuat rencana keuangan yang matang. Seperti misalnya kebutuhan dana pendidikan anak, dana pensiun, dan sebagainya.
Jadi, bagaimana? Apakah ada alasanmu yang membuat berat untuk memiliki atau membeli rumah seperti di atas? Atau, ada alasan lain?
Memang ya, kondisi kadang terasa begitu berat. Pengin punya rumah sendiri, kok ada saja hambatannya. Bahkan ada “ancaman” yang semakin besar juga di depan. Lalu, kita bisa apa?
Gabung yuk, di kelas finansial online QM Financial! Banyak pilihan kelasnya, yang bisa kamu pilih sesuai kebutuhan. Termasuk, ada juga loh, kelas Dana Rumah Pertama yang bisa bantu kamu membuat rencana keuangan realistis untuk membeli rumah meskipun kondisi sedang berat. Faktanya, ada kok solusi untuk setiap masalah yang ada. Tentu saja, harus disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masing-masing. Sila cek dulu ketersediaan kelasnya ya.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Yang Bergaji 40 Juta Pun Terasa Berat, Ini Contoh Perencanaan Keuangan Sandwich Generation
Topik tentang sandwich generation memang selalu menarik, betul kan? Salah satu alasannya karena relate terhadap banyak orang. Lalu, pengin tahu enggak, gimana cara mengatur keuangan sandwich generation? Syukur-syukur kalau ada contoh perencanaan keuangan yang bisa dipakai untuk para sandwich generation dengan gaji berapa pun.
Yes, sandwich generation mendeskripsikan diri mereka sebagai pihak yang harus menanggung biaya hidup diri sendiri dan keluarganya, plus generasi di atasnya, yaitu orang tua. Hal ini terjadi salah satu penyebabnya adalah karena tidak siapnya generasi orang tua untuk hidup mandiri saat pensiun.
Tapi, mengapa hal ini menjadi masalah besar?
Dalam artikel kali ini, kita akan bahas soal sandwich generation, tip mengelola keuangannya, serta ada sedikit contoh perencanaan keuangan yang sesuai.
Data-Data Prevalensi Sandwich Generation
Dari data survei Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Statistik Penduduk Lanjut Usia tahun 2017, 77.82% sumber pembiayaan rumah tangga para lanjut usia ternyata ditopang oleh anggota keluarga lain yang bekerja. Sementara, Survei Ekonomi Nasional yang sama-sama diadakan tahun 2017 menyatakan bahwa sebesar 62.64% lanjut usia di Indonesia tinggal bersama anak cucu mereka.
Sejatinya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Pusat Penelitian Pew di Amerika Serikat juga mencatat, bahwa satu dari 8 orang penduduk Amerika berusia 40 – 70 tahun harus membesarkan anak, sekaligus merawat orang tua mereka. Sementara, Carers UK pada surveinya tahun 2012 memberikan fakta bahwa ada sekitar 2.4 juta orang punya pos pengeluaran khusus untuk perawatan anak dan juga kerabat yang lebih tua ataupun difabel.
Beratnya beban sandwich generation tak jarang lantas membuat mereka mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, termasuk tak bisa menabung secara rutin dengan nominal yang memadai. Jangankan memikirkan kebutuhan di masa depan, untuk kebutuhan di masa sekarang bisa saja dirasa cukup sulit.
Lalu, seperti apa contoh perencanaan keuangan untuk bisa mengatasi hal ini?
Beban para Sandwich Generation
Mengutip berita dari Kompas.id yang saat artikel ini ditulis sedang viral, ada beberapa kisah sandwich generation yang mengeluhkan beratnya hidup mereka.
Salah seorang di antaranya ada yang bergaji Rp11 juta. Alih-alih menggunakannya untuk “memanjakan diri”, sebanyak Rp4 juta diberikan sebagai uang bulanan orang tua. Sementara ia juga masih harus menanggung tagihan listrik, dan juga memberi uang saku adiknya. Dari Rp11 juta, ia hanya bisa menggunakan Rp3.5 juta untuk kebutuhan hidup. Uang Rp3.5 juta itu, Rp1.5 juta untuk kos, dan tersisa Rp2 juta saja untuk makan, transportasi, dan kebutuhan lain.
Seorang sandwich generation yang lain mengaku bergaji Rp40 juta. Disetorkan untuk keluarga besar sebesar Rp20 juta, yang dimanfaatkan untuk ongkos jalan-jalan sang ibu, kredit mobil sang ayah, kebutuhan keluarga besar, sampai uang sekolah keponakan. Ia sendiri “kebagian” Rp20 juta, yang lebih banyak dialokasikan ke tabungan hari tua, karena ia mengaku tak tertarik aset tak bergerak. Ia tak mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, tetapi punya “ancaman” yang berbeda; ia sepertinya harus menunda cita-citanya untuk pensiun dini di usia 40 tahun.
Nah, bagaimana denganmu?
Yah, terlepas dari nominal gaji, kita sepakat bahwa perjuangan masing-masing individu itu berbeda. Begitu juga dengan sandwich generation. Meski kepepet, ya harus bisa survive. Yang satu terancam tak bisa memenuhi kebutuhan hidup, yang lain terancam pensiun dininya.
Yuk, simak terus untuk tahu contoh perencanaan keuangan yang tepat.
Tip dan Contoh Perencanaan Keuangan untuk Sandwich Generation
1. Tetapkan tujuan keuangan
Pertama, sebelum beranjak ke contoh perencanaan keuangan, tentu saja harus jawab dulu pertanyaan wajibnya: #TujuanLoApa? Dari sini, baru deh kamu bisa tarik ke belakang, untuk membuat perencanaan keuangannya.
Jadi misalnya, untuk si sandwich generation bergaji Rp11 juta, kamu bisa punya tujuan keuangan mengumpulkan dana darurat dulu, lalu dana menikah, dana liburan, dana apa pun juga boleh. Jika kamu sudah menikah, pastinya tujuan keuangan kamu akan berbeda dari yang lajang. So, sesuaikan dengan kondisimu ya.
2. Rumus cash flow 1 – 2 – 3 – 4
Setelah kamu memiliki tujuan keuangan, berikutnya ada contoh perencanaan keuangan. Kamu bisa memanfaatkan rumus cash flow ala QM Financial, yaitu rumus 1 – 2 – 3 – 4. Apa pun alokasinya, buatlah berdasarkan pola 1 – 2 – 3 – 4, sesuaikan dengan kondisimu. Karena kamu adalah sandwich generation, maka uang bulanan untuk membantu keluarga besar juga harus dimasukkan ke dalam rumus ini.
Contoh perencanaan keuangan untuk kamu yang bergaji Rp11 juta:
- Alokasi untuk keluarga besar: 40% x Rp11 juta = Rp4.400.000
Nah, ini sebaiknya sih sudah termasuk tagihan listrik dan kebutuhan lainnya yang di luar untuk kebutuhanmu sendiri ya, agar bisa seimbang antara membantu keluarga tetapi juga tidak mengorbankan kebutuhan pribadi. - Kebutuhan rutin: 30% x Rp11 juta = Rp3.300.000, termasuk untuk uang kos, makan, dan transportasi.
- Investasi dan menabung untuk masa depan: 20% x Rp11 juta = Rp2.200.000
- Lifestyle atau keperluan lainnya: 10% x Rp11 juta = Rp 1.100.000
Urutan dan nominalnya bisa kamu tukar dan sesuaikan, intinya adalah kamu menentukan prioritas.
Mari kita lihat contoh perencanaan keuangan untuk yang bergaji Rp40 juta.
Ini bisa jadi akan berbeda nih prioritasnya, meski sama-sama lajang. Mungkin rumus 1 – 2 – 3 – 4 juga kurang sesuai, karena yang bersangkutan mengaku tidak terlalu suka jajan, dan lebih suka mengalokasikan sebagian besar gaji untuk tabungan hari tua.
- Alokasi untuk keluarga besar: 40% x Rp40 juta = Rp16.000.000
- Investasi dan menabung untuk masa depan: 40% x Rp40 juta = Rp16.000.000.
- Kebutuhan hidup dan lifestyle: 20% x Rp40 juta = Rp8.000.000
Mari kita asumsikan si kakak yang bergaji Rp40 juta ini sekarang berusia 30 tahun. Dengan berinvestasi sebesar Rp16.000.000 per bulan di instrumen reksa dana saja, jika ia berencana untuk pensiun dini di usia 40 tahun nanti, nilai investasinya akan bertumbuh pada kisaran Rp2 – 3 miliar. Ini tinggal disesuaikan dengan kebutuhannya, yang terlihat dari besaran pengeluaran setiap tahunnya, dan kemudian diperhitungkan dengan angka harapan hidup.
3. Diskusikan dengan anggota keluarga
Nah, terkait alokasinya, angka di atas hanyalah contoh perencanaan keuangan. Realisasinya, kamu tentunya harus berdiskusi dengan orang tua kamu.
Misalnya saja, untuk si kakak yang punya gaji Rp40 juta, mungkin jalan-jalan sang ibu bisa agak dikurangi. Cermati juga pos yang lainnya. Yang tak penting dan tidak urgent, bisa dikurangi atau dihilangkan. Jika kamu bisa menghemat pos lifestyle kamu, pastikan keluarga juga ikut berpartisipasi dalam upaya berhemat ini. Akan sangat lebih baik jika kamu tak sendirian dalam upaya ini.
Pastinya, mereka juga akan mengerti keadaannya jika memang kamu merasa kesulitan. Diskusikan juga dengan anggota keluarga lain yang memungkinkan. Intinya, berbagilah beban. Karena sebenarnya sebagai keluarga seharusnya kan saling bantu, bukan?
Pengin lebih banyak contoh perencanaan keuangan yang sesuai untukmu? Yuk, gabung di kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Pensiun dan Tinggal di Rumah Jompo Tak Selalu Buruk, Bahkan Bisa Jadi Pension Dream!
Namanya rumah jompo, yang kemudian terbayangkan pasti adalah sebuah bangunan lawas, tenang, dan sejenisnya. Betul? Penghuninya, sudah pasti, mereka yang sudah lanjut usia dan sudah pensiun dari apa pun profesi mereka sebelumnya.
Mindset kita sendiri juga yang menganggap, bahwa orang-orang yang tinggal di panti jompo adalah mereka yang tidak punya keluarga. Atau, misalnya punya keluarga, ya pasti keluarganya tinggal jauh. Di lain kota, lain provinsi, bahkan mungkin lain pulau dan negara.
Konotasi rumah jompo kadang juga terasa negatif di satu dan lain waktu. Ada anggapan, bahwa anak yang tega membiarkan orang tuanya untuk tinggal di rumah jompo adalah anak yang tak mau berbakti pada orang tua. Parahnya lagi, kadang anak dianggap “membuang” orang tuanya di rumah jompo. Ckckck.
Benarkah demikian?
Rumah Jompo = Rumah Pensiun
Sebenarnya, hal ini digeneralisasi saja. Ada cerita nih. Seorang teman mengaku, bahwa ibunya sendirilah yang meminta untuk tinggal di rumah jompo. Si teman, yang juga sudah berkeluarga sendiri ini, tentu saja kaget ketika mendengar permintaan sang ibu. Ia merasa gagal jadi anak.
Melihat gelagat anaknya yang shock, si ibu justru menghiburnya. Beliau bilang, bahwa beliau tidak mau mengganggu kehidupan anaknya yang sudah berkeluarga, meskipun keluarga anaknya sangat baik padanya.
Sebelumnya, sang ibu adalah seorang perempuan karier yang sukses. Dana pensiunnya sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, bahkan ketika sang suami meninggal dunia jauh sebelumnya. Bisa dibilang, ia adalah pensiunan mandiri dan sejahtera.
Keluarga anaknya dianggapnya keluarga sendiri, tetapi ia ingin juga memberi ruang lebih leluasa—baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk keluarga anaknya. Karena itu, ia meminta untuk tinggal di rumah jompo saja.
Karena dana pensiunnya mencukupi, tentu saja rumah jompo yang dipilihnya bukan rumah jompo sembarangan. Rumah jompo yang dipilihnya bahkan mirip seperti resort hotel; lengkap dengan halaman berpohon palem dan danau buatan.
Niqmat mana lagi yang hendak didustakan, hidup di tempat yang nyaman seperti itu?
Ada lagi nih cerita. Kamu tahu NH Dini? Beliau adalah seorang penulis novel veteran legendaris, yang sudah tutup usia tahun 2018 yang lalu. Meski beliau memiliki dua anak yang bersedia merawat, tapi NH Dini memilih untuk menjual seluruh harta yang dimilikinya, dan hidup di rumah jompo. Di rumah jompo tersebut, kesehatannya justru sangat baik. Sayangnya, beliau mengalami kecelakaan hingga wafat.
Perawatnya mengaku, bahwa Ibu NH Dini tinggal di rumah jompo atas pilihannya sendiri karena ingin tetap hidup mandiri, dan tak mau merepotkan keluarganya.
See? Tak selamanya tinggal di rumah jompo itu berarti “terbuang”. Justru di sana, sebagian dari pensiunan ini bisa hidup di dunianya sendiri yang nyaman.
Kuncinya: Pensiun Sejahtera
Bukan, artikel ini bukan ditulis dengan maksud untuk memprovokasi keributan seputar gaya hidup dan keuangan kok. Justru, artikel ini ingin mengajak kamu untuk mempersiapkan masa pensiun dengan lebih baik. Karena, soal nyaman enggak nyaman hidup kita di masa pensiun, semua tergantung pada persiapan kita menghadapi masa pensiun.
Kuncinya memang pada masa persiapan yang panjang. Banyak hal memang harus disiapkan. Dengan demikian, nantinya, ketika kamu benar-benar pensiun, kamu bisa mewujudkan apa pun pension dreams kamu.
Tinggal di rumah jompo tidak selalu buruk, bahkan bisa jadi salah satu pension dreams. Bahkan, bagi sebagian orang, justru dianggap nyaman. Anak-anak tak “terbebani”, orang tua juga punya ruang gerak sendiri. Soal kesehatan juga lebih terjamin, karena banyak tenaga caregiver yang siap 24 jam di sana. Selain itu, yang lebih penting, kita bisa memutus rantai sandwich generation!
Coba bayangkan seperti ibu si teman di atas. Setiap pagi, beliau bangun di paviliun yang menyerupai cottage di Bali loh! Caregiver-nya selalu siap membantunya menjalani hari-hari, sejak beliau bangun sampai tidur lagi di malam hari.
Dan tentu saja, kalau mau nyaman, biayanya juga sepadan. Begitu juga kalau kita ingin tinggal di rumah jompo untuk melewati masa pensiun. Nah, masalahnya, kita siap atau enggak?
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Jadi Karyawan dan Susah Menabung? Mungkin Ini Sebabnya!
Sejak kecil, kita sudah dikenalkan dengan kebiasaan menabung. Biasanya sih dimulai dengan celengan receh, dengan bentuk lucu-lucu, yang terbuat dari tanah liat ataupun kaleng. Yes, menabung memang menjadi pelajaran pertama kita soal keuangan. Lalu, kenapa sekarang malah jadi susah menabung?
Tanya kenapa?
Sudah memasuki usia produktif dan bisa mendapatkan penghasilan sendiri dengan gaji yang didapatkan secara tetap, mengapa malah susah menabung? Berapa pun uang yang didapat selalu habis tak bersisa. Gajian lagi masih lama, uang di dompet tinggal selembar, dan saldo di rekening pun sudah minimal. Meskipun kadang sudah mencoba untuk menabung di awal bulan, pada akhirnya diambil juga dan digunakan.
Jika kondisi kamu seperti ini, mari kita lihat beberapa hal yang bisa membuatmu susah menabung. Barangkali salah satunya (atau malah beberapa di antaranya) menjadi biang keroknya.
Mengapa Susah Menabung?
1. Nggak punya tujuan
Saat kita punya niat untuk menabung, maka saat itu pula ada kemungkinan besar kita juga dihadapkan pada kebutuhan yang lain: cicilan, kebutuhan hidup, kebutuhan sosial, dan sebagainya. Rencana menabung pun diturunkan prioritasnya, lantaran kita lebih mementingkan hal lain.
Itulah yang terjadi kalau kita tak memiliki tujuan ketika hendak mulai menabung. Lain halnya kalau kita memiliki “judul” untuk tabungan kita. Secara bawah sadar, kita akan memprioritaskan tabungan, karena bakalan ada manfaatnya. Misalnya, untuk membeli gadget terbaru. Kalau enggak menabung, gadget pun enggak akan terbeli. Dengan demikian, kita pun rela mengurangi pos lain yang kurang penting demi tabungan gadget baru.
Itu baru “judul” tabungan untuk gadget. Coba bayangkan, jika judulnya untuk sesuatu yang sangat penting. Misalnya, untuk DP rumah, atau tabungan untuk menikah. Atau yang lebih ‘grand’ lagi, seperti tabungan agar bisa bebas finansial, dan pensiun dini.
2. Terlalu banyak tanggungan
Sudah menjadi rahasia umum, ketika di masa-masa produktif seperti sekarang ini, kita banyak memiliki tanggungan. Nggak hanya keluarga kecil kita sendiri, banyak dari kita yang juga harus menanggung biaya hidup keluarga besar.
Yes, kita adalah sandwich generation.
Karena itulah, kebutuhan keuangan menjadi lebih besar daripada seharusnya. Jangankan menabung, untuk memenuhi kebutuhan dasar saja, kadang harus berjuang. Selain mendapatkan gaji, tak jarang kita juga harus melakukan side hustling demi mendapatkan tambahan pemasukan.
3. Terlalu banyak utang
Ada banyak alasan ketika seseorang berutang. Paling banyak ya karena kepepet kebutuhan. Entah kebutuhan yang sesungguhnya, atau sekadar memenuhi gaya hidup.
Memang keduanya berbeda. Tetapi, keduanya seharusnya juga tak harus dipenuhi dengan cara berutang, apalagi yang sampai melebihi kemampuan.
Idealnya, rasio cicilan utang yang sehat adalah 30% dari penghasilan rutin setiap bulannya. Rasio ini ada sudah pasti bukan sekadar angka. Dengan membuat batasan maksimal cicilan utang 30%, maka diharapkan kita tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup dan juga menabung.
Kalau akhirnya susah menabung, maka mungkin saja rasio utang ini lebih besar dari batas maksimal ideal.
4. Pos lifestyle terlalu tinggi
Seperti halnya cicilan utang, sebenarnya juga ada batas maksimal ideal untuk pos lifestyle, yaitu 10%.
Pos lifestyle adalah pos pengeluaran khusus untuk biaya aktivitas sosial, hobi, self reward, dan sebagainya. Kita enggak bisa memungkiri, bahwa kita juga butuh biaya-biaya ini, tetapi jangan sampai porsinya justru lebih besar daripada pos tabungan. Masa sih mengaku susah menabung, tapi gaya hidup hedon banget?
Boleh kok, kita nongkrong sesekali bareng teman-teman di kafe, atau mungkin membelikan diri sendiri berbagai barang yang memang kita inginkan. Namun, tentu harus dipikirkan dengan bijak.
5. Nggak punya catatan keuangan
Jika memang ingin menabung, maka kita pun harus membuat rencana keuangan yang benar. Apalagi manusia itu memang banyak maunya. Tanpa rencana keuangan, maka—seperti yang sudah dipaparkan di poin pertama di atas—bisa jadi kita memang tak punya tujuan menabung. Bahkan, kita tak tahu ke mana saja uang kita pergi.
Dengan adanya catatan keuangan—yang di dalamnya ada catatan penghasilan dan pengeluaran—kita jadi tahu, pos mana yang bisa dihemat, dikurangi, dan disesuaikan, sehingga kita pun bisa mulai menabung.
Nah, jadi, dari kelima hal di atas, manakah yang masih menjadi alasanmu susah menabung?
Apakah kantor atau komunitasmu mengalami masalah keuangan yang sama? Ataukah, punya kebutuhan training finansial yang lain? Sila kontak WA 0811 1500 688 untuk mendiskusikan kebutuhan training finansialmu. Semua modul dibuat SIMPEL, PRAKTIS, dan tentu saja FUN!
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!