Psikologi Pengeluaran Akhir Bulan: Memahami Mengapa Kita Mengeluarkan Lebih Banyak dan Bagaimana Menghindarinya
Siapa nih, yang suka panik di akhir bulan karena saldo udah limit banget, bahkan tinggal saldo minimal saja?
Well, kamu enggak sendirian sih. Faktanya, banyak orang mengalami masalah keuangan di akhir bulan alias di tanggal tua; ketika mereka merasa sulit untuk membayar tagihan, memenuhi kebutuhan sehari-hari, atau bahkan menabung.
Penyebabnya sih bisa banyak, tapi tahukah kamu, bahwa hal ini ada juga kaitannya dengan masalah psikologis?
Yes, gaes, uang dan psikologi manusia itu ternyata berhubungan erat lo! Nah, makanya nih, di artikel kali ini, kita akan membahas salah satu faktor penting yang memengaruhi pengeluaran akhir bulan, yaitu psikologi pengeluaran. Yuk, simak sampai selesai ya, karena di akhir nanti juga akan ada tip praktis untuk menghindari pengeluaran yang nggak perlu di akhir bulan.
Masalah yang Sering Timbul di Akhir Bulan
So, masalah keuangan memang ada banyak. Penyebabnya juga beragam. Tapi ada beberapa masalah cash flow tertentu yang secara klasik muncul di akhir bulan. Apa saja? Yuk, kita lihat, bisa jadi beberapa di antaranya juga sering (atau selalu?) kamu alami.
Kurangnya uang tunai
Banyak orang mengalami masalah keuangan di akhir bulan karena mereka tidak memiliki cukup uang tunai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Tagihan yang belum dibayar
Di akhir bulan, tagihan rutin seperti listrik, air, gas, atau tagihan kartu kredit ternyata belum dibayar. Jika kita enggak bisa membayar tagihan tersebut, bisa jadi kita akan terkena denda atau bunga yang dapat menambah beban keuangan.
Sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari
Beberapa di antara kita juga mungkin merasa kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan transportasi di akhir bulan, karena uang sudah habis untuk membayar tagihan atau pengeluaran lainnya di sepanjang bulan yang dijalani.
Ketergantungan pada kartu kredit
Banyak orang mungkin mengandalkan kartu kredit untuk memenuhi kebutuhan di akhir bulan, tetapi jika mereka tidak membayar tagihan kartu kredit secara penuh, mereka akan dikenakan bunga dan biaya yang dapat menambah beban keuangan mereka.
Nah, mana nih yang paling sering kamu alami?
Faktor Psikologis yang Memengaruhi Keuangan di Akhir Bulan
Nah, tahukah kamu, bahwa semua masalah tersebut sebenarnya dipicu oleh hal-hal yang bersifat psikologis? Seperti apa misalnya?
1. Procrastination effect
Procrastination effect, atau efek penundaan, adalah suatu fenomena ketika kita menunda-nunda pengeluaran hingga akhir periode waktu tertentu, seperti akhir bulan.
Hal ini dapat terjadi karena kita merasa lebih bebas untuk mengeluarkan uang pada waktu tertentu, atau karena kita punya semacam “prediksi” akan mendapatkan lebih banyak uang dalam beberapa waktu ke depan.
Contohnya nih, banyak dari kita suka window shopping di marketplace dengan memasukkan berbagai produk ke troli, tapi enggak di-checkout. Alasannya, checkoutnya ntar aja, kalau sudah gajian. Saat gajian tiba, maka kita pun langsung checkout-checkout belanjaan tanpa ragu lagi.
Akhirnya, efek penundaan ini menyebabkan kita jadi mengeluarkan uang tanpa terkontrol, dan akan ngefek juga ke keuangan kita di akhir bulan.
Fenomena ini terkait dengan bias psikologis yang disebut efek hiperbolik diskon (hyperbolic discounting effect). Efek ini menyebabkan seseorang cenderung berpikiran bahwa mereka punya nilai yang lebih besar di masa depan dibandingkan dengan nilai yang ada saat ini. Misalnya, kita akan berpikir, ah, kan ada gaji bulan depan buat bayar. Padahal, ya sebenarnya kita juga tahu, bahwa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, gaji tersebut harus secara ketat dibagi per posnya.
Akibat dari efek ini, kita jadi lebih mudah menunda-nunda pengeluaran saat ini dan mengalokasikan uang “yang bahkan belum kita punya” untuk pengeluaran di masa depan. Tak peduli jika itu berarti kita akan menghadapi kesulitan keuangan di akhir bulan.
Efek psikologis ini bisa membuat kita cenderung spending secara tidak perlu dan tidak terencana. So, untuk mengatasinya, kamu bisa membuat anggaran dan rencana belanja.
2. Last minute decision effect
Last minute decision effect, atau efek keputusan di menit-menit terakhir, adalah suatu ketika kita cenderung membuat keputusan yang impulsif dan tidak terencana pada akhir periode waktu tertentu, seperti akhir bulan.
Hal ini dapat terjadi karena kita merasa terburu-buru, biasanya karena ada batasan waktu yang mepet. Misalnya nih, kita akan cenderung membuat keputusan impulsif dan membeli barang yang tidak dibutuhkan hanya karena kita melihat diskon besar-besaran di akhir bulan, padahal sebenarnya kita tidak membutuhkan barang tersebut.
Fenomena ini terkait dengan bias keputusan yang disebut efek framing. Efek framing terjadi ketika kita membuat keputusan berdasarkan pada bagaimana informasi tersebut disajikan. Dalam kasus efek keputusan terakhir, waktu merupakan bentuk framing yang memengaruhi keputusan tersebut. So, efeknya, kita jadi merasa terburu-buru dan cenderung membuat keputusan impulsif, karena kita merasa bahwa kita harus mengambil keputusan secepat mungkin.
Efek keputusan terakhir bisa memberikan konsekuensi negatif bagi keuangan lo. Pasalnya, kita jadi cenderung mengeluarkan uang yang tidak perlu dan tidak terencana. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenali efek keputusan terakhir dan menghindarinya.
Banyak cara bisa dilakukan, salah satunya dengan membuat rencana belanja yang terencana sejak awal periode waktu dan membatasi diri untuk tidak mengambil keputusan penting pada akhir periode waktu ketika kita mungkin merasa terburu-buru atau tergesa-gesa.
3. Overconfidence effect
Efek overconfidence adalah suatu fenomena psikologis ketika kita merasa terlalu percaya diri tentang situasi keuangan kita di akhir periode waktu tertentu, seperti akhir bulan. Kalau dilihat-lihat, efek ini erat hubungannya dengan procrastination effect yang sudah dijelaskan di atas.
Fenomena ini terkait dengan bias psikologis yang disebut efek kelebihan keyakinan (overconfidence effect). Efek ini menyebabkan kita cenderung meremehkan risiko keuangan dan membuat keputusan pembelian yang impulsif. Kita merasa bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengatasi risiko keuangan yang mungkin muncul di masa depan, sehingga kita tidak terlalu memperhatikan risiko keuangan tersebut saat memutuskan pengeluaran yang akan kita lakukan.
Untuk menghindari efek ini, teteup ya, solusinya adalah membuat rencana belanja dan anggaran yang realistis, serta dengan mempertimbangkan risiko keuangan yang mungkin terjadi di masa depan saat membuat keputusan pembelian.
4. Accounting mental effect
Efek mental accounting adalah suatu fenomena psikologis ketika kita memisahkan uang dalam kategori tertentu dan membuat keputusan pembelian berdasarkan pada kategori tersebut.
Sebenarnya, accounting mental ini bagus sih, dan menjadi basic dari pengelolaann anggaran dengan pos-pos pengeluaran, seperti yang kita kenal sekarang. Namun, ternyata ada juga “efek samping” yang bisa jadi merugikan. Wah, apa efek sampingnya?
Konon, efek mental accounting dapat menyebabkan seseorang mengeluarkan uang lebih banyak pada suatu kategori dan kurang pada kategori lain, tanpa mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya.
Fenomena ini terkait dengan bias psikologis yang disebut efek akuntansi mental (mental accounting effect). Sebagai contoh, kita mungkin menyisihkan dana ke alokasi tertentu untuk hiburan sebagai “uang ekstra”. Dana ini bisa kita gunakan tanpa merasa bersalah. Tetapi, kecenderungan yang bisa terjadi adalah, kita pengin punya uang ekstra lebih banyak, sehingga “merasa harus” mengurangi pengeluaran kita pada kategori lain yang lebih penting, seperti makanan atau tagihan listrik.
Akibatnya, kita jadi mengeluarkan uang lebih banyak pada pos tertentu, dan jadi kurang pada pos lainnya. Fatalnya kalau ternyata pos yang lain tersebut ternyata lebih kita butuhkan. Pantas saja di akhir bulan, kita mengalami kesulitan keuangan kan?
So, untuk menghindari efek ini terjadi pada kita, ada baiknya kita belajar memprioritaskan pengeluaran yang lebih penting, seperti kebutuhan sehari-hari dan tagihan, serta dengan mempertimbangkan semua kategori pengeluaran dan memastikan bahwa uang kita bisa teralokasikan secara bijak.
So, sampai di sini sudah paham ya, bahwa dalam mengelola keuangan, terdapat banyak faktor psikologis yang dapat mempengaruhi keputusan dan perilaku pengeluaran seseorang, terutama pada akhir bulan.
Salah satu cara untuk mempelajari lebih lanjut tentang manajemen keuangan dan menghindari pengaruh psikologis dalam pengeluaran adalah dengan belajar dari sumber-sumber yang dapat dipercaya. Yuk, kita tingkatkan pemahaman kita tentang manajemen keuangan, sehingga kita dapat mengatur keuangan kita dengan bijak dan mencapai tujuan keuangan kita di masa depan.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
7 Ceklis Keuangan yang Harus Dibicarakan Berdua Sebelum Menikah
Banyak orang yang bilang, menikahlah maka masalah hidup akan lebih ringan. Tapi, apa benar menikah adalah solusi? Bukannya menikah itu justru awal dari hidup yang sebenarnya ya? Karena itu, kita harus mempersiapkan banyak hal sebelum menikah.
So, buat kamu yang setuju dengan pernyataan terakhir, mari sini ngumpul! Kita akan mengobrol lebih jauh soal ini.
Menikah Awal Hidup yang Sebenarnya
Jika kamu masih melanjutkan bacanya sampai bagian ini, berarti kamu setuju ya dengan pernyataan di atas?
Memang benar, sebelum memutuskan untuk menikah atau merencanakannya, ada banyak hal yang harus kamu pahami, perhatikan, dan persiapkan dulu bersama pasangan. Mengapa? Karena kamu akan hidup bersamanya sampai cukup lama lo! Tentu saja kamu pengin menikah sekali untuk selamanya kan? Bisa jadi kamu akan hidup sampai lebih dari 50 tahun bareng-bareng, kalau iya.
So, untuk menempuh perjalanan yang sebegitu panjang, sudah pasti butuh persiapan yang baik. Satu hal terbesar yang enggak boleh lupa untuk dihayati adalah bahwa kamu akan hidup bersama pasanganmu itu 100% tanpa ragu lagi. Pasalnya, setelah menikah itu bisa jadi berbeda banget dengan masa-masa pacaran—sebelum menikah.
Untuk bisa 100% enggak ragu dan bisa mantap melangkah menempuh perjalanan hidup berdua, salah satu masalah yang harus dipersiapkan sejak awal adalah keuangan.
Enggak bisa memungkiri, bahwa topik keuangan itu memang topik yang sensitif banget, bahkan buat kamu yang sudah berpasangan. Kamu tahu, bahwa masalah ekonomi merupakan penyebab kedua terbesar perceraian suami istri?
Ini dia datanya, sesuai yang dirilis oleh Pengadilan Agama Indonesia tahun 2021.
So, jangan sampai masalah ini menjadi masalah kamu dan pasangan deh ke depannya ya, karena pada dasarnya masalah keuangan ini bisa kok diatasi sejak dini. Terutama, dari sisi kamu sendiri.
Lalu, bagaimana cara mengantisipasi munculnya masalah keuangan saat sesudah menikah? Ya, dengan mempersiapkannya sebelum menikah.
Berikut beberapa hal keuangan yang harus benar-benar kamu cek dan pastikan kalau kondisinya aman sebelum menikah.
Ceklis Keuangan Sebelum Menikah
Bisa terbuka enggak satu sama lain?
Terbuka ini penting banget lo. Bisa dikatakan, ini dulu yang harus dicek, sebelum ke yang lain-lainnya. Kalau keterbukaan ini tidak bisa dicapai, maka kamu bisa anggap bahwa sudah muncul satu red flags di sini, dan harus segera kamu atasi sebelum menikah.
Pasalnya, masih banyak yang menganggap tabu untuk ngomongin duit. Sebatas, “Besok nikah, biayanya bujet berapa ya? Siapa yang tanggung? Kalau patungan, berapaan?” seperti itu saja ada yang merasa risih untuk membicarakannya. Salah satu penyebabnya adalah takut dibilang matre.
Padahal, kita harus realistis. Karena terbuka soal keuangan artinya kamu mengakui batasan-batasan finansial yang bisa dicapai oleh kamu dan pasanganmu.
So, sebelum menikah, biasakan untuk mengobrol apa saja termasuk keuangan. Memang sih, mungkin akan belum terlalu terbuka semacam gaji juga masih diomongin kisaran saja. Atau belum punya rekening bersama. Tapi setidaknya, sudah mulai saling tahu pola pengelolaan keuangan masing-masing. Ibaratnya, siapa yang boros, siapa yang hemat, siapa yang impulsif, dan seterusnya harus sudah diketahui sebelum menikah.
Sumber penghasilan
Semakin serius hubungan, maka bisa jadi obrolan keuangan juga semakin serius. Pada akhirnya, kamu dan pasanganmu harus saling tahu sumber penghasilan masing-masing. Memang enggak gampang sih, apalagi kalau ada ketimpangan penghasilan antara kedua pasangan. Ya, itu tadi, soal dianggap matre.
Tapi, apa pun itu, harus dicoba untuk diobrolkan. Karena ke depannya akan lebih mudah bagi kamu dan pasanganmu untuk mengelola keuangan keluarga saat sudah menikah. Efeknya akan jangka panjang.
Peran masing-masing
Nah, ini juga sangat penting dan sebaiknya sudah ditentukan sejak sebelum menikah. Siapa yang jadi pencari nafkah utama, siapa yang akan jadi bendahara, siapa bayar apa, siapa bagian apa, sistemnya seperti apa, dan seterusnya. Jangan sampai terkena sindrom Papa Bos, Mama Bos—dua-duanya bos, yang jadinya malah membuat pembagian peran enggak jelas.
Ini penting, karena pola pengelolaan keuangan—terutama soal anggaran—ini akan berbeda sekali antara sesudah dan sebelum menikah. Pertama, karena dua orang pasti berbeda juga cara pengelolaannya. Kedua, kondisi berubah dan kebutuhan juga bisa jadi bertambah.
Sampai di sini, kalau sudah terbiasa terbuka seperti yang dijabarkan di point pertama di atas sih biasanya tidak akan banyak menemui kesulitan untuk bersepakat.
Utang piutang
Kamu dan pasanganmu juga harus tahu persis, apakah masing-masing punya utang atau tidak.
Jika punya, berapa jumlahnya? Bagaimana cara pembayarannya? Masih berapa lagi nyicilnya? Hal ini perlu diobrolkan baik jika kamu ataupun pasanganmu yang memiliki utang.
Meskipun secara hukum, utang yang dibuat sebelum menikah tidak menjadi tanggung jawab bersama, tetapi nantinya hal ini akan berdampak ke pengaturan keuangan keluarga. Banyak lo, pasangan yang tidak berterus terang soal utang ini sebelum menikah, dan pada akhirnya jadi merasa terjebak.
Sandwich generation?
Hal lain yang juga harus dicek dan dibicarakan sebelum menikah apakah kamu dan pasanganmu merupakan sandwich generation atau bukan.
Kondisi ini nantinya seakan banyak dapur yang dibiayai oleh satu orang. Pastinya, akan berpengaruh ke keuangan kan, nantinya? Dan, pengaruhnya enggak kecil lo!
So, cobalah bahas secara santai dengan pasanganmu ya, bagaimana pengaturan anggarannya supaya masing-masing tidak terganggu.
Tujuan keuangan
Sejak sebelum menikah, akan baik adanya jika kamu dan pasangan sudah mulai membicarakan juga berbagai tujuan keuangan keluarga yang hendak dicapai berdua.
Misalnya, mau tinggal di mana? Kapan mulai merencanakan punya rumah sendiri? Mau punya anak berapa? Bagaimana pendidikannya nanti? Mau beli mobil? Mau punya tabungan liburan? Pengin beribadah ke tanah suci? Kira-kira bakalan pensiun usia berapa?
Kok banyak ya? Ya memang banyak, bestie. Karena itu, susun prioritas. Buat tujuan jangka pendek, menengah, hingga panjang. Enggak harus semua langsung dieksekusi, yang harus dibicarakan berdua adalah rencana dulu. Selanjutnya, bisa dimatangkan sambil jalan. Dengan demikian, keuangan bisa terarah sesuai tujuan dan cita-cita masing-masing.
Boleh bekerja?
Nah, ini juga masalah yang sering jadi batu sandungan. Bahkan, kadang bisa mengarah ke tindak kekerasan finansial kalau misalnya tidak ada kesepakatan sejak awal.
So, ada baiknya dibicarakan sejak sebelum menikah. Setidaknya, persepsi haruslah sama. Kalau tidak, ya harus ada kompromi agar tercapai solusi yang baik untuk semuanya. Pada dasarnya boleh saja jika memang memutuskan untuk satu penghasilan, asalkan merupakan hasil kesepakatan.
Nah, itu dia 7 ceklis keuangan yang harus dibicarakan berdua dengan pasangan sebelum menikah. Banyak ya, ternyata persiapannya? Iya, karena menikah adalah sebuah tahapan hidup. Berani melangkah ke pelaminan artinya kita siap untuk naik kelas. Untuk naik kelas, ya harus usaha dan bersiap, karena di kelas selanjutnya, biasanya juga bakalan ada ujian yang tidak mudah.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Judi Online: Mengapa Orang Masih Saja Terjebak?
Beberapa kali baca pemberitaan tentang seseorang yang terkena kasus lilitan pinjaman online. Kalau ditelusur lebih jauh, alasan orang utang pinjol ini memang beragam. Namun, yang sungguh terasa miris di hati adalah ketika seseorang terjerat pinjol lantaran judi online.
Akhir-akhir ini, teknologi memang berkembang luar biasa. Selain membantu dan memudahkan hidup kita, teknologi juga ternyata mampu menjerat ke hal-hal yang negatif. Terbukti judi pun merambah ke dunia digital, dan bahkan semakin marak beredar. Didukung dengan semakin terjangkaunya harga smartphone, murahnya kuota, maka lengkap sudah. Setiap orang bisa melakukan dan menjajal peruntungan melalui judi online atas motivasi apa pun.
Penyebab Maraknya Judi Online
Dari data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sejak tahun 2018 hingga 2022, sejumlah 499.645 konten judi online sudah diblokir dari berbagai platform. Namun sayangnya—seperti halnya aplikasi pinjol ilegal yang mati satu tumbuh seribu, platform judi online kembali bermunculan dengan nama berbeda begitu diblokir. Pagi diputus aksesnya, sore sudah muncul kembali dengan nama baru.
Di sinilah kerumitan pemberantasan judi online tersebut berakar.
Semua itu juga ada sebabnya. Ingat kan, bahwa dalam bisnis berlaku hukum supply and demand? Supply (= platform judi online) ada karena adanya demand, yaitu orang-orang yang hobi berjudi.
Menurut Mark Griffiths, seorang psikolog dari Nottingham Trent University, ada banyak motivasi yang muncul dari dalam diri seorang penjudi, dan hal itu enggak melulu soal prospek menang. Memang sih, motivasi “bisa dapat uang banyak” menempati urutan tertinggi. Namun ada juga faktor pendorong lain. Dua di antaranya adalah “karena menyenangkan” dan “karena seru”. Bahkan, ketika kita kalah berjudi saja, tubuh tetap akan menghasilkan adrenalin dan endorfin yang deras. Hal inilah yang kemudian memunculkan rasa penasaran dan ingin melanjutkan permainan.
Sementara para peneliti dari University of Stanford California menemukan fakta bahwa 92% orang tidak akan berhenti berjudi kalau mereka sudah merasakan sensasinya.
Dari sinilah muncul demand, yang kemudian dijawab oleh para developer dengan menyediakan platform sesuai yang diminta. Hubungan sebab akibat antara supply dan demand judi online ini akan terus saling mendorong tumbuhnya satu dengan yang lain, sehingga memunculkan siklus yang tak terhenti.
Alasan Orang Melakukan Judi Online
Kondisi Ekonomi Sulit
Kondisi ekonomi dunia yang memburuk, seperti contohnya pandemi COVID-19, adalah salah satu faktor penyebab orang mengalami kesulitan keuangan berkepanjangan. Hingga akhirnya, banyak di antara orang-orang yang kesulitan ini memilih main judi online sebagai alternatif ‘solusi’. Yah, siapa tahu bisa dapat pendapatan tambahan. Begitu pikir mereka.
Kebutuhan akan Rekreasi
Beban hidup semakin berat. Inflasi, krisis, naiknya harga BBM memberikan dampak bagi semua orang. Kebutuhan hidup naik, tuntutan naik, tekanan naik. Termasuk kebutuhan rekreasi juga naik. Sayangnya, seiring harga kebutuhan pokok yang makin mahal, rekreasi jadi turun prioritas. Cari yang murah, dan bisa dilakukan di rumah saja. Judi online dianggap sebagai salah satu rekreasi yang murah meriah.
Judi online itu seru, membuat orang tertantang, termotivasi, dan penasaran, seperti yang dijelaskan oleh Mark Griffiths di atas. Dengan modal “hanya” puluhan ribu, orang berpeluang untuk mendapatkan puluhan juta.
Lebih jauh lagi, kalau sampai kalah, mereka akan berpikir bahwa kemenangan selanjutnya bisa membantu menutup kekalahan. Karena itu, mereka berutang untuk modal judi lagi. Selanjutnya, bisa diduga kan, jadinya seperti apa?
Menghilangkan Kecanduan Judi Online
Jika kecanduan judi online ini dibiarkan, gangguan ini tak hanya memberikan dampak buruk bagi si pelaku. Tetapi akan menimbulkan masalah juga pada keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Apalagi jika kemudian berutang pinjol ilegal. Semakin nyata terornya.
Bagaimanapun, masalah perjudian dan keuangan ini berjalan beriringan. Krisis keuangan yang terjadi tidak akan mampu diatasi, kalau gangguan kecanduan judi online tidak disembuhkan lebih dulu.
Faktanya, banyak keluarga yang tidak sadar bahwa salah satu dari mereka kecanduan judi online, sampai kemudian muncul masalah keuangan. Banyak kejadian tiba-tiba saja keluarga mendapat panggilan pengadilan karena ada utang, atau rumah didatangi debt collector, atau aset-aset disita. Baru di sini sadar, kalau ada yang kecanduan judi.
So, solusi terbaik bisa jadi adalah terapi. Pasalnya, kecanduan judi ini merupakan salah satu bentuk gangguan mental, seperti yang dijelaskan dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition (DSM-5). Artinya, gangguan ini sebenarnya bisa disembuhkan, dan kalau perlu secara klinis.
Setelah gangguan tersebut teratasi, masalah keuangan pun bisa diatasi. Memang tidak mungkin untuk bisa mengatasi semuanya sekaligus. Karena itu, susun prioritas.
Yah, semoga segera teratasi ya, jika kamu mengalami masalah ini. Yang pertama harus dilakukan memang adalah mengakui adanya masalah dulu. Baru kemudian kamu bisa mencari “obat” atau solusi terbaiknya.
Carilah bantuan pada yang profesional, jika perlu. Meski mungkin pecandu judi online akan mengalami fase penyangkalan, seperti umumnya pecandu yang lain. Namun, pendampingan oleh keluarga dan orang-orang terdekat seharusnya bisa membantu.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Pelajaran Keuangan yang Bisa Didapatkan dari Drama Korea All of Us Are Dead
Sudah nonton drama Korea All of Us Are Dead belum? Drama ini bergenre survival, yah kurang lebih seperti Squid Game yang sempat populer banget tahun lalu.
Ceritanya sih serem, yaitu serangan wabah zombie ke sebuah sekolah, bernama Hyosan High School, sehingga murid, guru, dan semua orang dalam sekolah itu harus berupaya bertahan agar tak tertular dan jadi zombie juga.
Meski serem dan kayaknya enggak ada kaitannya dengan finansial, tapi kalau dicermati, ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita petik dari kisah On-jo, Nam-ra, Le Su-Hyeok, dan kawan-kawan di drama Korea ini loh. Apa saja? Yuk, kita lihat!
Pelajaran Keuangan dari Drama Korea All of Us Are Dead
1. Kondisi yang sulit akan mampu membawa sisi terbaik dan terburuk kita
Dalam drama Korea ini, virus zombie yang terjadi di Hyosan terjadi tanpa adanya peringatan, langsung melanda seluruh sekolah hanya dalam waktu beberapa jam. Tak pernah ada yang memprediksikan hal ini terjadi. Sebagian besar lantas berusaha survive, ada yang mengunci diri di kelas, ada yang bersembunyi di bawah meja, sedangkan yang lainnya berusaha melawan para zombie dengan senjata seadanya yang bisa didapatkan.
Krisis selalu datang tanpa peringatan. Dan saat krisis datang, berbagai hal pun kita lakukan. Ada yang memilih sembunyi dan denial, ada yang menyalahkan keadaan, ada yang menyerah, ada juga yang berusaha mencari “senjata” di sekitar agar dapat melawan krisis sebisa mungkin. So, semua terserah kita, mau memilih yang mana.
Akhirnya bisa dilihat kan, yang survive yang mana?
2. Hanya kitalah yang bisa menyelamatkan diri sendiri
Di drama Korea All of Us Are Dead, para murid melawan zombies dalam tim. Namun, ada juga situasi-situasi ketika mereka harus menghadapi zombie sendirian.
Seperti halnya dalam hidup, kita tak selamanya bisa hanya mengandalkan orang lain untuk menolong dan mengeluarkan kita dari situasi rumit. Utang, misalnya, hanya kita sendirilah yang bisa melunasinya. Bukan orang lain. Juga ketika kita kehabisan uang, ya kalaupun minta bantuan orang lain bisanya hanya sekali dua kali saja. Selebihnya, harus segera mencari solusi sendiri agar kesulitan keuangan itu nggak berkepanjangan.
Begitu juga dengan bisnis. Ketika ada masalah, maka kamu sebagai pemilik bisnislah yang bertanggung jawab untuk segera mencari solusinya. Bukan orang lain.
Jadi, singkatnya, we have to fight our own battles. No one is going to rescue us all the time.
3. Bantu jika mampu
Barangkali saat krisis, kita beruntung karena kita lebih mampu bertahan. Karena itu, ada baiknya kita membantu yang lain yang mengalami kesulitan.
Seperti semua tokoh dalam drama Korea All of Us Are Dead, mereka semua sebenarnya memiliki niat untuk saling bantu. Apa daya, kadang memberi bantuan malah berubah jadi misi bunuh diri. So, buat kita, ada baiknya tetap harus melihat kemampuan diri sendiri ya. Jangan sampai membantu orang, tetapi kita sendiri akhirnya malah “bunuh diri”.
4. Siap berkorban
Setiap karakter dalam drama Korea All of Us Are Dead tahu banget makna pengorbanan. Jika mereka melihat satu peluang untuk survive, meski dengan berkorban, maka mereka akan memperjuangkannya.
Begitu juga dalam hal keuangan dan hidup. Kadang kita harus mengorbankan berbagai keinginan di masa sekarang, agar bisa mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik di masa depan. Jangan salah, ini pengorbanan yang besar loh!
5. Akan selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah
Sekelompok manusia harus melawan sepasukan zombie. Sepertinya hal yang mustahil untuk dimenangkan oleh pihak manusia, ya kan? Tapi nyatanya tidak demikian dalam drama Korea ini. Para siswa ternyata bisa survive, dengan cara apa pun. On-jo, Nam-ra, Le Su-Hyeok, Cheong-san, dan siswa yang tersisa mampu melewati tantangan demi tantangan.
Serangan zombie bisa saja kita ibaratkan dengan kesulitan-kesulitan yang melanda hidup kita. Seperti pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai ini. Saat baru saja datang, bisa dibilang setiap orang terdampak. Meski belum pulih sepenuhnya seperti sebelum pandemi, tetapi sekarang sudah banyak dari kita yang sudah optimis lagi. Mulai membangun lagi bisnisnya, mulai mencari pekerjaan lagi, atau malah mencoba usaha kecil secara mandiri.
Dengan pola pikir yang lebih positif, kemauan untuk bekerja keras, dan disiplin, kita masih bisa mengubah keadaan, dan mungkin bahkan bisa menjadikannya lebih baik lagi.
Nah kan, belajar keuangan itu memang bisa dari mana saja, dengan cara apa pun, dengan siapa pun. Termasuk dari drama Korea. Siapa sangka, All of Us Are Dead yang sepertinya nggak membahas soal finansial, bisnis, ataupun ekonomi sama sekali, ternyata juga bisa memberikan banyak pelajaran berharga soal keuangan, ya kan?
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Soal Donasi Uang dan Jadi Relawan, Orang Indonesia Ternyata Juara! – Survei Terbaru dari CAF
Charities Aid Foundation, atau CAF, sebuah lembaga amal internasional di Inggris, merilis laporannya baru-baru ini yang bertajuk World Giving Index, atau WGI 2021, atau yang disebut juga Laporan Indeks Kedermawanan Dunia. And, surprise! Masyarakat Indonesia ternyata menjadi yang terdepan soal donasi uang dan menjadi sukarelawan.
Yes, bahkan di tengah masa pandemi COVID-19 seperti ini sekalipun, ternyata tak menyurutkan kita untuk berbagi dalam berbagai bentuk dengan sesama, terutama mereka yang membutuhkan.
Orang Indonesia Paling Rajin Donasi
CAF memang secara rutin mengeluarkan laporan seperti ini selama lebih dari satu dekade, dan memberikan data riil bagaimana orang-orang dari berbagai negara terpanggil untuk mau menolong sesamanya.
Tentunya, laporan ini jadi menarik lantaran saat ini kita berada di situasi sulit, ketika semua orang sama-sama merasakan dampak akibat pandemi. Banyak orang kehilangan pekerjaan, jatuh sakit, hingga terlilit masalah keuangan.
Dalam laporannya ini, CAF memberikan skor 69 untuk masyarakat Indonesia, melonjak tajam dari skor 59% pada laporan WGI tahun 2018. Indonesia menjadi yang tertinggi pada 2 dari 3 indikator, yaitu donasi (83%) dan menjadi sukarelawan (60%). Indikator ketiga adalah menolong orang asing, yang sayangnya Indonesia tidak menjadi yang tertinggi juga.
Para peneliti CAF sepakat, kedermawanan orang Indonesia tak ada tandingannya di dunia. Apalagi di ASEAN, sangat jauh lebih tinggi dibandingkan yang lain. Bisa dibilang, 8 dari 10 orang Indonesia donasi uang di tahun 2021, dan skor niat menjadi sukarelawan 3 kali lebih besar daripada skor global.
Mau Donasi Uang Sekarang Gampang, Soalnya!
Kedermawanan orang Indonesia didukung pula oleh ekosistem crowdfunding yang memang berkembang seiring pesatnya kemajuan teknologi. Di zaman yang dituntut serbacepat, serbamudah, dan serbapraktis seperti ini, orang-orang mau donasi uang juga maunya yang gampang-gampang aja. Sekarang ada KitaBisa, Benih Baik, WeCare, bahkan di dompet-dompet digital atau di marketplace juga adaaa … aja yang bisa dipakai untuk berbagi dengan sesama.
Fenomena ini tentunya mesti kita syukuri, ya kan? Bayangkan, kita semua kena dampak, kita semua mengalami kesulitan, dan harus berjuang dengan cara masing-masing di tengah pandemi, tapi masih sempat mikirin orang lain. Bahkan dengan senang hati membantu loh. Sudah pasti ini adalah kebiasaan bangsa yang besar, ya kan?
So, kamu pastinya mau dong ya, melanjutkan kebiasaan baik ini; membantu teman-teman yang membutuhkan dengan donasi uang, beri bantuan dalam bentuk apa pun, atau menjadi relawan?
Satu hal yang harus kamu perhatikan—terutama jika kamu memang suka donasi uang—kamu harus memastikan keuanganmu sendiri tetap sehat. Pasalnya, ya kalau ternyata kamu sendiri masih belum sehat keuangannya, kebiasaan yang seharusnya baik ini bisa malah jadi bumerang buatmu.
Tetap Rajin Donasi Uang dan Bantu Sesama dengan Cara Ini
1. Jadikan sebagai bagian dari rencana keuangan
Di QM Financial, kita memang membagi pos pengeluaran ke dalam 5 kategori, yaitu belanja kebutuhan, cicilan utang, investasi, sosial, dan lifestyle. Nah, berbagai donasi uang dan bentuk sumbangan lainnya ini adalah termasuk dalam pos pengeluaran sosial.
Besarnya bisa menyesuaikan. Biasanya sih kita menentukan 2.5% karena berdasarkan perhitungan zakat bagi yang beragama Islam. Namun, kalau kamu mau menambahkan porsinya, tentu akan baik sekali. Sesuaikan dengan kondisimu, dan yang pasti, jangan sampai melebihi kemampuan finansialmu ya.
2. Cari cara donasi yang paling asyik
Misalnya saja, kamu bisa donasi uang dari sisa diskon belanja online. Seharusnya kamu belanja dan membayar Rp200.000, tetapi karena ada diskon, cashback, plus gratis ongkir, kamu pun hanya perlu membayar Rp150.000. Nah, sisa diskon bisa deh kamu donasikan pada mereka yang membutuhkan.
Dengan begini, kamu senang karena bisa dapat diskon, plus bisa donasi uang sekalian. Simpel kan?
Carilah cara yang paling asyik, yang membuatmu bisa berbagi dengan rasa bahagia. So, kamu akan berbagi dengan ikhlas juga. Apa yang paling menyenangkan kalau bisa membantu dengan ikhlas hati, ya kan?
3. Tak selalu harus dalam bentuk uang
Biasanya, banyak yang menganggap donasi uang itu adalah yang paling mudah. Yang menerima biasanya juga lebih suka, karena uang bersifat lebih fleksibel.
Tetapi, tak selamanya harus berdonasi dalam bentuk dana juga kok. Bisa juga berupa barang atau hal lain, sepanjang memang diperlukan oleh mereka yang akan menerima donasinya.
Misalnya, korban banjir, korban kebakaran, biasanya akan kehilangan banyak pakaian. Kalau kamu punya pakaian yang masih bagus tapi sudah jarang kamu pakai, kamu bisa donasikan pada mereka. Sekalian decluttering rumah kan ya? Konon, decluttering juga bagus untuk kesehatan mental loh!
Senang rasanya kalau masyarakat tetap bisa berbagi meski masih dalam masa krisis begini. Mari kita semangat lagi, agar bersama-sama bisa keluar dari masa sulit ini. Dengan berbagi beban, kita pasti bisa melakukannya.
Perbanyak donasi uang, barang, atau bisa juga berbagi dalam bentuk lainnya. Apa pun yang kamu berikan pasti akan berarti bagi mereka. Yang penting, jangan menyulitkan dirimu sendiri juga, apalagi dari segi finansial.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Karyawan Selalu Besar Pasak daripada Tiang? Mungkin Ini Dia 3 Penyebabnya
Dalam beberapa kali kesempatan training keuangan untuk karyawan, sering kali dibahas, bahwa salah satu masalah keuangan karyawan yang umum terjadi adalah ketika besar pasak daripada tiang.
Kondisi besar pasak daripada tiang yang menjadi salah satu masalah keuangan yang umum terjadi pada karyawan ini merupakan kondisi ketika pengeluaran lebih besar daripada pemasukan. Pada dasarnya, ini berarti ada masalah pada pengelolaan arus kas, atau cash flow keuangan pribadi kita.
Mari cek dulu video mengenai masalah keuangan yang umum terjadi pada karyawan berikut ini.
Tanda-tanda yang umum terjadi untuk menggambarkan kondisi keuangan besar pasak daripada tiang misalnya:
- Gaji selalu nggak bisa dipakai sampai gajian berikutnya tiba. Selalu habis di tengah jalan.
- Nggak tahu ke mana saja uang pergi
- Nggak juga bisa menabung, padahal sudah cukup lama kerja
- Utang semakin membengkak, dan makin sulit juga untuk membayar cicilannya
Sungguh kondisi-kondisi yang tak sehat, ya kan? Terus, gimana dong ya?
Ya, sudah pasti, hal ini harus diatasi, kalau kita enggak mau kondisi ini terjadi terus-terusan. Ya masa sampai segini hari, tabungan nggak punya, nggak tahu ke mana saja uang pergi, bahkan utang juga semakin bengkak aja, alih-alih menyusut?
So, akan lebih baik kita cari tahu dulu apa penyebabnya. Dengan mengetahui akar permasalahan, pastinya nanti kita kemudian akan dapat mencari solusi yang paling tepat untuk mengatasi hal ini, dan juga mencegahnya agar jangan sampai terulang lagi.
Penyebab Besar Pasak daripada Tiang
Hal ini memang sangat biasa terjadi, tetapi penyebabnya bisa bermacam-macam. Berikut ini beberapa di antaranya.
1. Kebutuhan vs keinginan
Salah satu penyebab terjadinya besar pasak daripada tiang adalah ketika kita merasa kebutuhan banyak sekali. Semua hal adalah kebutuhan, padahal sebenarnya ada sebagian besar yang merupakan keinginan semata.
Mau beli Iphone keluaran terbaru biar nggak kalah kalau pas hangout sama teman-teman di kafe: kebutuhan atau keinginan? Mau beli smartphone yang mumpuni, supaya jualan online shopnya lebih lancar; biar foto produknya lebih oke, jawab chat pelanggan juga lebih cepat, bisa muat banyak foto juga: kebutuhan atau keinginan?
Dua-duanya sama-sama beli smartphone, tetapi ada perbedaan kecil yang ternyata bawa efek besar di situ. Memang, tak semua “beli HP terbaru” itu nggak baik buat kesehatan keuangan. “Beli HP terbaru” bisa jadi memang jadi kebutuhan tapi bisa jadi juga merupakan keinginan semata.
Ketidakmampuan kita untuk membedakan keinginan dan kebutuhan akhirnya dapat berakibat pada kondisi keuangan yang besar pasak daripada tiang itu tadi. Pasalnya, semua-mua dianggap kebutuhan, padahal enggak. Ada hal-hal yang bisa digantikan dengan hal lain yang lebih murah dan terjangkau harganya, tetapi fungsi dan kualitasnya sama. Ada juga hal-hal yang bisa ditunda dulu, karena tidak terlalu mendesak dan penting.
2. Terlalu banyak utang
Punya utang memang tak dilarang, tapi kalau kebanyakan—meski itu utang produktif—bisa jadi bikin keuangan jadi kacau juga.
Idealnya, utang jangan sampai melebihi 30% dari penghasilan kamu. Tapi yah, entah apa alasannya, juga situasi dan kondisinya, utang bisa saja melebihi rasio ideal itu. Terang saja, besar pasak daripada tiang kan?
Pasalnya, cicilan juga akan lebih banyak. Kalau sampai alokasi kebutuhan dasar ikut “kemakan” sama cicilan utang, waduh … bakalan datang masalah keuangan lain lagi tuh. Parahnya, kalau kemudian hal ini membuat kita jadi gali lubang tutup lubang.
Waduh!
3. Terlalu impulsif
Impulsif, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya bersifat cepat bertindak secara tiba-tiba menurut gerak hati.
Impulsif ini akan sangat berisiko memunculkan kondisi besar pasak daripada tiang ketika dilakukan saat belanja. Apalagi kalau yang namanya diskon, cashback, promo, dan sejenisnya itu ikut campur. Wah … bahaya.
Ketiga hal di atas hanya sebagian kecil penyebab mengapa besar pasak daripada tiang bisa terjadi. Barangkali juga kamu mengalami hal lain. Bisa jadi, kebutuhan keluarga kamu memang besar, karena kamu merupakan sandwich generation.
Lalu bagaimana cara mengatasinya?
Ada beberapa cara nih, yang bisa kamu coba:
- Hitung kebutuhanmu serealistis mungkin; berapa penghasilan dan berapa bujet bulanan harus sesuai fakta.
- Susun ulang prioritas pengeluaran: mana yang penting dan mendesak, penting tapi tak mendesak, mendesak tetapi kurang penting, dan tak penting-tak mendesak. Pangkas pengeluaran sebisanya, dan buat bujet.
- Tambah penghasilan, cari cara lain untuk mendapatkan pemasukan tambahan; dagang, atau side hustle.
Silakan baca artikel Gaji Kecil: Pangkas Pengeluaran atau Tambah Penghasilan? ini juga ya.
Apakah kantor atau komunitasmu mengalami masalah keuangan yang sama? Ataukah, punya kebutuhan training finansial yang lain? Sila kontak WA 0811 1500 688 untuk mendiskusikan kebutuhan training finansialmu. Semua modul dibuat SIMPEL, PRAKTIS, dan tentu saja FUN!
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Pentingnya Memberikan Training Finansial untuk Karyawan Baru
Penting ya, memberikan training untuk karyawan baru? Utamanya, training finansial?
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, mengapa penting untuk memberikan pelatihan atau training finansial bagi karyawan baru sebuah perusahaan. Bukankah lebih banyak pelatihan lain yang lebih penting? Leadership misalnya? Dan, lagi pula, bukankah lebih banyak strategi bisnis lain yang lebih prioritas untuk dikembangkan, ketimbang mengurus karyawan baru?
Wajar sih jika ada kebingungan seperti ini, karena PR untuk bisnis yang masih terus dibangun dan dikembangkan itu banyak sekali. Tapi, jangan salah lo. Dengan memberikan training karyawan sesuai yang dibutuhkan, terutama training finansial, banyak sekali manfaat yang bisa didapatkan.
Sebelum membahas mengenai manfaatnya, mari kita lihat dulu definisi dari training karyawan itu sendiri.
Apa Itu Training Karyawan?
Training karyawan—atau yang sering juga disebut dengan pelatihan karyawan—adalah kegiatan untuk memberi, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi, produktivitas, hingga etos kerja para karyawan, baik yang masih baru, sudah berada di level staf dan manajerial, hingga menjelang masa paripurna tugas.
Pengertian ini sejalan dengan definisi yang ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
Dengan demikian, training finansial untuk karyawan adalah serangkaian kegiatan untuk meningkatkan literasi finansial atau keuangan pribadi, sebagai salah satu dari 6 literasi dasar yang wajib dipelajari untuk life survival, yang diberikan pada karyawan di setiap jenjang kariernya.
Dengan adanya training karyawan, terutama training finansial, maka diharapkan karyawan dapat memiliki keterampilan mengelola keuangan pribadi sehingga dapat memastikan kondisi kesehatan keuangannya sendiri.
Manfaat yang Bisa Didapat dari Training Finansial Karyawan Baru
Untuk sisi karyawan, ada beberapa manfaat penting yang bisa didapatkan dari kegiatan training finansial ini, di antaranya:
Membantu karyawan terhindar dari masalah keuangan
Dalam laporan penelitiannya, lembaga konsultan dan pialang Lockton Retirement Service mengungkapkan, bahwa rerata karyawan mengalami stres saat bekerja bukan karena beban kerja yang harus mereka lakukan, melainkan akibat dari masalah keuangan yang mereka alami.
Akibat dari berbagai masalah keuangan ini, jadilah banyak karyawan yang mengalami stres, depresi, kelelahan berkepanjangan. Tentu saja, hal ini dapat memengaruhi kinerja di kantor.
Dengan adanya training finansial, maka masalah keuangan karyawan dapat ditekan. Karyawan pun dapat lebih fokus bekerja tanpa gangguan.
Membantu memiliki kebiasaan keuangan yang baik
Adalah penting bagi karyawan untuk memiliki kebiasaan keuangan yang baik, yang akhirnya balik lagi ke poin pertama di atas; terbebas dari masalah keuangan.
Dan, kebiasaan keuangan yang baik ini seharusnya sudah dimiliki saat karyawan baru mulai bergabung menjadi bagian dari perusahaan.
Membantu penyiapan pensiun
Jangan sampai karyawan tak siap untuk pensiun. Dan, kapankah waktu terbaik untuk mulai menyiapkan dana pensiun? Yaitu saat karyawan baru mulai bekerja atau bergabung. Ya, saat masih menjadi seorang first jobber.
Dengan demikian, akan banyak waktu untuk mempersiapkan dana pensiun, agar nantinya karyawan dapat hidup sejahtera dan tidak menjadikan anak-anaknya sebagai sandwich generation lagi.
Untuk perusahaan, ada juga manfaat yang bisa didapatkan dari pengadaan training finansial untuk karyawannya, di antaranya:
Meningkatkan produktivitas
Terbebasnya karyawan dari masalah keuangan sudah pasti akan berefek pada produktivitas dan kinerja yang meningkat, karena karyawan lantas bisa fokus pada pekerjaan.
Produktivitas dan kinerja yang baik akan memperlancar jalannya strategi bisnis, yang nantinya akan mengembalikan manfaat kepada para karyawan itu sendiri.
Mengurangi izin tidak masuk
Masalah keuangan pribadi yang sering terjadi pada karyawan biasanya juga akan berefek pada kesehatan mental dan fisik. Akibatnya, izin tidak masuk kerja pun meningkat.
Hal ini juga diungkap melalui penelitian Lockton Retirement Service, yang menyebutkan bahwa sejumlah karyawan yang stres akibat masalah keuangan lantas mengajukan izin tidak masuk kerja dua kali lipat dari biasanya.
Pihak perusahaan pastinya akan meminta karyawan untuk dapat istirahat dan tidak masuk kerja jika memang sakit. Namun, jika terlalu sering izin, pastinya akan membuat perusahaan menanggung kerugian. Karenanya, dengan memberikan training finansial untuk karyawan baru, tingkat izin sakit dapat ditekan sejak awal.
Memperbaiki retensi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses perekrutan dan orientasi bisa menjadi pekerjaan yang mahal dan memakan waktu. Tentunya pihak perusahaan tak ingin usahanya sia-sia. Peningkatan kinerja melalui pelatihan adalah salah satu cara untuk mempertahankan karyawan dan mengurangi retensi. Juga untuk training finansial.
Dan kapan lagi waktu terbaik untuk dapat meningkatkan retensi ini kalau tak dibangun sejak level recruitment?
Nah, bagaimana? Apakah perusahaan kamu juga membutuhkan pemberian training finansial karyawan di berbagai jenjang kariernya? Hubungi kami melalui WhatsApp ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru.
Training Finansial: 1 dari 2 Karyawan Selalu Merasa Gaji Tak Cukup, Apa Sebabnya?
Survei yang dilakukan oleh QM Financial terhadap klien korporasi mengungkap data, bahwa sebanyak 51% karyawan merasa gaji tak cukup.
Padahal, ya namanya juga karyawan. Gaji adalah tujuan utama dalam bekerja, dan jadi motivasi untuk dapat memberikan kinerja yang baik. Tapi fakta di lapangan, penyebab gaji tak cukup ini tak melulu karena perusahaan memberikan gaji di bawah rata-rata. Faktanya (lagi), UMR pun sebenarnya ditetapkan berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup seseorang dengan status masih lajang sesuai dengan kondisi setempat.
Tapi, apa ya, yang menyebabkan 1 dari 2 karyawan selalu merasa gaji tak cukup? Bisa jadi karena beberapa hal berikut ini.
Alasan Karyawan Merasa Gaji Tak Cukup
1. Jeratan utang
Salah satu masalah yang paling banyak dialami oleh karyawan adalah soal utang. Ya, utang memang tidak dilarang, tetapi jika dilakukan tanpa perhitungan yang mendalam dan bijak, utang bisa jadi bumerang. Alih-alih menjadi solusi, utang justru membuat kita jadi semakin jatuh dalam masalah. Makin lama makin rumit, bak benang kusut.
Banyak alasan kenapa karyawan melakukan utang. Mulai dari dipakai untuk membeli rumah, membeli kendaraan, gawai, sampai gesek kartu kredit buat nongkrong atau beli baju branded.
Sekali lagi, utang tentu tak dilarang. Mau dipakai untuk apa pun dananya, itu kembali ke masing-masing individu. Namun, sudah pasti, sebelum utang, harus pasti dulu kita akan bisa membayarnya sesuai waktu yang sudah ditentukan.
Tak memiliki perencanaan dalam mengembalikan utang, akan membuat kesehatan keuangan terganggu. Di sinilah nanti, karyawan akan selalu merasa gaji tak cukup.
2. Tingginya gaya hidup
UMR ditentukan berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup seseorang yang berstatus lajang setempat. Penentuan besaran gaji UMR juga tak pendek, butuh proses yang panjang dari pemerintah. Dengan demikian, logikanya, jika seseorang sudah menerima gaji lebih atau sama dengan besaran gaji UMR, maka asumsinya akan cukup dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tapi kok bisa, karyawan merasa gaji tak cukup padahal besaran penghasilannya dari gaji berkali lipat dari gaji UMR?
Salah satu penyebabnya adalah gaya hidup. Kebutuhan hidup itu tidaklah mahal, dan gaji sudah disesuaikan. Tapi, dalam gaji, tidak ada perhitungan yang memasukkan elemen ‘gaya hidup’. Jadi, beban gaya hidup akan harus diambil dari alokasi kebutuhan hidup.
Nah, masalahnya, masih cukup banyak yang belum bisa membedakan, mana kebutuhan hidup dan mana gaya hidup.
Kebutuhan hidup itu nggak mahal. Yang mahal adalah gaya hidup.
3. Sandwich generation
Banyak karyawan—terutama generasi milenial—yang tak hanya harus menanggung hidup keluarga kecilnya sendiri, yang terdiri atas pasangan dan anak-anaknya. Namun juga, harus menanggung biaya hidup orang tuanya yang sudah pensiun, adiknya yang masih sekolah, juga ponakan-ponakannya, sepupu-sepupunya, dan masih banyak lagi.
Tentu saja, hal ini akan menambah beban si karyawan sehingga wajar jika selalu merasa gaji tak cukup. Perhitungan gaji UMR tidak memasukkan biaya hidup orang tua, ponakan, sepupu, om, dan tante ke dalam formulanya, bukan?
Dalam sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS tahun 2020, menyebutkan fakta bahwa kelompok usia produktif (usia 24 – 55 tahun, yang terdiri atas generasi X dan milenial) ternyata harus menopang 4 generasi lain yang sudah tidak produktif dan belum produktif. Generasi tidak produktif terdiri atas generasi pre-baby boomer (75 tahun ke atas) dan generasi baby boomer (56 – 74 tahun). Sedangkan, generasi belum produktif adalah mereka yang masih bersekolah, yaitu generasi Z (8 – 23 tahun) dan generasi post Z (di bawah 8 tahun).
Dilihat dari rasionya, yaitu 1 : 4, tentu ini menjadi beban tersendiri. Apalagi jika dikaitkan dengan perhitungan gaji UMR yang hanya untuk diri sendiri yang masih lajang.
Training Finansial untuk Membantu Karyawan
Alhasil, karena alasan-alasan di atas, banyak karyawan yang—jangankan berinvestasi—menabung saja sulit. Jangankan membangun dana pensiun, kalau tanggal tua berasa banget misqueen-nya. Jangankan memenuhi kebutuhan masa depan, kebutuhan sekarang saja pakai utang.
Sudah pasti, segala macam masalah keuangan ini akan memengaruhi kinerja dan produktivitas karyawan. Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk membantu karyawan dalam hal ini?
Training finansial yang menyeluruh, bertahap sesuai jenjang, dan berkelanjutan akan dapat membantu karyawan mengatasi masalah keuangan pribadinya.
Kesemua hal tersebut bisa dipelajari bersama QM Financial dalam sebuah training finansial karyawan yang dikemas interaktif dengan silabus yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Hubungi kami melalui WhatsApp ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru.
Training Finansial Karyawan: Jadi Karyawan Produktif dengan Melek Finansial
Zaman sekarang, jika ingin menjadi seorang karyawan produktif tak hanya dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai, tetapi juga perlu punya skill dan melek finansial. Karena itu, penting kiranya untuk memberikan sebuah training finansial karyawan.
Mengapa demikian?
Salah satu penelitian yang pernah diadakan oleh Virginia Tech Study di Amerika Serikat, bahwa hal yang paling banyak menyebabkan produktivitas menurun adalah masalah keuangan.
Masalah keuangan seperti apa?
Dari data yang sama, ternyata masalah keuangan terbesar dan terbanyak yang kemudian menggagalkan usaha untuk bisa jadi karyawan produktif itu adalah masalah utang. Hal yang tak berbeda jauh dengan data survei yang diadakan oleh QM Financial di bulan Januari 2021, yang mengungkapkan 3 masalah utama keuangan karyawan, yaitu:
- Merasa penghasilan kurang
- Tidak siap pensiun
- Terlibat pinjaman besar
Training Finansial Karyawan Menjadi Solusi Membantu Jadi Karyawan Produktif
Tentu saja, masalah keuangan pribadi karyawan itu seharusnya tetap berada di “ranah pribadi” masing-masing karyawan. Akan tetapi, kalau kemudian masalah pribadi itu akhirnya membawa pengaruh terhadap performa kerja di kantor, tentulah perusahaan bisa mengintervensi dan membantu karyawan untuk menyelesaikannya, melalui sebuah training finansial karyawan.
Bukankah karyawan adalah aset perusahaan? Dan, siapa pun wajib untuk melindungi aset yang dimilikinya, termasuk jika itu adalah perusahaan ataupun organisasi. Bahkan kalau memang perlu, mengembangkannya supaya lebih baik lagi. Pasalnya, karyawan produktif merupakan modal utama bagi bisnis perusahaan untuk berkembang.
Dengan demikian, peran perusahaan akan sangat penting, meskipun permasalahan keuangan karyawan ini merupakan masalah pribadi masing-masing.
Terus, kok bisa training finansial karyawan bisa membuat karyawan melek akan pentingnya mengelola keuangan akan membantunya untuk menjadi karyawan produktif?
1. Mampu menghindarkan diri dari masalah keuangan
Nah, ini sih sudah berkali-kali disebutkan di atas ya.
Kalau mau tambahan data lagi, ada nih data dari Lockton Retirement Services, yang menyebutkan bahwa 1 dari 5 karyawan mengalami stres akibat masalah keuangan.
Nah, masih kurang yakin gimana lagi coba, kalau jadi karyawan itu rentan masalah keuangan? Kalau dilogika ya memang bener, kan di usia-usia produktif seperti ini, kebutuhan kita semakin meningkat. Apalagi kita—saat artikel ini ditulis—sedang mengalami krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19 yang berkepanjangan. Tak heran lagi kan, kalau kita semakin terimpit secara keuangan, kalau nggak dikelola dengan baik?
Mari kita lihat, video berikut ini untuk melihat penjelasan mengenai masalah keuangan yang paling sering dihadapi oleh karyawan, selain data dari survei QM Financial di atas.
Dengan adanya training finansial karyawan, karyawan akan belajar mencari akar penyebab dari permasalahan yang ada, dan jadi tahu bagaimana mencari solusinya. Setelah masalah selesai, karyawan juga akan tahu, apa saja yang harus dilakukan, agar kondisi keuangannya sehat.
Dengan kondisi keuangan yang sehat, maka jadilah karyawan produktif yang dapat fokus terhadap tugas-tugasnya dengan baik.
2. Mampu melawan inflasi
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi tahun kalender selama tahun 2020 sebesar 1,68 persen. Laju inflasi ini lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun 2019 yang sebesar 2,72 persen. Bahkan, disebutkan bahwa inflasi sekarang adalah yang paling rendah sepanjang sejarah.
Namun, kalau melihat sejarah naik turunnya inflasi, daftarnya akan seperti ini.
Tahun | Tingkat Inflasi |
2011 | 3,79% |
2012 | 4,30% |
2013 | 8,38% |
2014 | 8,36% |
2015 | 3,35% |
2016 | 3,02% |
2017 | 3,61% |
2018 | 3,13% |
2019 | 2,72% |
2020 | 1,68% |
Dengan demikian, jika diambil nilai rata-rata, inflasi Indonesia bergerak di kisaran 4,23%.
Namun, nyatanya, kenaikan harga properti di luar sana bisa sampai 10% setiap tahunnya. Lalu, biaya sekolah anak bahkan bisa sampai 20% kenaikannya di saban tahunnya.
Di sisi lain, kenaikan gaji karyawan tidak tumbuh secara signifikan. Mau jadi karyawan produktif seperti apa pun, nyatanya memberi kenaikan gaji merupakan privilege perusahaan yang harus mempertimbangkan dengan saksama lantaran banyaknya faktor yang memengaruhi.
Karenanya, tanpa dapat mengelola penghasilannya dengan baik yang bisa dicapai dengan memberikan training finansial karyawan, akan tipis harapan bagi karyawan untuk bisa melawan inflasi dengan baik.
Melalui training finansial karyawan, mereka dapat dibantu agar mampu mengelola gaji dengan lebih baik, dan akhirnya mampu melawan “musuh tak terlihat” yang bernama inflasi ini.
3. Mampu melindungi aset dan diri sendiri
Salah satu masalah keuangan yang sekarang jadi lebih sering dihadapi oleh karyawan adalah meningkatnya risiko hidup, seperti sakit ataupun kehilangan penghasilan—baik karena meninggal dunia, ataupun karena terdampak gelombang PHK akibat krisis pandemi.
Akibatnya, banyak karyawan harus kehilangan “barang berharga”, mulai dari kesehatan hingga aset lantaran karena harus dipakai untuk membiayai hidup yang (sementara) tidak berpenghasilan.
Hal ini terjadi karena karyawan masih belum sadar pentingnya perlindungan terhadap aset dan juga diri sendiri. Kesehatan adalah aset termahal kita di musim wabah seperti ini. Sudahkah semua karyawan terlindungi dan dijamin kesehatannya? Bisa saja, fasilitas dari BPJS Kesehatan saja tidaklah cukup.
Lalu, bagaimana dengan aset kekayaan yang lain?
Tahukah kamu, bahwa di masa pandemi ini ternyata jumlah orang kaya di Indonesia meningkat sebesar 61,7%? Kok bisa ya, padahal seharusnya pandemi menjadi penyebab krisis keuangan yang kita alami? Ternyata salah satu penyebabnya adalah karena mereka—para orang kaya itu—tahu cara untuk melindungi aset dengan baik; mereka telah lama mulai berinvestasi, dan kemudian ketika kondisi krisis, mereka juga dengan sigap memindahkan dan rebalancing aset sesuai kebutuhan.
Seharusnya, hal seperti ini bisa dipelajari oleh siapa pun juga, termasuk oleh para karyawan produktif, tak hanya orang kaya saja. Betul? Dengan dilatih untuk dapat mengelola keuangan dengan baik melalui training finansial karyawan sehingga bisa menjadi karyawan produktif, tetapi dengan begini, karyawan juga bisa mengamankan dana pensiun sehingga akan lebih siap pensiun.
Training Finansial bersama QM Financial
QM Financial menyediakan berbagai modul training finansial karyawan perusahaan dari berbagai skala. Besar kecil bisnis perusahaan, banyak sedikit karyawan, semua perlu training keuangan. Pastinya, tujuannya agar karyawan bisa mengelola keuangan pribadi masing-masing, bisa mencapai kesejahteraan hidup yang sesuai standar—bahkan lebih, bahkan bisa merencanakan dana pensiun juga.
Kesemua hal tersebut bisa dipelajari bersama QM Financial dalam sebuah training finansial karyawan yang dikemas interaktif dengan silabus yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Hubungi kami melalui WhatsApp ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru.
Pentingnya Literasi Keuangan dan 4 Cara untuk Meningkatkannya
Tahu nggak sih, kalau literasi keuangan itu merupakan salah satu dari literasi dasar yang harus dikuasai oleh siapa pun, selain literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, dan literasi budaya.
Keenamnya merupakan dasar ilmu yang akan kita pakai seumur hidup; agar survive menjalani hidup.
Diakui atau tidak, nyatanya tanpa literasi keuangan yang baik, banyak orang akhirnya terjerat masalah keuangan yang serius, mulai dari ditipu hingga masalah utang. Semakin ke sini, para penjahat finansial ini semakin canggih saja lo, modusnya. Apalagi sekarang teknologi semakin berkembang; tak hanya memudahkan kita sebagai pengguna, tetapi juga menambah peluang bagi para kriminal.
Hal ini semua sebenarnya bisa dihindari, kalau saja kita memiliki literasi keuangan yang bagus.
Apa Itu Literasi Keuangan?
Literasi keuangan adalah pemahaman dan keterampilan yang kita perlukan untuk meningkatkan kualitas dalam mengambil keputusan keuangan, baik untuk tujuan jangka pendek maupun panjang, demi mencapai kesejahteraan.
Literasi keuangan umumnya meliputi manajemen penghasilan dan pengeluaran dengan baik, termasuk penganggaran, proteksi, hingga investasi.
Hasil ke depannya bisa sangat beragam dan luas sekali, mulai dari bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan baik, mampu membiayai sekolah anak hingga perguruan tinggi, memiliki rumah, sampai dengan dapat hidup di masa pensiun tanpa harus membebani anak dan cucu.
Singkatnya, masalah keuangan yang umum dialami, seperti adanya timbunan utang, besar pasak daripada tiang, tak punya tabungan, sampai tak siap pensiun, tidak akan dialami oleh orang-orang yang memiliki tingkat literasi keuangan yang baik.
Sounds legit ya? Memang kok, ketika kita membuat rencana keuangan, itu artinya kita sedang merencanakan hidup. Bahkan, kalau kita sudah sampai membuat rencana waris, kita pun sedang merencanakan kehidupan keturunan kita setelah ditinggalkan. Dan itu semua perlu literasi keuangan yang baik.
Lalu, bagaimana cara meningkatkan literasi keuangan yang baik ini?
Cara Meningkatkan Literasi Keuangan
Ada banyak cara belajar keuangan yang bisa kamu pilih sesuai kenyamanan. Tapi, yang paling efektif bisa jadi dengan ikutan kelas online. Ada 5 kelas finansial online yang bisa kamu ikuti untuk meningkatkan literasi keuangan kamu di QM Financial. Mulai dari mana? Tentu saja mulai dari yang paling dasar dulu.
1. Blueprint of Your Money
Kalau mau yang basic alias dasar, ya mulailah dengan kelas Blueprint of Your Money. Ini adalah konsep original dari lead trainer QM Financial, Ligwina Hananto. Di kelas Blueprint of Your Money ini, kamu akan belajar berbagai prinsip pengelolaan keuangan yang meliputi:
- Pengenalan 4 pilar keuangan yang akan berperan penting dalam setiap rencana keuangan yang kita buat
- Mengenal dan membuat fondasi yang kuat dari rencana keuangan
- Mengenal berbagai produk aset aktif
2. How to Manage Your Cash Flow
Setelah belajar Blueprint of Your Money, maka literasi keuanganmu perlu ditingkatkan ke level berikutnya. Kelas ini akan membahas mengenai bagaimana menyusun rencana keuangan secara komprehensif, melakukan financial check up, mengatur cash flow, sampai memastikan bahwa keuanganmu berada dalam rasio sehat.
Adalah penting buat kamu untuk memastikan dulu keuangan kamu dalam kondisi sehat, baru kemudian kamu bisa satu per satu berusaha mewujudkan cita-cita dan impianmu dalam hidup.
Di kelas inilah, kamu akan belajar melakukannya.
3. How to Set Your Financial Goals
Sudah memastikan keuanganmu sehat, maka langkah meningkatkan literasi keuangan selanjutnya adalah menentukan tujuan keuangan.
Namanya manusia itu banyak mau, sayangnya kadang sumber dayanya terbatas. Kalau merasa ini adalah masalahmu, jangan khawatir, you’re not alone! Banyak kok yang punya masalah yang sama. Sekarang, tinggal gimana caranya kamu mengatasinya.
Punya banyak mau tapi sumber daya terbatas seharusnya nggak jadi halangan untuk tetap mewujudkan mimpi. Hanya saja harus diatur dan diprioritaskan. Di sinilah kamu belajar untuk menentukan tujuan keuanganmu ini.
4. Get to Know Your Investment Products
Di kelas finansial online keempat ini, kamu akan mendapatkan banyak ilmu lagi mengenai berbagai instrumen investasi yang bisa kamu manfaatkan untuk mencapai tujuan.
Mengapa sih harus investasi? Mulainya dari mana? Bagaimana mengatur alokasi gaji, agar selain bisa memenuhi kebutuhan hidup yang sekarang, kita juga bisa investasi dan menabung? Nah, di sinilah kamu bisa meningkatkan literasi keuangan kamu terkait investasi ini.
Bagaimana? Pengin meningkatkan literasi keuangan kamu sekarang?
Yuk, cek jadwal kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.