Quiet Quitting: Yakin Mau Secukupnya? Finansial Secukupnya Juga Mau?
Baru-baru ini ramai betul bahasan tentang quiet quitting ya. Apakah kamu salah satu yang juga mengikutinya? Atau bahkan mungkin kamu salah satu yang menganutnya?
Kalau mau merenungkannya lebih jauh, sebenarnya tak ada yang salah dengan quiet quitting ini, seandainya kamu adalah salah satu penganutnya. Namun, ada baiknya, kamu juga paham konsekuensi ke depannya.
Bukankah akan selalu ada konsekuensi yang mengikuti suatu keputusan?
Apa Sih Quiet Quitting?
Kalau dilihat-lihat dari kata pembentuknya, quiet quitting artinya adalah berhenti secara diam-diam. Tapi, kalau melihat konteksnya—terutama dari perbincangan yang ramai sekarang ini—quiet quitting lebih merujuk pada sikap pasif yang ditunjukkan atau dilakukan pada saat kita bekerja di kantor. Kita hanya mengerjakan apa yang menjadi job desc, dan menolak pekerjaan lain yang tidak ada di job desc tersebut.
Jadi, kalau digambarkan, sikap quiet quitting ini merupakan kebalikan dari hustle culture. Hustle culture adalah penggambaran seseorang yang workaholic, bekerja keras tak kenal waktu, bahkan sampai mengorbankan waktu pribadinya untuk pekerjaan. Tak melulu bermotivasi uang, seorang penganut hustle culture merasa puas ketika banyak pekerjaan bisa dilakukan dan diselesaikan.
Nah, quiet quitting kebalikannya. Bekerja secukupnya, seadanya, menolak lembur, menolak mengangkat telepon di akhir pekan dari bos/klien/teman kerja, dan hanya menyelesaikan apa yang ada dalam jobnya.
Lalu, kenapa quiet quitting ini menjadi populer?
Quiet Quitting: Budaya Kerja yang Baru?
Gaya kerja hustle culture sering dianggap sebagaii kultur yang toxic, lantaran dengan melakukannya, kita jadi terforsir untuk bekerja terus, tanpa memedulikan kondisi psikologis dan fisik yang butuh istirahat. Ibaratnya, enggak banget untuk prinsip work life balance.
Dengan quiet quitting, kita bekerja sesuai batas, sesuai dengan bayaran yang kita terima, sesuai dengan waktu yang sudah disepakati bersama. Saat pekerjaan sudah selesai, kita bisa melakukan berbagai hal lain yang dianggap bisa meningkatkan kualitas hidup kita, seperti bisa lebih banyak liburan, melakukan hobi, quality time dengan keluarga, dan sebagainya.
Konon, gaya kerja quiet quitting ini muncul ketika orang-orang harus work from home saat pandemi. Banyak yang mengeluh, gara-gara work from home, mereka jadi bekerja dalam waktu yang lebih panjang, tanpa batasan, tidak teratur … berantakan deh pokoknya! Sementara, tidak ada uang lembur yang diberikan, mengingat saat itu memang banyak perusahaan yang mengetatkan anggaran, di samping kehadiran juga menjadi salah satu faktor penambah take home pay. Karena tidak hadir di kantor, meskipun tetap bekerja tetapi di rumah, tunjangan tidak diberikan.
Mau resign, tetapi kondisi belum memungkinkan—dan masih butuh gaji juga—akhirnya gerakan quiet quitting pun didengungkan.
Dampak Quiet Quitting bagi Karyawan dan Perusahaan
Sampai di sini kemudian muncul pertanyaan, kalau sudah quiet quitting apakah kita benar-benar bisa mencapai work life balance? Apakah benar lebih sehat secara mental? Bagaimana dengan kesehatan finansial kita?
Quiet quitting mungkin memang merupakan jawaban atau solusi yang tepat untuk mengatasi kinerja yang kelewat batas, produktivitas yang toxic, dan risiko burnout. Gerakan ini juga dikatakan membantu karyawan untuk punya kendali terhadap dirinya sendiri; untuk istirahat, berkembang lebih baik, dan bisa melakukan pekerjaan secara mindful. Dengan melakukan quiet quitting, seseorang juga dimungkinkan untuk bisa bersosialisasi lebih banyak, sehingga pada akhirnya juga akan memengaruhi kinerjanya. Pasalnya, banyaknya kita bisa menghabiskan waktu-waktu berkualitas bersama keluarga dan teman merupakan koentji kesehatan mental.
Namun, quiet quitting memiliki sisi lain juga. Dengan hanya seadanya, secukupnya, sesuai batas ini maka kinerja pun juga menjadi seadanya, dan akan memengaruhi kemajuan bisnis perusahaan. Jika ditarik lebih panjang, bahkan quiet quitting bisa menjadi bumerang bagi karyawan, karena lama kelamaan motivasi kerja juga akan menurun, tidak puas, dan kehilangan tujuan. Tiga hal ini juga berperan penting dalam kesehatan mental.
Jika gaya bekerja ini diteruskan, maka akan berpengaruh juga pada perkembangan karier dan gaji. Pasalnya, kenaikan gaji dan segala komponennya akan diberikan pada karyawan yang memang dapat menunjukkan kinerja yang baik, yang memberi kontribusi pada bisnis perusahaan. Mereka yang hanya bekerja minimalis tentu saja tidak akan mendapatkan kesempatan ini.
Rasanya tentu wajar kan, jika kita tidak menunjukkan kinerja yang baik, perusahaan juga bakalan berpikir dua kali untuk memberi kita bonus, insentif, hingga promosi. Akibatnya ya bisa diduga, gaji stuck. Apakah kamu rela, gaji segitu-segitu saja? Apakah yakin, puas dengan yang seadanya secara finansial?
Terus gimana dong ya? Pasalnya, banyak karyawan mengaku melakukan quiet quitting karena menganggap perusahaan sama saja kurang memperhatikan kondisi mereka, dan bahkan kurang mengapresiasi kinerja yang sudah dilakukan.
Nah, kalau sudah begini memang jadi seperti lingkaran setan, ada sebab akibat yang erat berhubungan.
Bagaimana Melakukan Quiet Quitting yang Benar?
Pada dasarnya, siapa pun boleh melakukan quiet quitting. Karyawan mana pun berhak untuk berusaha meningkatkan kualitas hidupnya. Tetapi alangkah baiknya jika hal ini dilakukan tanpa “membahayakan” kinerja dan peluang untuk berkembang dari segi finansial dan karier.
Lalu, apa yang harus dilakukan?
Bekerja sesuai porsinya
Boleh banget kalau kamu ingin bekerja sesuai porsi. Bahkan apa yang ada dalam job desc itu memang sepenuhnya tanggung jawab kamu kan? Maka fokuslah dengan apa yang disepakati sebelumnya.
Jika kemudian kamu masih ada waktu dan energi, kamu bisa membantu tugas yang lainnya dengan tetap memberikan batasan yang wajar. Apalagi kalau tugas tersebut berpengaruh juga pada kelancaran penyelesaian tugas yang menjadi tanggung jawabmu. Nantinya, kamu sendiri juga yang akan lebih nyaman kan, kalau alur kerja menjadi lancar?
Namun batasan tetap harus ada. Tentukan sendiri sampai seberapa kamu bisa menoleransi permintaan tambahan tugas di luar job desc. Pasalnya, kamu sendiri juga yang tahu sampai seberapa kamu bisa menjalankannya.
Beri kesempatan pada diri sendiri untuk “bernapas”
Baik quiet quitting ataupun hustle culture, masing-masing memiliki sisi positif dan negatif. Tinggal bagaimana kamu menyesuaikannya, dengan mempertimbangkan dampak mana yang paling ringan yang bisa terjadi padamu.
Hustle culture mungkin bisa mengantarkanmu untukk menapaki jenjang karier lebih cepat, gaji juga berpeluang berkembang dengan lebih baik. Quiet quitting membuatmu lebih nyaman saat bekerja, mencegah burnout, dan terhindar dari produktivitas toxic. Cobalah mencari celah untuk bisa mendapatkan sisi positif dari masing-masing gaya bekerja ini.
Beri dirimu sendiri untuk bernapas jika sedang melakukan hustle culture, dan beri dirimu dorongan dan motivasi lebih ketika sedang ada dalam state quiet quitting.
Jaga kestabilan finansial
Selain keseimbangan mental, finansial akan menjadi satu hal yang pertama terdampak jika kamu melakukan quiet quitting. So, kamu harus mencari solusi untuk mengatasinya.
Misalnya, kamu memang pengin bekerja seadanya. Ini artinya kamu mungkin akan punya banyak waktu luang di luar jam bekerja. Kamu bisa memanfaatkannya untuk berusaha mendapatkan penghasilan sampingan. Misalnya freelancing atau berbisnis.
Dengan demikian, stream income kamu tetap terjaga dengan lebih stabil.
Kelola keuangan dengan baik
Mau quiet quitting atau hustle culture, yang penting kelola gaji kamu dengan baik.
Saat quiet quitting, mungkin gajimu juga akan minim. So, kamu harus bisa mengelolanya dengan cermat agar tetap bisa dipakai untuk memenuhi semua kebutuhan. Saat hustle culture, pengelolaan keuangan juga penting, agar selain bisa dipakai untuk membiaya hidup, kamu juga bisa memanfaatkannya untuk memberi reward bagi diri kamu sendiri atas kerja keras yang sudah kamu lakukan.
So, sampai di sini, kamu tim mana nih? Tim quiet quitting atau hustle culture? Dua-duanya merupakan budaya yang dibentuk oleh manusia itu sendiri, sebagai jawaban atas kondisi yang terjadi. Tidak ada keharusan bagi kamu untuk mengikuti tren, jika kamu tidak merasa cocok. Carilah yang paling nyaman untukmu dijalani.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
52% Karyawan Perusahaan Masih Perlu Meningkatkan Financial Intelligence Mereka
Di awal tahun 2021, QM Financial mengadakan survei pada sejumlah klien korporasi, yang kemudian mengemukakan data yang menarik. Bahwa sebanyak 87.5% perusahaan merasa membutuhkan program edukasi keuangan bagi karyawan, dengan 51% karyawan perusahaan merasa bahwa gajinya tidak mencukupi, dan 42% HR perusahaan ingin agar karyawannya dapat hidup yang sesuai dengan penghasilannya.
Kemudian, kemarin di hari Selasa, 4 Mei 2021, QM Financial menyelenggarakan Media Briefing dengan tajuk Dukungan Literasi Keuangan dari Perusahaan, Penting untuk Wujudkan Karyawan Berdaya Finansial, mengungkap fakta lain yang tak kalah menariknya.
Bahwa 52% karyawan perusahaan ternyata belum memiliki financial intelligence yang memadai.
Apa itu financial intelligence?
Financial Intelligence adalah kemampuan mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan keuangan dasar untuk memiliki kehidupan finansial yang sehat. Pada dasarnya, setiap orang memang sudah seharusnya memiliki tingkat financial intelligence yang baik sekarang ini, apalagi jika mereka adalah karyawan perusahaan.
Mengapa? Karena sebagai karyawan, penghasilan itu seharusnya sudah enggak jadi masalah lagi. Satu, karena sudah pasti ada. Dua, teratur diterima. Berbeda dengan mereka yang bekerja dengan sistem harian atau project based, yang kadang dalam periode tertentu, bisa saja tak mendapat penghasilan sama sekali.
Data ini didapatkan dari responden yang menjawab kuis di academy.qmfinancial.com—platform survei dari QM Financial yang dirilis bersamaan dengan diadakannya Media Briefing Selasa pagi, yang sebanyak 3.916-nya merupakan karyawan perusahaan dari berbagai sektor.
Data-data yang didapat oleh QM Financial di atas, sepertinya mendukung penuh hasil penelitian yang dirilis oleh Lockton Retirement Services, yang menyebutkan bahwa 1 dari 5 karyawan mengalami stres akibat masalah keuangan.
Wah, semakin menarique ya?
Lalu, bagaimana caranya ya, agar karyawan perusahaan dapat terdorong untuk mau meningkatkan financial intelligence mereka?
Begini Cara Mendorong Karyawan Perusahaan untuk Meningkatkan Financial Intelligence
1. Pemberian benefit kesehatan bagi karyawan perusahaan
Benefit kesehatan dari perusahaan terhadap karyawannya ini bisa dalam beberapa bentuk. Yang pertama adalah benefit kesehatan fisik. Mengapa ini penting? Karena, kita tak bisa menutup mata, bahwa kesehatan fisik juga berpengaruh besar terhadap keuangan karyawan. Karenanya, perlu bagi karyawan untuk mendapatkan jaminan kesehatan dari perusahaan tempatnya bekerja.
Employers’ wellbeing juga seharusnya menjadi perhatian bagi perusahaan. Apalagi di zaman sekarang, ketika beban hidup begitu berat, dan tuntutan semakin besar. Kesehatan mental pada akhirnya juga dapat memberikan dampak besar terhadap produktivitas karyawan.
Yang terakhir adalah dukungan terhadap kesehatan finansial karyawan, yang akan dapat memberikan efek besar terhadap produktivitas.
Apa sih artinya sehat secara finansial bagi karyawan perusahaan? Hal ini mencakup di antaranya:
- Dengan penghasilan sekarang, karyawan dapat memenuhi kebutuhan hidup sekarang dan masa depan
- Bijak menghadapi urusan utang piutang
- Siap menghadapi kondisi darurat pribadi
- Mampu pensiun nyaman sesuai keinginan
- Tangguh menghadapi krisis finansial
Tentu mewujudkan kelima hal di atas bukanlah perkara mudah. Namun, dengan dukungan dari pihak perusahaan, setiap karyawan pasti bisa mengusahakannya—termasuk tak kalah penting adalah kemauan si karyawan itu sendiri juga.
2. Berikan pelatihan secara simultan sesuai jenjang karier
Untuk mulai memberikan benefit kesehatan finansial, maka perusahaan dapat memberikan pelatihan keuangan secara simultan alias terus menerus, sesuai dengan jenjang karier karyawannya.
Pada praktiknya, karyawan perusahaan akan melewati 3 fase dalam masa kariernya, yaitu:
- Fase Recruit, ketika karyawan diterima dan bergabung dengan suatu perusahaan.
- Fase Retain, ketika karyawan sudah bekerja lebih dari 3 tahun dan mulai memasuki level karier yang mapan.
- Fase Retreat, ketika karyawan harus mulai melakukan persiapan untuk meninggalkan perusahaan dan memasuki masa pensiun.
Dalam ketiga fase tersebut, akan muncul berbagai macam kebutuhan yang akan berbeda, yang harus segera direspons dengan rencana keuangan yang komprehensif. Karena itulah, pelatihan keuangan tidak dapat hanya diberikan satu kali saja dalam masa karier seorang karyawan perusahaan, tetapi harus simultan secara terus menerus. Hal ini bertujuan agar karyawan selalu siap menghadapi perubahan di setiap fasenya.
3. Mendorong karyawan perusahaan untuk memiliki kebiasaan baik dalam keuangan sehari-hari
Apalah artinya diberikan pelatihan, jika kemudian tidak dipraktikkan atau diterapkan dalam hidup sehari-hari? Betul, kan?
Begitu juga dalam usaha meningkatkan financial intelligence karyawan perusahaan ini. Dari kebiasaan kecil bisa jadi memberikan efek yang cukup besar bak bola salju di kemudian hari. Jadi, jangan remehkan kebiasaan-kebiasaan seperti lebih suka membawa bekal makan siang dari rumah, membuat kopi sendiri di kantor, menyisihkan penghasilan di awal untuk investasi, dan berbagai kebiasaan kecil yang baik lainnya.
Perusahaan harus memberikan apresiasi dan mendorong karyawannya agar mau melakukan berbagai kebiasaan itu dalam keseharian.
Kesimpulan
Pada akhirnya, peningkatan financial intelligence ini manfaatnya akan kembali juga kepada karyawan perusahaan itu sendiri. Sedangkan bagi perusahaan, financial intelligence karyawan akan dapat memberikan pengaruh besar terhadap bisnis bahkan dalam jangka panjang.
Apakah kantor atau komunitasmu mengalami masalah keuangan yang sama? Ataukah, punya kebutuhan training finansial yang lain? Sila kontak WA 0811 1500 688 untuk mendiskusikan kebutuhan training finansialmu. Semua modul dibuat SIMPEL, PRAKTIS, dan tentu saja FUN!
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
Selama Pandemi COVID-19, 81% Karyawan Mengaku Telah Mendapatkan Support yang Baik dari Perusahaan
Tidak terasa pandemi COVID-19 telah berlangsung satu tahun lebih sejak diumumkannya kasus pertama yang terjadi di Indonesia oleh Presiden Jokowi. Dari Wuhan, Tiongkok, COVID-19 telah menyebar ke berbagai negara termasuk di Indonesia. Indonesia memiliki kasus COVID-19 yang terus meningkat, bahkan kini telah menembus akumulasi kasus satu juta orang telah terinfeksi.
Selama pandemi COVID-19, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk mengendalikan penyebarannya. Salah satunya dengan menetapkan protokol kesehatan dan juga kebijakan work from home.
Pada akhirnya, dampak akibat pandemi ini pun terasa sampai ke berbagai bidang. Tidak hanya kesehatan, ekonomi dan kesehatan mental juga berdampak. Karyawan perusahaan adalah salah satu kelompok masyarakat yang ikut terdampak cukup parah oleh adanya pandemi ini. Beberapa karyawan harus work from home (WFH) atau bekerja dengan shift yang berbeda dari biasanya karena adanya ketentuan pembatasan jumlah karyawan perusahaan yang ada dalam ruangan.
Bagaimana Kondisi Karyawan Selama Pandemi COVID-19?
Menurut survei yang dilakukan pada perusahaan Edenred dalam laporan yang disebut “Power up your people: Your blueprint for peak performance in 2021”, dari 2000 orang yang melakukan jajak pendapat, hampir dua pertiga atau 64% karyawan perusahaan menyatakan bahwa mereka bekerja di rumah dalam 12 bulan terakhir. Ini menunjukkan hasil yang cukup berbeda jika dibandingkan survei pada awal 2020 yang memperoleh hasil lebih banyak karyawan perusahaan yang bekerja di luar rumah yaitu sekitar 61%.
Bekerja di situasi seperti ini ternyata membuat mental dari karyawan perusahaan mengalami gangguan. Berdasarkan hasil survei, seperempat jumlah responden yang berstatus karyawan ini menginginkan bantuan terkait kesejahteraan mental mereka, sementara 17% membutuhkan bantuan dalam menyesuaikan diri dengan kembali ke kantor di masa depan.
Dari pihak perusahaan sendiri, tidak perlu overthinking apakah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan terkait operasional kerja selama ini masih belum tepat atau masih kurang membantu karyawan perusahaan saat WFH.
Survei menunjukkan bahwa secara keseluruhan, karyawan puas dengan dukungan yang diberikan untuk mengelola keseimbangan kehidupan kerja (73%), kerja kolaboratif (72%) dan kesejahteraan fisik (71%). Dalam laporan tersebut juga menyatakan bahwa 8 dari 10 pekerja perusahaan, atau sejumlah 81%, mengatakan bahwa pemilik perusahaan telah melakukan upaya yang baik untuk mendukung mereka selama setahun terakhir.
Kepedulian Perusahaan terhadap Kondisi Karyawan Adalah Penting
Direktur SDM Edenred UK, Alisdair Seenan berpendapat, jika perusahaan sudah berusaha membuat kebijakan-kebijakan selama WFH, maka juga harus dipastikan bahwa karyawan dan organisasi perusahaan berada di posisi yang baik untuk berkembang meskipun saat ini sedang ada pandemi COVID-19.
Peduli dengan karyawan perusahaan pastinya merupakan hal yang wajib dilakukan, dan nggak hanya ketika pandemi saja. Namun, selama pandemi, perusahaan memang sebaiknya lebih peduli, karena kondisi kesehatan mental karyawan bisa menjadi kurang stabil, akibat dari kondisi yang mengharuskan mereka bekerja dengan lingkungan kerja yang berbeda dari biasanya. Suasana di rumah atau kos tentunya akan berbeda dengan suasana di perusahaan. Ada kemungkinan karyawan perusahaan akan merasa terganggu ketika sedang bekerja.
Jika perusahaan dapat memberikan dukungan yang baik, maka tentunya akan ada banyak manfaat juga yang didapat. Salah satu manfaat yang dapat dirasakan adalah citra perusahaan semakin baik di mata karyawan dan juga calon karyawan berikutnya.
Survei menyebutkan bahwa 29% karyawan lebih positif memandang organisasi perusahaan mereka karena kebijakan-kebijakan atau tindakan-tindakan yang diambil perusahaan selama setahun terakhir.
Jika citra perusahaan baik maka tentu saja hal ini dapat membuat karyawan perusahaan semakin loyal. Loyalitas karyawan perusahaan akan berdampak baik bagi perusahaan. Karyawan perusahaan yang memiliki loyalitas tinggi akan bekerja lebih produktif, dan menambah dedikasi terhadap perusahaan. Mereka akan berpikir banyak kali untuk meninggalkan perusahaan, meskipun di luar sana banyak tawaran yang lebih menggoda.
Berdasarkan survei, sebanyak 24% mengatakan bahwa karyawan perusahaan cenderung akan lebih rela mendedikasikan dirinya untuk bekerja bagi kepentingan bersama, ketika perusahaan juga mau melakukan banyak investasi dalam mendukung karyawan.
Karyawan yang merasa bahagia akan bekerja dengan baik. Jadi sangat penting untuk memberikan dukungan bagi perusahaan karyawan.
Cara untuk Memberi Dukungan Lebih bagi Karyawan
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memberikan dukungan kepada karyawan selama pandemi COVID-19 masih berlangsung.
Salah satunya dengan memberikan training keuangan untuk meningkatkan literasi finansial karyawan.
Mengapa training ini penting?
Pandemi COVID-19 memang memberikan dampak cukup kuat, terutama dari segi keuangan. Mungkin karyawan sekarang harus bekerja dari rumah—yang berarti ada beberapa insentif yang masih belum mereka dapatkan seperti ketika sebelum pandemi terjadi. Dinas luar berkurang, gaji yang harus dikurangi karena ada variabel komponen yang disesuaikan, dan seterusnya.
Mau tak mau, hal ini akan memengaruhi keseimbangan cash flow karyawan, sementara kebutuhan tetap meningkat. Karyawan harus disiapkan untuk menghadapi situasi krisis, karena situasi seperti ini akan berpeluang untuk terus terjadi. Jika karyawan tidak siap, apalagi tanpa disertai keterampilan pengelolaan keuangan yang mumpuni, bisa jadi karyawan akan menemui masalah keuangan.
Kesemua hal tersebut bisa dipelajari bersama QM Financial dalam sebuah training karyawan yang dikemas interaktif dengan silabus yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Hubungi kami melalui WhatsApp ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru.
Workaholic Atau Gila Kerja: 3 Yay dan 3 Nay untuk Kesehatan Mental dan Dompet
Atas nama dedikasi pada perusahaan, profesionalitas, perfeksionisme, dan komitmen, seseorang bisa menjadi begitu gila kerja. Workaholic, istilah kerennya.
Bagus dong? Iya, bagus banget. Perusahaan mana yang enggak suka punya karyawan yang selalu bisa memenuhi semua target KPI–karyawan terbaik dan teladan, yang mendedikasikan seluruh waktunya untuk bekerja demi kepentingan perusahaan.
Kalau perusahaan maju, kan si karyawan gila kerja ini juga yang akan mendapatkan benefit; naik gaji, jenjang karier cemerlang, apresiasi berupa bonus dan tunjangan, dan lain sebagainya. Sudah pasti, jaminan hidup terpenuhi; cash flow lancar, syukur-syukur bisa hedon sedikit.
Eh tapi, bukan enggak mungkin juga lo, dengan menjadi gila kerja, kita malah enggak sempat ngapa-ngapain. Jangankan hangout dan hedon di mal, cuma mau tidur aja loh, susah! Makan aja lupa. Kepikiran terus, “Aduuuh, kerjaan yang anu belum selesai. Tugas ini pegimana? Duh, deadline yang onoh sudah semakin dekat!”
Nah lo. Jadi, memangnya kita–sebagai karyawan–mesti jadi seorang gila kerja alias workaholic demi mencapai semua target karier itu? Yakin nih, dengan menjadi gila kerja, kita tetap bisa waras?
Mari kita lihat yay or nay dari menjadi seorang karyawan gila kerja. Apa sih yang menguntungkan, dan apa yang patut diwaspadai?
Gila Kerja: Yay!
Apa sih yang dicari oleh para karyawan gila kerja ini? Mungkin salah satu dari hal-hal berikut (atau malah semuanya?).
1. Demi tujuan finansial
Setiap orang memang sebaiknya punya tujuan finansial yang jelas, realistis, dan terencana dengan baik. Tujuan finansial bisa diibaratkan sebagai motivasi kita untuk siap bekerja keras dan berusaha.
Setuju kan, sampai di sini?
So, sebagian orang pun memang rela melakukan apa saja demi tercapainya tujuan finansial atau mimpi-mimpi hidup mereka ini. Bahkan kalau bisa, lebih cepat tercapai, lebih baik! Karena itu, banyak karyawan yang merelakan diri bekerja lebih giat daripada yang lainnya, karena motivasi mereka begitu kuat. Entah demi menyekolahkan anak-anaknya di sekolah terbaik, atau melunasi KPR lebih cepat, nabung modal untuk bisnis, dan lain sebagainya.
Dengan gila kerja, harapannya tentu saja, target tercapai. Target tercapai lalu berharap akan ada bonus yang lebih besar lagi menanti. Belum lagi, bayangan naik gaji yang juga terlukis di benak.
2. Kepuasan
Sebagian yang lain mengaku, mereka gila kerja karena mereka bekerja sesuai passion. Karena itu, ada kepuasan tersendiri ketika mereka berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya, bahkan nggak segan untuk bekerja lebih keras demi melampaui target.
Kenapa sampai dibela-belain gila kerja? Ya, karena kepuasannya itu lo, katanya sih melebihi nominal uang.
Jangan salah. Banyak lo, karyawan atau pekerja yang bekerja tanpa memikirkan bonus dan benefit-benefit, selama dia diperkenankan mengerjakan tugasnya yang sangat menyenangkan itu.
3. Memacu perkembangan diri lebih cepat
Gila kerja berarti siap menerima berbagai tantangan. Dan, biasanya sih bagi para karakter type-A, tantangan dianggap sebagai pemacu adrenalin bagi diri sendiri untuk berkembang lebih baik dan lebih cepat.
Semakin ditantang, mereka akan semakin cepat bergerak. Semakin dikasih banyak kerjaan, semakin gila kerja.
Yes, ada memang orang yang seperti ini. Beruntunglah perusahaan yang bisa memiliki karyawan seperti ini. Pepet terus, jangan kasih kendur!
Gila Kerja: Nay!
Tapi, selalu ada 2 sisi untuk setiap hal, termasuk soal gila kerja. Beberapa hal berikut di antaranya.
1. Superman syndrome
Seseorang yang gila kerja biasanya memiliki kecenderungan untuk perfeksionis, dan punya standar tinggi terhadap sesuatu. Bahkan sampai-sampai ia tak percaya pada standar orang lain.
Seseorang yang gila kerja bisa saja merasa bahwa enggak ada orang lain yang bisa sebaik dirinya dalam menyelesaikan pekerjaan.
Di sinilah muncul gejala Superman Syndrome. Seolah-olah perusahaan akan ambruk jika ia tidak ada, dunia runtuh kalau ia tidak bekerja. Padahal, coba deh cuti seminggu. Perusahaan tetap ada, pekerjaan tetap berjalan seperti apa adanya.
2. Anggaran kesehatan melonjak
Seorang yang gila kerja kadang lupa bahwa setiap manusia punya kapasitas yang terbatas. Enggak ada orang yang bisa melakukan segala sesuatu sendirian. Alhasil, karena selalu berusaha menyelesaikan semua sendiri, kesehatan fisik, jiwa, dan mental pun terancam terganggu.
Akibatnya, anggaran demi menjaga kesehatan fisik, jiwa, dan mental jadi melonjak. Jadi sering jajan boba atau kopi kekinian demi menaikkan mood saat bekerja. Makan malam di luar sekalian saat pulang kantor, biar begitu sampai di rumah atau apartemen bisa langsung tidur aja karena kecapekan. Ikut jadi member gym, padahal ya rajinnya cuma 2 bulan pertama doang. Selebihnya, kecapekan. Pulang kantor terus tidur.
Belum lagi kalau beneran sakit. Kelelahan fisik kan sudah pasti akan mengganggu daya tahan tubuh. Jadi lebih mudah terinfeksi virus ini itu, jadi sering flu ini itu. Padahal, merasa pantang untuk cuti. Jadilah sakitnya enggak sembuh-sembuh.
Mbulet, rauwis-uwis.
3. Awas, ekspektasi berlebihan
Ini kenyataan pahit sih, terkadang. Kita perlu ingat, bahwa tak selamanya apresiasi yang kita dapatkan sesuai dengan harapan. Termasuk dalam menyelesaikan pekerjaan.
Taruhlah, kita berhasil menyelesaikan tugas 150%. Tapi atasan hanya berharap sampai 90% saja sudah cukup. Ini berarti kan, kita sudah over kerja untuk sesuatu yang enggak diapresiasi? Baguslah, kalau memang atasan dan perusahaan tanggap terhadap kinerja kita yang overqualified. Siapa tahu bisa dipertimbangkan ada bonus lebih. Kalau enggak?
Kalau sudah begini, berarti kegilaan kerja kita sudah overdosis. Mungkin enggak akan kerasa di awal, tapi lama-lama masalah akan bermunculan juga.
Kenapa? Karena dengan segala kesibukan itu, kita bisa jadi lupa menjaga kualitas hidup kita, termasuk perkara kesehatan.
So, penting untuk diingat. Mau gila kerja? Boleh saja, tapi kita juga harus punya kualitas hidup dengan standar tinggi juga. No utang, punyai proteksi kesehatan yang lebih, punyai asuransi jiwa, bikin dana liburan, dan sebagainya, demi menjamin kesehatan kita terutama kesehatan mental.
Yuk, ikut kelas-kelas finansial online dari QM Financial yang bisa dipilih sesuai kebutuhan! Cek jadwalnya di web Event QM Financial atau follow akun Instagram QM Financial biar update terus ya.