Kriteria Sejahtera Saat Pensiun adalah Mencapai 5 Hal ini
Pensiun adalah satu hal yang sering kali terlintas waktu kita sedang mumet bekerja. Rasanya waktu dan energi sudah banyak terkuras hingga ingin segera berhenti untuk kemudian menikmati hidup. Tapi, setelah melihat kondisi keuangan, lagi-lagi kita meringis dibuatnya.
Memang, keputusan untuk pensiun adalah bukan persoalan yang mudah ya. Apalagi untuk kamu yang juga punya tanggungan untuk menghidupi keluarga. Semua harus diperhitungkan matang-matang mulai dari anggaran, sumber pemasukan, hingga tujuan apa yang ingin kamu lakukan saat pensiun nanti.
Lalu, kapan waktu ideal untuk pensiun?
Dalam UU No. 20/2021 tentang Cipta Kerja, waktu untuk pensiun adalah menjadi keputusan pribadi masing-masing, pun di berbagai undang-undang maupun peraturan tidak ada yang mengatur detail tentang usia pensiun.
Hanya saja, yang diatur adalah hak atas manfaat pensiun, disebutkan dalam Permenaker No.02/1995 bahwa usia pensiun adalah 55 tahun bagi mereka yang berstatus PNS. Jika pekerjaan tetap diperoleh saat mencapai usia 55, maka maksimal pensiun pada 60 tahun. Namun, ketentuan usia pensiun ini kembali lagi pada hak pekerja dan disesuaikan dengan kebijakan internal dari pemberi kerja, terutama bagi karyawan swasta.
Lagi pula, yang penting dari pensiun adalah bukan tentang waktu saja, melainkan keadaan atau kondisi kamu setelah tidak bekerja. Siap enggak kamu menjalaninya? Kehidupan seperti apa yang kamu inginkan nantinya?
Hal yang Harus Dipersiapkan Saat Pensiun Adalah …
Ada baiknya sebelum saat merencanakan pensiun, kamu sudah mempersiapkan hal-hal berikut ini yang dapat menunjang kehidupan di masa setelah selesai bekerja. Supaya apa? Agar kamu dapat menikmati masa pensiun dengan tenang tanpa kekhawatiran.
Dana Pensiun
Buatlah rekening untuk menyimpan tabungan dana pensiun. Umumnya, kamu bisa mengikuti program dana pensiun dari tempat kamu bekerja.
Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia, Dana pensiun adalah dana yang keuangannya diperoleh dari iuran tetap para peserta ditambah penghasilan perusahaan yang disisihkan dan para peserta berhak memperoleh bagian keuntungan itu setelah pensiun.
Sementara mungkin kantormu sudah memiliki program pensiun yang tersistemasi dengan baik, kamu juga bisa mempersiapkannya secara mandiri. Dana ini bisa diperoleh dari penyisihan 10% dari pendapatan bulanan kamu, atau berapa pun sesuai kondisimu dan juga setelah kamu melakukan analisis keuangan, tentunya.
Berapa yang harus dipersiapkan? Semua tergantung pada gaya hidup seseorang. Ini nantinya akan memengaruhi besarnya pengeluaran rutin, yang kemudian akan jadi faktor penghitung kebutuhan selama masa pensiun.
Jadi, berapa? Sudah berhitung belum? Kalau sudah ikut kelas Dana Pensiun QM Financial sih, pasti sudah ketemu angkanya.
Selesaikan Utang
Salah satu hal yang mestinya bereskan sebelum pensiun adalah kewajiban membayar utang. Ini berlaku baik untuk utang jangka pendek maupun panjang.
Ingat, di masa pensiun, asumsinya kamu sudah tak berpenghasilan aktif loh. Gaji pensiunan biasanya ya diambil dari dana pensiun yang sudah ada. Besarannya pastilah enggak sama dengan besarnya gaji sebelum kamu pensiun. Konon, malahan, kamu setidaknya “hanya” menerima 30%-nya saja kalau hanya mengandalkan Jaminan Pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan.
Ouch! Jauh banget nggak tuh?
Buat Perencanaan Keuangan
So, sebaiknya, jangan tunda lagi. Sekaranglah saatnya mulai membuat rencana keuangan untuk pensiun agar kamu semakin terdorong untuk mencapai tujuan.
Apa tujuan kamu setelah pensiun? Liburan, melakukan kegiatan baru? Tentunya untuk memulai hal baru kamu harus punya finansial yang mumpuni untuk bisa meraihnya. Rencanakan tujuan setelah pensiun, agar kamu bisa memperkirakan dan mempersiapkan berapa biaya yang harus kamu punya.
Kriteria Sejahtera di Masa Pensiun Adalah Saat Mencapai 5 Hal Ini
Merdeka Finansial
Pensiun adalah waktunya kamu menikmati hasil kerja kerasmu. Merdeka secara finansial jadi kriteria terpenting untuk bisa mendapatkan masa pensiun yang sejahtera. Artinya dalam hal keuangan kamu sudah siap dan tidak bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupmu. Tidak juga pada anak-anakmu.
Hal ini—pertama-tama—berarti kamu terbebas dari utang, aset yang cukup, dan gaya hidup yang sesuai.
Dapat Melakukan Hobi atau Kegiatan Baru dengan Leluasa
Pensiun adalah masa ketika kamu bisa memulai kembali kehidupanmu, setelah bertahun-tahun bekerja keras, dan menata kembali apa yang ingin kamu lakukan di dunia. Misalnya kamu ingin ikut kegiatan volunteer atau kegiatan sosial yang bermanfaat bagi banyak orang.
Atau kamu pernah punya cita-cita jadi penulis? Kamu bisa memulainya dengan membuat blog atau naskah cerita untuk kemudian diterbitkan. Carilah kegiatan baru yang dapat menghibur, menambah kualitas diri, dan jadi pengalaman baru kamu.
Tinggal di Tempat yang Diinginkan
Kamu mungkin memiliki keinginan untuk menghabiskan masa pensiun di tempat yang nyaman. Mau tetap di kota? Atau melipir ke desa? Atau pengin punya beach house? Atau rumah dengan lahan yang luas untuk berkebun dan menanam pohon buah?
Apa pun yang kamu inginkan, adalah target yang harus kamu capai sebelum masa pensiun tiba. So, pilihan lokasi saat membeli rumah itu sangat penting. Sesuaikan dengan rencana keuangan yang sudah kamu buat ya.
Punya Pendapatan Pasif
Meski sudah menyiapkan dana pensiun, kadang ini juga nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan darurat. Sejahtera menjalani pensiun adalah ketika kamu memiliki bekal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Salah satunya dengan memiliki pendapatan pasif, alias passive income.
Pendapatan pasif bisa diperoleh dari investasi saham, sewa properti, atau memiliki usaha yang memungkinkan kamu dapat menikmati hasil tanpa harus bekerja mengeluarkan waktu dan tenaga.
Meraih Impian yang Lama Terpendam
Pernahkah kamu berangan-angan untuk berkeliling dunia? Atau sesederhana ingin pergi ke taman hiburan Disneyland di Jepang? Ya, meski terlihat sederhana, kadang impian tersebut susah diraih saat masih produktif bekerja.
Pensiun adalah saatnya untuk kamu meraih impian yang sempat kamu pendam lama. Persiapkan biaya akomodasi dalam perencanaan keuangan pensiun.
Namun, jangan lengah dan gunakan masa produktif kamu saat ini untuk bekerja dan menggali potensi diri. Sejahtera saat pensiun adalah impian semua orang, tapi hal itu tidak bisa kita capai jika saat ini masih menyia-nyiakan waktu yang ada.
Yuk, persiapkan dengan sebaik-baiknya!
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Training Finansial: 1 dari 2 Karyawan Selalu Merasa Gaji Tak Cukup, Apa Sebabnya?
Survei yang dilakukan oleh QM Financial terhadap klien korporasi mengungkap data, bahwa sebanyak 51% karyawan merasa gaji tak cukup.
Padahal, ya namanya juga karyawan. Gaji adalah tujuan utama dalam bekerja, dan jadi motivasi untuk dapat memberikan kinerja yang baik. Tapi fakta di lapangan, penyebab gaji tak cukup ini tak melulu karena perusahaan memberikan gaji di bawah rata-rata. Faktanya (lagi), UMR pun sebenarnya ditetapkan berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup seseorang dengan status masih lajang sesuai dengan kondisi setempat.
Tapi, apa ya, yang menyebabkan 1 dari 2 karyawan selalu merasa gaji tak cukup? Bisa jadi karena beberapa hal berikut ini.
Alasan Karyawan Merasa Gaji Tak Cukup
1. Jeratan utang
Salah satu masalah yang paling banyak dialami oleh karyawan adalah soal utang. Ya, utang memang tidak dilarang, tetapi jika dilakukan tanpa perhitungan yang mendalam dan bijak, utang bisa jadi bumerang. Alih-alih menjadi solusi, utang justru membuat kita jadi semakin jatuh dalam masalah. Makin lama makin rumit, bak benang kusut.
Banyak alasan kenapa karyawan melakukan utang. Mulai dari dipakai untuk membeli rumah, membeli kendaraan, gawai, sampai gesek kartu kredit buat nongkrong atau beli baju branded.
Sekali lagi, utang tentu tak dilarang. Mau dipakai untuk apa pun dananya, itu kembali ke masing-masing individu. Namun, sudah pasti, sebelum utang, harus pasti dulu kita akan bisa membayarnya sesuai waktu yang sudah ditentukan.
Tak memiliki perencanaan dalam mengembalikan utang, akan membuat kesehatan keuangan terganggu. Di sinilah nanti, karyawan akan selalu merasa gaji tak cukup.
2. Tingginya gaya hidup
UMR ditentukan berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup seseorang yang berstatus lajang setempat. Penentuan besaran gaji UMR juga tak pendek, butuh proses yang panjang dari pemerintah. Dengan demikian, logikanya, jika seseorang sudah menerima gaji lebih atau sama dengan besaran gaji UMR, maka asumsinya akan cukup dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tapi kok bisa, karyawan merasa gaji tak cukup padahal besaran penghasilannya dari gaji berkali lipat dari gaji UMR?
Salah satu penyebabnya adalah gaya hidup. Kebutuhan hidup itu tidaklah mahal, dan gaji sudah disesuaikan. Tapi, dalam gaji, tidak ada perhitungan yang memasukkan elemen ‘gaya hidup’. Jadi, beban gaya hidup akan harus diambil dari alokasi kebutuhan hidup.
Nah, masalahnya, masih cukup banyak yang belum bisa membedakan, mana kebutuhan hidup dan mana gaya hidup.
Kebutuhan hidup itu nggak mahal. Yang mahal adalah gaya hidup.
3. Sandwich generation
Banyak karyawan—terutama generasi milenial—yang tak hanya harus menanggung hidup keluarga kecilnya sendiri, yang terdiri atas pasangan dan anak-anaknya. Namun juga, harus menanggung biaya hidup orang tuanya yang sudah pensiun, adiknya yang masih sekolah, juga ponakan-ponakannya, sepupu-sepupunya, dan masih banyak lagi.
Tentu saja, hal ini akan menambah beban si karyawan sehingga wajar jika selalu merasa gaji tak cukup. Perhitungan gaji UMR tidak memasukkan biaya hidup orang tua, ponakan, sepupu, om, dan tante ke dalam formulanya, bukan?
Dalam sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS tahun 2020, menyebutkan fakta bahwa kelompok usia produktif (usia 24 – 55 tahun, yang terdiri atas generasi X dan milenial) ternyata harus menopang 4 generasi lain yang sudah tidak produktif dan belum produktif. Generasi tidak produktif terdiri atas generasi pre-baby boomer (75 tahun ke atas) dan generasi baby boomer (56 – 74 tahun). Sedangkan, generasi belum produktif adalah mereka yang masih bersekolah, yaitu generasi Z (8 – 23 tahun) dan generasi post Z (di bawah 8 tahun).
Dilihat dari rasionya, yaitu 1 : 4, tentu ini menjadi beban tersendiri. Apalagi jika dikaitkan dengan perhitungan gaji UMR yang hanya untuk diri sendiri yang masih lajang.
Training Finansial untuk Membantu Karyawan
Alhasil, karena alasan-alasan di atas, banyak karyawan yang—jangankan berinvestasi—menabung saja sulit. Jangankan membangun dana pensiun, kalau tanggal tua berasa banget misqueen-nya. Jangankan memenuhi kebutuhan masa depan, kebutuhan sekarang saja pakai utang.
Sudah pasti, segala macam masalah keuangan ini akan memengaruhi kinerja dan produktivitas karyawan. Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk membantu karyawan dalam hal ini?
Training finansial yang menyeluruh, bertahap sesuai jenjang, dan berkelanjutan akan dapat membantu karyawan mengatasi masalah keuangan pribadinya.
Kesemua hal tersebut bisa dipelajari bersama QM Financial dalam sebuah training finansial karyawan yang dikemas interaktif dengan silabus yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Hubungi kami melalui WhatsApp ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru.
Naik Gaji = Utang Naik Juga? Oh, No!
Biasanya dalam kesempatan satu kali dalam setahun, gaji karyawan akan direview ulang. Jika memang layak, perusahaan akan memberikan kebijakan naik gaji.
Wah, tentu saja, hal ini akan disambut baik, kan ya?
Tetapi ada fakta menarik nih. Dalam survei yang dilakukan oleh QM Financial pada akhir 2020 terhadap sejumlah klien korporasi, ditemukan fakta bahwa sebesar 24.2% karyawan memiliki pinjaman besar di kantor, dan 24.2% lainnya juga meminta rekomendasi HR untuk mengajukan kredit bank.
Menariknya lagi, ternyata selain gaya hidup juga naik mengiringi kenaikan gaji, utang juga bertambah.
So, masalah utang ini memang bisa dibilang menjadi problema keuangan sejuta umat karyawan kantor ya?
Naik Gaji, Nambah Kebutuhan?
Ya, siapa sih yang enggak pengin dan enggak seneng kalau naik gaji? Ini adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh mereka yang bekerja sebagai karyawan perusahaan di seluruh dunia.
Kenaikan gaji bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Misalnya saja seperti masa “pengabdian” yang sudah cukup lama, prestasi mencapai target tertentu, keuangan perusahaan yang membaik, ataupun kenaikan jabatan.
Naik gaji pastinya akan memengaruhi pemasukan kita. Artinya, uang yang kita terima setiap bulannya akan lebih besar ketimbang bulan-bulan sebelumnya. Nah, biasanya sih, hal ini juga akan diiringi berbagai kebutuhan yang (rasanya) ikut meningkat. Tiba-tiba butuh lebih banyak barang untuk sehari-hari, tiba-tiba butuh lebih banyak self-reward, dan seterusnya.
Parahnya lagi, untuk semua “kebutuhan tambahan” itu dibayarnya pakai kartu kredit.
Nah, kalau sudah begini, mari kita lanjut ke poin berikutnya.
Naik Gaji, Abai Pentingnya Berhati-hati dalam Berutang
Tanpa kita sadari, seiring naik gaji, naik pula “kebutuhan” kita akan belanja. Pemasukan naik, pengeluaran jadi ikut naik. Imbasnya lagi, utang pun ikut naik—salah satu indikatornya, nambah belanja pakai kartu kredit—karena menganggap diri sendiri semakin mampu secara finansial. Keyakinan dapat mencicil utang juga bertambah besar.
Nah loh!
Kartu kredit sendiri sebenarnya banyak manfaatnya, kalau kita bisa menggunakannya dengan bijak. Jadi, bukan berarti lantas diharamkan untuk memakai kartu kredit loh ya.
Selain itu, memang ada benarnya sih. Bahwa setiap kali kita mau mengambil pinjaman atau utang, ada baiknya kita mempertimbangkan kemampuan finansial kita; apakah kita mampu membayar cicilannya hingga lunas?
Tetapi, kan bukan berarti, setiap naik gaji, utang pun ditambah karena keyakinan kita akan kemampuan diri sendiri juga meningkat? Memang bagus sih, bahwa naik gaji akhirnya ikut mendongkrak kepercayaan diri untuk mampu secara finansial. Tapi, nggak lantas setiap kali “ditandai” dengan naiknya utang, kan?
Jadi, Apa yang Harus Dilakukan Kalau Naik Gaji?
Ya, lagi-lagi nih, ayo, kita atur lagi keuangan kita. Ingat, naik gaji memang betul membuat kita semakin baik dalam kemampuan finansial, tetapi tidak lantas selalu dialokasikan ke hal-hal yang kurang berfaedah. Apalagi kalau kita mengingat bahwa masa depan kita masih panjang.
Cita-cita masih ada kan? Tujuan keuangan masih jauh kan?
Jadi, coba deh lakukan beberapa hal berikut, whenever kamu naik gaji. Duh, whenever. Kayak bakalan dapat setiap bulan gitu, ya? Yah, positive vibe aja dulu, reality bisa menunggu.
1. Bersyukur
Iya dong, yang pertama kali dilakukan adalah bersyukur. Kapan lagi sih kita naik gaji? Barangkali, ada di antara kamu yang sudah cukup lama bekerja, baru kali ini mengalami kenaikan gaji.
Apa pun kondisinya, tetap saja, ini adalah hal yang patut disyukuri, terutama di saat-saat seperti ini. Pasalnya, tak semua orang bisa mendapatkan rezeki seperti kita. Betul?
2. Cek anggaran
Salah satu yang lain yang harus segera dicek adalah anggaran rutin kita. Ini adalah langkah yang penting, karena sebelum kita merasa ingin menambah kebutuhan lain, kita harus memastikan dulu bahwa kebutuhan itu memang perlu, dengan cara melihat lagi daftar kebutuhan kita biasanya.
Cek di bagian kewajiban dulu—seperti cicilan utang yang masih berjalan. Jika memungkinkan, tambahkan dulu selisih kenaikan gaji untuk melunasi utang. Lalu cek di bagian kebutuhan rutin. Adakah yang memang perlu ditambahkan? Pertimbangkan ulang, dengan memilah antara keinginan dan kebutuhan ya.
Dan kemudian cek di bagian investasi. Tentu akan lebih bermanfaat kalau kita menambah porsi investasi demi tercapainya tujuan keuangan lebih cepat, ya kan?
3. Bukan berarti tak boleh self reward, tapi …
Harus bijak.
Pikirkanlah segala hal yang prioritasnya lebih penting; yang menyangkut kehidupan kita di masa mendatang, kehidupan kita di masa sulit, dan demi orang-orang yang kita cintai.
Boleh kok self reward, karena itu juga penting demi kesehatan mental. Tetapi, alokasikan secukupnya, dan sebaiknya tak berlebihan.
Nah, dengan memanfaatkan kenaikan gaji dengan lebih bijak, pastinya kita akan lebih semangat lagi kan, dalam bekerja? Iya dong.
So, naik gaji tak harus selalu berarti utang naik. Tapi bisa jadi, kualitas hidup memang naik sekaligus kita bisa menjamin hidup kita sendiri di masa depan nanti.
Apakah kantor atau komunitasmu mengalami masalah keuangan yang sama? Ataukah, punya kebutuhan training finansial yang lain? Sila kontak WA 0811 1500 688 untuk mendiskusikan kebutuhan training finansialmu. Semua modul dibuat SIMPEL, PRAKTIS, dan tentu saja FUN!
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
5 Kesalahan Pengelolaan Keuangan si Lajang yang Paling Umum Dilakukan
Keterampilan pengelolaan keuangan seyogyanya memang dimiliki oleh semua orang. Tak harus menunggu berkeluarga dulu atau berkarier mapan dulu, hal ini seharusnya sudah menjadi perhatian sejak kita masih berstatus lajang dan bergaji rendah.
Tapi seringnya ya begitulah. Karena merasa masih berhak untuk bersenang-senang, pun merasa belum terlalu banyak tanggungan, feel nothing to loose, hingga membuat para lajang kadang tak segera sadar bahwa mereka perlu melakukan pengelolaan keuangan dengan segera.
Akibatnya, banyak lajang yang merasa ‘kok gini-gini aja ya?’, nggak punya tabungan, merasa misqueen apalagi ketika jelang tanggal tua, hingga akhirnya terlilit utang yang tak berkesudahan. Padahal kalau kamu pengin membuat keuangan stabil hingga jauh ke masa depan, justru saat lajang inilah garis start terbaiknya.
Coba yuk, kita lihat beberapa kesalahan pengelolaan keuangan yang biasa dilakukan oleh para lajang. Belajarlah dari mereka yang sudah sering melakukan kesalahan ini.
Kesalahan Pengelolaan Keuangan Para Lajang
1. Gaya hidup
Tak ada yang salah dengan memiliki gaya hidup. Tak salah juga jika kamu harus mengikuti arus tren. Yah, namanya juga anak muda. Kalau ketinggalan tren, bisa-bisa nanti dianggap kuno hingga dikucilkan. Bagi sebagian orang, hal ini memang bisa jadi “ancaman”. Peer pressure ini juga salah satu akar masalah terbesar dari kondisi keuangan yang kurang sehat.
That’s ok, nggak perlu menyalahkan diri sendiri. Jika memang harus mengikuti arus, maka mari kita atur lagi pengelolaan keuangan kita, biar nggak kedodoran juga.
Alokasikan maksimal 10% dari penghasilanmu untuk gaya hidup. Dengan membuat bujet khusus begini, seharusnya sudah cukup memberimu kendali atas pengeluaran uang karena tuntutan sekitar yang seperti ini.
2. Living paycheck to paycheck
Memang tak salah untuk menghabiskan gajimu setiap bulannya. Tapi ingat loh, kamu enggak hanya hidup untuk hari ini saja kan? Kamu punya masa depan yang masih jauh banget loh. Kamu seharusnya punya banyak cita-cita dan keinginan, yang pastinya harus diwujudkan.
Ya karena buat apa lagi kita hidup, ya kan? Kalau enggak untuk mewujudkan impian? Tsah.
So, whether ingin menikah dan membangun keluarga, ingin memberangkatkan orang tua (dan diri sendiri) berhaji suatu kali nanti, atau mau keliling dunia, atau sekadar menghabiskan masa pensiun dengan tenang dan sejahtera, semua itu tak akan bisa dicapai kalau kamu sekarang masih saja living paycheck to paycheck.
Segeralah pahami, bahwa hidup itu butuh rencana. Dan, kamu sebaiknya tak menyia-nyiakan waktu begitu saja. Tentukan tujuan keuangan, punyai rencana, miliki tabungan, dan work on your dreams!
3. Mudah berutang
Baik itu berutang ke keluarga, teman, kasbon kantor, kartu kredit, bahkan sampai paylater atau pinjaman online, lama-lama kok rasanya kamu punya utang di semua tempat ya?
Gimana itu cara bayarnya satu per satu?
Emang harus dibayar ya? Lah.
Kadang memang saat berutang, kita merasa, ah, gampanglah. Masih ada gaji ini. Ntar dibayar bulan depan. Tapi, karena saking banyaknya tempat berutang, jadi malah bingung sendiri kan? Mau bayar yang mana dulu?
Satu hal yang harus disadari segera adalah bahwa setiap utang harus dibayar. Setiap pinjaman harus dikembalikan.
Ayo perbaiki pengelolaan keuangan kamu agar utang bisa segera dibayar. Pastikan rasio utang berada di bawah 30%, nggak boleh lebih.
4. Mengabaikan pentingnya money tracking
Padahal, kita tidak akan pernah bisa mengatur sesuatu yang tidak terukur. Betul nggak? Begitu juga dalam pengelolaan keuangan.
Kalau kita enggak tahu, uang habis dipakai buat apa, bagaimana bisa kita melihat pola pengeluaran kita? Bagaimana bisa kita mencari tahu hal-hal apa saja yang bikin boncos atau bocor alus. Bagaimana kita bisa memperbaiki yang kurang oke, agar ke depannya lebih baik?
Pengelolaan keuangan selalu berawal dari penyusunan anggaran dengan melihat histori pembelanjaan uang kita sebelumnya. Kalau jejaknya saja tak terlihat, bagaimana kita bisa membuat rencana langkah ke depan?
5. Takut berinvestasi
Sebagai seorang lajang, mungkin kamu sekarang memang belum merasakan urgensi untuk segera berinvestasi. Pensiun masih lama, rumah masih bareng orang tua, belum niat menikah dan punya anak.
Betul?
Ya enggak masalah sih. Tapi kesemua hal besar dalam perjalanan hidupmu itu pasti akan tiba juga nanti pada waktunya. So, ada baiknya kamu bersiap sedari sekarang.
Investasi adalah salah satu cara yang bisa kita tempuh untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita. Namun, masih banyak yang takut-takut memulainya. Terutama sih biasanya karena takut rugi.
Well, iya sih, itu salah satu risiko yang memang dibawa oleh setiap investasi. Tetapi kamu selalu bisa memilih instrumen yang paling minim risiko. Seperti deposito, obligasi pemerintah (ORI, Sukuk, dan sebagai), Reksa Dana Pasar Uang, dan sejenisnya.
Kamu nggak perlu takut untuk mulai–apalagi takut dengan risikonya. Mulailah dari yang kecil dan yang paling relatif minim risiko, dan selalu berpegang pada #TujuanLoApa.
Gimana? Apakah kamu masih saja melakukan kesalahan pengelolaan keuangan di atas? Salah satu, beberapa, atau malah semuanya?
Nggak apa. Masih belum terlambat untuk diatur lagi.
Yuk, gabung di kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu. Mulai dari basic sampai advance, semuanya akan memberimu insight mengenai prinsip pengelolaan keuangan yang baik.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
5 Tantangan Finansial Generasi Milenial di Era New Normal
Menjadi generasi milenial itu sungguh sesuatu. Tantangannya banyak banget. Mulai dari hal-hal yang disebabkan oleh perkembangan teknologi yang luar biasa, yang menciptakan godaan begitu banyak, hingga sekarang krisis akibat pandemi yang membuat kita harus lebih banyak memutar otak untuk mengatasi keterbatasan pergerakan yang membawa imbas ekonomi yang tak kalah besar.
Sungguh sesuatu.
Karena itu, berbanggalah, generasi milenial! Jika kamu dapat melewati ujian-ujian ini, di hari depan, kamu bisa menjadi generasi tertangguh yang pernah ada. Tsah.
Sekarang, kita sudah mulai berada di fase new normal, meski masa pandemi belum juga dinyatakan berakhir. Sementara kasus positif justru bertambah banyak di luar sana, tetapi kita “dipaksa” untuk segera kembali beraktivitas demi perekonomian negara yang harus pulih. Tak pelak, hal ini pun memunculkan tantangan lagi bagi kita, terutama soal finansial. Apa saja?
5 Tantangan Finansial Bagi Generasi Milenial di Era New Normal
1. Gaya hidup yang berubah
Kondisi yang berubah harus kamu respons dengan perubahan kebiasaanmu juga. Seperti gaya hidup, misalnya.
Barangkali kamu sekarang sudah mikir-mikir lagi kalau mau jajan di sembarang tempat. Mulai pula beralih lebih banyak belanja online ketimbang ikut berdesakan di mal. Cari hiburan juga lebih banyak di online. Kalaupun harus offline, kamu akan cenderung lebih berhati-hati.
Ini perubahan yang bagus, yang mungkin tanpa sadar kamu ubah demi melakukan penyesuaian diri terhadap apa yang terjadi sekarang.
Gaya hidup yang berubah akhirnya pasti juga akan mengubah rutinitas dan kebiasaan finansialmu. Pengeluaran jelas akan berubah, lantaran ada pos yang berubah juga.
Jadi, sudahkah kamu membuat catatan pengeluaran yang baru, agar kamu dapat pola keuangan yang baru juga di masa new normal ini?
2. Dana darurat harus lebih kuat
Pelajaran terpenting yang bisa kita ambil dari krisis pandemi ini adalah kita bisa survive dengan baik ketika kita memiliki dana darurat yang kuat.
So, jangan ulangi kesalahan yang sama. Saat new normal tiba–dengan pemasukanmu yang mungkin sudah mulai pulih seperti semula–jangan sampai mengabaikan keberadaan dana darurat lagi.
Ditambah lagi, secara global, perekonomian kita belum akan segera pulih, setidaknya butuh waktu 2 – 3 tahun untuk dapat kembali seperti sebelumnya. So, perjalanan menuju pemulihan akan cukup berliku, sehingga generasi milenial perlu untuk memiliki dana darurat yang memadai sebagai bekal.
Bukan mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi pada kita sih, tetapi bukankah kita harus sedia payung sebelum hujan?
3. Investasi yang lebih strategis
Generasi milenial bisa dibilang adalah generasi investor. Pertumbuhan jumlah investor–menurut data yang ada–memang tumbuh pesat belakangan, dan didominasi oleh generasi milenial.
Nah, sekarang kamu sudah tahu, bagaimana dan seperti apa situasinya ketika krisis melanda dan akhirnya berimbas ke pasar modal dan pasar uang kita. Pelajaran yang dapat kita ambil di sini adalah untuk berinvestasi, kita juga butuh strategi yang mumpuni.
Sudah bukan waktunya lagi investasi hanya ikut-ikutan, tanpa tahu dengan jelas tujuan kita sendiri apa. Sudah bukan waktunya lagi juga tak mau bertanggung jawab untuk keputusan investasi kita sendiri.
Belajar investasi yuk, mulai dari teorinya dan kemudian praktik pelan-pelan! Generasi milenial harus bisa menjadi financial planner untuk dirinya sendiri!
4. Tantangan utang
Di masa new normal, sebaiknya kamu juga lebih bijak jika berutang, terutama utang konsumtif.
Semoga di masa pandemi kemarin, enggak ada di antara kamu yang ngos-ngosan membayar cicilan utang, lantaran pemasukan berkurang sedangkan ada tunggakan utang yang belum terbayar. Semoga pula, kamu sudah mengajukan keringanan kredit jika memang kamu terimbas oleh pandemi secara ekonomi.
Next, di masa new normal, generasi milenial seharusnya sudah lebih bijak jika ingin berutang. Sekali lagi, pastikan kamu bisa membayarnya. Ingat ya, perjalanan perekonomian ke depan mungkin akan lebih berliku untuk sampai pulih sebenar-benarnya.
5. Anggaran kesehatan lebih besar
Kamu akan butuh anggaran kesehatan yang lebih besar di masa new normal ini. Kamu butuh nutrisi yang lebih baik, dan juga berbagai hal lain yang bisa membantumu untuk memastikan kesehatan tubuhmu dalam kondisi baik.
Di era new normal, generasi milenial tak hanya semakin aware akan pentingnya kesehatan fisik, tetapi semakin memperhatikan pula kesehatan mental mereka. So, tentunya ada hal-hal yang harus dilakukan untuk memastikan keduanya menjadi lebih baik ke depannya.
Dan, ini tentu saja butuh biaya. Persiapkan dengan baik, tambah anggaran kalau perlu. Kamu bisa mempertimbangkan untuk naik kelas asuransi kesehatan, plus membeli asuransi jiwa juga. Sesuaikan dengan kebutuhan dan kebiasaanmu yang sudah berubah.
Bagaimana, generasi milenial? Siapkah kamu menghadapi era new normal yang segera datang, dengan segala tantangannya?
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
Gaya Hidup Minimalis: Cocok untuk New Normal?
Ada banyak penyesuaian yang harus kita lakukan, baik selama ataupun setelah masa pandemi. Salah satu di antaranya adalah penyesuaian keuangan. Mengingat kondisi ekonomi yang mungkin tidak akan segera pulih dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sepertinya kita memang perlu punya kebiasaan dan gaya hidup baru–yang lebih baik pastinya. Pernah dengar tentang gaya hidup minimalis?
Pernahkah kamu membaca buku Fumio Sasaki, Goodbye, Things? Memang, orang Jepang terkenal akan gaya hidup minimalisnya. Sudah tahu tentang metode KonMari kan? Sebuah metode decluttering rumah yang diperkenalkan oleh Marie Kondo. Metode decluttering ini jadi ngehits di seantero dunia. Dan, kemudian disusul oleh Fumio Sasaki yang memperkenalkan dan membahas gaya hidup minimalis ini secara mendalam.
Baik buku The Life-Changing Magic of Tidying Up dan Goodbye, Things memiliki inti bahasan yang sama: bahwa sebenarnya untuk hidup itu, manusia hanya butuh sedikit barang saja.
Menarik? Sangat. Gaya hidup ini–enggak hanya akan memengaruhi segala segi psikologis kita dalam menjalani hidup–tetapi jelas, bakalan sangat memengaruhi keuangan kita. Karena dengan gaya hidup minimalis ini, kita jadi belajar untuk menghargai setiap value dari barang yang kita miliki dan uang yang sudah kita keluarkan.
So, buat kamu yang punya gaya hidup khilaf, ini beberapa hal “menyenangkan” tentang gaya hidup minimalis yang mungkin bisa mengubah mindsetmu selama ini.
5 Prinsip Gaya Hidup Minimalis
1. Rumah bukan museum
Banyak dari kita yang suka menyimpan dan menumpuk barang di rumah hanya karena nilai historisnya.
Coba sekarang kamu lihat di sekelilingmu. Apakah barang-barang yang kamu miliki sekarang benar-benar kamu pakai, ataukah kamu miliki hanya karena ada cerita di baliknya? Kelompokkan dalam grup terpisah, berapa banyak yang memang masih berfungsi, dan berapa banyak yang sekadar jadi barang kenangan?
Rumah jadi museum, akhirnya. Museum barang mantan? Aduh! Buat apa?
Fumio Sasaki sebenarnya menawarkan, zaman sekarang, simpanlah kenangan dan histori dalam bentuk digital. Foto, lalu simpan di laptop atau handphone. Kalau mau, ya posting saja di Instagram. Beri caption ceritanya sekalian. Ada banyak cara untuk menyimpan kenangan, tetapi bukan dalam bentuk barang.
Hanya simpan barang-barang yang kamu gunakan, berfungsi dengan baik, dan bermanfaat secara total. Selebihnya, singkirkan. Seperti misalnya:
- Barang yang tidak membangkitkan minat untuk memakainya
- Barang yang tidak memberikan kebahagiaan ketika dilihat
- Barang yang sudah setahun menganggur
- Barang yang dibeli hanya demi citra diri atau gengsi
- Barang yang bahkan kamu sendiri sudah lupa untuk apa dulu dibeli
- Barang yang menimbulkan “kebisingan” visual
- Barang yang mubazir
2. Bedakan kebutuhan dengan keinginan
Ini sesuai betul dengan prinsip pengelolaan keuangan, bahwa keinginan itu berbeda dengan kebutuhan.
Iphone seri terbaru sudah rilis; pengin atau butuh? Beli sepeda yang keren buat bike to work; pengin atau butuh? Food processor; pengin atau butuh? Robot vacuum cleaner; pengin atau butuh?
Kalau dalam pertimbangannya memang butuh, hidup akan lebih mudah dengan adanya barang tersebut, hidup akan berubah menjadi lebih baik jika ada barang tersebut, ya enggak apa dibeli.
Namun, jika dalam pertimbangan ternyata kamu menemukan alternatif solusi lain yang lebih baik tanpa harus membeli, berarti itu hanyalah keinginan. Berhenti sampai di situ, dan moveon.
3. Tidak perlu membeli karena murah, tidak perlu mengambil karena gratis
Manusia itu pada dasarnya punya sifat “nggak mau rugi”. Dari sinilah kemudian ada penawaran diskon ini itu, promo anu onoh. Pun juga penawaran “beli satu gratis satu”.
Nggak mau rugi deh. Kalau bisa punya dua barang untuk harga satu barang, ya mumpung. Harus banget dibeli, besok Senin harga naik soalnya.
Hal ini juga yang bikin hidup jadi lebih complicated. So, untuk bisa menjalani gaya hidup minimalis–demi hidup ke depannya yang lebih baik–ada baiknya, kamu ubah mindset ini.
Sekali lagi, ini adalah sifat dasar manusia, jadi siapa pun enggak akan bisa menghindar dari pemikiran ini. Tetapi, jika kita sadar sedang memikirkannya, maka saat itu pula sebenarnya kita diberi kesempatan untuk menghilangkannya juga.
4. Ruang kosong memberi efek tenang dan fokus
Tahu enggak sih, bahwa ruang yang kosong itu sebenarnya memberikan efek lega, tenang, dan fokus untuk kita sebagai penghuninya?
Demikian juga di rumah. Jika rumah punya lebih banyak ruangan kosong, kita akan jauh lebih leluasa bergerak. Ruang kosong untuk dinikmati, enggak harus diisi.
Jadi, Fumio Sasaki memberikan saran, untuk menjalani gaya hidup minimalis dengan baik, biarkan ruang yang “tidak terpakai” untuk tetap kosong.
5. Sewa yang bisa disewa
Salah seorang teman yang sudah beberapa tahun punya gaya hidup minimalis (meskipun dia baru sadar sekarang, bahwa gaya hidup yang dianutnya adalah gaya hidup minimalis), menjalani hidupnya dari persewaan ke persewaan.
Punya anak bayi, butuh boks bayi, sewa saja. Anak bayinya tumbuh, butuh stroller, sewa saja. Sekarang bayinya sudah bisa diajak jalan-jalan, sewa carseat saja. Kebetulan, jadi tuan rumah untuk menjamu arisan keluarga, semua perkakas dan alat–mulai dari tambahan kursi, peralatan makan, bahkan mangkuk saji hidangan–sewa saja. Dia juga enggak punya mobil, hanya punya sepeda motor. Kalau pas butuh mobil, ya sewa saja.
Dulu teman-temannya ini menganggapnya sebagai “orang pelit”–tentu saja, dilontarkan sembari bercanda–tetapi sekarang kami sadar, bahwa ia penganut gaya hidup minimalis.
Nah, bagaimana denganmu? Di masa new normal yang membutuhkan penyesuaian gaya hidup, mungkin gaya hidup minimalis ini cocok untuk kamu pertimbangkan.
Milikilah barang yang benar-benar kamu gunakan, singkirkan barang yang sudah tidak fungsional atau hanya bernilai historis saja. Dengan demikian, hidupmu akan lebih fokus, pengelolaan keuangan pun menjadi lebih baik, dan akhirnya akan memengaruhi setiap aspek hidup.
Tertarik?
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
Haruskah Mengubah Tujuan Keuangan Jangka Panjang di Tengah Pandemi COVID-19?
Paruh pertama 2020 sudah terlewati, dan kita masih berada di tengah pandemi COVID-19. Sudah pasti, ini jauh dari rencana kita. Resolusi tahun baru yang kita buat di akhir tahun 2019 menuju tahun 2020 kemarin, apa kabar? Termasuk yang soal keuangan. Pasti banyak tujuan keuangan jangka panjang dan pendek yang harus disesuaikan nih.
Bisa dibilang, pandemi ini tak hanya mengubah cara dan kebiasaan hidup kita hari ini saja, tetapi bisa dibilang, akan memengaruhi masa depan kita juga. Ya, gimana enggak, taruh saja soal investasi untuk tujuan keuangan jangka panjang. Yang sudah menaruh dana pensiun di instrumen saham, misalnya, harus menghadapi masalah portofolio investasi yang perkembangannya kurang menyenangkan.
Tapi, untunglah, ini adalah tujuan keuangan jangka panjang, sehingga kita masih bisa optimis. Lagi pula, banyak pakar menjamin, bahwa di tahun 2022, pandemi ini sudah benar-benar bisa dikendalikan, dan pasar serta ekonomi akan bertumbuh positif lagi. Fingers crossed!
Jadi, perlukah kita mengubah rencana dan tujuan keuangan jangka panjang, menengah, dan pendek, sehubungan dengan “berubahnya” kondisi pasar instrumen investasi?
Mari kita lihat.
Apa Kabar Tujuan Keuangan Jangka Panjang di Masa Pandemi?
Tujuan keuangan jangka panjang adalah tujuan atau mimpi yang ingin kita capai minimal 10 tahun mendatang. Biasanya yang termasuk dalam tujuan keuangan jangka panjang ini adalah dana pensiun.
Kamu perlu ingat, bahwa gejolak dan fluktuasi akan selalu ada di pasar modal, karena itu seharusnya kamu enggak usah terlalu khawatir. Kamu bisa melihat sejarah statistiknya, bahwa gejolak pasar modal itu juga sering banget terjadi di tahun-tahun terdahulu. Tahun 1998 dan 2008 kita juga pernah mengalami penurunan ekonomi yang sangat signifikan. But yet, kita berhasil melaluinya dengan baik.
So, kita harus optimis, bahwa krisis ekonomi akibat pandemi ini juga akan terlewati dengan baik.
Jadi, tetap tenang adalah kunci. Apalagi jika kamu punya keranjang telur di banyak tempat, dan juga dana daruratmu aman. Tujuan keuangan jangka panjang akan baik-baik saja. Kamu bisa memilih untuk menunggu atau melanjutkan investasimu, tapi ingat, gunakan dana yang memang ditujukan untuk investasi, bukan dana kebutuhan hidup sehari-hari ya.
Sesuaikan Tujuan Jangka Keuangan Pendek
Yang harus kamu pantau dengan ketat justru adalah tujuan keuangan jangka pendek dan menengah. Bagaimaa kondisinya saat ini? Apakah masih sesuai dengan rencana?
Jika memang perkembangannya kurang sesuai dengan harapan, maka kamu harus segera memikirkan alternatif solusinya.
Misalnya saja, dana liburan. Hmmm, tampaknya kita tidak akan bisa jalan-jalan ke Jepang, Korea, dan Eropa dalam waktu dekat kan ya? Nah, kamu bisa tetap menyimpannya di tujuan keuangan yang sama–dana liburan–atau kamu bisa mengalihkannya untuk memperkuat jaring pengamanmu di dana darurat. Toh, kamu bisa membuatnya lagi tahun depan, mungkin, ketika kondisi memang benar-benar sudah memungkinkan.
Contoh lain, dana pendidikan anak yang mungkin paling jauh 5 tahun lagi akan dipakai. Masihkah perlu dipertahankan di instrumen dengan risiko tinggi? Ataukah, harus dipindahkan?
Sesuaikan semuanya dengan kebutuhanmu ya.
Susun Ulang Prioritas
Kebutuhan akan selalu lebih besar daripada kemampuan. Hal ini selalu berlaku di situasi apa pun, baik ketika ekonomi sedang baik-baik saja, ataupun di kondisi sulit seperti sekarang.
Jadi perubahan kondisi harus kita respons dengan penyesuaian prioritas juga. Salah satu yang harus diprioritaskan ulang di saat-saat seperti ini adalah dana darurat. Pastikan bahwa sudah benar-benar aman.
Lalu susun prioritas di tujuan keuangan jangka pendek, karena the new normal akan membatasi kita di hal-hal tertentu. Tujuan keuangan jangka panjang juga harus dipastikan aman ya, seperti di poin pertama.
Ubah Gaya Hidup dan Kebiasaan yang Kurang Pas
Pandemi COVID-19 memberi kita banyak pelajaran, termasuk pelajaran keuangan.
Ada yang merasa nyesel karena malas membangun dana darurat, dan sekarang ketika harus kehilangan penghasilan jadi kelabakan? Ada yang merasa nyesel, kenapa menunggak iuran BPJS Kesehatan, dan sekarang harus terikat utang karena butuh biaya pengobatan?
Ya sudah, enggak perlu terlalu lama bapernya. Sekarang segera bangun, duduk di kursi, menghadap ke meja, dan susun rencana. Ubah kebiasaan dan gaya hidup yang menurutmu kurang pas kemarin; bagaimana supaya bisa lebih hemat, dan bisa memperbesar rasio menabungmu. Gaya hidup yang mana yang harus kamu ubah, sesuaikan, dan gaya hidup mana yang bisa kamu teruskan.
Kamu sendiri yang bisa memutuskan ya.
Selalu Kembali ke #TujuanLoApa
Jadi, mau apa pun kondisinya, mau tujuan keuangan jangka panjang maupun jangka pendek, selalu kembali ke #TujuanLoApa.
Ketika tujuan keuangan harus disesuaikan, tanyakan lagi pada diri sendiri, “Tujuannya mau ke mana sih?”, baru mundur ke garis start (masa sekarang). Tarik horizon waktunya, hitung kebutuhannya.
Begitu juga ketika mengevaluasi satu tujuan keuangan apakah sudah sesuai dengan rencana, kembalilah lagi ke #TujuanLoApa yang sudah ditentukan di awal. Baru cek kondisi sekarang, dan kemudian cek apakah masih dalam horizon waktu yang sudah ditentukan di awal.
Jika ya, kamu bisa teruskan. Jika tidak, maka kamu bisa segera mencari alternatif solusi.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
7 Cara Mengelola Utang di Tengah Masa Sulit
Mengelola utang di masa normal pun kadang terasa sulit, apalagi di masa-masa penuh ketidakpastian seperti kala pandemi COVID-19 seperti sekarang ini.
Kesiapan dan kemampuan untuk beradaptasi akan menentukan bagaimana kita harus meneruskan hidup ke depan. Tak sedikit dari kita yang enggak siap, sehingga harus merasakan dampak penurunan ekonomi secara signifikan. Dana darurat misalnya, karena banyak yang enggak punya, akhirnya harus berutang demi menutup kebutuhan hidup di tengah pandemi lantaran penghasilan juga tersendat.
Bisa dibayangkan situasinya; penghasilan enggak ada, dana darurat enggak punya, masih terlibat utang. Duh.
Jadi, apa yang harus dilakukan jika kamu berada di situasi seperti ini? Berdoa? Iya, betul, kita memang harus terus berdoa agar dimudahkan, tapi juga harus berusaha. Usaha apa yang bisa dilakukan untuk mengelola utang agar enggak jadi masalah yang semakin besar?
Mengelola Utang di Tengah Pandemi
1. Cek posisi utang
Sebelum mencari solusi untuk mengelola utang dengan lebih baik di masa pandemi ini, kamu harus memastikan dulu posisi utang sampai dengan hari ini.
Coba cek ya:
- Kapan jatuh tempo masing-masing utangmu?
- Berapa lama lagi utang-utang tersebut menjadi tanggunganmu
- Berapa cicilannya masing-masing?
- Berapa kekurangannya sampai lunas
- Berapa total cicilannya?
- Berapa rasionya dibandingkan dengan pemasukanmu yang sekarang?
- Bagaimanakah sistem pembayaran cicilannya, apakah autodebet atau kamu harus menyetor secara manual?
- Adakah konsekuensi yang harus ditanggung jika kamu menunggak atau malah melunasinya?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka kamu akan mendapat gambaran umum mengenai kondisi utang yang sebenar-benarnya. Hal ini penting agar kemudian kamu bisa mencari solusi yang paling tepat untuk dapat mengelola utang dengan baik.
Karena kondisi keuangan dan kehidupan orang berbeda satu sama lain, sehingga tak pernah ada satu solusi yang paling tepat untuk semua jenis masalah. Harus disesuaikan.
Tapi, yang pasti, kamu lantas bisa melanjutkan ke langkah kedua berikut.
2. Setop utang baru
Jangan buat lagi utang baru untuk sementara. Jauhkan kartu kreditmu. Jangan utang lagi. Prioritaskan waktu dan pikiran untuk mengelola utang yang sedang berjalan sekarang, dan fokuslah untuk membereskan apa yang ada dulu sebelum punya utang baru.
Jika misalnya kamu punya kebutuhan, dan belum ada uang untuk memenuhinya, cobalah untuk menunda selama mungkin. Atau mungkin ada barang substitusi yang lain, yang mungkin bisa kamu dapatkan tanpa harus berutang.
3. Cek aset lancar
Cek aset lancar, siapa tahu bisa kamu manfaatkan untuk mempercepat pembayaran dan pelunasan utang yang sudah ada.
Aset lancar di sini termasuk uang tunai, tabungan, deposito jangka pendek, reksa dana pasar uang, kepemilikan barang yang bernilai jual tinggi seperti logam mulia, kendaraan, atau smartphone juga bisa.
Barang-barang itu bisa kamu beli lagi kan, nanti kalau kondisi keuangan sudah sehat?
4. Minta keringanan
Pemerintah punya program relaksasi kredit untuk membantu kita yang terdampak pandemi COVID-19 hingga setidaknya setahun ke depan. Kamu juga bisa mencoba untuk mendapatkan keringanan ini.
Keringanan kredit ini bukan lantas kamu bebas tidak harus membayar cicilan ya, tetapi bentuknya bisa jadi keringanan bunga, pengurangan cicilan bunga, hanya harus membayar utang pokok saja, perpanjangan tenor, dan sebagainya.
Cicilan tetap ada, tetapi tentunya lebih ringan. Begini saja, pasti sudah lumayan. Ketika kamu sudah mendapat keringanan, maka selanjutnya, kamu harus memikirkan bagaimana caranya supaya tetap bisa berkomitmen untuk mengelola utang.
5. Amankan asuransi kesehatan
Mayoritas utang yang terjadi di masa pandemi adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, atau untuk membayar biaya sakit di rumah sakit. Sungguh, kesadaran kita untuk memiliki asuransi–minimal asuransi kesehatan–memang masih minim sekali, bukan?
Sering terdengar kasus, awalnya sih sudah mendaftar BPJS Kesehatan untuk bantuan biaya sakit. Ketika sembuh, (sengaja) lupa membayar iuran. Lalu, kepesertaan jadi hilang. Saat sakit lagi, bingung deh.
BPJS Kesehatan merupakan asuransi kesehatan yang paling terjangkau untuk saat ini loh. Asuransi lain tidak ada yang selengkap BPJS Kesehatan dengan premi yang sebegitu terjangkau, meski sekarang sudah dinaikkan kecuali untuk kelas III.
Jadi, yuk, pastikan asuransi kesehatan kita aman. Yang akan memetik manfaatnya juga kita sendiri, sehingga menghindarkan utang untuk biaya rumah sakit.
6. Tambah penghasilan
Punyai penghasilan baru, demi bisa menurunkan rasio utang yang membesar akibat berkurangnya pendapatan selama pandemi COVID-19.
Coba cari peluang; berdagang barang-barang yang dibutuhkan oleh orang-orang di sekutarmu, atau jadi freelancer juga bisa, sesuai keahlianmu. Jangan sungkan mempromosikan dagangan ataupun diri sendiri ya.
Semangat!
7. Miliki mindset baru
Pandemi COVID-19 memang memberi kita banyak pelajaran. So, jangan sampai melakukan kesalahan yang sama.
Beberapa hal yang harus dicatat:
- Harus punya dana darurat, meski kondisi kita baik-baik saja.
- Jangan berutang, jika tak yakin bisa membayar hingga lunas.
- Mengelola utang adalah koentji, baik di saat kondisi baik ataupun buruk.
- Miliki gaya hidup sesuai kemampuan.
- Amankan asuransi kesehatan (dan jiwa jika perlu).
Ayo, ubah mindset dan perilaku kita, mulai dengan belajar mengelola keuangan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
Siap Finansial untuk Menghadapi The New Normal dalam 5 Langkah
Pandemi COVID-19 tidak akan segera berlalu, sementara kita sudah harus siap menghadapi the new normal–tatanan baru dalam berkehidupan, dengan fokus untuk menjaga kesehatan diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Suka nggak suka, siap nggak siap, sepertinya memang kita tak bisa berdiam lebih lama lagi di rumah. Kegiatan ekonomi yang terhenti tentu akan membawa dampak yang lebih buruk untuk semua orang yang hidup di Indonesia, bahkan dunia.
So, mari kita bersiap. Apa saja yang harus disiapkan untuk menghadapi era the new normal ini, utamanya dalam hal finansial? Yuk, simak terus sampai selesai ya!
5 Hal Finansial yang Harus Disiapkan untuk Menjalani The New Normal
1. Ubah gaya hidup sebelumnya
Tanpa bermaksud menghakimi, mungkin kamu punya gaya hidup yang harus diperbaiki selama pandemi COVID-19 datang; nggak bisa menahan diri untuk belanja-belanji barang-barang konsumtif, gesek kartu kredit sana-sini, enggak bisa nabung untuk dana darurat, FOMO, dan seterusnya.
So, setelah terhantam oleh pandemi dan merasakan “akibat”-nya, sekarang saatnya kamu mengevaluasi diri. Pelajaran finansial seperti apa yang sudah kamu pelajari selama pandemi ini? Adakah dari dirimu yang harus diperbaiki? Adakah gaya hidup yang harus diubah?
Kalau memang kamu merasa ada yang kurang dan ada yang bisa diperbaiki, yuk, perbaiki. Karena financial is personal, maka kamu sendiri yang bisa memutuskan, apa yang bisa diperbaiki dan bagaimana cara memperbaikinya. So, take your time untuk mengatur keuangan kamu, dan semoga ke depannya lebih baik.
2. Catat keuangan
Salah satu hal yang harus kamu siapkan untuk menghadapi the new normal adalah catatan keuangan. Karena kita akan menghadapi banyak hal yang berubah di depan, sehingga kebiasaan kita pun harus disesuaikan dan pola keuangan kita pun bisa jadi berubah juga.
Jadi, ayo, mulai catat keuanganmu lagi dengan rapi dan detail. Berapa penghasilanmu setiap bulan? Ada tambahan apa saja, selain gaji? Adakah perubahan nominal di gaji bulanan? Apa saja pengeluaranmu sekarang? Apa yang berubah; pos pengeluaran mana yang lebih banyak, dan mana yang lebih sedikit?
Catat lagi ya, sehingga beberapa bulan kemudian, kamu bisa melihat pola barunya. Setelah itu, kamu pasti akan bisa menyesuaikan diri lagi dengan situasi yang baru.
3. Review tujuan keuangan
Misalnya saja, untuk beberapa waktu ke depan, kamu mungkin enggak akan liburan dulu ke luar negeri. Meski banyak negara sudah melonggarkan lockdown, tapi penjagaan masih ekstra ketat. Jadi, tabungan dana liburanmu mungkin bisa dialokasikan ke hal lain yang bermanfaat. Untuk memperkuat dana darurat, misalnya.
Atau, biaya menikah. Di era the new normal nanti, resepsi dan upacara pernikahan hanya boleh dihadiri oleh undangan yang sangat terbatas; 40 orang saja. Jadi, kamu bisa mengalokasikan kelebihan dana menikah ke hal lain.
Atau, karena kondisi investasi saham masih sangat volatile, maka kamu perlu rebalancing di instrumen investasi lain demi dana pensiun terselamatkan.
Nah, ini juga butuh waktu buat ngelamun nih, berarti. Take your time ngelamun deh, kalau gitu ya.
4. Lebih bijak berutang
Salah satu pelajaran penting yang bisa kamu petik selama pandemi dalam mengatur keuangan adalah jangan membuat utang yang melebihi kemampuan. Banyak loh, yang terjebak utang di tengah masa pandemi, yang berakibat mereka gali lubang tutup lubang. Padahal pekerjaan juga lagi enggak pasti.
Sedih banget enggak sih?
Makanya, setelah masuk the new normal, ada baiknya kamu lebih bijak untuk berutang. Utang apa pun itu; utang kartu kredit, kredit blender, gawai, terlebih pinjaman online.
Yuk, pikirkan secara matang jika memang kamu butuh berutang. Setidaknya, kamu harus benar-benar yakin bahwa kamu mampu membayarnya.
5. Tetap pantau dana darurat
Nah, jadi yakin kan, kalau dana darurat itu sangat penting? So, jangan sampai melakukan kesalahan yang sama lagi.
Dana darurat memang kayak duit nganggur. Serasa gatel aja pengin dipakai; enakan diputer buat usaha apa, atau buat belanja “kebutuhan” ini itu. Tapi, ingat loh, dana darurat itu adalah jaring pengaman ketika kondisimu lagi darurat. Memang sepintas nganggur, tapi justru enggak boleh diganggu.
Jadi, coba cek, berapa kebutuhan dana daruratmu yang paling ideal? Dan, bagaimanakah posisinya sekarang? Apakah sudah sesuai, atau belum? Kalau belum, di masa the new normal nanti, kamu harus menjadikannya sebagai tujuan keuangan utamamu sebelum yang lainnya.
Nah, di samping ke-5 hal finansial di atas, hal lain yang harus disiapkan juga untuk menghadapi the new normal adalah soal kesehatan. Sekarang kesehatan benar-benar mahal harganya. So, jaga kesehatanmu, jangan sampai sakit. Ada baiknya, kamu menambah ekstra pos pengeluaran di sini, untuk kebutuhan tambahan vitamin, suplemen, dan alat kesehatan lain, seperti masker, face shield, hand sanitizer, dan seterusnya. Cek juga asuransi kesehatanmu ya, jangan sampai kendur.
So, siap untuk menghadapi the new normal sekarang? Semangat ya!
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi saat the new normal datang! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
Oreo Supreme: Simbol Gaya Hidup Baru 2020?
Gimana rasanya makan biskuit seharga Rp500.000 at least? Itulah yang lagi nge-hype saat ini. Kalau kamu berkunjung ke martketplace terkenal Indonesia, kamu akan bisa menjumpai Oreo Supreme ini dibanderol dengan harga Rp500.000 – Rp600.000.
Di Ebay, di mana semua produk dijual secara lelang, Oreo Supreme bisa laku seharga USD18,000, atau setara Rp269 juta per bungkus. Bahkan, update terbaru dari Forbes, masih di Ebay saat artikel ini ditulis, Oreo Supreme ditawar tertinggi di harga USD96.100, alias setara dengan Rp1,4 M!
Mahal banget ya? Tapi, teteup banyak yang beli tuh. Bahkan harganya semakin meningkat, sebagai bukti bahwa demand semakin banyak sedangkan stok hanya terbatas.
Mengapa Oreo Supreme Bisa Semahal itu?
Oreo Supreme merupakan produk kolaborasi antara biskuit Oreo–yang memang jadi favorit banyak orang–dengan brand streetwear yang sangat populer di kalangan anak muda, terutama para hypebeast, Supreme.
Supreme, yang berawal sebagai underground brand di Amerika Serikat ini, kini memang sudah menjadi pop culture urban kekinian dengan valuasi perusahaan senilai jutaan dolar.
Konon, Oreo Supreme ini merupakan salah satu produk yang dikeluarkan khusus untuk menyambut musim panas 2020, diproduksi secara eksklusif dan terbatas. Dengan kombinasi ini–Supreme dan para pembeli loyalnya, dan biskuit Oreo yang juga memiliki penggemar tersendiri–rupanya melahirkan hype baru yang luar biasa, dan menular begitu cepat ke seluruh dunia bak virus corona.
Simbol Gaya Hidup
It’s not just about Oreo–biskuit yang enak dimakan dengan dicelup-celup ke dalam segelas susu–dan Supreme–merek fashion dengan gaya skater dan hiphop. Ini adalah soal apa yang diwakili oleh produk tersebut; eksklusif, terbatas, dan status sosial.
Begitulah kita sekarang. Apa yang bisa kita tampilkan di media sosial, menjadi “presentasi” karakter dan citra kita. Adalah penting untuk memberikan impresi istimewa bagi orang lain, demi “menanamkan” siapa diri kita di benak mereka.
Apalagi beberapa influencer juga sudah mereview biskuit Oreo merah menyala ini di akun media sosial mereka, seperti Rachel Goddard, Rachel Vennya, Nabila Zirus, hingga Kekeyi. Rasanya, sudah sahih banget jadi anak muda kekinian kalau sudah memiliki juga apa yang influencer punya. Kalau di feed kita juga ada barang yang sama dengan para selebgram ini rasanya kekerenan meningkat 7 kali lipat deh.
Tetapi, ini juga berarti, ketika ada tren lain yang datang, maka bisa saja Oreo Supreme tinggal sejarah. Secepat itu diperbincangkan, secepat itu pula dilupakan. Sama seperti tren gelang karet rainbow loom, fidget spinner, Pokemon Go, sampai mannequin challenge. Ada yang masih ingat, pasti, tapi sudah tak seistimewa itu lagi.
Bukti Ekonomi Masih Bergerak
Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari viralnya Oreo Supreme–yang sering disebut dengan oreo sultan karena harganya yang di luar nalar manusia biasa ini?
Bahwa ekonomi kita masih bergerak. Bahwa, masih ada orang yang mampu memenuhi kebutuhan eksistensinya dengan membeli produk ini, dan memamerkannya di media sosial.
Tentunya dengan asumsi, bahwa mereka yang mampu membeli Oreo Supreme (semoga) sudah memiliki jaring penyelamat keuangan pribadi dengan sangat baik, mengingat pandemi virus corona ini telah membolak-balikkan ekonomi dunia sebegitu rupa. Dari sini, bisa pula disimpulkan, sudah cukup banyak orang memiliki literasi keuangan yang baik juga.
Hmmm, cukup melegakan, bukan?
Yes, dengan begini, kita jadi punya harapan besar, ekonomi dunia bisa restarting lagi anytime soon!
Tetap Peduli pada Sekitar
Dan, kamu, yang tak mau ketinggalan update tren terbaru dan sekarang juga pengin (atau malah sudah) coba icip-icip Oreo Supreme, jangan lantas melupakan lingkungan sekitarmu.
Masih mau jadi hypebeast dalam kondisi sulit seperti ini? Fine! Namun, coba tengok juga situasi di sekitarmu ya. Berbagilah dengan mereka yang membutuhkan, dan bantulah mereka yang mengalami kesulitan. Karena yang kita perlukan sekarang adalah rasa empati dan solidaritas di antara kita, agar bisa segera keluar dari krisis ini. Krisis ini tidak akan segera selesai jika tanpa campur tangan orang-orang seperti kamu; yang mampu dan masih memiliki daya untuk survive.
So, enggak cuma berburu barang-barang hype, tapi ulurkan juga tanganmu untuk mereka yang membutuhkan.
Jangan Lupa untuk Selalu Punya Dana Darurat!
Karena QM Financial peduli, maka kamu akan diingatkan kembali untuk selalu memiliki dana darurat; dana yang bisa kamu pergunakan di saat-saat darurat atau krisis. Karena hidup kita tidak akan selalu baik-baik saja ke depannya.
Bagus jika dalam krisis keuangan kali ini, penghasilanmu tidak terpengaruh. Bagus, jika sekarang kamu masih mampu membeli sebungkus Oreo Supreme seharga Rp500.000. Anggaplah ini sebagai berkah, dan sudah menjadi rezekimu. Tetapi, ada baiknya enggak lupa menyiapkan diri untuk berbagai situasi buruk. Toh, hidup manusia katanya kan bagai roda; berputar, kadang di atas, kadang pula berada di bawah.
So, sebagus apa pun kondisimu sekarang, tetaplah siap suatu waktu harus menghadapi kondisi sulit juga. Salah satunya dengan menyiapkan dana darurat.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.