Saat ini banyak perusahaan yang menerapkan aturan suami istri tidak boleh bekerja satu kantor. Meski begitu, ada pula perusahaan yang mengizinkan. Lho, kenapa aturannya bisa berbeda-beda, ya?
Apabila dilihat dari aturan yang mendasari, yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenegakerjaan, pasal 153 ayat (1) disebutkan bahwa:
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB).
Dengan demikian, tak heran bila kita menemui ada perusahaan yang membolehkan pasangan suami-istri bekerja sekantor, namun ada pula yang melarang. Atau bisa juga membolehkan, tapi dengan catatan pasangan tersebut tidak bekerja dalam divisi yang sama, atau divisi yang memiliki keterkaitan erat.
Saat ini memang banyak perusahaan yang mengeluarkan peraturan pelarangan suami-istri bekerja di perusahaan yang sama. Perusahaan yang menerapkan aturan tersebut tidak menyalahi aturan, karena UU No. 13 juga memberi hak kepada perusahaan untuk mengatur hal tersebut di dalam PK, PP, ataupun PKB.
Berikut ini adalah beberapa alasan perusahaan ketika menerapkan larangan suami-istri bekerja di perusahaan yang sama.
1. Potensi terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest), bahkan KKN
Misalnya istri bekerja di bagian purchasing dan suami sebagai project manager. Bisa jadi dalam suatu proses tender, suami bertanya pada istri mengenai penawaran yang masuk, padahal sesungguhnya ini adalah informasi yang bersifat confidential. Suami juga bisa mengarahkan istri untuk memenangkan vendor yang ia inginkan. Ada pula kemungkinan apabila pihak vendor memberikan bonus tertentu kepada suami atau istri, maka pasangan tersebut bisa bekerja sama yang mengarah kepada KKN.
2. Potensi imbas konflik pribadi terhadap pekerjaan
Ketika terjadi masalah dalam rumah tangga yang cukup berat, misalnya sampai pasangan suami-istri tersebut tidak saling berbicara satu sama lain. Nah, hal semacam ini sangat mungkin berimbas di kantor sehingga mengganggu suasana kerja.
3. Potensi subjektivitas
Subyektivitas dalam hal ini mencakup beragam hal, mulai dari penilaian kinerja (performance review), mekanisme reward (misalnya promosi jabatan, pemberian bonus) dan punishment (apabila terjadi kesalahan), dan sebagainya.
Misalnya salah satu dari pasangan tersebut memiliki jabatan yang tinggi di kantor. Nah, ketika pasangannya memperoleh promosi jabatan, apakah promosi tersebut murni karena prestasi kerja? Ataukah dipengaruhi posisi tinggi yang dimiliki pasangannya? Kalaupun penilaian promosi tersebut memang objektif, sangat mungkin akan ada omongan yang tidak mengenakkan di kantor dari rekan-rekan kerja.
Dari beragam alasan tersebut, jelaslah bahwa perusahaan yang memilih untuk melarang, tidak lain untuk mencegah terjadinya situasi yang potensial menganggu kenyamanan bekerja dan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.
Nah, kalau kamu sedang merencanakan menikah dengan rekan kerja di kantor yang sama, cari sebanyak mungkin informasi mengenai peraturan perusahaan.
Apabila diperbolehkan, cari informasi lebih banyak tentang peraturan yang berlaku. Diskusikan dengan atasan kalian dan divisi HRD. Apakah salah satu dari kalian harus pindah divisi, atau pindah tugas menangani proyek atau klien yang berbeda untuk meminimalkan potensi konflik kepentingan? Jangan lupa, selalu jaga profesionalisme kamu dan pasangan, ya!
Sementara, apabila memang perusahaan melarang, diskusikan bersama pasanganmu siapa yang harus pindah bekerja, dengan mempertimbangkan karir kalian saat ini, potensi pengembangan karir ke depan, penghasilan masing-masing, serta kemudahan untuk pindah ke perusahaan lain.
Jangan khawatir, di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan!
Semoga bermanfaat!
Nafila Assegaf / Human Resources
Sudahkah Anda dan pasangan berdiskusi tentang rencana keuangan keluarga? Dapatkan penawaran spesial selama bulan Februari 2016, diskon 20% untuk KONSULTASI (FinCheckUp, Asuransi, Bisnis) dan Paket PLAN. Hubungi [email protected] atau melalui laman Kontak
Artikel terkait:
Related Posts
2 Comments
Leave a Reply Cancel reply
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
Bagaimana jika awal nya perusahaan sudah mengizinkan ada nya hubungan suami istri ataupun kekerabatan dalam satu perusahaan namun dengan catatan beda cabang..
Dan mendadak muncul aturan baru yang berlawanan dengan aturan lama..
Dan hanya memberi tenggang waktu satu bulan untuk melakukan pengunduran diri..
Mohon pencerahan nya..
Saya rasa dengan di terapkan antara peraturan yg lama dengan yang baru pasti ada jamgka waktu peralihan apalagi dibidang ketenagakerjaan yang menyangkut SDM perusahaan, sehingga para pekerja dapat menyesuaikan sesuai dg kebijakan pimpinan yg berlaku