Pasangan Suami Istri Sandwich Generation Harus Tahu Fakta Ini!
Menjadi sandwich generation itu sudah berat, apalagi kalau status kita sudah berpasangan suami istri. Karena itu, tak heran generasi milenial disebut sebagai generasi yang berbeban berat dan rentan stres.
Dan, hal ini akan terasa lebih berat lagi ketika kita sudah berkeluarga.
Ya, wajar sih. Pasalnya, kebutuhan untuk keluarga pastilah akan lebih besar lagi ketimbang saat kira masih single. Ditambah lagi dengan adanya anak.
Tapi, apa sih sandwich generation itu? Siapa saja yang termasuk di dalamnya? Lalu, apa yang menyebabkan suami istri bisa menjadi sandwich generation?
Sebelum lanjut, simak dulu yuk, podcast berikut ini.
Nah, sudah jelas ya, apa itu sandwich generation?
Sandwich generation itu adalah kamu yang hidupnya kejepit, antara menanggung kebutuhan hidupmu sendiri (dan keluargamu), dan juga kebutuhan hidup keluarga besarmu—a.k.a orang tuamu.
Apa Penyebab Sandwich Generation?
Ya, sebenarnya apa sih yang bisa menyebabkan sandwich generation ini? Ada setidaknya beberapa faktor, misalnya seperti usia pernikahan yang mundur, sehingga ketika orang tua sudah masuk masa pensiun, anak-anak masih harus sekolah. Saat anak-anak sudah mandiri, orang tua ternyata sudah gagal pensiun sejahtera.
Tetapi sepertinya faktor terbesarnya adalah kurangnya persiapan untuk pensiun dari generasi sebelumnya.
Nyatanya, ada survei juga yang mengungkap bahwa 73% masyarakat memilih untuk bergantung saja pada orang lain—terutama anak-anak mereka—di masa pensiunnya. Hanya 9% saja loh, yang siap untuk pensiun mandiri.
Beban Berat Para Sandwich Generation
Ada satu fakta yang belum banyak disadari hingga saat ini. Mari kita lihat saja dari tradisi yang sudah ada secara turun temurun.
Dalam konteks sebagai sandwich generation, di zaman sekarang cukup lazim ditemukan kelurga dalam satu rumah terdiri atas 3 generasi, yaitu generasi suami istri, generasi anak, lalu generasi orang tua bapak dan/atau ibu.
Sementara sudah banyak perempuan berkeluarga yang memilih untuk tetap bekerja, tetapi tanggung jawab pengasuhan anak dan perawatan orang tua akan tetap lebih banyak ada di pundak para istri.
Sebenarnya, banyak juga suami yang bersedia kebagian peran di sini, tapi tetap saja porsinya lebih banyak pada istri. Sedangkan para suami akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan mencari nafkah bagi keluarga.
Jadi, bisa dibilang nih, istri sudah pasti bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak. Namun, dalam rumah yang berisi 3 generasi itu, tak hanya pengasuhan anak, perempuan (baca: istri) jugalah yang akan merawat orang tua.
Beban pada Istri (?)
Ada penelitian yang menyatakan, bahwa beban perempuan yang sudah menikah itu lebih besar ketimbang pria, meski sama-sama sandwich generation dan sama-sama bekerja. Kok bisa?
Hal ini diungkapkan oleh Cara Williams, yang bekerja di Labour and Household Surveys Analysis Division, dalam jurnalnya yang dirilis tahun 2004, yang menyatakan bahwa beban seorang istri lebih besar daripada suami di dalam keluarga, meski dua-duanya merupakan sandwich generation. Dan, masih banyak yang percaya, bahwa kondisi suami istri sandwich generation ini masih relevan sampai sekarang.
Cara Williams, masih dalam jurnalnya, membagi kegiatan merawat dan mengasuh keluarga ini dalam 4 kategori, yaitu:
- Perawatan dalam rumah, misalnya menyiapkan makanan, membersihkan rumah, dan lain sebagainya
- Aktivitas di luar rumah, seperti membersihkan pekarangan, memperbaiki rumah, dan sebagainya.
- Transportasi, seperti mengantar kontrol ke dokter, berbelanja, antar jemput, dan sebagainya.
- Kebutuhan pribadi, seperti memandikan, memakaikan baju, dan lain sebagainya.
Kalau dicermati, para suami akan banyak berperan pada kategori transportasi dan sebagian aktivitas di luar rumah. Sedangkan istri biasanya akan punya peran pada perawatan dalam rumah, sedikit aktivitas di luar rumah, dan kebutuhan pribadi. Ini baik berlaku untuk perawatan anak maupun orang tua. Ditambah lagi juga ada kewajiban untuk merawat suami, betul?
Dengan demikian, istri—baik yang tinggal di rumah maupun yang bekerja di luar rumah—tetap akan menghabiskan waktu mengurus anak dan orang tua dengan jumlah waktu yang dua kali lipat lebih besar daripada suami. Hal ini juga menjadi kesimpulan dari penelitian Cara Williams.
Nah loh, berarti apakah benar beban istri lebih besar dalam keluarga sandwich generation? Bisa jadi.
Meski demikian, tanpa membesarkan peran satu pihak dan mengecilkan peran pihak yang lain, sudah sewajarnya bagi pasangan suami istri untuk bekerja sama memutus mata rantai sandwich generation ini. Jangan korbankan masa depan anak kita, hanya karena kita yang tidak mandiri.
Solusi Menghentikan Sandwich Generation
Lalu, seperti apa solusinya bagi suami istri yang sama-sama sandwich generation ini?
Mempersiapkan masa pensiun dengan baik adalah satu solusi penting yang harus kita lakukan untuk memutus mata rantai sandwich generation ini. Selain itu, komunikasi juga menjadi hal yang penting, apalagi jika pasangan suami istri sama-sama merupakann sandwich generation. Pembagian peran yang jelas dan adil akan membawa beban tanggungan menjadi lebih ringan.
Selain itu, tentunya, meningkatkan keterampilan mengelola keuangan rumah tangga kedua suami istri.
Nah, soal yang terakhir ini, kamu perlu ajak pasangan kamu untuk belajar bareng. Sama-sama sibuk? Tenang, karena QM Financial punya kok cara belajar asyik buat kamu dan pasangan, tanpa terpatok waktu dan bisa dilakukan secara mandiri. Modulnya lengkap, dan mudah diikuti.
Yuk, bergabung dengan kelas QM Financial di Udemy, Journey for Married Couples.
Enaknya belajar di Udemy, kamu enggak terikat oleh waktu. Kamu bisa mempelajari semua materi kapan pun, karena aksesnya lifetime untuk sekali pembayaran saja.
Asyik kan?
Yuk, belajar bareng di Udemy. Tim QM Financial tunggu di sana ya!
Peduli Masa Depan, Hentikan Rantai Sandwich Generation di Kamu!
Apakah kamu peduli masa depan kamu? Yakin banget deh, kalau kamu memang termasuk mereka yang peduli dengan masa depanmu. Pasti kamu mau nantinya kamu punya kualitas hidup yang baik; bisa memenuhi kebutuhan—setidaknya untuk diri sendiri. Kamu pasti pengin bisa mandiri meskipun nanti sudah tak energik lagi.
Nah, inilah alasan mengapa perlu menghentikan rantai sandwich generation di kamu saja. Demi masa depanmu, karena kita juga peduli masa depan anak dan cucu nantinya.
Sebentar, apa sih sandwich generation itu?
Sandwich generation adalah kamu yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupmu sendiri (bersama keluarga kecilmu), sekaligus menanggung juga biaya hidup keluarga besar. Misalnya orang tua, atau adik-adikmu.
Memang, beban berat ada di pundak para sandwich generation. Karena itu, tak heran jika mereka menemui kesulitan keuangan dalam proses perjuangannya itu. Tapi, dengan niat dan semangat, sebenarnya masalah ini juga bisa diatasi kok. Apalagi jika kamu peduli dengan masa depan.
Sudah dengar salah satu episode podcast Financial Clinic QM Financial belum, yang berjudul “Cara Atur Uang buat Kamu Generasi Sandwich yang Kejepit”? Kalau belum, coba dengarkan dulu yuk.
Nah, kalau sudah dengarkan podcast-nya, selanjutnya, apa yang harus dilakukan?
Hal-hal yang Harus Kamu Lakukan sebagai Sandwich Generation sebagai Tanda Peduli Masa Depan
1. Buat rencana keuangan
Sesudah kamu tahu bagaimana mengatur keuangan bagi sandwich generation dengan benar—agar bisa memastikan semua kebutuhan terpenuhi—maka sekarang waktunya kamu membuat rencana keuangan.
Nah, dalam membuat rencana keuangan, kamu perlu melakukan dulu 3 hal ini:
- Tentukan tujuan keuanganmu. Tanpa tujuan, maka kamu akan berjalan tanpa arah. Akibatnya, bisa jadi akan banyak sabotase sendiri dalam proses pengelolaan keuanganmu, karena kamu nggak fokus. So, awali selalu dengan #TujuanLoApa sebelum membuat rencana. Bisa jadi mengumpulkan dana darurat, dana DP rumah pertama, dana menikah, sampai dana pensiun.
- Tentukan jangka waktunya. Bagi ke dalam 3 kategori: jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Dengan demikian, kamu akan lebih mudah menentukan prioritas dan alokasi dananya.
- Mengenali instrumennya. Untuk mencapai tujuan, kamu akan banyak membutuhkan “alat” dan sarana. Kita mengenalnya dengan istilah instrumen. Mau pakai apa untuk mengumpulkan dana darurat, misalnya? Mau disimpan di mana? Pertanyaan yang sama juga bisa kamu pakai untuk dana DP rumah pertama, dana menikah, dan semua tujuan keuangan yang sudah kamu tentukan.
2. Bangun aset aktif
Karena kamu peduli masa depan kamu sendiri, maka kamu harus memastikan bahwa nantinya kamu bisa mandiri. Tak tergantung dan menjadi beban anak cucu. Peduli masa depan juga berarti tidak membuat anak-anak kita menjadi sandwich generation berikutnya.
Ini artinya, kamu harus memastikan bahwa kamu punya dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhanmu selama menjalani masa pensiun. Kamu bisa mewujudkannya dengan memiliki aset aktif.
3 Hal yang bisa kamu manfaatkan menjadi aset aktif:
- Surat berharga: termasuk di dalamnya saham, obligasi, dan sejenisnya.
- Properti: menyewakan properti seperti rumah kontrakan, kamar kos, ruko ataupun rukan, gudang, dan sejenisnya.
- Bangun bisnis yang bisa berkelanjutan
3. Review rencana secara periodik
Setelah rencana sudah ada, selanjutnya sudah pasti kamu harus eksekusi. Disiplin dan berkomitmen adalah koentji peduli masa depan. Tanpa keduanya, akan sulit bagi siapa saja untuk bisa konsisten hingga bisa mewujudkan tujuan keuangan.
Tak hanya mengeksekusinya, kamu juga harus melakukan review terhadap rencana secara berkala. Mengapa perlu melakukan review?
- Jika ada masalah, kamu bisa mengetahuinya dengan lebih cepat, sehingga akan semakin cepat pula kamu dapat menemukan solusinya.
- Review rencana juga akan dapat membantu kamu mengantisipasi kesalahan yang mungkin terjadi.
- Review juga diperlukan agar kamu bisa adaptif terhadap perubahan yang terjadi.
Nah, jika 3 hal di atas sudah kamu lakukan, maka itu tandanya kamu sudah siap berjalan menuju masa depan yang lebih baik, meskipun sekarang kamu adalah sandwich generation. Ingat, salah satu tanda peduli masa depan yang sangat penting adalah ketika kamu berusaha menghentikannya di kamu. Tidak mewariskannya pada anak dan keturunanmu nantinya.
Butuh dukungan dan pengin belajar lebih banyak mengenai cara menyusun rencana keuangan, membangun aset aktif, dan melakukan review untuk masa depan yang lebih baik? Ikut FCOS Kelas Advanced! Cek jadwalnya, dan pastikan kamu juga sudah mengikuti kelas prasyaratnya ya. Segera daftar, agar tak kehabisan tempat.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Training Finansial: 1 dari 2 Karyawan Selalu Merasa Gaji Tak Cukup, Apa Sebabnya?
Survei yang dilakukan oleh QM Financial terhadap klien korporasi mengungkap data, bahwa sebanyak 51% karyawan merasa gaji tak cukup.
Padahal, ya namanya juga karyawan. Gaji adalah tujuan utama dalam bekerja, dan jadi motivasi untuk dapat memberikan kinerja yang baik. Tapi fakta di lapangan, penyebab gaji tak cukup ini tak melulu karena perusahaan memberikan gaji di bawah rata-rata. Faktanya (lagi), UMR pun sebenarnya ditetapkan berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup seseorang dengan status masih lajang sesuai dengan kondisi setempat.
Tapi, apa ya, yang menyebabkan 1 dari 2 karyawan selalu merasa gaji tak cukup? Bisa jadi karena beberapa hal berikut ini.
Alasan Karyawan Merasa Gaji Tak Cukup
1. Jeratan utang
Salah satu masalah yang paling banyak dialami oleh karyawan adalah soal utang. Ya, utang memang tidak dilarang, tetapi jika dilakukan tanpa perhitungan yang mendalam dan bijak, utang bisa jadi bumerang. Alih-alih menjadi solusi, utang justru membuat kita jadi semakin jatuh dalam masalah. Makin lama makin rumit, bak benang kusut.
Banyak alasan kenapa karyawan melakukan utang. Mulai dari dipakai untuk membeli rumah, membeli kendaraan, gawai, sampai gesek kartu kredit buat nongkrong atau beli baju branded.
Sekali lagi, utang tentu tak dilarang. Mau dipakai untuk apa pun dananya, itu kembali ke masing-masing individu. Namun, sudah pasti, sebelum utang, harus pasti dulu kita akan bisa membayarnya sesuai waktu yang sudah ditentukan.
Tak memiliki perencanaan dalam mengembalikan utang, akan membuat kesehatan keuangan terganggu. Di sinilah nanti, karyawan akan selalu merasa gaji tak cukup.
2. Tingginya gaya hidup
UMR ditentukan berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup seseorang yang berstatus lajang setempat. Penentuan besaran gaji UMR juga tak pendek, butuh proses yang panjang dari pemerintah. Dengan demikian, logikanya, jika seseorang sudah menerima gaji lebih atau sama dengan besaran gaji UMR, maka asumsinya akan cukup dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tapi kok bisa, karyawan merasa gaji tak cukup padahal besaran penghasilannya dari gaji berkali lipat dari gaji UMR?
Salah satu penyebabnya adalah gaya hidup. Kebutuhan hidup itu tidaklah mahal, dan gaji sudah disesuaikan. Tapi, dalam gaji, tidak ada perhitungan yang memasukkan elemen ‘gaya hidup’. Jadi, beban gaya hidup akan harus diambil dari alokasi kebutuhan hidup.
Nah, masalahnya, masih cukup banyak yang belum bisa membedakan, mana kebutuhan hidup dan mana gaya hidup.
Kebutuhan hidup itu nggak mahal. Yang mahal adalah gaya hidup.
3. Sandwich generation
Banyak karyawan—terutama generasi milenial—yang tak hanya harus menanggung hidup keluarga kecilnya sendiri, yang terdiri atas pasangan dan anak-anaknya. Namun juga, harus menanggung biaya hidup orang tuanya yang sudah pensiun, adiknya yang masih sekolah, juga ponakan-ponakannya, sepupu-sepupunya, dan masih banyak lagi.
Tentu saja, hal ini akan menambah beban si karyawan sehingga wajar jika selalu merasa gaji tak cukup. Perhitungan gaji UMR tidak memasukkan biaya hidup orang tua, ponakan, sepupu, om, dan tante ke dalam formulanya, bukan?
Dalam sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS tahun 2020, menyebutkan fakta bahwa kelompok usia produktif (usia 24 – 55 tahun, yang terdiri atas generasi X dan milenial) ternyata harus menopang 4 generasi lain yang sudah tidak produktif dan belum produktif. Generasi tidak produktif terdiri atas generasi pre-baby boomer (75 tahun ke atas) dan generasi baby boomer (56 – 74 tahun). Sedangkan, generasi belum produktif adalah mereka yang masih bersekolah, yaitu generasi Z (8 – 23 tahun) dan generasi post Z (di bawah 8 tahun).
Dilihat dari rasionya, yaitu 1 : 4, tentu ini menjadi beban tersendiri. Apalagi jika dikaitkan dengan perhitungan gaji UMR yang hanya untuk diri sendiri yang masih lajang.
Training Finansial untuk Membantu Karyawan
Alhasil, karena alasan-alasan di atas, banyak karyawan yang—jangankan berinvestasi—menabung saja sulit. Jangankan membangun dana pensiun, kalau tanggal tua berasa banget misqueen-nya. Jangankan memenuhi kebutuhan masa depan, kebutuhan sekarang saja pakai utang.
Sudah pasti, segala macam masalah keuangan ini akan memengaruhi kinerja dan produktivitas karyawan. Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk membantu karyawan dalam hal ini?
Training finansial yang menyeluruh, bertahap sesuai jenjang, dan berkelanjutan akan dapat membantu karyawan mengatasi masalah keuangan pribadinya.
Kesemua hal tersebut bisa dipelajari bersama QM Financial dalam sebuah training finansial karyawan yang dikemas interaktif dengan silabus yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Hubungi kami melalui WhatsApp ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru.
3 Solusi Ajak Orang Terdekat Kita Kuat Finansial Bersama-sama
Apakah kamu sudah menjaga keuangan orang sekitarmu?
Kok agak beda ya obrolan kita bulan ini.
Jadi ternyata bukan cuma keuangan pribadi kita saja yang penting untuk kita jaga, tapi juga keuangan orang sekitar kita.
Ada banyak masalah keuangan yang terjadi, saat keuangan orang lain yang hancur. Misalnya saat asisten rumah tangga kesulitan membayarkan uang sekolah anaknya, adik kandung masuk rumah sakit, hingga saat orang tua kita tidak bisa membayarkan biaya hidupnya sendiri.
Siapa yang akan menanggung semua masalah keuangan orang lain ini?
Jawabannya kemungkinan besar adalah… kita!
Ya. Kita yang keuangannya teratur, sudah rajin investasi, punya asuransi, gak ada masalah. Akhirnya kita juga yang akan turun tangan saat orang terdekeat tidak dalam kondisi keuangan yang baik.
Gak ada salahnya lho membantu orang-orang terdekat ini. Orang tua kita, saudara kandung kita, bahkan asisten rumah tangga tersayang yang sudah mendukung kelangsungan hidup kita selama ini. Menjadi kuat, untuk orang lain, adalah suatu anugerah yang sangat membahagiakan. Tapi tentu artinya, kita perlu mempersiapkan orang-orang terdekat ini juga ya.
Ada 3 solusi untuk membantu orang sekitar kita – kuat finansial bersama-sama.
1. Good Money Habit
Fondasi terbaik saat belajar mengatur keuangan adalah memiliki kebiasaan keuangan yang baik. Mulai ajak orang sekitar dengan kebiasaan baik. Hal-hal kecil yang akan berdampak besar. Misalnya tidak terbiasa ngutang, menabung sedikit demi sedikit, dan merencanakan hidup.
Orang terdekat seperti asisten rumah tangga, bisa mulai kita perkenalkan tentang merencanakan beli tanah di kampung, sehingga dia bisa menikmati hasil kerja kerasnya.
2. Beli Asuransinya, Yuk!
Saat ada keluarga besar yang sakit, siapa orang pertama yang akan turun membantu? Ya kita juga kan. Maka saat kita perhatian untuk membeli asuransi kesehatan bagi keluarga inti, kenapa tidak “perpanjang” perhatian ini pada keluarga besar. Mulai dari mendaftarkan semua anggota keluarga besar ke BPJS Kesehatan, hingga menyiapkan asuransi kesehatan jika membutuhkan perlindungan lebih. Saat terjadi sakit atau kecelakaan, kita pasti bisa fokus pada upaya pemulihan. Jangan biarkan urusan keuangan menambah pusing keluarga kita.
3. Persiapan Pensiun
Nah untuk yang ini memang gak gampang. Bahas pensiun untuk diri sendiri aja bingung, mesti bahas pensiun untuk orang lain? Masalahnya saat orang tua sudah sepuh, tidak bisa pensiun, kita juga yang akan turun tangan mengurusi segala kebutuhan mereka. Muncullah istilah “sandwich generation”. Kalau mampu ya gak masalah – tapi kalau untuk diri sendiri saja kekurangan, membantu orang tua sendiri jadi berat, kan sedih. Topik “sandwich generation” ini jadi bahasan seru di acara Financial Dialogue Volume 07 di bulan Maret 2021.
Dulu saya pikir, atur keuangan sendiri saja. Ternyata atur keuangan ini tidak bisa berdiri sendiri. Namanya orang Indonesia, terbiasa hidup semi komunal. Kita hidup bersama orang tua kita, bersama keluarga besar kita, juga bersama asisten rumah tangga kita. Kita perlu mengajak orang sekitar kita untuk ikut juga mengatur keuangan. Dengan begitu kita tidak kuat sendirian. Kita kuat bersama-sama.
Bagaimana dengan kamu?
Adakah orang-orang terdekat yang ingin kamu ajak belajar atur keuangan dengan lebih baik?
Mari diskusi soal cara atur uang ini bersama QM Financial.
Ajak keluarga dan kerabat terdekat ikut mengatur keuangan dengan baik.
Mari kita wujudkan sehat di 2021.
Sehat fisik, sehat mental, dan sehat finansial.
Ligwina Hananto
Akhir Tahun 2020, Saatnya Lakukan Review Keuangan Keluarga
Akhir tahun sudah datang. Iya, nggak terasa sudah bulan Desember nih. Gimana kabarnya sampai dengan hari ini? Apakah tahun 2020 cukup berat untukmu? Ataukah, malah merupakan tahun yang justru memberimu banyak rezeki?
Iya, memang tahun 2020 ini luar biasa. Pandemi COVID-19 yang menyerang membuat kita seakan lumpuh hampir setahun penuh. Mungkin kamu termasuk mereka yang terkena imbas hingga membuatmu mengalami kesulitan keuangan. Tapi ada juga yang merasa pandemi ini justru membuka peluang-peluang baru yang sebelumnya cuma jadi keinginan belaka, tanpa sempat mewujudkanya.
Namun, apa pun kondisinya, setuju kan, bahwa kita patut tetap bersyukur? Baik atau buruk, kita bisa mengambil pelajaran yang berharga dari tahun 2020 ini.
Nah, jelang akhir tahun, berarti ini waktunya melakukan review keuangan–terutama keuangan keluarga.
Memangnya penting ya?
Penting dong. Hasil review keuangan akhir tahun–baik itu keuangan pribadi maupun keluarga–bisa kita gunakan nantinya untuk memperbaiki kondisi keuangan kita di tahun 2021, sekaligus untuk melihat seberapa dekat kita dengan tujuan keuangan yang sudah kita tentukan sebelumnya.
Apalagi soal keuangan keluarga, yang hajat hidupnya banyak. Rencana keuangan banyak, karena kebutuhan dan tujuan keuangannya juga nggak sedikit. Belum lagi melibatkan banyak nyawa; pasangan, dan anak-anak. Oh iya, tak ketinggalan kalau kita adalah sandwich generation. Ada keluarga besar juga yang harus diurus.
Jadi, apa saja nih yang perlu dilakukan review?
3 Hal Keuangan Keluarga yang Harus Direview di Akhir Tahun
1. Pemasukan dan pengeluaran
Ini adalah hal pertama yang harus dilakukan ketika review akhir tahun.
Things changed. Banyak yang berubah di tahun 2020. Kondisi berubah, kebiasaan berubah, dan akhirnya memengaruhi pemasukan dan pengeluaran kita.
Bagaimana kondisi pemasukan uang di tahun 2020? Apakah berkurang, karena adanya pandemi? Atau bahkan hilang sama sekali, dan kamu harus mencari peluang lain? Atau justru malah bertambah?
Lalu, bagaimana dengan kondisi pengeluarannya? Apakah ada yang berubah atau disesuaikan? Pos yang sebelumnya ada jadi enggak ada, yang sebelumnya nggak ada jadi ada? Pengeluaran bertambah? Atau justru berkurang? Bagaimana pergerakannya dari bulan ke bulan? Apakah ada hal-hal yang bikin boncos atau bocor alus?
Cek apakah cash flow tetap positif sampai akhir tahun ini. Apakah kamu tetap bisa menabung? Atau justru kamu sudah memakai tabunganmu untuk menyambung hidup?
Jika ternyata negatif, diskusikan dengan pasangan untuk mencari jalan keluar agar di tahun 2021 nanti, cash flow bisa lebih baik. Memang ini adalah masa yang berat. Karena keluarga adalah tanggungan berdua, maka sebaiknya solusi juga dicari bersama.
2. Tujuan keuangan dan investasi
So far, sudah punya tujuan keuangan apa saja sih? Dana pendidikan anak? Dana renovasi rumah? Dana pensiun? Bagaimana posisinya sampai hari ini? Adakah yang harus disesuaikan dengan rencananya? Semoga sih enggak terlalu banyak yang berubah ya?
Cek juga performa instrumen investasi yang sudah dipilih untuk melayani kebutuhan tujuan keuangan keluargamu. Mungkin memang belum pulih seutuhnya lantaran terkena imbas badai pandemi. Tapi, setidaknya, apakah grafiknya sudah naik lagi?
Di akhir tahun ini, pergerakan instrumen-instrumen investasi sudah cukup menggembirakan. Setidaknya, dibandingkan dengan yang terjadi di awal – pertengahan tahun ya. Untuk tujuan keuangan keluarga yang masih cukup panjang, kamu tak perlu merasa terlalu khawatir. Lakukan saja pemantauan secara rutin dan review investasimu secara berkala. Namun, bagi kamu yang sudah mendekati target tujuan keuangan, ada baiknya pertimbangkan untuk memindahkan dana investasi di instrumen tinggi risiko ke instrumen yang lebih rendah risiko.
Lagi-lagi, diskusikan dengan pasangan, bagaimana baiknya.
3. Aset dan kewajiban
Kewajiban di sini berarti utang. Ini juga menjadi salah satu hal yang wajib direview nih di akhir tahun.
Bagaimana posisi utang sekarang? Sudah berapa persen utang pokok terbayar? Apakah sampai saat ini rasio cicilan masih di bawah 30% dari penghasilan–mengingat mungkin penghasilan berkurang tahun ini? Apakah keluargamu masih terlalu banyak melakukan utang konsumtif?
Apakah kamu punya cukup aset–yang nilainya lebih besar daripada utang? Apakah tahun ini, kamu bisa menambah aset? Apakah aset yang kamu miliki mampu menghasilkan pemasukan?
Lakukan review menyeluruh. Kebiasaan keuangan yang sudah baik dan sehat harus dipertahankan, dan cari solusi untuk mengatasi hal-hal yang masih belum sehat.
Nah, sampai di sini, seharusnya sih kamu sudah punya cukup bahan nih untuk membuat rencana baru agar keuangan di tahun 2021 lebih baik.
So, siap untuk melakukan review akhir tahun terhadap keuangan keluarga sekarang?
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
3 Alasan Terbesar Mengapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) Harus Dapat Mengelola Uang Sejak Dini
Menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil itu diartikan oleh sebagian orang bahwa kita akan mendapatkan berbagai macam privilege dan fasilitas, yang tak semua orang berkesempatan untuk mendapatkannya. Fasilitas ini tentulah memberikan keuntungan tersendiri bagi PNS yang bersangkutan. Namun, ternyata di balik itu, ada kewaspadaan pula yang seharusnya muncul dalam soal mengelola uang dengan bijak.
Ini pastinya akan menjadi tantangan tersendiri bagi setiap pegawai negeri sipil, di samping adanya keuntungan yang didapatkan. Yah, namanya juga hidup kan, tantangan dan peluang itu kan selalu datang dalam satu paket, sejatinya.
Jika seorang pegawai negeri sipil abai akan tantangan keuangan yang timbul bersamaan dengan keuntungan dari pemanfaatan fasilitas dan privilege yang disediakan, tentunya hal ini akan berpotensi munculnya masalah keuangan di kemudian hari. Contohnya, banyak pensiunan PNS yang akhirnya harus menggantungkan hidupnya di masa pensiun dari keturunannya. Mata rantai sandwich generation pun menjadi tak dapat diputuskan.
Karenanya, adalah penting bagi setiap pegawai negeri sipil untuk bisa mengelola uang sejak dini, sejak ia dinyatakan diterima dalam tes CPNS. Selain karena alasan di atas, juga karena alasan-alasan berikut ini.
Perlunya bagi Pegawai Negeri Sipil untuk Dapat Mengelola Uang Sejak Dini
1. Bahaya Psikologis atas Keamanan dan Kenyamanan yang Diberikan
Rasa aman itu memang membuat kita nyaman. Betul enggak? Tapi kadang yang terjadi justru menjadi terlalu nyaman, sehingga kita abai akan “bahaya” yang semakin mendekat.
Jaminan pensiun, misalnya, sudah menjadi salah satu fasilitas yang ditawarkan pemerintah kepada mereka yang mengabdikan diri untuk negara. Karena sudah merasa dijamin, akhirnya banyak dari PNS yang merasa tidak perlu untuk melakukan apa pun untuk mempersiapkan masa pensiun.
Setelah masa pensiun tiba, dan menerima uang pensiun sesuai yang ditetapkan, baru deh terasa bahwa uang pensiun ternyata tak bisa mencukupi kebutuhan yang sudah terlanjur mengikuti gaya hidup sebelumnya. Tak jarang, para pensiunan ini jadi terpaksa kembali bekerja apa saja, demi mendapatkan tambahan uang.
Rasa aman ini memang bisa membahayakan, jika kita tak pandai-pandai mengelola keuangan sejak dini.
2. Tidak semua fasilitas bersifat permanen
PNS golongan tertentu memang mendapatkan fasilitas yang menjadi benefit sebagai abdi negara. Misalnya saja berupa rumah ataupun mobil dinas. Fasilitas ini boleh dipakai dan dipergunakan selama yang bersangkutan masih berstatus sebagai pegawai negeri sipil, alias ASN.
Sayangnya, banyak yang lantas lupa, bahwa begitu sudah tidak berstatus PNS, maka fasilitas ini harus dikembalikan ke kantor tempatnya bekerja. Alhasil, rumah dinas pun harus diserahkan kembali begitu memasuki usia pensiun.
Jika kita tidak bersiap, lalu mau tinggal di mana?
Hal ini bisa menjadi mimpi buruk setiap pensiunan pegawai negeri sipil yang mengalaminya. Sebagian besar mungkin bisa menjawab, bahwa mereka bisa menumpang tinggal di rumah anak. Namun, apakah enggak pengin bisa hidup mandiri di rumah sendiri? Pastinya hal ini akan lebih nyaman kan?
3. Uang pensiun hanya diperhitungkan dari gaji pokok
Kadang kita lupa, bahwa gaji yang diterima sekarang adalah take home pay. Artinya, gaji yang diterima meliputi gaji pokok, tunjangan-tunjangan, dan insentif-insentif yang menjadi kompensasi benefit dari kantor tempat kita bekerja.
Sedangkan, perhitungan alokasi dana pensiun yang diberikan dari BPJS Ketenagakerjaan dilakukan dari persentase gaji pokok. So, bisa dibayangkan, para pensiunan pegawai negeri sipil yang sebelumnya bisa hidup dari gaji pokok + tunjangan, sekarang harus bisa bertahan hidup dengan sekian persen dari gaji pokok.
Cukup berat kan ya?
Beberapa riset membuktikan, bahwa seseorang dikatakan menjalani masa pensiun sejahtera, ketika ia bisa mendapatkan at least 70% dari gaji terakhirnya sebelum pensiun setiap bulannya. Namun, dengan perhitungan Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua BPJS Ketenagakerjaan, maka seorang pensiunan “hanya” akan mendapatkan 10 – 30% dari gaji terakhirnya sebelum pensiun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Nah, dengan beberapa alasan di atas, rasanya kita sudah yakin sekarang bahwa adalah penting bagi PNS untuk dapat mengelola keuangan dengan baik sejak dini.
Apakah kantor atau komunitasmu mengalami masalah keuangan yang sama? Ataukah, punya kebutuhan training finansial yang lain? Sila kontak WA 0811 1500 688 untuk mendiskusikan kebutuhan training finansialmu. Semua modul dibuat SIMPEL, PRAKTIS, dan tentu saja FUN!
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
Pertengkaran Rumah Tangga Bisa Dipicu oleh 5 Masalah Keuangan Ini – Beresin Yuk!
Namanya rumah tangga, biasalah jika terjadi riak-riak kecil di sana-sini. Namun, dari semua akar permasalahan, akan terasa lebih berat dan kompleks ketika ada hubungannya dengan masalah keuangan. Sepertinya ini memang menjadi penyebab klasik pertengkaran rumah tangga.
Memang kan, begitu kita mulai membangun rumah tangga dan keluarga–saat sudah punya anak–kebutuhan hidup juga akan meningkat. Sebenarnya ini wajar, dan terjadi pada semua orang. Hanya saja, pada beberapa pasangan, kurang lancarnya komunikasi juga ikut “membumbui” sehingga akhirnya pertengkaran rumah tangga pun terjadi.
Apa saja masalah keuangan yang bisa memicu pertengkaran rumah tangga ini? Kita lihat satu per satu yuk!
5 Masalah Keuangan yang Dapat Memicu Pertengkaran Rumah Tangga
1. Sandwich generation
Ini adalah masalah yang biasa dialami oleh generasi milenial di zaman sekarang; menjadi sandwich generation.
Seharusnya sih enggak masalah untuk membantu keluarga. Bagus, malah. Namun, kadang karena begitu menjiwai perannya sebagai sandwich generation, ada lo yang lantas “melupakan” keluarganya sendiri. Ini dia yang lantas menjadi bibit pertengkaran rumah tangga, apalagi jika pasangan sudah mulai merasa dinomorduakan.
Kalau mau membantu keluarga besar, pastikan keuangan kita sehat terlebih dahulu. Alokasikan dana sesuai kesanggupan–bicarakan hal ini dengan pasangan ya–di pos pengeluaran sosial. Misalnya, 5 – 10% dari penghasilanmu. Lalu, berani menolak ketika bantuanmu sudah melebihi jatah yang disepakati.
2. Penghasilan istri lebih besar ketimbang penghasilan suami
Yang sering terjadi di Indonesia adalah suami seharusnya berperan sebagai tulang punggung keluarga, yang menafkahi keluarga untuk segala kebutuhan hidupnya.
Namun, di zaman sekarang, peran ini sudah banyak bergeser. Kadang, para istri juga turut bekerja di luar rumah–bahkan punya karier yang lebih bagus sehingga penghasilan pun menjadi lebih tinggi ketimbang suami.
Seharusnya hal ini juga enggak jadi masalah, ketika keduanya sepakat untuk pembagian peran yang adil pada masing-masing pihak. Toh, rezeki itu selalu berputar. Mungkin akan tiba saatnya, si suami menanjak pula kariernya sehingga bisa mendapat gaji yang sepadan.
Diskusikan hal ini dengan pasangan secara terbuka. Jangan biarkan ada gaji di antara kita. Jangan jadikan hal ini sebagai penyebab pertengkaran rumah tangga. Ingat, yang penting kebutuhan bisa terpenuhi. Masalah pintu rezeki dari mana pun, harus disyukuri. Sepakat kan?
3. Peran yang kurang seimbang
Pembagian peran keuangan antara pasangan suami istri memang penting untuk dilakukan. Bahkan hal ini harus dilakukan sejak awal menikah dan masih berstatus sebagai pengantin baru.
Pembagian peran ini haruslah seimbang dan atas dasar kesepakatan bersama. Jangan sampai salah satu pihak merasa bebannya lebih besar ketimbang yang lain, karena bisa memicu pertengkaran rumah tangga. Ini bukanlah hal yang sepele lo!
Kalau ada yang merasa kurang adil, segeralah duduk dan berdiskusi, sebelum pertengkaran rumah tangga terjadi. Sepakati, siapa bertugas di bagian apa, siapa in-charge di mana. Misalnya saja, suami berperan di topup investasi setiap bulannya dan membayar asuransi. Istri memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ingat, tujuan keluarga kan sama, jadi harus ditanggung dan diperjuangkan bersama juga.
4. Masing-masing memiliki rahasia keuangan
Beberapa waktu yang lalu, sempat viral di media sosial, pengakuan-pengakuan para suami yang punya hobi tertentu dan belanja keperluan hobinya di online shop, yang meminta pada admin olshop untuk “memalsukan” nota pembelian.
Lucu sih. Kebanyakan beralasan supaya enggak dibawelin istri. Tapi, waspada, karena hal seperti ini bisa menjadi masalah besar lo. Pertengkaran rumah tangga bisa terjadi, kalau istri merasa dibohongi.
Begitu juga dengan istri. Sering ada kasus, istri berutang untuk panci, tas branded, atau apa pun deh, tanpa sepengetahuan suami. Ketika nunggak cicilan, istri kabur, eh … suaminya yang ditelpon dan ditagih. Wah, bisa kebayang deh akhirnya gimana. Ya kan?
Yuk, kurangi kebiasaan ini. Bukankah semua bisa didiskusikan bareng pasangan? Apalagi masalah keuangan seperti ini.
5. Gaya hidup yang enggak sinkron satu sama lain
Namanya suami istri, biarpun sudah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetap saja terdiri atas 2 kepala dan 2 hati. Kadang ya kurang sinkron satu sama lain. Sebenarnya juga wajar, tinggal bagaimana kompromi satu sama lain demi tujuan keuangan keluarga bersama.
Jika salah satu merasa kurang sreg dengan keputusan yang diambil oleh pasangannya, ya enggak ada jalan lain selain mendiskusikannya dengan duduk bareng. Kalau enggak, ya bisa jadi pertengkaran rumah tangga terjadi. Kalau sudah begini, masing-masing pasti saling menyalahkan, bukan?
Jadi, terbukalah dengan pasangan kamu, tentang apa pun itu. Terutama jika menyangkut masalah keuangan.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.