Gaji Besar Versus Kepuasan Kerja: Pilih Mana?
Dalam suatu obrolan, seorang teman ikrib (saking akrabnya) pernah bilang begini, “Buat kerja, seenggaknya harus salah satu lu dapet: kalau lu gak suka sama kerjaannya, lu harus punya gaji besar. Tapi, kalau duitnya dikit, setidaknya lu mesti hepi ngerjainnya. Ya, syukur-syukur dapet dua-duanya. Kalau enggak ada, ya ngapain?”
Setuju enggak kira-kira dengan kata-kata di atas? Pendapat pribadi nih ya–kalau memang bisa memilih pekerjaan–saya sih setuju dengan pernyataan tersebut.
Maksudnya, nasib ya siapa yang bisa menentukan. Betul? Kadang kita memang bisa dapat semua yang kita mau, kadang juga enggak. Kalau memang nasib lagi baik, dan kita bisa memilih pekerjaan, maunya sih ya dapat gaji besar dan hepi ngerjainnya. Tapi kalau enggak bisa dapat yang ideal macam itu, ya setidaknya harus salah satu yang dipilih. Kalau enggak ada yang bisa dipilih (plus kepepet), ya akhirnya apa aja deh dikerjain, asal halal.
Ternyata kontroversi soal gaji besar versus kepuasan kerja ini masih saja diperdebatkan di antara para pelaku dunia kerja. Ya, wajar sih, karena masing-masing punya kebutuhan dan prioritas yang berbeda. So–lagi-lagi opini pribadi nih–enggak ada yang salah dan enggak ada yang benar 100% tentang gaji besar versus kepuasan kerja. Tergantung kondisi masing-masing.
Pilih Mana?
Gaji Besar
Siapa sih yang enggak butuh duit? Enggak ada, iya nggak sih? Realistis saja, sepertinya enggak ada orang yang nggak butuh duit. Makanya, banyak karyawan yang seneng-seneng saja kalau dapat gaji besar. Enggak heran juga, ada fresh graduate yang menolak gaji Rp8 juta.
Tapi, kadang banyak yang lupa. Bahwa nominal gaji itu ekuivalen dengan besarnya beban, tanggung jawab, dan tuntutan.
The New York Times pernah mengulas dan memberikan data survei yang dilakukannya pada 500.000 pekerja di Amerika Serikat, yang membawa kesimpulan akhir bahwa gaji besar ternyata tak menjamin seseorang bahagia dan puas dengan pekerjaannya. Beberapa orang mengungkapkan, gaji mereka yang besar menuntut aneka bentuk pengorbanan–hilangnya waktu kebersamaan dengan keluarga, dengan teman-teman, enggak bisa menekuni hobi, kurangnya waktu beristirahat, dan sebagainya.
Belum lagi, jika kondisi dan situasi di tempat kerja juga kurang nyaman; terlalu banyak politik kantor, drama ina-inu, gosip, kurangnya kerja sama antar rekan, dan sebagainya.
Hal-hal tersebut seakan membuat nominal besar di slip gaji yang diterima setiap bulan menjadi “bukan apa-apa” lagi.
Namun, di sisi lain, gaji besar bisa menjadi motivasi bagi seorang karyawan untuk berusaha lebih baik dan berkontribusi lebih banyak. Gaji dan berbagai kompensasi bisa menjadi “bensin” yang selalu membakar semangat untuk terus bekerja dengan baik.
Ada yang enggak setuju dengan hal ini? Kayaknya sih semua setuju ya?
Kepuasan Kerja
Di sisi lain, kepuasan kerja memang bisa dicapai saat kita mendapatkan gaji yang selayaknya dengan hasil dan kinerja yang sudah kita berikan. Logikanya, kalau hasil kerja bisa memuaskan pastinya kita juga boleh mengharap gaji besar. Sehingga besaran gaji dan juga kepuasan ini akan saling memengaruhi. Dengan logika yang sama pula, kita seharusnya jadi bisa menyimpulkan, saat kepuasan kerja tercapai maka kita pun pasti happy menjalani kerja tersebut.
Tetapi, ternyata, fakta yang dibawa oleh survei yang dilakukan The New York Times mengatakan, bahwa gaji besar enggak selamanya bisa menjamin orang bahagia saat bekerja. Alih-alih, banyak yang mengungkapkan justru hal-hal di luar gajilah yang menentukan apakah mereka akan bertahan di suatu pekerjaan atau lebih memilih pindah kantor atau bahkan pindah bidang kerja.
Banyak responden yang mengungkapkan, bahwa mereka punya gaji besar namun gerah akan kompetisi antarkaryawan di kantor yang sangat ketat. Bukannya saling membantu, masing-masing malah saling menjatuhkan. Lama-kelamaan mereka tak merasa puas lagi pada pekerjaannya. Bukan lantaran tak dibayar cukup, tetapi karena pekerjaan yang dimiliki tidak mencakup kebutuhan jiwa dasar, yaitu kenyamanan dan keamanan, kebutuhan untuk berkembang, menjalin hubungan baik dengan sesama, serta ikut berkontribusi dalam bidang yang digeluti.
Hmmm, kalau dari sini tampak bahwa kebutuhan untuk eksis dan dihargai ternyata jauh lebih tinggi ketimbang kebutuhan untuk mendapatkan gaji besar.
Gaji Besar Versus Kepuasan Kerja: Mana yang Dipilih?
Sekali lagi, hal ini tergantung pada prioritas masing-masing karyawan. Ada yang memang berharap punya gaji besar. Karena itu, ia siap dengan segala konsekuensinya, seperti siap bersaing dengan rekan kerja sendiri, siap bekerja keras dengan target ketat, hingga siap pula dengan beban kerja yang lebih banyak dan berat. Suasana kurang kondusif pun bisa diatasi, karena ia sudah siap dengan konsekuensi itu juga.
Di sisi lain, ada karyawan yang lebih puas dengan mengejar passion-nya, meskipun mungkin gajinya tak sebesar karyawan yang lain. Tapi ada beberapa faktor keamanan dan kenyamanan yang dirasakan, sehingga ia merasa bisa berkontribusi pula dengan maksimal.
Well, berapa pun gaji yang kita terima–baik gaji besar ataupun gaji kecil–itu sebenarnya relatif dan harus selalu disyukuri, karena banyak hal yang memengaruhi. Permasalahan terbesarnya adalah mampukah kita mengelola gaji kita–seberapa pun besarnya itu–sehingga bisa membuat kita bertahan hidup sampai tiba waktu gajian berikutnya? Banyak lo, yang punya gaji besar tapi ternyata di pertengahan bulan sudah terlanda sindrom tanggal tua.
Duh, semoga enggak banyak yang tersindir ya.
Yuk, ikut kelas-kelas finansial online dari QM Financial yang bisa dipilih sesuai kebutuhan! Cek jadwalnya di web Event QM Financial atau follow akun Instagram QM Financial biar update terus ya.