5 Penyebab Fraud Bisa Terjadi di Perusahaan oleh Karyawan
Fraud, atau kecurangan yang dilakukan oleh karyawan, bisa terjadi di perusahaan mana pun. Meski data menyebutkan, bahwa perusahaan dengan jumlah karyawan di bawah 100 orang lebih berpotensi, tapi fraud juga bisa terjadi di perusahaan besar yang sudah punya sistem dan struktur yang baik. Sebenarnya, apa yang menjadi penyebab fraud ini?
Apakah dari sisi perusahaan, ataukah dari sisi human-nya? Well, bisa jadi dari keduanya.
Kita lihat yuk, hasil penelusuran ke beberapa sumber dan juga wawancara dengan seorang staf HR.
5 Penyebab fraud sampai bisa terjadi di perusahaan
1. Adanya celah dan peluang
Fakta bahwa perusahaan dengan jumlah karyawan kurang dari 100 orang lebih rentan mengalami fraud ini bisa menjadi bukti, bahwa celah dan peluang itu akan selalu ada. Memang enggak semua perusahaan kecil mengalaminya sih, banyak juga yang berhasil mengelola SDMnya dengan baik sehingga meminimalkan risiko penyebab fraud.
Akan tetapi, dari merunut logika saja sebenarnya sudah masuk di akal. Perusahaan kecil biasanya belum mempunyai sistem dan struktur perusahaan yang paten, yang efektif dan efisien. Mereka biasanya masih fokus pada pengembangan bisnis, sehingga kadang menurunkan prioritas untuk mengembangkan sisi SDM yang berada dalam organisasinya.
Wajar sih. Kan kadang susah juga kalau semua mau diprioritaskan, bukan? Tapi, sebaiknya juga jangan dibiarkan berlarut-larut tanpa sistem yang jelas. Setidaknya peraturan perusahaan itu harus ada dan harus konsisten diterapkan sehari-hari.
2. Adanya tekanan dan masalah yang harus dihadapi oleh karyawan
Ada peluang, ditambah dengan “kebutuhan”, bisa menjadi penyebab fraud yang dilakukan oleh karyawan yang paling jujur sekalipun.
Kebutuhan ini bermacam-macam. Ya, siapa sih yang nggak punya kebutuhan hidup? Semua juga punya kebutuhan hidup, semua juga butuh uang. Tapi biasanya karyawan yang sampai hati melakukan fraud ini enggak sekadar butuh saja. Ada tekanan yang menyertai kebutuhan ini.
Misalnya, terlilit utang. Karena butuh dana untuk bisa melunasi utang, plus adanya kesempatan, maka ia pun memalsukan laporan keuangan, misalnya. Ouch.
3. Ada ketidakpuasan karyawan terhadap perusahaan
Ketidakpuasan karyawan juga bisa menjadi penyebab fraud mungkin terjadi. Bisa saja karena kenyamanan kurang bisa dicapai dalam bekerja, atau terlalu banyak beban kerja membuat karyawan tidak merasa mendapatkan apresiasi yang dibutuhkan.
Rasa tidak puas (dan ditambah dengan peluang, lagi) bisa menjadi motivasi bagi karyawan untuk melakukan fraud.
Dulu saat saya masih bekerja di sebuah perusahaan trading handicraft, saya sering merasakan ketidakadilan dari pihak manajemen. Salah seorang karyawan yang berada di posisi marketing selalu datang terlambat, kadang sejam kadang dua jam. Dan kemudian berakhir lembur. Saya pikir, lemburnya menjadi cara untuk “membayar” kembali jam kerja yang hilang di awal hari kerja itu. Ternyata enggak. Ia tetap mendapatkan uang lembur. Apa kabar saya yang rajin datang tepat waktu, bekerja efisien supaya sebisa mungkin enggak usah lembur? Padahal saya merasa, hasil dan target kerja saya enggak kurang, malah kadang lebih.
Di situ saya pun mulai merasa tak puas. Akibatnya, ya saya melupakan saja aturan datang tepat waktu. Saya sengaja terlambat datang, supaya nanti bisa lembur dan dapat uang tambahan.
Ketidakpuasan memicu saya untuk melakukan fraud secara personalia. Kecil memang, tapi yang kecil dan sepele begini bisa saja membesar seiring waktu.
4. Kompetensi dan dedikasi karyawan yang kurang
Saya pribadi sih percaya sebenarnya, bahwa tidak ada orang yang benar-benar jahat dari sononya. Selalu ada alasan di balik orang yang tega melakukan perbuatan yang tidak baik. Kadang peluang yang membuatnya jadi “kreatif”, kadang juga karena pengaruh lingkungan.
Pun namanya karakter manusia, memang beragam banget. Masing-masing dengan tingkat kompetensi, dedikasi, dan loyalitasnya. Kadang, beragamnya dan begitu heterogennya karyawan bisa memicu juga, menjadi penyebab fraud terjadi.
Misalnya, seorang karyawan diminta untuk menego agar izin legalitas bisnis disetujui. Agar lebih mudah, karena ia mungkin merasa skill negosiasinya kurang, maka ia pun menyuap rekanan atau orang lain terkait dengan urusan izin tersebut.
5. Rotten apple
Ha? Apel busuk? Iya, well, ini pepatah sih sebenarnya. Yang bilang, bahwa kalau ada satu apel busuk di dalam keranjang, maka akan bisa membuat busuk apel yang lainnya. Kalau pepatah yang lain–yang mungkin lebih populer–adalah karena nila setitik, rusak susu sebelanga, mungkin ya?
Budaya kerja dalam sebuah perusahaan biasanya terbentuk oleh manusia-manusia yang ada di dalamnya. Saat seorang karyawan baru bergabung, dan budaya kerja sudah kental aura fraud-nya, maka si karyawan baru bisa saja lantas melakukan hal yang sama.
Apalagi jika mereka-mereka yang berperan sebagai pemimpin di perusahaan tersebut juga melakukan hal yang sama. Anak buah biasanya akan berperilaku sama dengan atasan.
Kalau dibayangkan, mengerikan juga ya dampak dari penyebab fraud ini. Yang kecil-kecil pun akhirnya nanti bisa membesar, dan akhirnya bisa menimbulkan masalah yang bisa membahayakan perkembangan bisnis. Karena itu, ayo kelola SDM sebaik-baiknya agar terhindar dari fraud.
Untuk membantu perusahaan mengelola SDM yang baik, QM Financial menyediakan program training keuangan yang bisa didesain sesuai dengan kebutuhan. Dengan memberikan training keuangan yang komprehensif, maka diharapkan karyawan tidak lagi “butuh” dan “tertekan” hingga melakukan fraud, alih-alih mereka akan lebih produktif dalam bekerja.
Hubungi kami melalui WhatsApp ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru.
Mengenal Lebih Jauh Perbedaan Suap dan Gratifikasi di Kalangan Karyawan
Salah satu upaya terpenting untuk membentuk tim sumber daya manusia yang mumpuni dalam sebuah perusahaan adalah membangun integritas karyawan. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk upaya ini, di antaranya adalah meminimalkan peluang terjadinya suap dan gratifikasi, baik yang dilakukan oleh karyawan maupun terhadap karyawan.
Hmmm. Suap. Gratifikasi. Sepertinya dua istilah ini ‘KPK banget’ ya. Biasanya yang kita dengar mengenai berita suap dan gratifikasi adalah berita-berita seputar politik deh. Tapi ternyata enggak lo. Suap dan gratifikasi ini akrab juga ditemui di kalangan karyawan.
Tapi apa ya perbedaan suap dan gratifikasi, utamanya di kalangan karyawan, ini? Bukankah keduanya artinya sama saja, yaitu kurang lebih mengupayakan sesuatu untuk “melicinkan” atau memperlancar usaha?
Nah, mari kita lihat perbedaan antara gratifikasi dan suap, agar kemudian kita bisa menghindarinya, karena keduanya berpeluang menimbulkan fraud atau kecurangan di dalam organisasi perusahaan.
Tentang Suap dan Gratifikasi
Suap di Kalangan Karyawan
Memang perusahaan mempunyai kebijakan masing-masing sebagai upaya untuk mencegah penyebab fraud ini terjadi. Tapi, kita bisa melihat dari peraturan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah sebagai patokan.
Suap (menurut Wikipedia) adalah tindakan memberikan uang, barang atau bentuk lain sebagai “balasan” atau “imbalan” dari pemberi suap kepada penerima suap yang dilakukan untuk mengubah sikap penerima atas kepentingan/minat si pemberi, walaupun sikap tersebut berlawanan dengan penerima.
Pasal 3 UU No. 3 Tahun 1980 juga menyebutkan definisi suap ini, yaitu bahwa penyuapan terjadi ketika ada orang yang menerima sesuatu atau janji, supaya ia melakukan (atau tidak melakukan) sesuatu yang menyangkut kepentingan umum atau perusahaan, bahkan yang berlawanan.
Seperti dikutip dari situs Kumparan, tentang suap ini lebih jauh diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73), UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor).
Hal ini tak hanya berlaku bagi para pegawai negeri ataupun penyelenggara negara saja, tapi juga bisa terjadi di kalangan karyawan di perusahaan swasta.
Contoh kasus yang paling mudah terjadi di kalangan karyawan misalnya seorang supplier atau vendor memberikan “amplop” kepada salah satu karyawan yang berwewenang agar mau ‘berbelanja’ kebutuhan produksi pada vendor yang bersangkutan. Padahal bisa saja, secara kualitas produk vendor belum masuk ke standar kualitas dari perusahaan.
Hal sebaliknya juga bisa terjadi. Misalnya karyawan dari sebuah perusahaan memberikan hadiah pada orang lain, misalnya di lembaga pemerintah, demi mendapatkan izin-izin tertentu untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu.
Jadi, nggak hanya diberi “hadiah”, memberi “hadiah” pun juga bisa terkena pasal Undang-Undang yang mengatur mengenai suap ini.
Gratifikasi di Kalangan Karyawan
Memang suap dan gratifikasi ini bisa terjadi beriringan. Bahkan pengertiannya kadang juga tertukar.
Gratifikasi terjadi ketika seseorang menerima pemberian uang tambahan, barang, diskon, komisi pinjaman tanpa bunga, ataupun fasilitas-fasilitas lain, misalnya tiket wisata gratis, biaya pengobatan gratis, dan lain sebagainya.
Pelaku tindak gratifikasi ini bisa dipidana lo, dengan hukuman penjara 4 – 20 tahun, dan denda Rp200 juta – Rp1 miliar. Hal ini diatur dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001 Pasal 12.
Sampai di sini bisa dilihat, beda gratifikasi dan suap adalah lebih ke intensinya. Kalau suap bersifat transaksional dan langsung, diberikan bersamaan dengan proses kerja sama yang sedang berlangsung. Sedangkan gratifikasi tidak bersifat transaksional–karena kadang diberikan setelah kerja sama selesai, atau bahkan belum ada sama sekali kerja sama. Ada yang menyebut gratifikasi ini sebagai “suap yang tertunda”, karena banyak yang dianggap sebagai “investasi” ataupun upaya untuk mencari perhatian.
Nah, kalau KPK sendiri, sebagai lembaga negara pengawas tindak korupsi dan kawan-kawannya, sempat mengeluarkan Buku Saku Memahami Gratifikasi, yang secara lengkap merincikan apa dan bagaimana tindakan gratifikasi itu. Well, lagi-lagi ini dibuat untuk mengatur jika ada kemungkinan terjadi di kalangan pegawai negeri ataupun penyelenggara negara. Tapi perusahaan swasta ada baiknya untuk juga mengerti dan memahami.
Kalau mengacu pada buku saku KPK tersebut, bentuk gratifikasi yang bisa terjadi di kalangan karyawan misalnya saja:
- Penerimaan hadiah atau parsel dari pihak luar perusahaan oleh rekanan
- Penerimaan komisi karena sudah merekomendasikan rekanan
- Penerimaan potongan harga atas produk dari rekanan yang kemudian tidak dilaporkan ke perusahaan
- Dibiayai liburan setelah proyek selesai
Dan masih banyak lagi.
Yes, kalau dilihat-lihat lagi, sebagian besar fraud karyawan yang terjadi akibat suap dan gratifikasi ini tampaknya adalah hal-hal yang biasa dan banyak kita temui praktiknya dalam proses jalannya perusahaan ya? Saking biasanya, bahkan kita kadang nggak sadar, kalau itu adalah bentuk suap dan gratifikasi. Saking umumnya, hingga menjadi bentuk budaya.
Pada akhirnya, tentu saja, hal ini bisa merugikan perusahaan. Banyak deh efeknya, dan biasanya efeknya ini jangka panjang.
Karena itu, adalah penting bagi pihak perusahaan–melalui divisi HR–untuk berupaya mencegah atau meminimalkan peluang terjadinya fraud karyawan, termasuk suap dan gratifikasi. Dari mana perusahaan bisa memulai? Bisa dari segi finansial, yaitu mengupayakan agar karyawan tidak mempunyai masalah keuangan pribadi yang bisa membuat mereka sempat tergoda untuk melakukan fraud.
Yuk, undang QM Financial untuk memberikan program edukasi keuangan bagi karyawan di perusahaan Anda? Sila WA ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas terbaru.