Gen Z, Selamat Datang di Dunia Kerja! Ini 5 Pekerjaan yang Cocok Untukmu!
Here comes the next generation of workers: Gen Z! Yes, meskipun industri dan perusahaan-perusahaan masih berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan karakter angkatan kerja Millenials–alias para gen Y–namun para generasi baru ini sudah mulai bersiap untuk merangsek masuk ke dunia kerja, setelah lulus dari kuliah mereka.
Kamu juga termasuk ke dalam generasi baru ini? Generasi digital native, gen Z yang pada sudah mulai mendekati akhir masa studi mereka?
Pekerjaan macam apa ya yang kira-kira menarik minat mereka the most? Well, memang agak terlalu dini untuk memprediksi sih, tapi menurut beberapa sumber, ada 5 jenis pekerjaan yang tampaknya sangat cocok dilakukan oleh para gen Z–sesuai dengan karakter mereka.
5 Jenis Pekerjaan yang Cocok untuk Gen Z
1. Yang berhubungan dengan media sosial dan aplikasi
Generasi millenial–without a doubt–sangat mahir kalau soal media sosial dan juga teknologi pada umumnya. Tapi gen Z bisa dibilang enggak akan bisa hidup tanpa teknologi. Karena teknologi sudah begitu melekat pada gaya hidup mereka, sejak mereka lahir.
So, jenis-jenis pekerjaan yang akan banyak melibatkan media sosial dan teknologi sehari-hari akan sangat menarik minat mereka. Bahkan mereka akan memasukkan “berteknologi canggih” sebagai kriteria mereka dalam mencari pekerjaan.
Namun, masih menurut penelitian, sifat dan karakteristik kinerja gen Z ini cenderung malah mirip dengan generasi Baby Boomer, ketimbang Millenial. Para gen Z ini berorientasi pada detail, terampil mengambil keputusan, namun tetap kreatif dan jauh lebih mudah untuk bekerja sama dalam tim dibandingkan generasi Millenial.
2. Cenderung melakukan apa yang orang tua mereka juga lakukan
Lebih dari 80% responden sebuah penelitian yang seperti dirilis oleh Lifehack.com, yang merupakan gen Z mennegaskan, bahwa orang tua mereka memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap apa yang harus mereka lakukan begitu lulus kuliah.
Hal ini berbeda dengan generasi Millenials, yang cenderung ingin membebaskan diri dari tradisi, gen Z–konon–lebih suka untuk menerima tradisi yang kemudian mereka olah dengan pilihan dan opsi pribadi mereka masing-masing.
Hal inilah yang kemudian membuat generasi ini lebih suka memilih untuk mengikuti jejak orang tua mereka–terutama jika orang tua berhasil memberikan role model yang baik, terbukti sukses dan loyal terhadap pekerjaannya.
Selain itu, gen Z juga lebih sangat peduli terhadap kestabilan dibandingkan generasi Millenials.
3. Yang akan berhubungan dengan banyak orang
Satu lagi keterampilan khas gen Z yang kurang dipunyai oleh generasi-generasi sebelumnya. Mereka punya keterampilan interpersonal yang baik.
Dikombinasikan dengan keterampilan untuk mengoperasikan teknologi canggih, maka hal ini menjadi semacam deadly combination criteria saat mereka sedang networking, dan berhubungan dengan banyak orang.
Bekerja di perusahaan distribusi akan menjadikan mereka semacam “menemukan diri mereka sendiri seutuhnya”.
4. Non profit work
Sama seperti generasi Millenials, para gen Z juga merupakan orang-orang yang peduli pada lingkungan dan komunitasnya. Mereka punya jiwa sosial yang sangat tinggi.
Masih menurut hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Lifehack.com, 30% dari pekerja generasi Z ini bersedia memotong gaji mereka sendiri untuk dana sosial. Bahkan mereka rela gajinya dikurangi oleh pihak perusahaan selama digunakan untuk sosial.
Karena itu, bekerja di perusahaan non profit juga menjadi salah satu impian para gen Z. Berbeda dengan generasi Millenials yang cenderung lebih suka untuk mendirikan sendiri perusahaan nirlabanya, gen Z puas dengan hanya “mendarmabaktikan” hidupnya dengan bergabung ke perusahaan nirlaba yang sudah berdiri lebih dulu.
5. Manajer pemasaran
Hampir 80% gen Z yang menjadi responden penelitian yang sama–yang dipublikasikan oleh Lifehack–menggambarkan lingkungan kerja yang ideal bagi mereka adalah bisnis skala menengah ataupun perusahaan internasional besar.
Saat bekerja, lebih dari 50% gen Z lebih suka berkolaborasi dalam kelompok-kelompok kecil ketimbang harus berurusan dengan terlalu banyak orang? Karena itu jenis-jenis pekerjaan yang melibatkan aktivitas dan strategi pemasaran akan sangat menarik minat mereka.
Gen Z pada dasarnya adalah pribadi-pribadi yang kreatif dan komunikatif, bahkan mereka siap bekerja in long hours. Tugas-tugas sebagai orang marketing akan mereka anggap sebagai tantangan untuk lebih kreatif, menjadi peluang bagi mereka untuk belajar banyak hal yang baru, dan kemudian memantapkan posisi mereka sendiri di organisasi perusahaan.
Itulah yang pada dasarnya menjadi tujuan mereka bekerja.
Nah, itu dia 5 jenis pekerjaan yang cocok bagi para gen Z. Hmmm, meski sama-sama terlahir di zaman teknologi canggih, somehow memang sedikit berbeda karakter dengan generasi Millenials ya?
Tapi, ada juga sih kesamaannya, yaitu angkatan kerja baru selalu tak pernah siap untuk pensiun. Ya, gimana siap? Baru juga masuk kantor, udah ditanya pensiun? Mendingan ditanya, kapan liburan ke Jepang?
Tapi eh tapi, masa pensiun itu nyata, bukan pilihan. Kepastian. Sementara liburan ke Jepang itu opsi. Dan banyak yang enggak sadar, bahwa dengan menyiapkan dana pensiun sejak awal, itu berarti beban hidup akan lebih ringan.
Dana pensiun yang disiapkan sejak awal, mungkin hanya butuh menyisihkan Rp500.000 saja sebulan. Beda dengan kalau disiapkan ketika sudah 10 tahun bekerja, bisa jadi perlu menyisihkan Rp5.000.000 per bulan agar bisa pensiun sejahtera.
Pilih mana?
So, yuk, ceki-ceki jadwal kelas finansial online QM Financial. Banyak kelas yang bisa dipilih sesuai dengan kebutuhanmu. Enggak cuma soal dana pensiun, tetapi juga untuk tujuan finansial yang lain.
5 Alasan Mengapa Gaji Besar Saja Tetap Tak Membuat Karyawan Mau Bertahan di Perusahaan yang Sama
Kadang ya heran, kenapa banyak sekali yang sulit untuk bertahan di satu perusahaan. Apalagi akhir-akhir ini. Sering banget dengar curhat HR yang bilang, angkatan kerja sekarang makin susah loyal, padahal juga sudah ditawari gaji besar. Tetap saja turnover karyawan begitu tinggi.
Apa pasal?
Rekor saya sendiri paling lama bekerja di sebuah perusahaan adalah 9 tahun. Gaji sih standar, tetapi memang lingkungan kerjanya enjoyable bagi saya. Setelah 9 tahun bekerja, saya mendapat kesempatan untuk bekerja sesuai dengan minat. Dengan gaji yang sedikit lebih kecil dan fasilitas serta tunjangan yang lebih sedikit, saya pun mantap memutuskan resign dari perusahaan lama dan bergabung ke perusahaan baru.
Di perusahaan yang baru itu, saya menemukan soul saya. Saya mengerjakan hobi saya setiap hari, dan dibayar. Sampai sekarang.
Ada yang punya cerita seperti saya di atas? Boleh lo kalau mau sharing di kolom komen!
Melihat kasus diri sendiri—meski perbedaan besaran gajinya tidak begitu besar—tetapi saya memang lebih memilih untuk bekerja di perusahaan baru yang menjanjikan saya kenyamanan lebih. Yang saya bayangkan adalah hari-hari saya pasti akan menyenangkan, karena saya akan diberi gaji untuk mengerjakan hal yang saya suka.
Dari situ, saya kira ya wajar sih kalau banyak yang kurang bisa bertahan untuk bekerja di satu perusahaan dalam jangka waktu yang lama, meski sudah diberi gaji besar. Barangkali salah satu—atau semua—alasan berikut juga yang memengaruhinya.
5 Alasan orang tak hanya butuh gaji besar untuk mau bertahan bekerja di satu perusahaan dalam jangka waktu yang lama.
1. Setiap orang butuh kenyamanan
Kenyamanan dan kepuasan kerja kadang adalah menjadi salah satu syarat utama saat seseorang mampu bertahan. Bagi sebagian orang, kenyamanan dan kepuasan kerja tidak bisa diukur dengan materi, yang berarti gaji besar.
Setiap orang butuh kenyamanan, dan hal ini kadang sulit didapatkan. Apalagi kalau berurusan dengan rekan kerja ataupun lingkungan yang toxic. Betul nggak?
2. Keamanan juga menjadi syarat pertama
Selain kenyamanan, keamanan juga merupakan hal yang kadang sulit ditemukan di dunia kerja. Keamanan di sini bisa berarti keamanan fisik, dan juga finansial sih. Gaji besar memang merupakan salah satu “jaminan” keamanan, terutama dari segi finansial. Tapi ternyata, enggak cuma itu yang diminta oleh sebagian besar karyawan.
Gaji besar, tapi harus bekerja setiap malam di lokasi yang keamanannya kurang. Setiap hari harus waswas akan keamanan diri sendiri. Pastinya yang seperti itu enggak akan membuat kita jadi enjoy bekerja.
Atau, gaji besar, tapi perusahaan tampak semakin bermasalah. Bahkan sewaktu-waktu bisa saja memutuskan untuk melakukan efisiensi karyawan. Wah, meski gaji besar, kita tetap saja akan berpeluang untuk masuk ke daftar efisieni—siapa yang bisa memaksa untuk bertahan. Bener nggak sih?
3. Butuh keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi
Sempat melihat curhat seseorang di Twitter. Kurang lebih bunyinya begini.
“Dapat panggilan lowongan kerja. Pas wawancara ditanya, bisa enggak handphone on 24 jam? Sewaktu-waktu juga harus dipanggil ke kantor, bahkan di hari libur dan hari Minggu. Nggak dihitung lembur sih, tapi boleh minta hari libur pengganti. Gue tolak, karena waktu gue buat keluarga kayaknya enggak bisa diukur dengan uang.”
Ada yang mengalami hal yang sama?
Setiap orang butuh keseimbangan hidup, yang bisa diraih dengan banyak cara. Salah satunya adalah dengan membatasi kehidupan profesional, dan membuat waktu untuk diri sendiri serta keluarga. Keseimbangan seperti ini penting banget untuk mengelola stres.
Well, memang sih ada yang seakan enggak punya kehidupan pribadi—para workaholics, misalnya—tapi meski demikian, work life balance ini penting, untuk kesehatan mental diri sendiri.
4. Passion over materi
Akhir-akhir ini semakin banyak orang yang sadar, bahwa kita butuh passion lebih untuk bisa betah bekerja, enggak cuma soal gaji besar. Hanya saja passion dan gaji besar enggak selalu datang dalam satu paket.
Kalau sudah begitu gimana dong? Ya, tergantung pertimbangan masing-masing individu saat memutuskannya. Kadang ya yang terjadi adalah terima pekerjaan—meski tak sesuai passion—tapi bergaji besar. Demi apa? Demi hidup. Toh passion bisa dilakukan as a side hustle, kan?
Tapi, ada juga yang memutuskan untuk lebih mengejar passion, demi kebahagiaan diri sendiri. Salah? Enggak dong. Kalau bahagia melakukannya, seseorang juga akan nyaman untuk hidup—meski nggak mendapatkan gaji besar.
5. Tidak ada kesempatan untuk berkembang
Berkembang merupakan kebutuhan bagi setiap individu yang punya semangat hidup. Berkembang dalam arti luas, menyangkut fisik, rohani, mental, pun keterampilan.
Kadang kali, meskipun gaji besar, tetapi bisa jadi sulit menemukan peluang untuk berkembang. Ide-ide yang dilontarkan selalu mentah, pendapat kurang didengar, tak ada jenjang karier yang bisa diproyeksi, pun tak pernah mendapatkan training ini-itu yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi.
Rasanya, kita hanya diminta untuk memberikan kontribusi saja, tanpa diperhatikan kebutuhannya. Malas juga sih, kalau kerjanya kayak gini. Iya nggak?
Bagaimana denganmu? Kalau kamu dihadapkan pada 2 pilihan: gaji besar atau 5 hal di atas, manakah yang kamu pilih?
Well, the bottom line is, berapa pun gaji yang diterima yang terpenting adalah bagaimana kita mengelolanya dengan baik sehingga bisa memenuhi kebutuhan dan demi mencapai tujuan keuangan kita. Gaji berapa pun sebenarnya selalu cukup kok, asal kita terampil mengaturnya.
So, ayo, belajar finansial lagi hari ini! Cek jadwal kelas finansial online QM Financial, dan segera daftar yang sesuai dengan kebutuhanmu.
6 Upaya Menciptakan Budaya Kerja yang Positif untuk Mengembangkan Potensi Karyawan
Budaya kerja perusahaan yang positif ibarat tulang punggung semua jenis bisnis. Bisa dibilang, perusahaan-perusahaan besar mungkin dapat mengandalkan jumlah gaji besar dan berbagai tunjangan demi mempertahankan ataupun merekrut orang untuk bergabung, namun perusahaan kecil biasanya harus bergantung pada budaya kerja perusahaan yang positif demi mendorong karyawannya agar tetap bertahan.
So, jika Anda memiliki jenis usaha kecil apa pun, Anda tahu betapa pentingnya untuk dapat merekrut orang yang tepat untuk bergabung menjadi karyawan. Dan, setelah mendapatkan karyawan yang bisa berkontribusi untuk perusahaan, berikutnya ada sejumlah PR yang harus Anda lakukan demi bisa mengelola aset terbesar perusahaan ini, terutama jika mereka adalah karyawan terbaik.
Berikut ada 6 cara perusahaan dapat menciptakan lingkungan dan budaya kerja yang positif sehingga dapat menghindari turnover karyawan yang tinggi
1. Apresiasi terhadap karyawan
Seseorang akan dapat menghargai orang lain, jika ia lebih dulu mendapatkan apresiasi atas apa yang sudah dilakukannya. Ini sudah hukum alam.
Jadi, jika Anda ingin karyawan Anda menghargai perusahaan dan loyal, maka perusahaan harus mengapresiasi mereka terlebih dahulu. Give what they want, and then ask what you need from them.
Dengan demikian, terjalin hubungan mutualisme dan saling membutuhkan.
2. Eliminate toxicity
Toxicity can never be tolerated. Toxicity bisa memupus positiveness budaya kerja yang sedang Anda bangun. Karena itu, waspadai kemunculannya sedini mungkin.
Memang sih, kadang ada saja yang membawa hal-hal dan pengaruh buruk (yang tidak dapat dikontrol) dari luar yang masuk. Misalnya saja, merekrut karyawan baru dan ternyata yang bersangkutan sudah membawa negativity yang bisa memperburuk kondisi. Hal ini harus segera diatasi sebelum terlambat, karena toxicity itu seperti virus. Cepat sekali menular, dan bisa memengaruhi budaya kerja positif yang sedang dibangun.
3. Konsisten
Setelah perusahaan telah memiliki budaya kerja yang bisa berfungsi dengan baik, maka pertahankanlah.
Memang sih, kadang kita harus menyesuaikannya dengan kondisi. Misalnya saja, selama ini kita menawarkan tunjangan cuti hamil dan sakit, sedangkan perusahaan lain sudah mulai menawarkan benefit lain yang lebih “millenial” dan kekinian, seperti free member gym.
Boleh saja sih disesuaikan, tetapi ingat, bahwa terlalu banyak perubahan pada benefit untuk karyawan juga bisa membuat budaya perusahaan menjadi tidak stabil lagi.
Jadi, jika perlu mengadakan perubahan, pastikan manfaat atau kebijakan baru itu menguntungkan bagi seluruh perusahaan dan aset-asetnya.
4. Ubah masalah menjadi peluang
Untuk membentuk budaya kerja yang baik di perusahaan, positivity memang sangat penting. Menjadi tugas para manajer untuk bisa memimpin dengan sikap yang baik.
Salah satunya, alih-alih membiarkan rintangan memengaruhi bisnis, akan lebih baik jika perusahaan memotivasi karyawan Anda untuk mengubah cara memandang setiap masalah sebagai peluang.
Misalnya saja, ajak karyawan untuk selalu bersiap akan adanya kesalahan. Kesalahan itu bisa terjadi setiap saat, pada siapa saja, terhadap apa saja. Dengan bersiap melakukan kesalahan, maka kita bisa siap pula untuk belajar. Kesalahan akan membuat perusahaan tumbuh.
5. Manajemen waktu yang lebih baik
Waktu setiap karyawan sangat berharga. Dari pekerja magang hingga manajer, waktu adalah komoditas yang paling berharga, jadi penting untuk mendorong mereka agar bisa menggunakannya dengan bijak.
Banyak hal yang bisa “mengancam” efektivitas dan efisiensi waktu kerja ini. Pihak manajemen dan perusahaan sendiri harus benar-benar waspada mengenai hal ini. Manajemen waktu yang kurang baik bisa membuat bisnis perusahaan menjadi kurang produktif, yang memengaruhi semua karyawan juga, pada akhirnya.
So, mendorong karyawan agar bisa bekerja dengan cepat, efisien, dan menyeluruh akan dapat membantu menumbuhkan budaya kerja yang positif dan produktif.
6. Dukung perkembangan karyawan
Budaya kerja yang positif adalah budaya kerja yang mendorong karyawan menjadi aset yang berkembang. So, pastikan karyawan Anda bisa berkembang bersama perusahaan.
Adakan program-program pelatihan yang dapat membantu mereka meningkatkan skill. Salah satunya adalah dengan memberikan training keuangan. Keterampilan karyawan mengelola keuangan pribadi mereka akan sangat berpengaruh pada etos kerja mereka di kantor.
Jadi, pastikan mereka bisa mengelola gaji dengan baik, menghindari utang, mempunyai proteksi, hingga belajar berinvestasi, demi kebaikan mereka sendiri dan perusahaan, tentunya.
Anda dapat mengundang QM Financial untuk memberikan program edukasi keuangan. Sila WA ke 0811 1500 688, untuk mengatur silabus dan materi yang paling pas dengan kebutuhan di perusahaan Anda.
Budaya kerja sepertinya memang hal remeh temeh saja, namun jika diabaikan bisa memengaruhi jalannya bisnis perusahaan. So, akan lebih baik jika ada perhatian khusus untuk pembentukan dan juga pengelolaannya.
Semoga perusahaan Anda selalu berkembang ya. Yuk, jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk berbagai tip keuangan pribadi, human capital, serta info-info kelas finansial online terbaru.
Merekrut Generasi Z sebagai Karyawan, 5 Hal yang Harus Diperhatikan
Dengan semakin mendekatinya para generasi Z menuju dunia kerja, maka perusahaan memang mulai mempersiapkan metode-metode khusus untuk perekrutan mereka.
Mengapa harus khusus dipersiapkan? Karena seperti halnya angkatan kerja generasi millenial, angkatan kerja generasi Z juga punya karakter tersendiri terkait bagaimana mereka akan berkontribusi di dunia kerja.
Siapa saja sih generasi Z ini?
Meski masih menjadi kontroversi di beberapa sumber, namun sebagian besar menyebutkan bahwa generasi Z adalah mereka yang terlahir antara tahun 1995 hingga 2010.
Mereka benar-benar lahir di era internet; enggak pernah ngerasain perjuangan menulis surat dengan tangan dan kertas folio, enggak pernah menggunakan telepon umum koin di pinggir jalan, juga belum pernah mendengar jeritan khas sambungan internet dial up.
Hal-hal ini juga turut membentuk karakteristik generasi Z yang lebih unik lagi dibandingkan generasi-generasi sebelumnya, terutama di dunia kerja.
So, berikut adalah beberapa hal yang harus diperhatikan jika sebuah perusahaan bermaksud untuk menjaring karyawan dari generasi Z
1. Metode rekrutmen yang tepat untuk generasi Z
Menurut Ryan Jenkins, seorang Millennial and Generation Z speaker and generations expert, generasi Z masih mempunyai metode pelamaran pekerjaan yang hampir sama dengan generasi millenial, yaitu melalui referensi pribadi dan email.
Generasi Z cenderung akan mencari informasi pekerjaan yang menarik minat mereka melalui:
- Situs web perusahaan yang bersangkutan
- Job fair
- Media sosial: LinkedIn dan media sosial lain seperti Instagram
- Informasi dari teman
So, mau merekrut karyawan baru? Sebarkanlah pengumuman lowongan di 4 tempat di atas.
2. Karakteristik khas generasi Z di dunia kerja
Generasi Z punya karakter yang unik, yang berbeda dengan generasi millenial apalagi generasi X. Sebagian sudah sedikit disinggung di atas sih, karakter generasi Z ini di antaranya:
- Phigital, alias physic and digital. Tak hanya bekerja secara fisik, para generasi Z juga mempunyai keterampilan digital yang mumpuni–sangat lebih baik ketimbang generasi X dan generasi millenial.
- Realistis
- Webconomists, ini pastinya ada kaitannya dengan kedekatan mereka dengan dunia digital sejak lahir, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan ekonomis akan mereka lakukan secara digital pula. Mereka belanja online, punya e-wallet, berinvestasi secara online, dan seterusnya.
- Independent, mereka cenderung untuk bekerja sendiri, karena itu remoting job menjadi tren terbaru di dunia kerja.
- Hyper customizers, mereka cenderung untuk bisa menyesuaikan segala sesuatunya dengan tingkat kenyamanan mereka sendiri. Misalnya, soal lingkungan kerja, generasi Z akan lebih kurang adaptif, sehingga mereka akan berusaha mencari cara mengubah lingkungan kerja agar sesuai preferensi pribadi mereka.
Meski individualistis, namun generasi Z sebenarnya masih menghargai nilai-nilai kebersamaan. Berada di sebuah tim atau organisasi yang bisa menghargai pendapat dan ide mereka, akan membuat mereka betah. Mereka cenderung sangat lebih aktif untuk ikut berpendapat–bahkan berdebat–untuk mencari solusi dari setiap masalah yang timbul.
Good sign, right?
3. Yang dicari oleh generasi Z di dunia kerja
Ya, umumnya tentu saja, orang bekerja untuk mencari imbalan berupa gaji dan benefit finansial lainnya. Tapi, tak hanya berorientasi pada gaji semata, angkatan kerja generasi Z juga akan mencari hal lain, di antaranya:
- Akses teknologi canggih. Ini jelas menjadi salah satu “syarat” mereka saat mereka memutuskan untuk bergabung dengan sebuah perusahaan. Canggih tidaknya sebuah perusahaan akan ikut menentukan, apakah mereka tertarik untuk melamar lowongan pekerjaan, atau skip saja dan mencari yang lain.
- Peran pekerjaan yang beragam, hal ini terkait keterampilan multitasking mereka yang lebih advanced ketimbang generasi sebelumnya.
- Minta dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan. Ini sudah dijelaskan di poin kedua di atas.
- Kompetisi. Yes, jiwa kompetitif mereka sangat tinggi. Hal ini tentu bisa “dimanfaatkan” oleh perusahaan, agar dapat mendorong mereka untuk meningkatkan performa kerja.
4. Cara berkomunikasi
Generasi Z terlahir di dunia yang serbacepat dan instan, sehingga mereka cenderung untuk mempunyai attention span yang lebih sempit dibanding generasi sebelumnya.
Karena itu, perusahaan perlu segera menemukan cara paling praktis dan efektif agar dapat menjalin komunikasi yang baik dengan mereka.
Salah satunya, tinggalkan meeting-meeting panjang. Efektifkan hanya pada pokok permasalahan umum, yang kemudian nanti dilanjut di kelompok-kelompok yang lebih kecil untuk detailnya.
Yes, mereka enggak suka meeting terlalu lama.
5. Belum memikirkan rencana pensiun
Karena mereka masih muda, maka sedikit sekali dari mereka yang sudah memikirkan rencana pensiun. Bahkan mungkin nggak ada.
Nah, ini menjadi PR perusahaan untuk membuat mereka sadar, bahwa mereka perlu menyiapkan diri untuk pensiun sejak dini. Mereka harus tahu, bahwa dengan mempersiapkan pensiun sejak dini, maka itu berarti akan memperingan beban menabung mereka.
Salah satu caranya adalah dengan mengadakan training keuangan khusus untuk membahas dana pensiun.
QM Financial dapat membantu lo. Dengan kurikulum dan silabus yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi karyawan, #QMTraining hadir dengan materi-materi interaktif yang pasti akan bermanfaat menambah pengetahuan literasi keuangan. Sila WA ke 0811 1500 688, untuk mendiskusikannya lebih lanjut.
Nah, bagaimana? Sudah siap menyambut para generasi Z untuk bergabung di dunia kerja?
Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru ya!
Karyawan Terbaik Anda Ingin Resign? Ini Dia 5 Cara Terbaik untuk Mempertahankannya
Sempat baca tweet berbalut curhat seseorang, “Lapangan kerja banyak. Yang nganggur banyak. Tapi kenapa susah banget dapetin karyawan yang bener-bener bisa kerja. Susah dapat karyawan terbaik tuh.”
Terus, tiba-tiba saja nggak lama kemudian, ada sahabat yang curcol pengin resign dari tempatnya bekerja selama 13 tahun. Padahal tahu banget, bahwa dia adalah staf berdedikasi, smart, dan jadi tangan kanan bos banget deh. Kirain bakalan awet kerja di perusahaan yang sekarang, ternyata dia sudah menyimpan begah selama setahun terakhir.
Ditanya alasannya apa kok pengin resign, padahal sudah 13 tahun kerja di situ? Jawabannya, ada masalah dengan bos barunya, terutama soal penghargaan atas ide dan gagasan. Lantas dia mengaku, ide-ide yang ia lontarkan di private meeting sama si bos baru, dibawa ke bos besar. Ya, ini enggak akan jadi masalah kalau bos kecil nggak mengakui ide itu sebagai idenya sendiri.
Wah, pantas saja dia nggak betah lagi. Apalagi ini enggak cuma sekali dua kali terjadi.
Kadang memang karyawan terbaik enggak hanya akan bertahan di satu perusahaan karena gaji, tapi ada beberapa hal yang memang mereka dapatkan yang melebihi gaji.
So, jika sebuah perusahaan berniat mempertahankan karyawan terbaik yang mereka punya, berikut ada beberapa hal yang bisa dilakukan–menurut seorang teman yang menjabat sebagai staf HR di suatu perusahaan.
5 Cara yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan karyawan terbaik
1. Beri apresiasi untuk setiap ide dan gagasannya
Seperti kasus di atas, si karyawan merasa tidak diapresiasi ide dan gagasannya oleh atasan sehingga ia merasa tidak perlu lagi bertahan di kantor tempat ia bekerja sekarang. Apalagi kemudian ide dan gagasannya itu malah diaku sebagai milik orang lain. Wah, tambah kecewa deh pastinya.
Terkadang sebagai karyawan, kita enggak selalu mengharapkan imbalan berupa materi, tetapi juga sebuah apresiasi ataupun penghargaan. Sekadar ucapan terima kasih, atau pengakuan atas ide-ide yang dilontarkan, itu sudah cukup.
Karyawan terbaik biasanya sering mampu memberikan ide-ide yang solutif yang baik untuk kepentingan bersama. Kalau ide-ide mereka tidak diapresiasi dengan selayaknya, sudah pasti akan mematikan kreativitasnya, bukan?
2. Beri ruang untuk gagal
Karyawan tentu diharapkan untuk kreatif dan inovatif menemukan solusi dan ide demi kelancaran bisnis perusahaan.
Menurut artikel yang dilansir oleh Forbes ini, salah satu cara untuk menjaga kreativitas karyawan adalah dengan memberi ruang pada mereka untuk gagal.
Ya, kalau dipikir-pikir sih ya, bener juga ya? Kalau takut gagal, berarti kita akan takut mencoba. Takut mencoba berarti enggak ada perkembangan.
Masih menurut artikel yang sama, kegagalan atau kesalahan akan membuat para karyawan terbaik ini untuk mengevaluasi langkah-langkah yang sudah dilakukan, dan berusaha menemukan letak kesalahan atau masalah untuk kemudian dicari langkah perbaikannya.
3. Pastikan haknya terpenuhi
Hak di sini enggak melulu soal gaji dan tunjangan, serta benefit materi lainnya. Hak karyawan juga mencakup beberapa kompensasi non finansial yang diberikan oleh perusahaan–baik sebagai apresiasi ataupun sebagai stimulasi terhadap perkembangan keterampilan karyawan.
Misalnya seperti hak karyawan untuk bisa bekerja di lingkungan kantor yang sehat, hak karyawan untuk beristirahat, juga adanya jaminan jenjang karier yang jelas.
Pastikan karyawan terbaik di perusahaan Anda mendapatkan hak-hak mereka, agar mereka nyaman dan betah bekerja.
4. Beri ruang privasi
Karyawan terbaik bukan berarti mereka harus mau standby 24 jam untuk pekerjaan. Bagaimanapun, mereka butuh sisi hidup yang lain–sisi kehidupan pribadi yang akan membawa manfaat baik untuk kesehatan mentalnya.
Bayangkan, jika mereka tengah bersantai bersama keluarga, dan kemudian tiba-tiba mendapatkan telepon atau pesan singkat tentang kerjaan yang sudah ditunggu di hari Minggu siang.
Oh yes. Yang pasti, setiap karyawan butuh punya kehidupan pribadi, jadi berikanlah ruang privasi juga pada mereka agar bisa menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadinya.
5. Fasilitasi keinginannya untuk berkembang
Pada dasarnya, setiap manusia itu selalu ingin berkembang, selalu ingin menjadi yang lebih baik. Begitupun para karyawan terbaik yang bekerja di perusahaan Anda.
So, coba jadwalkan untuk memfasilitasi keinginan mereka untuk berkembang ini dengan mengadakan training-training yang bisa meningkatkan skill mereka.
Salah satunya dengan memberikan training pengelolaan keuangan pribadi untuk mereka. QM Financial punya program #QMTraining yang interaktif dengan silabus yang komprehensif. Bisa disesuaikan dengan kebutuhan karyawan. Untuk kelas finansial online, siapa pun bisa ikutan, di mana pun mereka berada. Tinggal pilih saja sesuai kebutuhan.
Perusahaan dan karyawan, keduanya saling berkorelasi secara erat. Masing-masing saling membutuhkan, so, ada baiknya untuk saling menghormati dan menghargai.
Semoga perusahaan Anda selalu bisa mempertahankan para karyawan terbaik ini ya!
5 Tanda Kamu Bekerja di Perusahaan Toxic
Ada karyawan toxic di tempatmu bekerja? Well, kamu patut berhati-hati kalau begitu, karena bisa saja rekan toxic ini akan ikut andil menciptakan suasana kerja tak nyaman di kantor, bahkan bisa membuat kantormu menjadi perusahaan toxic.
Karena oh karena … sebuah perusahaan itu ter-define oleh siapa saja yang bekerja di dalamnya. Kan, karyawan adalah aset perusahaan yang utama?
So, barangkali ada di antara kamu yang sekarang sedang mengalami burnout berkepanjangan, jadi nggak semangat kerja, malas berangkat ke kantor, kalau sudah di kantor juga pengin buru-buru pulang … nah, perlu dicari nih penyebabnya. Bisa jadi penurunan produktivitas kamu itu terjadi karena kamu bekerja di perusahaan toxic.
Sekarang coba deh dicek, apakah ada tanda-tanda berikut di kantor tempat kamu bekerja?
5 Tanda dan gejala perusahaan toxic
1. Penuh dengan politik kantor
Sebenarnya politik kantor ini enggak selalu buruk sih, tergantung juga pada tujuannya. Ada beberapa hal yang memang harus dilakukan secara strategis, demi tujuan baik bersama.
Namun, tentu saja, yang sedang kita bicarakan di sini bukanlah tipe politik kantor yang positif, tetapi politik kantor yang membawa vibe negatif pada suasana kerja. Seperti apa, misalnya? Persaingan antar karyawan yang tidak sehat adalah salah satunya.
Biasanya ini terjadi ketika sedang ada “musim promosi”. Satu-dua karyawan kurang berkompeten terlihat berusaha keras mendapatkan promosi atau kenaikan gaji yang sebenarnya tak layak mereka dapatkan, dengan cara-cara yang kurang elok.
Ada memang yang beginian? Ada, makanya ada sebutan karyawan toxic akan membentuk perusahaan toxic.
2. Hanyak kritik, tanpa apresiasi
Para atasan dan pihak manajemen juga ikut andil dalam membentuk lingkungan kerja perusahaan toxic. Adanya tekanan yang terus menerus pada bawahan, tanpa ada sedikit pun apresiasi atau penghargaan, lama kelamaan juga akan membangun suasana yang tak nyaman saat bekerja.
Mana ada sih orang yang mau bekerja dengan kritik terus menerus? Kalaupun sesekali menunjukkan performa atau hasil kerja yang baik–memang bukan kritik yang diterima sih–tetapi ada anggapan bahwa itu wajar saja terjadi karena toh karyawan sudah dibayar untuk melakukan tugasnya.
Duh, kayak PLN banget enggak sih? Kalau listrik nyala dan lancar, enggak ada yang muji. Kalau listrik padam aja, semua ngebully.
3. Tidak memberi ruang privasi
Kemarin sempat baca curhatan seseorang di Twitter, yang mengunggah surat edaran dari kantor tempatnya bekerja (tentu saja dengan menyamarkan nama kantor, dan nama-nama orang yang bertanda tangan di atasnya), bahwa seorang staf tidak boleh mengabaikan pesan pribadi atasan/bos di handphone mulai dari pukul 08.00 sampai pukul 23.00.
Kalau terlambat menjawab pesan sampai 3 jam, ada denda Rp100.000! Dan, ini berlaku akumulatif.
Wah, udah kayak ongkos parkir di mal aja ya? Tarif flat 3 jam, berikutnya berlaku kelipatan.
Bagaimanapun, seorang karyawan sebenarnya berhak untuk menyeimbangkan kehidupan pribadi dan kehidupan profesionalnya. Ini memang tidak pernah diatur secara hukum–dalam artian ada di undang-undang pemerintah seperti halnya cuti, upah, dan tunjangan sih. Tapi, seharusnya ini menjadi etika saja di setiap kehidupan di dunia kerja.
Demi kesehatan mental bersama.
4. Birokrasi berbelit
Apakah kamu harus menunggu berminggu-minggu hanya untuk mendapatkan persetujuan untuk membeli ATK sederhana keperluan untuk ngantor sehari-hari? Apakah kamu harus berkali-kali menanyakan ke bagian finance, apakah vendor tertentu sudah dibayar atau belum karena akan segera ada order baru lagi.
Birokrasi yang panjang dan berbelit juga merupakan salah satu tanda perusahaan toxic, karena birokrasi seperti ini akan menghambat produktivitas dan efisiensi kerja siapa pun.
5. Kurang kesempatan untuk meningkatkan skill pribadi
Perusahaan yang sehat adalah perusahaan yang peduli terhadap karyawan, dan berusaha memfasilitasi perkembangan mereka ke arah yang lebih baik. Salah satu caranya adalah dengan memberikan dukungan berupa training-training yang disesuaikan dengan kebutuhan karyawan.
So, ayo, cek. Apakah kamu mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri dan meningkatkan skill pribadi ini? Perusahaan kamu pernah mengadakan training orientasi perusahaan saat kamu mulai bergabung dulu? Apakah pernah ada training manajerial untuk meningkatkan skill kepemimpinan? Pernahkah diadakan training keuangan, demi meningkatkan kemampuanmu untuk mengelola keuangan pribadimu?
Jika ya, maka, selamat! Perusahaan tempat kamu bekerja bukanlah perusahaan toxic yang enggak peduli dengan karyawannya.
Tetapi jika tidak atau belum pernah, well … ada baiknya kamu berinisiatif untuk mengusulkan diadakan training-training untuk mengembangkan keterampilan pribadimu. Terutama skill mengelola keuangan. Mengapa hal ini penting? Jelas penting, karena ada banyak korelasi antara kemampuan pengelolaan keuangan karyawan dengan kinerja di kantor.
Hubungi tim QM Financial untuk mengadakan #QMTraining, sebuah program pelatihan interaktif untuk karyawan yang disusun bersama konsultan dan pembicara dari QM Financial, sesuai dengan kebutuhan literasi finansial perusahaan.
Hubungi kami melalui WhatsApp ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru.
3 Tipe Burnout yang Bisa Terjadi pada Setiap Karyawan dan Bagaimana Solusinya
Adalah biasa bagi para karyawan kalau mengalami kejenuhan saat bekerja, atau yang sekarang populer dengan istilah burnout. Penyebab burnout bisa berbeda-beda, meski akhirnya “hasilnya” sama: nggak fokus dan nggak produktif selama bekerja. Penyebab burnout ini akhirnya “melahirkan” beberapa tipe burnout.
Hmmm, kalau dipikir-pikir ya, mana ada kerja yang bener-bener bebas masalah, yang santuy abuis tanpa beban kerja, tanpa stres? Iya nggak sih? Dari rutinintas yang dilakukan setiap hari saja, kita akhirnya bisa merasakan jenuh. Coba saja melakukan aktivitas yang sama terus, tanpa ada masalah sama sekali setiap hari, setiap jam. Rasanya bosen juga kan?
So, burnout itu biasa. Wajar terjadi, pada siapa saja, di mana saja, kapan saja. Tapi kalau dibiarkan berlama-lama, itu dia yang enggak sehat untuk kesehatan mental. Dibiarkan lebih lama lagi? Wah, makin parah deh.
Jadi gimana dong? Ya, harus segera diatasi, sebelum memengaruhi kinerja kita di kantor. Jangan sampai nih, bonus melayang hanya karena kita yang enggak bisa memenuhi target deh. Bisa kacau kan, tujuan finansial yang sudah dibikin bareng di kelas-kelas finansial online QM Financial kemarin? DP rumah pertama jadi mundur, enggak jadi liburan ke Eropa, nggak jadi nonton konser Shawn Mendes … Aduh!
Tapi, harus diatasi dari mana dulu? Well, kita bisa mulai dari mencari penyebabnya.
Berikut adalah beberapa tipe burnout yang biasa dialami oleh para karyawan berdasarkan penyebabnya
1. Burnout karena beban kerja
Tipe burnout pertama ini sebenarnya juga bukan hal yang istimewa. Sudah lumrah kalau beban kerja memang tinggi maka kita pun kecapekan, apalagi kalau kita juga punya gaji besar. Besaran gaji biasanya memang berbanding lurus dengan wewenang dan tanggung jawab.
Karena itu, seharusnya kita sudah tahu solusi terbaik untuk mengatasi burnout akibat beban kerja yang luar biasa itu. Ambil cuti sejenak, lalu liburan. Atau manfaatkan saja weekend-nya. Sesekali pergi keluar kota, melipir ke daerah-daerah pinggiran menikmati suasana berbeda.
Enggak perlu jauh-jauh juga kan? Kalau kebetulan kerjanya di Jakarta, ya cari saja lokasi wisata sekitaran Jabodetabek. Yang murah meriah banyak, bahkan ada juga yang gratis tiket masuk. Lokasi wisata alam, misalnya, seperti curug-curug atau taman kekinian yang instagrammable.
Alokasikan sedikit anggaran agar bisa melakukan quick escape seperti ini di akhir pekan.
2. Burnout karena kurang tantangan
Nah, tipe burnout ini nih yang sempat disebutkan di atas. Burnout karena kurang tantangan, setiap hari terlalu stagnan saja kerjanya. Jenis-jenis pekerjaan yang rentan burnout karena kurang tantangan seperti ini biasanya adalah pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan paper works atau administrasi.
Sesuatu yang terjadi terus menerus, stagnan, tanpa masalah sama sekali memang bisa banget menimbulkan kebosanan. Jangan dikira deh, kerjaan yang tampaknya enggak ada masalah itu enak. Tantangannya saja yang beda.
Nah, kalau sudah begini, terus gimana?
Well, ya coba mencari cara atau celah supaya bisa mengatasi tipe burnout yang kedua ini. Kalau dari pengalaman dan pengamatan teman-teman yang sempat dan masih bekerja sebagai staf administrasi, biasanya mereka mengatasi kejenuhan kerja dengan cara mencari celah untuk side job, atau usaha sampingan. Misalnya saja, ke kantor sambil jualan–entah keripik, atau camilan, atau apa pun deh.
Hanya saja untuk punya side job ini ada beberapa etika terhadap pekerjaan utama yang harus diperhatikan ya, utamanya mengenai fokus dan produktivitas. Jangan sampai, karena punya pekerjaan atau usaha sampingan, tugas utama malah jadi terbengkalai.
Dan yang paling penting, apakah pihak perusahaan memang mengizinkan kita untuk melakukan side job? Nah, ini yang perlu dicari tahu lebih dulu ya.
3. Burnout karena masalah di luar pekerjaan
Tipe burnout ketiga adalah kejenuhan kerja akibat hal-hal yang justru terjadi di luar area kerja. Seperti apa misalnya? Keuangan.
Masalah keuangan yang membelit para karyawan bisa menjadi satu alasan besar mengapa produktivitas menurun dan jadi sering lost focus. Bahkan survei dari International Foundation of Employee Benefit Plans (IFEBP) di Brookfield Wisconsin membuktikan lo, bahwa 1 dari 5 pekerja mengalami stres di kantor bukan lantaran work load atau beban kerja mereka yang tinggi, melainkan disebabkan oleh masalah keuangan. Surprise-nya lagi, 66% pekerja yang bermasalah dengan produktivitas itu ternyata mengalami masalah utang.
Aduh! Padahal hal ini pastinya enggak perlu terjadi kan? Memang sih, utang itu ada perlunya juga, tapi tujuannya untuk apa dulu dong? Utang apa? Apakah memenuhi syarat utang sehat? Jangan-jangan malah enggak tahu kalau utang itu punya 3 syarat supaya tetap sehat?
Tipe burnout ketiga ini solusinya ya hanya satu: tambah wawasan literasi keuangan pribadi. Bisa diberikan secara kolektif, bareng-bareng karyawan lain dalam satu perusahaan dalam bentuk training keuangan, atau ikutan saja kelas finansial online QM Financial.
Kalau dalam bentuk training keuangan, QM Financial punya program #QMTraining yang interaktif dengan silabus yang komprehensif. Bisa disesuaikan dengan kebutuhan karyawan. Untuk kelas finansial online, siapa pun bisa ikutan, di mana pun mereka berada. Tinggal pilih saja sesuai kebutuhan.
Ketiga tipe burnout di atas sebaiknya sih jangan dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi, karena kalau semakin menumpuk, maka bisa saja ini berarti kita menyimpan bom waktu. Akibatnya, karier kita bisa terancam lo.
Jadi, yuk, mau belajar finansial apa hari ini?
Gaji Besar Utang Semakin Banyak, Apa yang Salah? Ini Dia 3 Penyebabnya!
Saat baru saja terima bekerja, berharap sih mendapat gaji besar, tapi ya namanya pemula merasa layak aja dapat gaji seberapa pun asal masih dalam batas UMR.
Setelah beberapa lama bekerja, gaji naik sedikit demi sedikit sesuai wewenang dan tanggung jawab yang juga mulai banyak. Dapat promosi, lalu naik gaji. Yang tadinya cukup ngangkot, tiba-tiba merasa enggak cukup. Karena tuntutan mobilitas yang cukup tinggi juga sih, akhirnya ambil deh kredit mobil.
Kredit mobil belum lunas, sudah ketemu seseorang dengan siapa pengin menua bersama. Biaya menikah, masih didukung orang tua sih. Tapi, berhubung sekarang sudah jadi manajer, punya gaji besar, rasanya gimana gitu kalau enggak bikin resepsi di hotel berbintang. Ambil deh kredit untuk tambahan biaya menikah.
Hidup bareng pasangan pasti enggak nyamanlah kalau masih di kos. Kebetulan, di kantor juga baru saja dipromosikan lagi, gaji pastinya menyesuaikan. Kredit yang diambil untuk biaya menikah masih ada, tapi tinggal tipis. Coba ambil kredit di tempat lain, untuk DP rumah yang kemudian disusul dengan cicilan KPR. Gaji besar ini, pasti cukuplah ya, untuk KPR.
Dan, kemudian punya anak. Butuh mobil yang lebih besar, supaya kalau pergi bisa muat sekeluarga.
Hasilnya, sudah qerja bagai quda, gaji naik sih, tapi boro-boro bisa nabung, rasanya enggak pernah pegang duit beneran. Semuanya cuma numpang lewat. Kok bisa?
Apakah ilustrasi di atas juga menjadi kisah hidupmu, wahai karyawan? Hvft!
Mari kita lihat, kesalahan apa saja yang biasanya dilakukan oleh karyawan sehingga gaji besar pun akhirnya enggak kerasa, karena utang juga semakin banyak.
3 Hal penyebab mengapa gaji besar tetapi utang juga semakin banyak
1. FOMO
FOMO–Fears of Missing Out–bisa dibilang semacam perasaan takut ketinggalan sesuatu; takut kudet, takut kuper, takut nggak ikut hype. Semakin ke sini, FOMO ini semakin mirip dengan penyakit. Gejalanya dilanda kecemasan, gelisah, enggak fokus dengan apa yang dikerjakan, sampai merasakan juga sakit fisik seperti sakit kepala.
Salah satu tanda FOMO ini–terutama yang terjadi di Indonesia–adalah tingginya tingkat utang untuk beli gadget. Ibaratnya, di Amerika, Apple baru saja rilis Iphone 7, konsumen di sini sudah menunggu Iphone 8 keluar. Lebih cepat hype-nya. Coba saja lihat di mal-mal atau pasar handphone, tiap kali ada rilis gadget terbaru, antrean mengular.
Ini bukan cuma khayalan, tapi fakta di lapangan yang sempat diungkap oleh salah seorang teman yang bekerja di sebuah penyedia jasa pinjaman, yang bekerja sama dengan mal-mal besar. Jasa pinjaman ini memungkinkan siapa saja untuk belanja barang elektronik terbaru–termasuk gadget dan handphone–dengan uang muka yang “sangat ringan”. Tentu saja ini akan jadi godaan buat mereka yang punya gaji besar.
“Ngeliat raut muka para konsumen setelah mendapatkan barang terbaru ini luar biasa banget deh!” Begitu tambahnya.
2. Nggak punya tujuan finansial
Seperti sudah tradisi atau menjadi bagian dari hidup, banyak orang menganggap punya utang itu biasa. Kayaknya enggak afdal aja gitu kalau enggak ada utang.
Yes, memang ada yang punya mindset begini. Utang menjadi motivasi diri untuk terus bekerja. Kalau utang sudah dilunasi semua, segera cari cara supaya bisa utang lagi.
Nggak heran, makanya punya gaji besar, utang juga banyak. Gaji ada untuk membayar utang. Karena ada gaji, maka punya utang. Pemasukan bukan untuk membangun masa depan, tetapi untuk menutup masa lalu–yang berupa utang.
Ini adalah “hasil” dari hidup tanpa tujuan finansial. Enggak tahu mau ngapain dengan uangnya. Enggak ada bayangan sama sekali ke depan mau hidup seperti apa. Mau punya rumah apa enggak, pengin hidup setelah pensiun seperti apa, dan sebagainya. Maka, cicilan utang pun menjadi tujuan finansialnya.
3. Kurang paham bahwa harta itu belum tentu aset
Nah, inilah hasil dari kurangnya edukasi literasi keuangan. Enggak bisa membedakan mana harta, mana aset. Punya gaji besar juga enggak menjamin si empunya gaji mendapatkan edukasi literasi keuangan yang cukup.
Secara umum, harta adalah aset kita. Tapi, ini pengertian kuno. Sekarang enggak begini lagi. Harta adalah segala hal yang sudah kita punya. Sedangkan, aset adalah barang-barang yang bisa memberi kita pemasukan. Begitu sih secara sederhananya, menurut Robert Kiyosaki.
Terus, sekarang, bagaimanakah dengan komposisi harta terhadap aset yang kita miliki? Jangan-jangan kita memang banyak harta, tetapi kekurangan aset?
Jika memang kita sudah bisa membedakan, maka mau beli mobil pun kita bisa menimbang, apakah akan menjadi sekadar harta (karena ada penurunan nilai), ataukah akan menjadi aset (karena lantas direntalkan, atau jadi taksi online sehingga mendatangkan penghasilan)?
Kalau hanya sekadar harta, apakah memang perlu ganti mobil berharga miliaran? Kalau misalnya masih bisa dijangkau pergi dengan taksi online, kenapa enggak?
Masalahnya, banyak yang enggak paham (atau nggak peduli?) tentang hal ini. Beli handphone sekadar buat gaya dan gengsi. Bukan karena butuh handphone karena punya online shop yang akan butuh kamera bagusnya, memory besarnya, ataupun kapasitas yang lebih besar demi kelancaran usaha.
Saat kita sudah paham akan konsep harta versus aset, maka kita akan bisa melogika, mana barang yang hanya “menyedot” gaji kita semata dan mana barang yang memang bisa kita ulik supaya bisa menghasilkan lebih banyak pemasukan.
Banyak hal memang kemudian membuat kita lost focus dari sesuatu yang lebih penting. Soal keuangan, apalagi. Ketiga hal di atas biasanya lantas membuat kita jadi enggak bisa membedakan mana keinginan dan mana kebutuhan, mana yang harus diprioritaskan dan mana yang bisa ditunda bahkan dicoret dari wishlist.
Gaji besar memang nggak jaminan kita lantas menjadi kaya sih. Bisa saja di balik gaji besar itu juga ada gunung utang yang jauh lebih besar.
Yuk, ikutan kelas finansial online yang sesuai dengan kebutuhan dalam Financial Clinic Online Series. Silakan cek jadwalnya ya. Jangan lupa follow juga akun Instagram QM Financial untuk berbagai tip keuangan yang praktis dan applicable.
Mengatasi Beban Kerja Tinggi, Lakukan 5 Tip Berikut
Sebagai karyawan, kadang kita memang diberi beban kerja yang cukup tinggi. Apalagi jika kita dianggap sebagai karyawan berkompeten dan bisa dipercaya. Biasanya sih memang, beban kerja akan semakin tinggi, seiring kepercayaan atasan dan rekan kerja yang juga semakin besar pada kita.
Sebuah prestasi, atau malah menjadi kutukan? Well, tergantung dari sudut mana kita melihatnya sih. Tapi kalau memang bisa dilihat dari banyak sisi, mengapa kita enggak melihatnya dari sisi positif, ya kan? Good vibes akan memberikan kita suntikan semangat untuk bekerja dan mengalahkan beban kerja seberapa pun besarnya.
Ingat-ingat, ada KPR yang harus diselesaikan. Dana pendidikan anak yang harus dikumpulkan. Dana pensiun yang mesti dirancang.
Jadi, ayo semangat, dan lakukan 5 hal berikut untuk bisa berdamai dengan beban kerja yang tinggi.
1. Tentukan prioritas
Yang pertama harus dilakukan adalah menentukan skala prioritas. Pekerjaan seabrek enggak akan selesai kalau kita enggak bisa memilah mana yang penting untuk diselesaikan terlebih dahulu. Pastinya semua tugas penting sih, makanya harus disesuaikan prioritasnya. Mungkin berdasarkan urutan waktu, atau bisa juga urutan urgensinya.
Buatlah to do list setiap kali mau mulai bekerja. Buat daftar tugas untuk hari ini agar kemudian bisa dilihat, pekerjaan mana yang harus didahulukan. To do list juga akan membuat kita bisa fokus menyelesaikan satu tugas dulu baru kemudian beralih ke tugas lain. Sebaiknya, minimalkan multitasking, karena–percayalah–meski kelihatannya keren, tapi multitasking lebih banyak bikin kita nggak fokus dan membuat hasilnya jadi nggak maksimal.
2. Fokus pada profesionalitas
Kalau selama ini kita menganggap diri kita hanya sebatas “kroco” atau sekadar “kuli”, maka ubahlah mindset ini. Kita adalah karyawan sebuah perusahaan–aset perusahaan yang berharga. Tanpa ada kita, perusahaan tidak akan berjalan dengan baik.
Inilah sikap profesional yang seharusnya kita punyai sebagai seseorang yang produktif. Ingat, bahwa semakin banyak kontribusi kita, maka secara tim, pasti akan bisa mencapai tujuan baik bersama.
3. Delegasikan dan jangan sungkan minta bantuan
Beban kerja ini bisa saja merupakan beban kerja tim dan beban kerja individu. Untuk beban kerja tim, tentu saja, kita harus membaginya dengan tim.
Pilahlah tugas-tugas yang ada, lalu delegasikan pada rekan kerja atau bawahan–jika ada–untuk dikerjakan hingga tuntas. Fokuslah pada tugas individu yang harus dikerjakan, dan selalu ingat, bahwa hasil kerja kita akan dinanti oleh orang lain yang tugasnya tergantung pada output yang kita berikan.
Jika memang kita mengalami over workload, jangan sungkan meminta bantuan. Mengatakan bahwa kita tidak sanggup menyelesaikan tugas bukan berarti kita lemah kok. Apalagi jika memang beban kerja kita sudah melebihi kapasitas kita sendiri sebagai karyawan. Ada baiknya untuk segera minta bantuan.
4. Ikhlas
Bekerja tanpa keikhlasan sudah pasti akan berbuah ketidakpuasan. Ada saja yang akan menyebabkan kita tak pernah puas saat bekerja, mulai dari merasa bahwa punya atasan dan rekan kerja toxic, atasan pilih kasih, sampai dengan merasa dimanfaatkan atau diperlakukan secara tidak adil oleh kantor.
Kalau sudah ada “racun” seperti ini di pikiran, sudah pasti gampang diduga: kita enggak akan betah bekerja berlama-lama, apalagi untuk bisa menunjukkan kinerja yang optimal. Bawaan pasti sudah males aja mau ngapa-ngapain.
Ikhlas memang sulit. Tapi bisa kok dipupuk setiap hari. Salah satu caranya adalah dengan tidak semata-mata bekerja karena berorientasi pada nominal gaji. Coba deh, direnungkan lagi, adakah hal-hal lain yang kita terima dan rasakan–yang melebihi nilai uang–saat bekerja. Misalnya, kepuasan saat berhasil mengatasi kesulitan dan tantangan, punya kesempatan belajar lebih banyak, dan berbagai benefit nonfinansial lain yang kita terima.
5. Singkirkan pengganggu fokus kerja
Kadang, kalau kita kepikiran sesuatu–apalagi yang sampai menimbulkan stres–akan berpengaruh juga pada kinerja kita di kantor. Akibatnya, akan membuat kita kesulitan untuk menyelesaikan beban kerja, yang mungkin masih belum seberapa.
Kalau memang mengalami hal seperti ini, ada baiknya selesaikan dulu masalah kita itu. Seperti masalah keuangan pribadi misalnya.
Jangan salah, 4 dari 5 perusahan melaporkan bahwa 76% karyawan mengaku stres di kantor, 60%-nya mengaku enggak bisa fokus, lantaran mengalami masalah keuangan pribadi. Persentase yang enggak kecil kan ya?
So, merasa kesulitan mengatasi beban kerja dari kantor? Coba cek, apakah kita punya masalah lain yang akhirnya membuat kita stres sehingga produktivitas menurun? Masalah keuangan? Terlilit utang? Cash flow yang selalu minus? Anak sebentar lagi harus sekolah, tapi belum punya dana?
Beresin dulu yuk, masalah keuangannya! Baru deh bisa fokus kerja.
Yuk, daftarkan diri untuk mengikuti kelas-kelas finansial online dari QM Financial, yang bisa diikuti dari mana saja. Follow juga Instagram QM Financial untuk berbagai tip keuangan yang praktis dan aplikatif.
7 Soft Skill Karyawan yang Harus Selalu Ditingkatkan di Zaman Teknologi
Dunia karier sudah berubah, dan akan semakin berubah. Yang dulu berlaku, sekarang enggak lagi. Demikian juga kebutuhan akan kompetensi karyawan; berkembang sesuai zaman. Tetapi ada beberapa soft skill karyawan yang tetap dibutuhkan dan harus terus ditingkatkan sejak dulu hingga sekarang.
Apa saja?
7 Soft skill karyawan yang harus selalu ditingkatkan dari waktu ke waktu
1. Kemampuan beradaptasi
Hanya mereka yang adaptif terhadap perubahan yang akan mampu bertahan. Ini sudah hukum seleksi alam. Demikian juga di dunia kerja.
Sekali lagi, zaman sudah berubah. Teknologi sudah berkembang luar biasa. Yang dulu manual, sekarang terotomatisasi. Bahkan, ada beberapa jenis pekerjaan yang bisa dipastikan punah lantaran sudah tergantikan oleh teknologi: robot dan Artificial Intelligence.
Kalau kita–sebagai karyawan–enggak bisa (mau) mengikuti dan berusaha beradaptasi, ya siap-siap bhay saja. Makanya, jangan mau kalah sama zaman. Upgrade keterampilan diri terus. Jangan bangga sama kegaptekan diri sendiri. Tambah pengetahuan terutama yang melibatkan teknologi.
2. Keterampilan berkomunikasi
Di era komunikasi digital, meeting semakin mudah dan murah, serta praktis! Sekarang, untuk bisa meeting atau melakukan koordinasi enggak perlu lagi harus bertemu secara fisik. Contohnya, para pekerja remote yang bisa saja punya atasan di belahan dunia lain.
Dan, di sinilah peran keterampilan berkomunikasi yang baik akan sangat penting. Iyalah ya, meeting bertemu muka saja sering terjadi kesalahpahaman, ini meeting jarak jauh. Pasti butuh usaha ekstra.
Salah satu hal penting untuk mendukung perkembangan keterampilan berkomunikasi ini adalah penguasaan beberapa cara komunikasi. Mereka yang menguasai teknik komunikasi efektif bakalan “menguasai” mereka yang lebih lemah dalam berkomunikasi.
Ini juga sudah dalil.
So, adalah penting bagi karyawan untuk selalu mengasah keterampilan satu ini. Setidaknya, kita mesti bisa mengutarakan pendapat dengan baik, pun bisa mendengarkan opini dan masukan dari orang lain dengan baik pula. Bukankah komunikasi berarti adalah dialog dua arah?
3. Kemauan untuk belajar
Perkembangan bakalan terjadi, dan tak bisa diprediksi. Kita harus siap dengan segala perubahan itu dan siap menghadapinya. Yes, kemampuan beradaptasi kita dituntut untuk juga berkembang.
Tapi, enggak cuma bisa beradaptasi saja, kita pun harus siap belajar banyak hal baru. Soft skill satu ini memang kelihatannya mudah; hanya berupa kemauan untuk belajar. Tapi nyatanya, tak semua orang mau melakukannya.
Padahal ini penting, karena sebagai karyawan yang harus “bersaing” dan berteman dengan teknologi ke depannya, kita enggak hanya bisa mengandalkan evidence base practice–melakukan sesuatu berdasarkan apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Tetapi juga harus memprediksi, kebutuhan keterampilan apa saja yang dibutuhkan di masa depan.
Ini berarti, kita justru harus belajar dari masa depan–alih-alih belajar dari masa lalu. Kita enggak boleh menunggu sesuatu terjadi dulu, tetapi kita harus sudah mulai belajar dari sekarang demi kebutuhan di masa depan.
4. Etika
Etika kerja sekarang semakin longgar. Ke kantor sudah enggak perlu pakai baju yang terlalu resmi. Jam kerja lebih fleksibel. Meeting bisa dilakukan sembari hangout di coffee shop, dan sebagainya.
Tapi, bagaimanapun, dalam sebuah organisasi yang melibatkan banyak orang, dari generasi muda kini maupun generasi yang lebih senior, ada etika sopan santun yang tetap penting untuk diperhatikan.
Bukan lantaran senioritas, tetapi ini lebih ke sesama karyawan yang harus bisa menghargai satu sama lain. Karena kalau enggak, kerja sama dan hubungan antarkaryawan ya terganggu. Bahkan bisa saja terjadi politik kantor.
5. Kepemimpinan
Barangkali saja kita memang bagian dari tim sekarang; punya atasan, punya rekan kerja. Tapi bukan tak mungkin, ke depan nanti kita harus bisa memimpin orang lain. Enggak hanya seorang manajer saja lo yang harus punya soft skill berupa kepemimpinan yang baik.
Soft skill ini memang cukup kompleks ya, bisa meliputi kemampuan untuk mengoordinasi dengan baik, men-deliver pesan dengan baik, manajemen tim, problem solving, dan sebagainya. Sebuah bentuk soft skill yang lengkap memang. Dan, enggak bisa dipelajari dalam satu hari, melainkan bisa berkembang seiring waktu.
Belajar kepemimpinan sepertinya menjadi waktu belajar yang panjang.
6. Manajemen waktu
Sudah umum terjadi, bahwa target pekerjaan banyak sedangkan waktu untuk mengerjakannya hanya sedikit. Hal ini biasa sih terjadi di mana-mana, di perusahaan mana pun.
Maka, soft skill untuk bisa mengelola waktu dengan baik akan sangat berguna. Tanpa soft skill ini, sudah pasti deh, karyawan mana pun enggak akan bisa produktif. Apalagi kalau kita enggak bisa memilah mana yang harus diprioritaskan dengan baik. Wah, apa kabar kerjaan beres deh.
7. Keterampilan pengelolaan keuangan
Satu lagi soft skill penting yang harus selalu dikembangkan, yaitu kemampuan mengelola keuangan. Ternyata ini berkaitan banget dengan kinerja kita sebagai karyawan di kantor lo!
Ada penelitian yang mengungkapkan fakta, bahwa karena terlilit masalah keuangan pribadi, sebanyak 76% karyawan menjadi stres selama menyelesaikan tugasnya di kantor, 60%-nya mengaku enggak fokus, dan lebih dari 30% mengaku jadi sering nggak masuk kantor.
Ouch! Pastinya hal ini enggak akan baik untuk perusahaan itu sendiri bukan?
Makanya, yuk, kembangkan diri terus sesuai perubahan yang terjadi. Enggak mau kan, kalau pekerjaan kita nanti “diambil alih” oleh teknologi? Karena itu, penting bagi karyawan untuk bisa meningkatkan soft skill seperti ini–yang tidak bisa tergantikan oleh mesin.
Khusus untuk meningkatkan keterampilan mengelola keuangan pribadi, yuk, ikuti kelas-kelas finansial online dari QM Financial yang jadwalnya bisa disimak di web ini. Mulai dari keterampilan dasar, seperti mengatur cash flow dan menentukan tujuan finansial bisa dipelajari secara lengkap, sampai bagaimana berinvestasi segape Warren Buffett!
Follow juga Instagram QM Financial untuk berbagai tip keuangan yang praktis dan aplikatif.