Gaji Besar Utang Semakin Banyak, Apa yang Salah? Ini Dia 3 Penyebabnya!
Saat baru saja terima bekerja, berharap sih mendapat gaji besar, tapi ya namanya pemula merasa layak aja dapat gaji seberapa pun asal masih dalam batas UMR.
Setelah beberapa lama bekerja, gaji naik sedikit demi sedikit sesuai wewenang dan tanggung jawab yang juga mulai banyak. Dapat promosi, lalu naik gaji. Yang tadinya cukup ngangkot, tiba-tiba merasa enggak cukup. Karena tuntutan mobilitas yang cukup tinggi juga sih, akhirnya ambil deh kredit mobil.
Kredit mobil belum lunas, sudah ketemu seseorang dengan siapa pengin menua bersama. Biaya menikah, masih didukung orang tua sih. Tapi, berhubung sekarang sudah jadi manajer, punya gaji besar, rasanya gimana gitu kalau enggak bikin resepsi di hotel berbintang. Ambil deh kredit untuk tambahan biaya menikah.
Hidup bareng pasangan pasti enggak nyamanlah kalau masih di kos. Kebetulan, di kantor juga baru saja dipromosikan lagi, gaji pastinya menyesuaikan. Kredit yang diambil untuk biaya menikah masih ada, tapi tinggal tipis. Coba ambil kredit di tempat lain, untuk DP rumah yang kemudian disusul dengan cicilan KPR. Gaji besar ini, pasti cukuplah ya, untuk KPR.
Dan, kemudian punya anak. Butuh mobil yang lebih besar, supaya kalau pergi bisa muat sekeluarga.
Hasilnya, sudah qerja bagai quda, gaji naik sih, tapi boro-boro bisa nabung, rasanya enggak pernah pegang duit beneran. Semuanya cuma numpang lewat. Kok bisa?
Apakah ilustrasi di atas juga menjadi kisah hidupmu, wahai karyawan? Hvft!
Mari kita lihat, kesalahan apa saja yang biasanya dilakukan oleh karyawan sehingga gaji besar pun akhirnya enggak kerasa, karena utang juga semakin banyak.
3 Hal penyebab mengapa gaji besar tetapi utang juga semakin banyak
1. FOMO
FOMO–Fears of Missing Out–bisa dibilang semacam perasaan takut ketinggalan sesuatu; takut kudet, takut kuper, takut nggak ikut hype. Semakin ke sini, FOMO ini semakin mirip dengan penyakit. Gejalanya dilanda kecemasan, gelisah, enggak fokus dengan apa yang dikerjakan, sampai merasakan juga sakit fisik seperti sakit kepala.
Salah satu tanda FOMO ini–terutama yang terjadi di Indonesia–adalah tingginya tingkat utang untuk beli gadget. Ibaratnya, di Amerika, Apple baru saja rilis Iphone 7, konsumen di sini sudah menunggu Iphone 8 keluar. Lebih cepat hype-nya. Coba saja lihat di mal-mal atau pasar handphone, tiap kali ada rilis gadget terbaru, antrean mengular.
Ini bukan cuma khayalan, tapi fakta di lapangan yang sempat diungkap oleh salah seorang teman yang bekerja di sebuah penyedia jasa pinjaman, yang bekerja sama dengan mal-mal besar. Jasa pinjaman ini memungkinkan siapa saja untuk belanja barang elektronik terbaru–termasuk gadget dan handphone–dengan uang muka yang “sangat ringan”. Tentu saja ini akan jadi godaan buat mereka yang punya gaji besar.
“Ngeliat raut muka para konsumen setelah mendapatkan barang terbaru ini luar biasa banget deh!” Begitu tambahnya.
2. Nggak punya tujuan finansial
Seperti sudah tradisi atau menjadi bagian dari hidup, banyak orang menganggap punya utang itu biasa. Kayaknya enggak afdal aja gitu kalau enggak ada utang.
Yes, memang ada yang punya mindset begini. Utang menjadi motivasi diri untuk terus bekerja. Kalau utang sudah dilunasi semua, segera cari cara supaya bisa utang lagi.
Nggak heran, makanya punya gaji besar, utang juga banyak. Gaji ada untuk membayar utang. Karena ada gaji, maka punya utang. Pemasukan bukan untuk membangun masa depan, tetapi untuk menutup masa lalu–yang berupa utang.
Ini adalah “hasil” dari hidup tanpa tujuan finansial. Enggak tahu mau ngapain dengan uangnya. Enggak ada bayangan sama sekali ke depan mau hidup seperti apa. Mau punya rumah apa enggak, pengin hidup setelah pensiun seperti apa, dan sebagainya. Maka, cicilan utang pun menjadi tujuan finansialnya.
3. Kurang paham bahwa harta itu belum tentu aset
Nah, inilah hasil dari kurangnya edukasi literasi keuangan. Enggak bisa membedakan mana harta, mana aset. Punya gaji besar juga enggak menjamin si empunya gaji mendapatkan edukasi literasi keuangan yang cukup.
Secara umum, harta adalah aset kita. Tapi, ini pengertian kuno. Sekarang enggak begini lagi. Harta adalah segala hal yang sudah kita punya. Sedangkan, aset adalah barang-barang yang bisa memberi kita pemasukan. Begitu sih secara sederhananya, menurut Robert Kiyosaki.
Terus, sekarang, bagaimanakah dengan komposisi harta terhadap aset yang kita miliki? Jangan-jangan kita memang banyak harta, tetapi kekurangan aset?
Jika memang kita sudah bisa membedakan, maka mau beli mobil pun kita bisa menimbang, apakah akan menjadi sekadar harta (karena ada penurunan nilai), ataukah akan menjadi aset (karena lantas direntalkan, atau jadi taksi online sehingga mendatangkan penghasilan)?
Kalau hanya sekadar harta, apakah memang perlu ganti mobil berharga miliaran? Kalau misalnya masih bisa dijangkau pergi dengan taksi online, kenapa enggak?
Masalahnya, banyak yang enggak paham (atau nggak peduli?) tentang hal ini. Beli handphone sekadar buat gaya dan gengsi. Bukan karena butuh handphone karena punya online shop yang akan butuh kamera bagusnya, memory besarnya, ataupun kapasitas yang lebih besar demi kelancaran usaha.
Saat kita sudah paham akan konsep harta versus aset, maka kita akan bisa melogika, mana barang yang hanya “menyedot” gaji kita semata dan mana barang yang memang bisa kita ulik supaya bisa menghasilkan lebih banyak pemasukan.
Banyak hal memang kemudian membuat kita lost focus dari sesuatu yang lebih penting. Soal keuangan, apalagi. Ketiga hal di atas biasanya lantas membuat kita jadi enggak bisa membedakan mana keinginan dan mana kebutuhan, mana yang harus diprioritaskan dan mana yang bisa ditunda bahkan dicoret dari wishlist.
Gaji besar memang nggak jaminan kita lantas menjadi kaya sih. Bisa saja di balik gaji besar itu juga ada gunung utang yang jauh lebih besar.
Yuk, ikutan kelas finansial online yang sesuai dengan kebutuhan dalam Financial Clinic Online Series. Silakan cek jadwalnya ya. Jangan lupa follow juga akun Instagram QM Financial untuk berbagai tip keuangan yang praktis dan applicable.
Inilah Yang Saya Tanyakan Pada Suami Di Ultah Pernikahan Ke-10!
Berani gak nanya pada pasangan..
“Sayang, yang mana hartaku, yang mana hartamu?”
SAYA TENTU TIDAK BERANI! Ligwina ini cuma galak di luar rumah. Di rumah sendiri mana berani nanya yang mana hartaku, yang mana hartamu!