Pengin Kerja dengan Gaji Tinggi Nggak Harus di Startup Unicorn – Siapa Aja Bisa!
Pengin kerja dengan gaji tinggi? Siapa sih yang enggak mau? Apalagi kalau sudah gaji tinggi, kita juga hepi melakukannya. Misalnya, kerja di startup unicorn. Duh, dream job banget kan ya?
Tapi, hati-hati. Keinginan ini bisa membuat kita jadi enggak mensyukuri pekerjaan kita yang sekarang. Terutama kalau kita sudah mulai terobsesi. Lihat saja, tidak dalam waktu yang terlalu lama, kita akan segera merasakan ketidakpuasan bekerja di perusahaan yang sekarang.
Apalagi di zaman media sosial gini. Lihat akun sebelah yang posting foto-foto liburan ke luar negeri saja bisa bikin kita jadi sakit mental mendadak. Tiba-tiba saja kita merasa misqueen, kurang beruntung, dan segala perasaan negatif lainnya terhadap pekerjaan yang kita punya–yang kita rasakan cuma bisa ngasih gaji rendah. Bertanya-tanya, eh, dia kerja apa sih, kayaknya punya gaji tinggi ya?
Lalu, mendadak, gaji yang tadinya cukup dan oke, jadi kurang.
Duh, duh. Hati-hati lo! Kalau sudah begini, gejala kesehatan mental terganggu bisa datang lebih cepat, karena sudah pasti nih, ke depannya kita akan semakin sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Rumput tetangga akan selalu tampak lebih hijau. Rumput sendiri tampak selalu kering dan nggak indah. Padahal, ya kita juga enggak tahu, di balik rumput hijau tetangga itu ada apa, iya kan? Bisa saja di bawahnya dihuni cacing, ular berbisa, dan hal-hal lain yang toxic.
Hmmm, jadi gimana dong? Enggak boleh berharap bisa kerja dengan gaji tinggi?
Ya, boleh. Siapa bilang enggak boleh?
Tapi, kita enggak harus kerja di startup unicorn kok untuk bisa dapat gaji tinggi. Malah faktanya, “gaji tinggi” ini sangat relatif, bahkan berkaitan dengan mindset.
Mau kerja dengan gaji tinggi? Semua orang juga bisa!
1. Mindset!
Perlu untuk selalu diingat, nominal gaji adalah relatif. Bahkan, bisa jadi it’s all about mindset. Mindset gaji tinggi itu berarti ada angka Rp10 juta, Rp25 juta, Rp100 juta di slip gaji.
Tapi ini sama saja bohong, kalau gajinya cuma lewat di rekening.
Gaji tinggi adalah relatif, dan ini terletak di mindset.
Kalau bilang enggak cukup, ya kapan sih gaji bisa cukup? Bukan gajinya yang enggak cukup, mungkin lifestyle kita yang ketinggian. Nah, mindset lagi kan? Karena banyak yang mengalami juga, gaji naik berarti lifestyle naik. Padahal enggak harus gitu.
2. Pikirkan benefit lain selain gaji
Komponen gaji itu ada banyak, yang terdiri atas beberapa kompensasi finansial. Nah, jangan sampai lupa, bahwa di samping kompensasi finansial tersebut ada yang namanya kompensasi nonfinansial.
Coba hitung, berapa banyak kompensasi nonfinansial yang sudah kita terima dari perusahaan? Seperti suasana kerja yang menyenangkan, kesempatan berkembang yang luas, ide-ide kita selalu didengarkan, masukan kita diperhitungkan, juga rekan-rekan kerja nontoxic yang selalu bikin kerja jadi lebih seru, atasan yang kooperatif ….
Semua itu, sangat tak sebanding kalau mau dibandingkan dengan uang kan?
3. Setiap orang punya perjuangan masing-masing
Catat, bahwa setiap orang punya perjuangan masing-masing. Dengan perjuangan masing-masing itu, maka enggak heran jika “jatah”-nya juga sudah punya sendiri-sendiri.
Kita enggak pernah tahu kan, kayak apa perjuangan orang lain?
Wah, gila. CEO startup anu gajinya ratusan juta. Well, kita enggak pernah tahu, bagaimana ia–selaku cofounder, mungkin–harus bekerja keras membangun bisnis rintisan tersebut dari bawah bersama partner-partner bisnisnya.
Wah, marketing strategistnya startup inu gajinya puluhan juta. Oh tapi, kita enggak pernah tahu bagaimana ia harus memenuhi target penjualan setiap harinya kan? Kalau ia lengah sedikit saja dalam menjalankan tugas, bukan enggak mungkin ia mempertaruhkan dapur sekian banyak karyawan yang bekerja di perusahaan yang sama lo.
Semua memang selalu ada konsekuensinya.
4. Belajar atur cash flow
Rezeki memang sudah ada yang mengatur. Kita kebagian berapa, dan orang lain seberapa. Tapi, sama saja bohong juga kalau kita enggak mengatur rezeki yang sudah dijatah itu. Bener nggak?
So, apa kabar cash flow?
Kalau cash flow kita sehat, sampai bebas utang sama sekali, misalnya–bisa jadi lo, kita sebenarnya punya gaji tinggi yang lebih besar ketimbang mereka dengan gaji Rp100 juta, tapi utangnya sampai miliaran dan baru akan lunas sekian puluh tahun kemudian.
5. Belajar investasi
Bayangkan, gaji ada dan teratur meski enggak punya gaji tinggi, tapi selain itu kita punya side job–yang bisa kita kerjakan sambil hepi-hepi dan dapat penghasilan sampingan–plus punya investasi yang setiap bulan bisa menambah cash flow.
Jadi, berasa punya gaji tinggi kan? Jangan kaget kalau entar tahu-tahu kaya kayak Taylor Swift.
Makanya, yuk, ikuti kelas-kelas finansial online dari QM Financial yang jadwalnya bisa kamu simak di web ini. Mulai dari keterampilan dasar, seperti mengatur cash flow dan menentukan tujuan finansial bisa dipelajari secara lengkap, sampai bagaimana berinvestasi segape Warren Buffett! Follow juga Instagram QM Financial untuk berbagai tip keuangan yang praktis dan aplikatif.
Seru kan?
So, mau belajar finansial apa hari ini, biar enggak envy sama yang punya gaji tinggi?
Kerja di Startup Itu Berarti Gaji Besar? Coba Cek 3 Faktanya!
Belakangan semakin banyak millenial yang bercita-cita untuk kerja di startup. Startup apa aja kek, yang penting startup. Meski tetap ada generasi millenial yang berkeinginan melamar kerja di perusahaan konvensional, terutama yang sudah punya nama besar.
Meroketnya nama beberapa startup pioneer, seperti Gojek, Traveloka, Bukalapak dan Tokopedia, sepertinya juga memengaruhi fenomena perubahaan mindset ini. Selain tentunya cara berpikir para millenial yang memang berbeda dengan angkatan kerja sebelumnya.
Salah satu hal yang semakin membuat para millenial mupeng ingin bekerja di startup adalah konon gajinya yang berlipat-lipat kali dari UMR. Wah, benarkah gaji para karyawan startup sampai sedemikian tinggi?
Kelly Services, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa rekrutmen, pernah merilis daftar gaji yang diperoleh oleh karyawan perusahaan ecommerce Indonesia. Berikut bocoran gaji 13 posisinya:
- Sales executive 7 juta
- Merchandising Manager 20 juta
- Content Manager 20 juta
- Sales Manager 20 juta
- Head of Digital Marketing 20 juta
- Platform Manager 25 juta
- Product Manager 25 juta
- IT Operation Manager 25 juta
- UI/UX Manager 30 juta
- Head of Communication & Partnership 40 juta
- Head of Marketing 45 juta
- Head of Operation 50 juta
- Head of Merchandising 50 juta
Wah, kalau melihat daftar di atas, maka tak heran para millenial kepincut untuk bekerja di perusahaan startup ya? Namun, ada yang harus dicermati tuh. Gaji-gaji tersebut adalah milik para petinggi startup, yang berarti untuk naik ke jenjang yang setara, kita pun harus bekerja keras untuk meningkatkan kinerja kita. Betul?
Ada artikel lain lagi yang dilansir oleh Mojok.co, mengenai fenomena kerja di startup ini. Disebutkan bahwa gaji besar ini hanya mungkin ada di perusahaan startup unicorn, yang berarti perusahaan tersebut valuasinya mencapai lebih dari US$1 miliar, atau setara dengan Rp 13 triliun.
Pertanyaannya, apakah semua perusahaan startup valuasinya mencapai angka yang sangat fantastis itu? Jawabannya, tidak. Banyak perusahaan startup yang masih merintis pasar dan bisnisnya, sehingga belum bisa mencapai omzet penjualan yang kemudian dapat diberikan dalam bentuk gaji berdigit banyak pada karyawannya.
Banyak perusahaan startup yang boro-boro punya kantor di lokasi yang tetap, kadang mereka masih “menumpang” di coworking space satu dan pindah ke coworking space yang lain. Ada juga perusahaan startup yang masih menempati kantor di garasi rumah foundernya.
Namun, ada hal lain selain gaji yang mungkin membuat karyawannya tetap betah bekerja di perusahaan startup, ketimbang perusahaan konvensional. Ada beberapa hal yang tetap membuat para millenial tertarik untuk bekerja di perusahaan startup.
Beberapa Fakta Mengenai Kerja di Startup
1. Banyak kenyamanan yang diberikan
Dalam artikel mengenai sektor yang memberikan fasilitas kesehatan terbaik yang lalu, kita bisa melihat ada beberapa perusahaan startup yang memang memberikan kenyamanan yang baik bagi karyawannya.
Belum lagi soal jam kerja, yang konon lebih fleksibel ketimbang perusahaan konvensional yang memberlakukan batasan jam kerja. Bahkan sebagian besar juga mengizinkan karyawan bekerja secara remote, tidak harus berada di satu lokasi untuk bisa bekerja bersama.
Tentu saja, hal ini menjadi nilai plus untuk kerja di perusahaan startup ketimbang bekerja di perusahaan konvensional.
2. Gaji ekuivalen dengan beban kerja
Gaji besar pasti diberikan dengan tuntutan kinerja yang optimal pula. Hal ini juga berlaku di perusahaan startup, tak hanya di perusahaan konvensional.
Dalam perusahan startup, terutama yang masih rintisan, kadangkala karyawan juga harus merangkap-rangkap berbagai jabatan dan tugas. Hal ini terjadi lantaran rata-rata jumlah karyawan perusahaan startup rintisan juga hanya terdiri atas beberapa orang saja demi efisiensi kerja.
3. Siap bersaing dan harus bertumbuh dengan cepat
Tuntutan untuk memberikan kinerja yang optimal bagi para karyawan perusahaan startup ini juga bukan karena tanpa sebab. Seperti yang sudah dilansir oleh Tech In Asia, di Indonesia setiap bulannya ada startup baru. Dan tidak hanya satu, tapi sampai puluhan. Jadi, bisa dibayangkan berapa banyak perusahaan startup baru dalam satu tahun.
Ini berarti persaingan bisnis akan semakin ketat. Butuh pribadi-pribadi kreatif untuk bisa bertahan, apalagi untuk bisa berkembang dan melejit di antara yang lainnya.
Jadi, apakah kerja di startup itu berarti gaji besar? Mungkin, namun sepadan pula dengan target dan beban kerja yang juga besar.
Tertarik untuk mengundang QM Financial untuk memberikan program edukasi keuangan di perusahaan Anda? Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA/MIA). Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas terbaru.