Pembagian Beban Kerja Karyawan: 5 Akibat Jika Sampai Tak Seimbang
Di surat perjanjian kerja atau di peraturan perusahaan, biasanya memang sudah ada bab atau bahasan mengenai job description, yang meliputi daftar tugas apa saja yang menjadi tanggung jawab dan wewenang seorang karyawan. Namun, pada praktiknya kadang ada saja pembagian beban kerja yang dirasa tak seimbang.
Indikasi ketidakseimbangan pembagian beban kerja antarkaryawan ini cukup mudah terlihat, sebenarnya. Kalau ada karyawan yang seakan selalu kehabisan waktu saat mengerjakan tugas, keteteran, bahkan sampai lupa tak beristirahat, sedangkan yang lain ada yang sempat baca koran, main catur, menicure pedicure di kantor, nonton Youtube nonstop, maka bisa jadi itu adalah salah satu tanda ada pembagian beban kerja yang tak merata.
Barangkali pihak perusahaan bisa berkilah, kemampuan satu karyawan dengan yang lain memang berbeda, sehingga beban kerja pun berbeda (plus gaji juga berbeda). Namun, kalau sampai terjadi ketidakseimbangan atau ketimpangan pembagian beban kerja seperti ini, tentunya, akan membawa dampak kurang baik juga bagi perusahaan. Di antaranya adalah sebagai berikut.
5 Hal yang bisa terjadi ketika pembagian beban kerja tak seimbang antara karyawan yang satu dengan yang lainnya
1. Stres kerja meningkat
Beban kerja yang melebihi kapasitas akan mengakibatkan si karyawan burnout, mengalami kelelahan fisik dan mental, hingga akhirnya menimbulkan stres kerja.
Stres yang muncul ini sudah pasti akan mengganggu kinerja dan performa sang karyawan sehari-hari. Produktivitas menurun, kurang fokus, dan sebagainya, yang nantinya akan berakibat juga pada kinerja perusahaan secara keseluruhan.
2. Karyawan akan sering menuntut kenaikan gaji
Beban kerja yang tak seimbang akan membuat si karyawan curiga, bertanya-tanya dan berpikir negatif. Jangan-jangan gajinya juga enggak seimbang.
Lalu mulailah karyawan yang merasa terlalu berat beban kerjanya ini kepo, “Berapa ya gaji karyawan yang suka gabut di kantor itu? Jangan-jangan sama kayak gue!” Akhirnya–kalau memang sama–si karyawan akan merasa tidak diperlakukan adil, hingga kemudian bisa saja ia berpikir untuk menuntut kenaikan gaji.
Well, kalau memang perusahaan siap menaikkan gaji tentunya hal ini nggak akan masalah sih, sebenarnya. Tapi, menaikkan gaji ini bukan hal yang semata-mata bisa langsung dilakukan, bukan? Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan oleh pihak perusahaan untuk menaikkan gaji seorang karyawan, meskipun beban kerja si karyawan memang berat.
3. Naiknya turnover karyawan
Jika seorang karyawan merasa tidak diperlakukan secara adil lantaran beban kerja yang lebih berat ketimbang karyawan yang lain (apalagi ditambah dengan besaran gaji yang sama, dan tidak adanya jalan keluar yang bisa didiskusikan antara karyawan dan perusahaan plus stres), maka bisa jadi karyawan menjadi tak betah lagi bekerja.
Akibatnya, bisa hampir dipastikan karyawan akan mempertimbangkan untuk resign, dan mencari tempat kerja lain yang menurutnya bisa lebih baik.
Kalau turnover–intensitas karyawan keluar masuk–tinggi, berarti ini adalah indikasi manajemen perusahaan yang kurang sehat. Reputasi bisa menurun, hingga bisa berpengaruh juga ke bisnis perusahaan.
4. Izin tidak masuk meningkat
Jika si karyawan belum memutuskan untuk resign, tapi bisa jadi hal ini juga mengakibatkan tingkat sick leave alias izin sakit jadi bertambah. Meskipun mungkin si karyawan enggak benar-benar sakit.
Sering deh dapat curhatan dari beberapa staf HR, yang mengaku lihat sharing “oknum” karyawan di media sosial lagi liburan, atau lagi makan di kafe, atau lagi di spa, padahal izin sakit ke kantor. Rasanya antara geli, kasihan, dan paham gitu, kenapa si karyawan berbohong seperti itu.
5. Rawan fraud
Ketimpangan beban kerja, yang kemudian berlanjut dengan mentoknya jalan keluar yang bisa didiskusikan antara karyawan dan perusahaan, bisa berpeluang menimbulkan rasa ketidakpuasan karyawan terhadap perusahaan. Banyak hal yang bisa terjadi kemudian, selain yang sudah disebutkan di atas, salah satunya adalah peluang terjadinya fraud.
Well, siapa yang menginginkan terjadi fraud dalam perusahaan? Pemilik bisnis, manajer, CEO, staf HR mana pun sepertinya tak akan menginginkan fraud terjadi, karena bisa merugikan perusahaan baik material maupun imaterial.
Tapi yah, ada peluang, ada ketidakpuasan, dan ada kebutuhan, bisa membuat seorang karyawan jujur yang tadinya berkarakter pekerja keras menjadi “tergoda”.
Ketimpangan pembagian beban kerja antarkaryawan memang sebaiknya tidak diabaikan, karena sedemikian banyak dampak tak mengenakkan yang bisa terjadi, seperti yang disebutkan di atas. Akan lebih baik, jika pihak perusahaan sudah memperhatikan hal ini sejak awal hingga sedetail-detailnya, sehingga ketimpangan ini tidak terjadi. Segera ambil tindakan seperlunya, hingga masalah ini tersolusikan.
Jangan biarkan karyawan terbaik merasakan ketidakpuasan, sehingga berpikir untuk resign.
Lengkapi juga dengan berbagai training, agar karyawan yang kurang kompeten bisa meningkat kompetensinya. Pun karyawan yang sudah berprestasi semakin mahir melakukan manajemen diri, termasuk semakin pintar dalam mengelola keuangan pribadinya.
Yuk, adakan #QMTraining, sebuah program pelatihan interaktif untuk karyawan yang disusun bersama konsultan dan pembicara dari QM Financial, sesuai dengan kebutuhan literasi finansial perusahaan.
Hubungi kami melalui WhatsApp ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru.
3 Jenis Gratifikasi yang Harus Ditolak dan Beberapa yang Tidak Harus Dilaporkan oleh Karyawan
Sepertinya, sudah diketahui secara umum, bahwa menjadi PNS itu berarti juga harus wajib mewaspadai peluang terjadinya gratifikasi. Bagi PNS, ada beberapa jenis gratifikasi yang harus ditolak, lantaran masuk ke daftar pengawasan KPK. Sedangkan ada pula yang masuk golongan gratifikasi, namun masih boleh diterima dan tak harus dilaporkan pada KPK.
Itu untuk PNS. Lalu, bagaimana dengan karyawan swasta? Apakah aturan KPK ini juga berlaku bagi karyawan swasta? Well, jangan salah. Seperti berita yang dilansir oleh Liputan6, KPK saat ini sudah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) melalui Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. Dalam undang-undang tersebut disebutkan, bahwa KPK perlu juga untuk menangani praktik korupsi di kalangan swasta. Alasannya, jelas, saat ini perusahaan swasta masih belum tersentuh penelusuran KPK sehingga praktik korupsi sangat masif.
Meski demikian, banyak juga perusahaan swasta yang sudah mengadopsi aturan mengenai gratifikasi yang ditetapkan oleh KPK ini, dan kemudian menyesuaikannya dengan kondisi perusahaan masing-masing. Bahkan banyak yang sudah mencantumkannya dalam surat kesepakatan kerja dengan karyawan. Salah satunya di QM Financial :)
Nah, agar kita semua–para karyawan yang berdedikasi dan berkompetensi ini–bisa terhindar dari berbagai bentuk praktik gratifikasi, ada baiknya kita kenal dulu dengan berbagai jenis gratifikasi, baik yang harus ditolak maupun yang boleh tidak dilaporkan.
3 Jenis gratifikasi yang harus ditolak
1. Komisi atau cashback
Misalnya, dari pihak perusahaan melalui bagian purchaser, membeli keperluan bahan baku produksi ke vendor. Telah disepakati harga, dan juga sudah dibayar oleh perusahaan. Sebagai ucapan terima kasih, vendor pun memberikan “cashback” kepada purchaser. Jumlahnya lumayan.
Dalam hal ini, akan lebih baik jika purchaser melaporkannya dan memberikan cashback itu kepada perusahaan, sebagai hak dari perusahaan yang sudah membeli bahan produksi pada sang vendor.
Jika purchaser tidak melaporkan ataupun mengembalikan cashback ini, maka hal itu bisa dianggap sebagai gratifikasi.
Ada pula kasus, memberikan mata uang asing sebagai ucapan terima kasih, dengan alasan supaya praktis atau ringkas. Nah, hati-hati. Dalam aturan KPK, hal ini juga termasuk salah satu jenis gratifikasi.
2. Bingkisan
Pemberian bingkisan atau hadiah juga merupakan salah satu jenis gratifikasi yang harus ditolak, apalagi jika hadiah ataupun bingkisan itu seharga nominal yang cukup besar. Misalnya, hadiah rumah atau mobil.
Kalau menurut aturan KPK, bingkisan atau hadiah yang tidak harus dilaporkan adalah yang berupa barang seharga di bawah Rp1.000.000. Selebihnya, PNS wajib melaporkannya, dan kalau sangat lebih dari itu, maka PNS harus menolaknya dengan segera.
By the way, aturan ini juga ada di undang-undang beberapa negara maju di dunia lo, salah satunya Amerika Serikat. Hanya saja nominalnya yang berbeda. Batas gratifikasi di AS adalah tidak boleh melebihi $50, yang berarti–kalau dihitung dengan kurs sekarang–kurang lebih Rp700.000.
Dalam hal ini juga termasuk pemberian hadiah dalam rangka ulang tahun, pernikahan, perayaan keagamaan, atau yang lainnya. Misalnya saja, ada PNS yang menikahkan anaknya, dan kemudian biaya konsumsi ditanggung oleh pengusaha tertentu. Nah, ini juga termasuk jenis gratifikasi yang harus ditolak.
Peraturan nominal bingkisan atau hadiah yang boleh diterima atau yang harus ditolak ini sebagian juga sudah diadopsi oleh perusahaan-perusahaan swasta dalam peraturan kerja resmi, demi menjaga integritas bisnis mereka.
3. Tiket perjalanan
Jenis gratifikasi lain yang harus ditolak oleh karyawan adalah tiket perjalanan, baik dalam rangka dinas maupun pribadi.
Dalam hal ini, juga termasuk biaya atau ongkos naik haji lo.
Nah, melihat beberapa jenis gratifikasi yang harus ditolak di atas, lantas jenis gratifikasi yang boleh diterima dan tidak perlu dilaporkan itu yang seperti apa?
Beberapa di antaranya:
- Pemberian hadiah dalam hubungan karyawan dengan orang lain sebagai keluarga, asal tidak menimbulkan konflik kepentingan.
- Pemberian hadiah dalam rangka ulang tahun, pernikahan, aqiqah, dan lain sebagainya, asal tidak melebihi Rp1.000.000.
- Bantuan atas musibah, dengan nominal maksimal juga Rp1.000.000
- Mengajak makan siang, misalnya, dengan sajian atau hidangan yang biasa atau umum dijumpai.
- Penerimaan laba, keuntungan, atau bunga dari investasi atau penempatan dana pribadi yang berlaku umum
- Penerimaan manfaat dari koperasi atau organisasi yang berlaku umum
- Seminar kit atau merchandise yang didapatkan dari workshop, seminar, atau event apa saja, baik yang diikuti dalam rangka penugasan kerja ataupun pribadi
- Penerimaan beasiswa atau tunjangan, dalam rangka meningkatkan keterampilan demi prestasi kerja sesuai peraturan
- Penerimaan kompensasi di luar tugas, selama tidak menimbulkan konflik kepentingan dan tidak melanggar kode etik perusahaan.
Nah, ternyata agak rumit kan ya, membedakan antara mana jenis gratifikasi yang boleh diterima dan mana jenis gratifikasi yang sebaiknya ditolak demi integritas dan reputasi. Memang, sebagai karyawan, kita adalah aset perusahaan. Karena itu, meski mungkin tidak tertulis, menjaga integritas perusahaan itu juga menjadi tanggung jawab dan kewajiban kita, begitu kita menjadi bagian dari perusahaan tersebut.
So, menjadi bijak adalah penting. Nggak hanya dalam mengenali mana yang harus ditolak dan mana yang harus diterima, tetapi bijak dalam mengelola keuangan pribadi secara keseluruhan. Lo, hubungannya apa? Ada dong, hubungannya. Kalau kita pintar mengelola keuangan sendiri sudah pasti, apa pun jenis gratifikasinya, kita bisa dengan mudah memilah mana yang boleh diterima, dan mana yang harus ditolak (tanpa ada godaan untuk menerimanya).
Yuk, ikutan kelas finansial online-nya QM Financial! Kamu bisa belajar mengelola gaji dengan lebih baik, sehingga akan merasa tak perlu menerima jenis gratifikasi apa pun. Cek jadwalnya di web Event QM Financial ya. Dan jangan lupa, follow Instagram QM Financial untuk mendapatkan update, info, dan trik keuangan terbaru dari QM Financial.
5 Penyebab Fraud Bisa Terjadi di Perusahaan oleh Karyawan
Fraud, atau kecurangan yang dilakukan oleh karyawan, bisa terjadi di perusahaan mana pun. Meski data menyebutkan, bahwa perusahaan dengan jumlah karyawan di bawah 100 orang lebih berpotensi, tapi fraud juga bisa terjadi di perusahaan besar yang sudah punya sistem dan struktur yang baik. Sebenarnya, apa yang menjadi penyebab fraud ini?
Apakah dari sisi perusahaan, ataukah dari sisi human-nya? Well, bisa jadi dari keduanya.
Kita lihat yuk, hasil penelusuran ke beberapa sumber dan juga wawancara dengan seorang staf HR.
5 Penyebab fraud sampai bisa terjadi di perusahaan
1. Adanya celah dan peluang
Fakta bahwa perusahaan dengan jumlah karyawan kurang dari 100 orang lebih rentan mengalami fraud ini bisa menjadi bukti, bahwa celah dan peluang itu akan selalu ada. Memang enggak semua perusahaan kecil mengalaminya sih, banyak juga yang berhasil mengelola SDMnya dengan baik sehingga meminimalkan risiko penyebab fraud.
Akan tetapi, dari merunut logika saja sebenarnya sudah masuk di akal. Perusahaan kecil biasanya belum mempunyai sistem dan struktur perusahaan yang paten, yang efektif dan efisien. Mereka biasanya masih fokus pada pengembangan bisnis, sehingga kadang menurunkan prioritas untuk mengembangkan sisi SDM yang berada dalam organisasinya.
Wajar sih. Kan kadang susah juga kalau semua mau diprioritaskan, bukan? Tapi, sebaiknya juga jangan dibiarkan berlarut-larut tanpa sistem yang jelas. Setidaknya peraturan perusahaan itu harus ada dan harus konsisten diterapkan sehari-hari.
2. Adanya tekanan dan masalah yang harus dihadapi oleh karyawan
Ada peluang, ditambah dengan “kebutuhan”, bisa menjadi penyebab fraud yang dilakukan oleh karyawan yang paling jujur sekalipun.
Kebutuhan ini bermacam-macam. Ya, siapa sih yang nggak punya kebutuhan hidup? Semua juga punya kebutuhan hidup, semua juga butuh uang. Tapi biasanya karyawan yang sampai hati melakukan fraud ini enggak sekadar butuh saja. Ada tekanan yang menyertai kebutuhan ini.
Misalnya, terlilit utang. Karena butuh dana untuk bisa melunasi utang, plus adanya kesempatan, maka ia pun memalsukan laporan keuangan, misalnya. Ouch.
3. Ada ketidakpuasan karyawan terhadap perusahaan
Ketidakpuasan karyawan juga bisa menjadi penyebab fraud mungkin terjadi. Bisa saja karena kenyamanan kurang bisa dicapai dalam bekerja, atau terlalu banyak beban kerja membuat karyawan tidak merasa mendapatkan apresiasi yang dibutuhkan.
Rasa tidak puas (dan ditambah dengan peluang, lagi) bisa menjadi motivasi bagi karyawan untuk melakukan fraud.
Dulu saat saya masih bekerja di sebuah perusahaan trading handicraft, saya sering merasakan ketidakadilan dari pihak manajemen. Salah seorang karyawan yang berada di posisi marketing selalu datang terlambat, kadang sejam kadang dua jam. Dan kemudian berakhir lembur. Saya pikir, lemburnya menjadi cara untuk “membayar” kembali jam kerja yang hilang di awal hari kerja itu. Ternyata enggak. Ia tetap mendapatkan uang lembur. Apa kabar saya yang rajin datang tepat waktu, bekerja efisien supaya sebisa mungkin enggak usah lembur? Padahal saya merasa, hasil dan target kerja saya enggak kurang, malah kadang lebih.
Di situ saya pun mulai merasa tak puas. Akibatnya, ya saya melupakan saja aturan datang tepat waktu. Saya sengaja terlambat datang, supaya nanti bisa lembur dan dapat uang tambahan.
Ketidakpuasan memicu saya untuk melakukan fraud secara personalia. Kecil memang, tapi yang kecil dan sepele begini bisa saja membesar seiring waktu.
4. Kompetensi dan dedikasi karyawan yang kurang
Saya pribadi sih percaya sebenarnya, bahwa tidak ada orang yang benar-benar jahat dari sononya. Selalu ada alasan di balik orang yang tega melakukan perbuatan yang tidak baik. Kadang peluang yang membuatnya jadi “kreatif”, kadang juga karena pengaruh lingkungan.
Pun namanya karakter manusia, memang beragam banget. Masing-masing dengan tingkat kompetensi, dedikasi, dan loyalitasnya. Kadang, beragamnya dan begitu heterogennya karyawan bisa memicu juga, menjadi penyebab fraud terjadi.
Misalnya, seorang karyawan diminta untuk menego agar izin legalitas bisnis disetujui. Agar lebih mudah, karena ia mungkin merasa skill negosiasinya kurang, maka ia pun menyuap rekanan atau orang lain terkait dengan urusan izin tersebut.
5. Rotten apple
Ha? Apel busuk? Iya, well, ini pepatah sih sebenarnya. Yang bilang, bahwa kalau ada satu apel busuk di dalam keranjang, maka akan bisa membuat busuk apel yang lainnya. Kalau pepatah yang lain–yang mungkin lebih populer–adalah karena nila setitik, rusak susu sebelanga, mungkin ya?
Budaya kerja dalam sebuah perusahaan biasanya terbentuk oleh manusia-manusia yang ada di dalamnya. Saat seorang karyawan baru bergabung, dan budaya kerja sudah kental aura fraud-nya, maka si karyawan baru bisa saja lantas melakukan hal yang sama.
Apalagi jika mereka-mereka yang berperan sebagai pemimpin di perusahaan tersebut juga melakukan hal yang sama. Anak buah biasanya akan berperilaku sama dengan atasan.
Kalau dibayangkan, mengerikan juga ya dampak dari penyebab fraud ini. Yang kecil-kecil pun akhirnya nanti bisa membesar, dan akhirnya bisa menimbulkan masalah yang bisa membahayakan perkembangan bisnis. Karena itu, ayo kelola SDM sebaik-baiknya agar terhindar dari fraud.
Untuk membantu perusahaan mengelola SDM yang baik, QM Financial menyediakan program training keuangan yang bisa didesain sesuai dengan kebutuhan. Dengan memberikan training keuangan yang komprehensif, maka diharapkan karyawan tidak lagi “butuh” dan “tertekan” hingga melakukan fraud, alih-alih mereka akan lebih produktif dalam bekerja.
Hubungi kami melalui WhatsApp ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru.
Mengenal Lebih Jauh Perbedaan Suap dan Gratifikasi di Kalangan Karyawan
Salah satu upaya terpenting untuk membentuk tim sumber daya manusia yang mumpuni dalam sebuah perusahaan adalah membangun integritas karyawan. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk upaya ini, di antaranya adalah meminimalkan peluang terjadinya suap dan gratifikasi, baik yang dilakukan oleh karyawan maupun terhadap karyawan.
Hmmm. Suap. Gratifikasi. Sepertinya dua istilah ini ‘KPK banget’ ya. Biasanya yang kita dengar mengenai berita suap dan gratifikasi adalah berita-berita seputar politik deh. Tapi ternyata enggak lo. Suap dan gratifikasi ini akrab juga ditemui di kalangan karyawan.
Tapi apa ya perbedaan suap dan gratifikasi, utamanya di kalangan karyawan, ini? Bukankah keduanya artinya sama saja, yaitu kurang lebih mengupayakan sesuatu untuk “melicinkan” atau memperlancar usaha?
Nah, mari kita lihat perbedaan antara gratifikasi dan suap, agar kemudian kita bisa menghindarinya, karena keduanya berpeluang menimbulkan fraud atau kecurangan di dalam organisasi perusahaan.
Tentang Suap dan Gratifikasi
Suap di Kalangan Karyawan
Memang perusahaan mempunyai kebijakan masing-masing sebagai upaya untuk mencegah penyebab fraud ini terjadi. Tapi, kita bisa melihat dari peraturan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah sebagai patokan.
Suap (menurut Wikipedia) adalah tindakan memberikan uang, barang atau bentuk lain sebagai “balasan” atau “imbalan” dari pemberi suap kepada penerima suap yang dilakukan untuk mengubah sikap penerima atas kepentingan/minat si pemberi, walaupun sikap tersebut berlawanan dengan penerima.
Pasal 3 UU No. 3 Tahun 1980 juga menyebutkan definisi suap ini, yaitu bahwa penyuapan terjadi ketika ada orang yang menerima sesuatu atau janji, supaya ia melakukan (atau tidak melakukan) sesuatu yang menyangkut kepentingan umum atau perusahaan, bahkan yang berlawanan.
Seperti dikutip dari situs Kumparan, tentang suap ini lebih jauh diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73), UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor).
Hal ini tak hanya berlaku bagi para pegawai negeri ataupun penyelenggara negara saja, tapi juga bisa terjadi di kalangan karyawan di perusahaan swasta.
Contoh kasus yang paling mudah terjadi di kalangan karyawan misalnya seorang supplier atau vendor memberikan “amplop” kepada salah satu karyawan yang berwewenang agar mau ‘berbelanja’ kebutuhan produksi pada vendor yang bersangkutan. Padahal bisa saja, secara kualitas produk vendor belum masuk ke standar kualitas dari perusahaan.
Hal sebaliknya juga bisa terjadi. Misalnya karyawan dari sebuah perusahaan memberikan hadiah pada orang lain, misalnya di lembaga pemerintah, demi mendapatkan izin-izin tertentu untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu.
Jadi, nggak hanya diberi “hadiah”, memberi “hadiah” pun juga bisa terkena pasal Undang-Undang yang mengatur mengenai suap ini.
Gratifikasi di Kalangan Karyawan
Memang suap dan gratifikasi ini bisa terjadi beriringan. Bahkan pengertiannya kadang juga tertukar.
Gratifikasi terjadi ketika seseorang menerima pemberian uang tambahan, barang, diskon, komisi pinjaman tanpa bunga, ataupun fasilitas-fasilitas lain, misalnya tiket wisata gratis, biaya pengobatan gratis, dan lain sebagainya.
Pelaku tindak gratifikasi ini bisa dipidana lo, dengan hukuman penjara 4 – 20 tahun, dan denda Rp200 juta – Rp1 miliar. Hal ini diatur dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001 Pasal 12.
Sampai di sini bisa dilihat, beda gratifikasi dan suap adalah lebih ke intensinya. Kalau suap bersifat transaksional dan langsung, diberikan bersamaan dengan proses kerja sama yang sedang berlangsung. Sedangkan gratifikasi tidak bersifat transaksional–karena kadang diberikan setelah kerja sama selesai, atau bahkan belum ada sama sekali kerja sama. Ada yang menyebut gratifikasi ini sebagai “suap yang tertunda”, karena banyak yang dianggap sebagai “investasi” ataupun upaya untuk mencari perhatian.
Nah, kalau KPK sendiri, sebagai lembaga negara pengawas tindak korupsi dan kawan-kawannya, sempat mengeluarkan Buku Saku Memahami Gratifikasi, yang secara lengkap merincikan apa dan bagaimana tindakan gratifikasi itu. Well, lagi-lagi ini dibuat untuk mengatur jika ada kemungkinan terjadi di kalangan pegawai negeri ataupun penyelenggara negara. Tapi perusahaan swasta ada baiknya untuk juga mengerti dan memahami.
Kalau mengacu pada buku saku KPK tersebut, bentuk gratifikasi yang bisa terjadi di kalangan karyawan misalnya saja:
- Penerimaan hadiah atau parsel dari pihak luar perusahaan oleh rekanan
- Penerimaan komisi karena sudah merekomendasikan rekanan
- Penerimaan potongan harga atas produk dari rekanan yang kemudian tidak dilaporkan ke perusahaan
- Dibiayai liburan setelah proyek selesai
Dan masih banyak lagi.
Yes, kalau dilihat-lihat lagi, sebagian besar fraud karyawan yang terjadi akibat suap dan gratifikasi ini tampaknya adalah hal-hal yang biasa dan banyak kita temui praktiknya dalam proses jalannya perusahaan ya? Saking biasanya, bahkan kita kadang nggak sadar, kalau itu adalah bentuk suap dan gratifikasi. Saking umumnya, hingga menjadi bentuk budaya.
Pada akhirnya, tentu saja, hal ini bisa merugikan perusahaan. Banyak deh efeknya, dan biasanya efeknya ini jangka panjang.
Karena itu, adalah penting bagi pihak perusahaan–melalui divisi HR–untuk berupaya mencegah atau meminimalkan peluang terjadinya fraud karyawan, termasuk suap dan gratifikasi. Dari mana perusahaan bisa memulai? Bisa dari segi finansial, yaitu mengupayakan agar karyawan tidak mempunyai masalah keuangan pribadi yang bisa membuat mereka sempat tergoda untuk melakukan fraud.
Yuk, undang QM Financial untuk memberikan program edukasi keuangan bagi karyawan di perusahaan Anda? Sila WA ke 0811 1500 688. Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas terbaru.
5 Jenis Fraud atau Kecurangan Karyawan yang Kerap Terjadi di Perusahaan
Mengelola perusahaan itu bukan hal mudah. Siapa pun pasti mengamini. Nggak cuma harus menjaga berputarnya roda bisnis supaya terus lancar, para pengelola perusahaan juga mesti mengelola sumber daya manusia di dalamnya dengan baik. Sudah dikelola dengan baik pun, kecurangan karyawan masih saja kerap terjadi.
Yes, meng-handle sumber daya manusia di dalam sebuah perusahaan–dengan kata lain, karyawan–memang butuh seni tersendiri. Tak hanya harus memikirkan kesejahteraan mereka, tapi juga mencegah terjadinya kecurangan karyawan.
Kecurangan karyawan seperti apa saja sih yang sering terjadi di perusahaan-perusahaan?
5 Jenis Kecurangan Karyawan yang Sering Terjadi
1. Kecurangan terhadap aset
Kecurangan karyawan ini terjadi biasanya berupa penyalahgunaan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi, atau semacamnya.
Misalnya saja, difasilitasi laptop dengan spek terbaik dari kantor, tentunya untuk mengerjakan tugas-tugas agar hasilnya bisa maksimal. Ternyata–karena satu dan lain hal–si karyawan punya side job yang kurang lebih bidang yang sama, dan menggunakan laptop tersebut dengan prioritas ke side jobnya, alih-alih untuk tugas utamanya.
Nah, ini sudah menyalahi pastinya ya.
Kasus lain lagi. Misalnya seorang purchaser, berwewenang untuk membeli bahan baku produksi ke vendor lain. Karena satu dan lain hal, uang, cek, atau alat pembayaran apa pun ditahan, tidak disampaikan pada vendor, tapi malah dipakai untuk kepentingan pribadi dulu. Hingga akhirnya, proses produksi pun terhambat.
Kasus pertama di atas biasanya dimasukkan ke dalam kategori noncash misappropriation, yaitu kecurangan karyawan yang tidak berhubungan dengan uang atau cash. Sedangkan kasus kedua disebut cash misappropriation, yaitu kecurangan karyawan terkait keuangan.
Mana yang lebih merugikan? Dua-duanya merugikan perusahaan, tentunya. Perusahaan perlu membuat prosedur khusus jika sampai keduanya sering terjadi di kantor.
2. Kecurangan karyawan terhadap laporan keuangan
Bentuk kecurangan kedua ini juga sering dijumpai lo. Misalnya saja, memalsukan bukti transaksi. Contohnya lagi untuk seorang purchaser, berwewenang untuk membelanjakan kebutuhan barang produksi. Membeli cat sebanyak 1 kg sesuai yang tertulis di nota, padahal yang dibelikan hanyalah 1/2 kg saja. Atau, bisa juga menambah nominal. Misalnya, beli kain Rp500.000, tapi ditulis di nota Rp600.000.
Laporan keuangan memang menjadi hal paling rentan untuk dicurangi dalam perusahaan. Memang butuh SDM yang benar-benar qualified dan terpercaya untuk bisa mengelolanya dengan baik. Makanya nggak heran, banyak perusahaan yang masih menerapkan sistem micro management untuk keuangannya.
3. Korupsi
Korupsi ini kadang rancu dengan kecurangan karyawan terkait laporan keuangan di atas. Iya, kadang overlapped sih.
Tapi, korupsi ini juga punya beberapa bentuk, yaitu kolusi dan nepotisme, serta suap.
Kolusi dan nepotisme ini biasanya terkait dengan adanya conflict of interest para karyawan. Misalnya saja, seorang karyawan, selain bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konsultasi desain interior, di rumah juga membuka bisnis pembuatan perabotan rumah yang customized. Akhirnya, dengan cara tertentu, dia mengalirkan semua proyek interior ke bisnis pribadinya sendiri. Jika kemudian hal ini merugikan perusahaan, maka bisa dibilang karyawan tersebut melakukan fraud atau kecurangan.
Kasus lain, misalnya saja, kantor butuh seseorang yang punya skill manajerial untuk mengelola satu divisi. Seseorang yang sudah mempunyai jabatan penting lantas mengusulkan keluarganya untuk menempati posisi strategis tersebut. Namun, ternyata, yang direkomendasikan belum punya skill yang memadai.
Sedangkan fraud yang berupa suap, ini sepertinya sudah pada tahu sih yang seperti apa. Suap juga akan banyak merugikan perusahaan, jadi waspadai betul akan timbulnya fraud ini.
4. Kecurangan terkait personalia
Kecurangan karyawan terkait manajemen personalia ini misalnya, izin sakit tapi ternyata malah pergi solo traveling. Atau, menyalahgunakan waktu kerja yang fleksibel, dan sebagainya.
Kebanyakan ini terjadi dan karena masalahnya (dianggap) kecil-kecil simpel sepele gitu akhirnya jadi kebiasaan. Nanti akan terasa efeknya ketika kinerja tak lagi efektif dan produktivitas berkurang. Biasanya akan berbuah pada review tahunan yang buruk.
Kebiasaan melakukan fraud keempat ini memang seperti menyimpan bom waktu sih. Nggak kerasa di keseharian, tapi tiba-tiba meledak di akhir.
5. Kecurangan terkait etika kerja
Fraud ini bisa terjadi, ketika seorang karyawan mencoba untuk bekerja sama dengan pihak lain demi keuntungan pribadi, dengan membocorkan informasi yang seharusnya menjadi rahasia perusahaan. Biasanya sih terkait dengan strategi bisnis, strategi pemasaran hingga penentuan harga produk, proses produksi, dan lain sebagainya.
Kecurangan karyawan ini biasanya juga diperparah dengan tindakan si karyawan yang menerima “upah” untuk informasi yang diberikannya.
Duh, kalau melihat berbagai bentuk kecurangan karyawan di atas, rasanya kok mengerikan semua ya? Kenapa kok bisa setega itu melakukan kecurangan pada kantor yang sudah menggajinya seperti itu?
Well, banyak sih alasannya. Salah satu alasan terbesarnya adalah si karyawan butuh uang.
Yes, “butuh uang” ini memang kadang menjadi akar segala kesulitan dan masalah yang timbul di kehidupan kita. Tapi, ya, siapa sih yang enggak butuh uang? Semua orang juga “butuh uang” kan? Tapi, kebutuhan akan uang ini bisa kok dimanifestasikan dalam bentuk yang positif.
Yang pertama, tentu dengan mengatur gaji yang sudah diterima supaya cukup sampai saatnya gajian lagi. Karena itulah, training keuangan bagi karyawan itu penting.
Tertarik mengundang QM Financial untuk memberikan program edukasi keuangan di perusahaan kamu? Sila WA ke 0811 1500 688. Follow Instagram QM Financial atau cek web Event QM Financial untuk info-info kelas online terbaru.
5 Trik Mencegah Kecurangan atau Fraud Terjadi dalam Perusahaan
Ternyata, perusahaan dengan jumlah kurang dari 100 orang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi fraud atau kecurangan lo! Hal ini diungkap oleh situs Integrity Indonesia dalam salah sebuah artikelnya. Padahal, kalau dilogika sih, seharusnya semakin sedikit orang pastilah akan lebih mudah mencegah kecurangan terjadi kan, ketimbang jika ada ratusan karyawan terlibat dalam sebuah struktur perusahaan?
Ternyata tidak. Justru yang terjadi adalah, biasanya perusahaan yang besar minim risiko akan hal ini, lantaran mereka sudah punya sistem backup untuk mencegah kecurangan terjadi. Sumber daya manusianya sendiri juga dapat diandalkan untuk menjalankan fungsi kendali dan monitor dengan baik pula.
Berbeda dengan perusahaan kecil, dengan jumlah karyawan tak lebih dari 100 orang. Mereka belum punya sistem manajemen yang kuat, pun kadang belum bisa menggaji orang untuk bertanggung jawab pada pengendalian dan monitoring secara penuh. Dengan kata lain, masih banyak karyawan yang tugasnya merangkap-rangkap ini itu, hingga kurang fokus.
Kecurangan yang terjadi tentu saja merugikan perusahaan, baik kecurangan kecil maupun kecurangan besar. Besarnya kerugian bisa sangat signifikan, di samping pastinya mengecewakan karena berarti pihak perusahaan belum bisa mengelola karyawannya dengan baik.
Masih menurut situs Integrity Indonesia, mayoritas kecurangan atau fraud yang terjadi ini disebabkan selain oleh karakter si karyawan itu sendiri, juga bisa lantaran masalah keuangan yang menjerat si karyawan. Di samping itu, juga adanya ketidakpuasan karyawan selama bekerja.
Hmmm. Cukup menarik ya?
Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan demi mencegah kecurangan atau fraud ini dilakukan oleh karyawan? Ada beberapa hal, mari kita simak.
5 Cara mencegah kecurangan atau fraud karyawan terjadi
1. Audit teratur
Salah satu hal pertama yang bisa dilakukan untuk mencegah kecurangan terjadi dalam perusahaan yang dilakukan oleh karyawan adalah dengan memfungsikan internal audit sebagaimana mestinya.
Mungkin memang sumber daya manusianya kurang memadai, namun hal ini seharusnya menjadi perhatian pihak perusahaan jika memang mau mencegah kecurangan terjadi. Karena begitu pentingnya, maka ada baiknya perusahaan memberikan training khusus untuk menjadi internal auditor bagi beberapa karyawan yang dianggap berkompeten.
Internal auditor ini nantinya tak hanya akan melakukan tindakan pencegahan fraud, tetapi juga harus mampu memberikan solusi terhadap masalah yang sudah terjadi.
2. Disiplin SOP
SOP–atau Standard Operational Procedure–sering hanya dianggap sebagai aturan formalitas yang teoretis, akibatnya kadang banyak tahapan SOP yang akhirnya diabaikan oleh para karyawan. Selain itu, tingginya tuntutan dan ketatnya tenggat kadang juga memaksa para karyawan untuk melompati beberapa prosedur. Hal ini lantas bisa memicu terjadi fraud atau kecurangan, karena ada beberapa step atau langkah prosedur yang dilompati atau tak dihiraukan.
Padahal SOP dibuat agar hasil kerja yang didapatkan sesuai dengan standar kualitas yang juga sudah ditetapkan sebelumnya. SOP juga menjamin semua proses yang terjadi dalam bisnis perusahaan sesuai dengan perencanaan. Jika aturan dan tahapan ini diabaikan, maka di situlah muncul risiko terjadinya fraud atau kecurangan yang tinggi.
Untuk mencegah kecurangan terjadi, setiap karyawan sebaiknya disiplin dan mematuhi SOP yang sudah ditetapkan. Perusahaan mungkin dapat mendorong kedisiplinan karyawan ini dengan menerapkan sistem reward dan punishment. Dengan pantauan yang ketat pada SOP, maka jika ada kecurangan terjadi, maka hal itu bisa terdeteksi sedini mungkin, sehingga bisa segera dilakukan beberapa tindakan untuk mencegah kecurangan terjadi lebih lanjut.
3. Beri kenyamanan
Salah satu penyebab terjadi fraud dalam perusahaan yang dilakukan oleh karyawan adalah tidak terpenuhinya kenyamanan karyawan untuk bekerja.
Penyebabnya bisa bermacam-macam sih, dan bisa jadi sangat kompleks. Akan lebih baik jika HR memastikan apa penyebab karyawan kurang nyaman dalam bekerja. Cek, misalnya, apakah kompensasi non finansial sudah terpenuhi semua, seperti ruang kerja yang sehat, rencana liburan bareng, atau mungkin perbanyak training-training untuk meningkatkan skill dan kompetensi mereka.
Jika sudah menemukan jawaban, maka selanjutnya pihak perusahaan bisa melakukan beberapa hal untuk memperbaiki situasi tak nyaman tersebut.
4. Perbaiki kultur
Mungkin saja, jika ada karyawan yang melakukan kecurangan, itu disebabkan oleh kekurangpahamannya akan visi dan misi perusahaan. Atau bisa saja ia terpengaruh oleh kultur tertentu dari luar yang dibawanya masuk ke dalam kantor.
Ada baiknya pihak HR mengajak diskusi karyawan yang bersangkutan untuk mencari akar permasalahannya secara pasti, dan kemudian melakukan beberapa treatment untuk mencegah kecurangan terjadi lagi.
5. Berikan training keuangan
Penyebab terbesar hingga bisa terjadi kecurangan yang dilakukan oleh karyawan adalah adanya masalah keuangan yang melilit para karyawan. Bisa macam-macam sih, misalnya saja terlilit utang, gaya hidup yang terlalu tinggi, gaji tak pernah cukup, dan sebagainya.
Well, ya ini memang masuk akal banget sih. Misalnya saja, karyawan terlilit utang yang cukup besar hingga membuatnya kewalahan membayar kembali. Pastinya dia akan mencoba berbagai cara untuk menyelesaikannya, termasuk pasti ada peluang untuk tergoda melakukan kecurangan.
Untuk mencegah kecurangan yang terjadi akibat masalah keuangan pribadi karyawan, perusahaan dapat membantu dengan mengadakan training keuangan, yang disesuaikan dengan kebutuhan karyawan.
Hubungi tim QM Financial untuk mengadakan #QMTraining, yaitu program pelatihan interaktif untuk karyawan di perusahaan. Anda dapat menyusun program bersama konsultan dan pembicara dari QM Financial, sesuai dengan kebutuhan literasi finansial Anda.
Hubungi kami melalui WhatsApp ke 0811 1500 688 (NITA/MIA). Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru.
Nah, demikian cara-cara mencegah kecurangan atau fraud terjadi di perusahaan Anda. Semoga masalah ini tak terlalu berlarut-larut ya. Perusahaan membutuhkan banyak kerja sama di antara karyawannya yang berkompeten untuk bisa berkembang. Jika ada satu saja yang kurang bisa berakselerasi dengan tim, maka dipastikan akan terjadi ketimpangan dalam operasionalnya.