Harga Pertalite Rp17.100? Ini Pro, Kontra, dan Apa yang Harus Kita Lakukan
Berita seputar BBM menghiasi headlines beberapa waktu belakangan. Mulai dari kenaikan harga BBM nonsubsidi, pembelian dengan aplikasi, sampai jika harga Pertalite tembus Rp17.100.
Pemerintah sendiri sejauh ini masih menahan harga Pertalite pada Rp7.650 per liter, padahal BBM jenis yang lain sudah beberapa kali dinaikkan. Presiden Jokowi sendiri menyebutkan dalam berita-berita, bahwa harga Pertalite sebisa mungkin tetap akan ditahan, karena penggunanya berbeda dengan jenis BBM lainnya.
Berapa Harga Pertalite Seharusnya?
Dalam hal ini, pemerintah memberikan keterangan, bahwa harga Pertalite Rp7.650 ini sangat jauh di bawah harga keekonomiannya. Kalau mau mengikuti harga minyak dunia, harga Pertalite seharusnya ada di angka Rp17.100 per liternya.
Lalu, apa yang terjadi jika harga Pertalite mencapai Rp17.100 per liter? Bisa jadi akan menyebabkan:
- Memacu inflasi lebih tinggi dan bisa jadi tak terkendali
- Menurunkan daya beli masyarakat, karena harga barang pasti melambung lebih tinggi lagi
- Beban hidup akan semaki berat
- Jumlah masyarakat miskin akan bertambah.
Wah, rumit juga ya ternyata?
Kita bisa lihat dari situasi yang terjadi di beberapa negara lain di dunia saat ini. Penetapan harga bahan bakar di luar negeri ditentukan benar-benar berdasarkan harga minyak dunia. Kalau harga minyak dunia mencapai USD 100 lebih per barrel-nya, maka harga BBM akan semakin mahal.
Hal yang berbeda terjadi di Indonesia, yang harga BBM-nya ditentukan oleh pemerintah untuk menjaga supaya tetap terjangkau oleh masyarakat. Selisih harganya ditutup dengan subsidi yang sumber dananya diambil dari APBN.
Saat ini, ketika harga Pertalite ditahan, beban APBN mencapai Rp502 triliun. Angka ini adalah angka subsidi keseluruhan antara subsidi untuk Pertalite, LPG 3 kilogram, dan listrik.
Jika Harga Pertalite Terlalu Lama Ditahan
However, untuk saat ini pemerintah masih cukup kuat untuk menahan. Tetapi ternyata ada beberapa hal yang bisa terjadi kalau harga Pertalite terlalu lama ditahan.
Apa saja dampaknya?
Distorsi ekonomi
Apa itu distorsi ekonomi? Misalnya saja, seperti ketika minyak goreng ditahan pada harga Rp14.000 per liter. Penjual tidak boleh menaikkan melebihi harga yang sudah ditentukan. Harga tersebut tidak bisa naik ataupun turun sesuai mekanisme pasar. Efeknya, muncul kelangkaan.
Hal yang sama dikhawatirkan bisa terjadi pada BBM jenis Pertalite ini jika harganya ditahan terlalu lama. Pasalnya, bisnis tetap bisnis. Produsen akan enggan untuk menjual rugi lantaran biaya produksi akan lebih tinggi.
Dengan disubsidi, produsen BBM—dalam hal ini Pertamina—tetap akan mendapatkan kompensasinya dari APBN. Namun, tidak ada penyeimbangan permintaan dari pasar, karena masyarakat tidak akan mengurangi konsumsi karena tidak ada kenaikan harga.
Defisit
Defisit negara juga akan meningkat seiring beban fiskal yang semakin berat. Meskipun pemerintah sendiri sempat mengumumkan hendak menekan defisit hingga 3%.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Well, memang kondisinya sedang sulit. Tak hanya harga Pertalite yang cukup mengkhawatirkan, mau ditahan beban negara berat, mau dinaikkan beban rakyat yang meningkat. BBM naik, LPG juga bisa saja dinaikkan lagi. Sekarang saja sudah ada wacana untuk mengganti kompor gas menjadi kompor listrik.
Lalu, bagaimana ya?
Sebenarnya, hal yang perlu kita lakukan kurang lebih sama saja dengan saat ada kondisi dan situasi yang berubah. Kan, kita sudah banyak melewati masa sulit nih, kemarin. Ada pandemi, lalu ada badai PHK. Yuk, pasti kita juga bisa melewati ujian yang kali ini.
Just a reminder, lakukan hal-hal berikut ya.
1. Financial check up
Karena kondisi yang berubah, maka bisa jadi akan memengaruhi juga keadaan keuangan kamu. Yuk, lakukan financial check up dulu sebelum melangkah ke hal-hal lainnya.
Kamu bisa cek:
- Apakah penghasilanmu masih tetap sama? Sumber dan jumlahnya?
- Apakah pengeluaranmu masih tetap sama? Pos dan jumlahnya?
- Bagaimana posisi utang kamu? Apakah cukup aman sejauh ini? Masih harus mencicil berapa lama lagi? Apakah ada yang bisa dilunasi dengan segera?
- Bagaimana asetmu? Masih bertahan, bertambah, ataukah malah minus? Bagaimana posisinya terhadap tujuan keuangan? Apakah masih aman?
- Iuran asuransi kesehatan aman? Yang untuk keluarga juga sudah ada?
- Bagaimana dengan asuransi jiwa, apakah sudah ada untuk si pencari nafkah? Apakah iurannya aman?
Buat catatan pengeluaran yang disesuaikan dengan kondisi sekarang kalau perlu, untuk melihat apakah ada pola yang harus diubah.
2. Atur cash flow
Arus kas merupakan hal terpenting di saat-saat yang tak pasti dan sulit seperti ini. Jagalah agar tetap positif, yang artinya pemasukan harus lebih besar daripada pengeluaran.
Misalnya saja, kamu menggunakan prinsip 1 – 2 – 3 – 4 untuk mengatur cash flow, apakah sekarang dan beberapa waktu ke depan masih bisa diterapkan dengan baik? Ataukah, ada proporsi yang harus diubah? Mungkin tadinya 10% untuk lifestyle, 20% untuk investasi, 30% untuk utang, dan 40% untuk rutin, sekarang harus diubah menjadi 50% untuk kebutuhan rutin, 30% utang, dan 10% investasi 10% lifestyle? Boleh saja. Atau lifestylenya yang dikurangi? Bisa saja.
Sesuaikan dengan kebutuhan. Dan, yang pasti: keluarkan uang sesuai kemampuan, dan prioritaskan kebutuhan esensial sebelum yang lainnya.
3. Cek dana darurat
Cek dana darurat, apakah masih memadai? Untuk single, kamu perlu dana darurat sebesar 4 x pengeluaran rutin bulanan. Untuk menikah, kamu perlu dana darurat 6 – 12 x pengeluaran rutin bulanan, sesuaikan dengan jumlah jiwa yang ditanggung.
Ya, kondisinya memang sedang sulit. Tapi, yuk, yakin saja bahwa kita bisa melewatinya dengan baik.
5 Fakta di Balik Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan di Bulan September 2019
Minggu kemarin, dikabarkan bahwa pemerintah merencanakan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan dengan jumlah yang cukup signifikan. Menteri Keuangan mengusulkan, untuk kelas mandiri III iuran naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000, kelas mandiri II naik dari Rp59.000 menjadi Rp110.000, dan kelas mandiri I–yang paling tinggi kenaikannya–dari Rp80.000 menjadi Rp160.000.
Angka kenaikan ini lebih tinggi daripada yang diusulkan oleh Dinas Jaminan Sosial Nasional (DSJN) sebelumnya, yang mengusulkan masing-masing naik menjadi Rp120.000 untuk kelas I, Rp80.000 untuk kelas II, dan Rp42.000 untuk kelas III.
Tak pelak, hal ini menjadi polemik lagi di masyarakat. Angka kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang baru ini dirasa akan menambah beban masyarakat, terutama bagi mereka para pekerja kelas bawah.
Sebenarnya, ada apa di balik keputusan pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan ini?
1. Defisit meningkat
Sudah pada tahu pastinya, bahwa masalah minusnya keuangan BPJS Kesehatan belum terpecahkan bahkan sejak BPJS Kesehatan resmi hadir di tengah masyarakat.
Menurut data yang dirilis oleh katadata.co.id, di tahun 2014–di awal mulai efektif melayani masyarakat–BPJS Kesehatan telah merugi sekitar Rp3,3 triliun, kemudian naik lagi di tahun 2015 menjadi Rp5,7 triliun. Kenaikan defisitnya semakin besar di tahun 2016, yakni sebesar Rp9,7 triliun. Tahun 2017, defisit BPJS Kesehatan agak terkendali meski tetap bertambah; Rp9,8 triliun, dan angka defisit ini turun di tahun 2018 menjadi Rp9,1 triliun, hingga akhirnya tahun 2019 ini pembengkakannya luar biasa karena diproyeksikan mencapai Rp32,8 triliun.
Wow! Angkanya sangat fantastis untuk defisit di tahun 2019 ini ya? Ada apa gerangan?
2. Iuran BPJS Kesehatan mandiri banyak yang tertunggak
Ternyata, salah satu penyebab defisitnya BPJS Kesehatan di tahun 2019 ini adalah tingkat kepatuhan membayar masyarakat yang terbilang rendah, terutama para peserta mandiri. Untuk peserta kelompok dari perusahaan cenderung lebih tertib, karena langsung dipotong gaji dan disetorkan secara kolektif.
Menelusuri berita dan ulasan-ulasan yang beredar, jumlah peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran ini sangat banyak, yaitu sekitar 11 juta peserta. Lebih menarik lagi, konon, peserta yang menunggak ini berstatus nonaktif di data BPJS Kesehatan, namun di lapangan mereka masih bisa mengklaim penggunaan asuransi kesehatan murah milik pemerintah ini. Hmmm …
Situs Republika juga mengungkapkan beberapa alasan mengapa peserta banyak yang menunggak iuran BPJS Kesehatan, di antaranya:
- Banyak yang mempunyai penghasilan tak menentu
- Malas mengantre, baik mengantre administrasi maupun mengantre di fasilitas kesehatan
- ATM sering offline saat peserta akan bayar iuran BPJS Kesehatan
- Lupa membayar iuran BPJS Kesehatan
- Kecewa dengan layanan asuransi pemerintah ini
Nah, bagaimana dengan kita? Apakah kita juga menunggak membayar iuran BPJS Kesehatan? Lebih penting lagi, apakah kita menunggak karena salah satu, beberapa, atau bahkan semua alasan di atas?
3. Harus dibarengi dengan perbaikan manajemen
Ibu Sri Mulyani sendiri sempat mengeluhkan kurang tegasnya pihak BPJS Kesehatan terutama soal manajemennya. Kurangnya peraturan konsekuensi penunggakan pembayaran iuran BPJS Kesehatan sempat disoroti sebagai salah satu penyebab lain dari defisitnya asuransi kesehatan milik pemerintah ini.
Singkatnya, sudah tahu pada menunggak, kok bukannya pada ditagih, tapi malah merengek ke pemerintah minta ditolong?
Yah, singkat-padat-dan-jelasnya sih gitu. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan, bahwa manajemen dari dalam BPJS Kesehatan sendiri tampaknya belum maksimal, sehingga Ibu Sri Mulyani pun harus segera mengambil keputusan dan tindakan yang dirasa paling efektif untuk memecahkan masalah defisit yang cukup besar di tahun ini, yaitu dengan menaikkan iuran.
Permasalahannya–dengan melihat beberapa alasan mengapa peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran seperti yang diungkap dalam Republika di atas–apakah solusi menaikkan iuran BPJS Kesehatan ini menjadi solusi yang tepat?
Hmmm ….
4. Perluasan jangkauan rawat inap
Selain karena penunggakan iuran BPJS Kesehatan oleh para peserta, penyebab lain mengapa pemerintah merasa perlu untuk menaikkan iuran ini adalah keinginan pemerintah untuk memperluas jangkauan rawat inap yang bisa ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Perluasan jangkauan ini diharapkan akan mampu menarik minat para peserta untuk tidak menunggak iuran, sekaligus melayani lebih banyak lagi warga masyarakat hingga ke pelosok.
5. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya asuransi kesehatan
Lalu, bagaimana dengan kita sendiri? Pertanyaan terbesarnya adalah, apakah kita sudah benar-benar menyadari arti pentingnya proteksi diri?
Sepertinya belum. Kesadaran untuk mempunyai proteksi, terutama asuransi kesehatan, ini belum mencapai semua lapisan masyarakat. Banyak yang masih punya mindset, rugi banget membayar iuran asuransi kesehatan. Lha wong kita belum tentu sakit tiap bulan kan? Kalaupun sakit ya, paling-paling flu-flu sedikit karena perubahan cuaca yang bisa diobati dengan secangkir teh jahe hangat atau minum obat flu yang banyak beredar di pasaran dengan harga murah, atau sekadar masuk angin yang sembuh hanya dengan kerokan. Nggak perlu harus ke dokter, mengantre pula dengan prosedur rujukan berjenjang.
Kalau memang ini yang menjadi masalah, maka solusinya adalah memberikan literasi keuangan yang lebih banyak pada masyarakat, terutama mereka yang masih belum bisa dijangkau oleh pemerintah–yang belum mengerti arti pentingnya proteksi.
Pembaca web QM Financial sih pastinya sudah sadar betul akan pentingnya proteksi, makanya banyak pula yang selain punya BPJS Kesehatan juga melengkapi diri dengan asuransi kesehatan swasta, ya? Tapi di luar sana banyak lo, yang masih belum mengerti mengapa kita butuh asuransi.
Yuk, sebarkan pengetahuan literasi keuangan yang sudah kita punya, agar semakin banyak yang sadar bahwa asuransi kesehatan itu penting. Infokan juga, bahwa QM Financial punya kelas untuk menambah pengetahuan mengenai pentingnya asuransi kesehatan ini, yang bisa dilihat di Event QM Financial. Atau, untuk lebih praktisnya demi terupdate dengan kelas-kelas finansial online QM Financial, follow aja Instagram QM Financial.