Gen Z, Selamat Datang di Dunia Kerja! Ini 5 Pekerjaan yang Cocok Untukmu!
Here comes the next generation of workers: Gen Z! Yes, meskipun industri dan perusahaan-perusahaan masih berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan karakter angkatan kerja Millenials–alias para gen Y–namun para generasi baru ini sudah mulai bersiap untuk merangsek masuk ke dunia kerja, setelah lulus dari kuliah mereka.
Kamu juga termasuk ke dalam generasi baru ini? Generasi digital native, gen Z yang pada sudah mulai mendekati akhir masa studi mereka?
Pekerjaan macam apa ya yang kira-kira menarik minat mereka the most? Well, memang agak terlalu dini untuk memprediksi sih, tapi menurut beberapa sumber, ada 5 jenis pekerjaan yang tampaknya sangat cocok dilakukan oleh para gen Z–sesuai dengan karakter mereka.
5 Jenis Pekerjaan yang Cocok untuk Gen Z
1. Yang berhubungan dengan media sosial dan aplikasi
Generasi millenial–without a doubt–sangat mahir kalau soal media sosial dan juga teknologi pada umumnya. Tapi gen Z bisa dibilang enggak akan bisa hidup tanpa teknologi. Karena teknologi sudah begitu melekat pada gaya hidup mereka, sejak mereka lahir.
So, jenis-jenis pekerjaan yang akan banyak melibatkan media sosial dan teknologi sehari-hari akan sangat menarik minat mereka. Bahkan mereka akan memasukkan “berteknologi canggih” sebagai kriteria mereka dalam mencari pekerjaan.
Namun, masih menurut penelitian, sifat dan karakteristik kinerja gen Z ini cenderung malah mirip dengan generasi Baby Boomer, ketimbang Millenial. Para gen Z ini berorientasi pada detail, terampil mengambil keputusan, namun tetap kreatif dan jauh lebih mudah untuk bekerja sama dalam tim dibandingkan generasi Millenial.
2. Cenderung melakukan apa yang orang tua mereka juga lakukan
Lebih dari 80% responden sebuah penelitian yang seperti dirilis oleh Lifehack.com, yang merupakan gen Z mennegaskan, bahwa orang tua mereka memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap apa yang harus mereka lakukan begitu lulus kuliah.
Hal ini berbeda dengan generasi Millenials, yang cenderung ingin membebaskan diri dari tradisi, gen Z–konon–lebih suka untuk menerima tradisi yang kemudian mereka olah dengan pilihan dan opsi pribadi mereka masing-masing.
Hal inilah yang kemudian membuat generasi ini lebih suka memilih untuk mengikuti jejak orang tua mereka–terutama jika orang tua berhasil memberikan role model yang baik, terbukti sukses dan loyal terhadap pekerjaannya.
Selain itu, gen Z juga lebih sangat peduli terhadap kestabilan dibandingkan generasi Millenials.
3. Yang akan berhubungan dengan banyak orang
Satu lagi keterampilan khas gen Z yang kurang dipunyai oleh generasi-generasi sebelumnya. Mereka punya keterampilan interpersonal yang baik.
Dikombinasikan dengan keterampilan untuk mengoperasikan teknologi canggih, maka hal ini menjadi semacam deadly combination criteria saat mereka sedang networking, dan berhubungan dengan banyak orang.
Bekerja di perusahaan distribusi akan menjadikan mereka semacam “menemukan diri mereka sendiri seutuhnya”.
4. Non profit work
Sama seperti generasi Millenials, para gen Z juga merupakan orang-orang yang peduli pada lingkungan dan komunitasnya. Mereka punya jiwa sosial yang sangat tinggi.
Masih menurut hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Lifehack.com, 30% dari pekerja generasi Z ini bersedia memotong gaji mereka sendiri untuk dana sosial. Bahkan mereka rela gajinya dikurangi oleh pihak perusahaan selama digunakan untuk sosial.
Karena itu, bekerja di perusahaan non profit juga menjadi salah satu impian para gen Z. Berbeda dengan generasi Millenials yang cenderung lebih suka untuk mendirikan sendiri perusahaan nirlabanya, gen Z puas dengan hanya “mendarmabaktikan” hidupnya dengan bergabung ke perusahaan nirlaba yang sudah berdiri lebih dulu.
5. Manajer pemasaran
Hampir 80% gen Z yang menjadi responden penelitian yang sama–yang dipublikasikan oleh Lifehack–menggambarkan lingkungan kerja yang ideal bagi mereka adalah bisnis skala menengah ataupun perusahaan internasional besar.
Saat bekerja, lebih dari 50% gen Z lebih suka berkolaborasi dalam kelompok-kelompok kecil ketimbang harus berurusan dengan terlalu banyak orang? Karena itu jenis-jenis pekerjaan yang melibatkan aktivitas dan strategi pemasaran akan sangat menarik minat mereka.
Gen Z pada dasarnya adalah pribadi-pribadi yang kreatif dan komunikatif, bahkan mereka siap bekerja in long hours. Tugas-tugas sebagai orang marketing akan mereka anggap sebagai tantangan untuk lebih kreatif, menjadi peluang bagi mereka untuk belajar banyak hal yang baru, dan kemudian memantapkan posisi mereka sendiri di organisasi perusahaan.
Itulah yang pada dasarnya menjadi tujuan mereka bekerja.
Nah, itu dia 5 jenis pekerjaan yang cocok bagi para gen Z. Hmmm, meski sama-sama terlahir di zaman teknologi canggih, somehow memang sedikit berbeda karakter dengan generasi Millenials ya?
Tapi, ada juga sih kesamaannya, yaitu angkatan kerja baru selalu tak pernah siap untuk pensiun. Ya, gimana siap? Baru juga masuk kantor, udah ditanya pensiun? Mendingan ditanya, kapan liburan ke Jepang?
Tapi eh tapi, masa pensiun itu nyata, bukan pilihan. Kepastian. Sementara liburan ke Jepang itu opsi. Dan banyak yang enggak sadar, bahwa dengan menyiapkan dana pensiun sejak awal, itu berarti beban hidup akan lebih ringan.
Dana pensiun yang disiapkan sejak awal, mungkin hanya butuh menyisihkan Rp500.000 saja sebulan. Beda dengan kalau disiapkan ketika sudah 10 tahun bekerja, bisa jadi perlu menyisihkan Rp5.000.000 per bulan agar bisa pensiun sejahtera.
Pilih mana?
So, yuk, ceki-ceki jadwal kelas finansial online QM Financial. Banyak kelas yang bisa dipilih sesuai dengan kebutuhanmu. Enggak cuma soal dana pensiun, tetapi juga untuk tujuan finansial yang lain.
5 Alasan Mengapa Gaji Besar Saja Tetap Tak Membuat Karyawan Mau Bertahan di Perusahaan yang Sama
Kadang ya heran, kenapa banyak sekali yang sulit untuk bertahan di satu perusahaan. Apalagi akhir-akhir ini. Sering banget dengar curhat HR yang bilang, angkatan kerja sekarang makin susah loyal, padahal juga sudah ditawari gaji besar. Tetap saja turnover karyawan begitu tinggi.
Apa pasal?
Rekor saya sendiri paling lama bekerja di sebuah perusahaan adalah 9 tahun. Gaji sih standar, tetapi memang lingkungan kerjanya enjoyable bagi saya. Setelah 9 tahun bekerja, saya mendapat kesempatan untuk bekerja sesuai dengan minat. Dengan gaji yang sedikit lebih kecil dan fasilitas serta tunjangan yang lebih sedikit, saya pun mantap memutuskan resign dari perusahaan lama dan bergabung ke perusahaan baru.
Di perusahaan yang baru itu, saya menemukan soul saya. Saya mengerjakan hobi saya setiap hari, dan dibayar. Sampai sekarang.
Ada yang punya cerita seperti saya di atas? Boleh lo kalau mau sharing di kolom komen!
Melihat kasus diri sendiri—meski perbedaan besaran gajinya tidak begitu besar—tetapi saya memang lebih memilih untuk bekerja di perusahaan baru yang menjanjikan saya kenyamanan lebih. Yang saya bayangkan adalah hari-hari saya pasti akan menyenangkan, karena saya akan diberi gaji untuk mengerjakan hal yang saya suka.
Dari situ, saya kira ya wajar sih kalau banyak yang kurang bisa bertahan untuk bekerja di satu perusahaan dalam jangka waktu yang lama, meski sudah diberi gaji besar. Barangkali salah satu—atau semua—alasan berikut juga yang memengaruhinya.
5 Alasan orang tak hanya butuh gaji besar untuk mau bertahan bekerja di satu perusahaan dalam jangka waktu yang lama.
1. Setiap orang butuh kenyamanan
Kenyamanan dan kepuasan kerja kadang adalah menjadi salah satu syarat utama saat seseorang mampu bertahan. Bagi sebagian orang, kenyamanan dan kepuasan kerja tidak bisa diukur dengan materi, yang berarti gaji besar.
Setiap orang butuh kenyamanan, dan hal ini kadang sulit didapatkan. Apalagi kalau berurusan dengan rekan kerja ataupun lingkungan yang toxic. Betul nggak?
2. Keamanan juga menjadi syarat pertama
Selain kenyamanan, keamanan juga merupakan hal yang kadang sulit ditemukan di dunia kerja. Keamanan di sini bisa berarti keamanan fisik, dan juga finansial sih. Gaji besar memang merupakan salah satu “jaminan” keamanan, terutama dari segi finansial. Tapi ternyata, enggak cuma itu yang diminta oleh sebagian besar karyawan.
Gaji besar, tapi harus bekerja setiap malam di lokasi yang keamanannya kurang. Setiap hari harus waswas akan keamanan diri sendiri. Pastinya yang seperti itu enggak akan membuat kita jadi enjoy bekerja.
Atau, gaji besar, tapi perusahaan tampak semakin bermasalah. Bahkan sewaktu-waktu bisa saja memutuskan untuk melakukan efisiensi karyawan. Wah, meski gaji besar, kita tetap saja akan berpeluang untuk masuk ke daftar efisieni—siapa yang bisa memaksa untuk bertahan. Bener nggak sih?
3. Butuh keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi
Sempat melihat curhat seseorang di Twitter. Kurang lebih bunyinya begini.
“Dapat panggilan lowongan kerja. Pas wawancara ditanya, bisa enggak handphone on 24 jam? Sewaktu-waktu juga harus dipanggil ke kantor, bahkan di hari libur dan hari Minggu. Nggak dihitung lembur sih, tapi boleh minta hari libur pengganti. Gue tolak, karena waktu gue buat keluarga kayaknya enggak bisa diukur dengan uang.”
Ada yang mengalami hal yang sama?
Setiap orang butuh keseimbangan hidup, yang bisa diraih dengan banyak cara. Salah satunya adalah dengan membatasi kehidupan profesional, dan membuat waktu untuk diri sendiri serta keluarga. Keseimbangan seperti ini penting banget untuk mengelola stres.
Well, memang sih ada yang seakan enggak punya kehidupan pribadi—para workaholics, misalnya—tapi meski demikian, work life balance ini penting, untuk kesehatan mental diri sendiri.
4. Passion over materi
Akhir-akhir ini semakin banyak orang yang sadar, bahwa kita butuh passion lebih untuk bisa betah bekerja, enggak cuma soal gaji besar. Hanya saja passion dan gaji besar enggak selalu datang dalam satu paket.
Kalau sudah begitu gimana dong? Ya, tergantung pertimbangan masing-masing individu saat memutuskannya. Kadang ya yang terjadi adalah terima pekerjaan—meski tak sesuai passion—tapi bergaji besar. Demi apa? Demi hidup. Toh passion bisa dilakukan as a side hustle, kan?
Tapi, ada juga yang memutuskan untuk lebih mengejar passion, demi kebahagiaan diri sendiri. Salah? Enggak dong. Kalau bahagia melakukannya, seseorang juga akan nyaman untuk hidup—meski nggak mendapatkan gaji besar.
5. Tidak ada kesempatan untuk berkembang
Berkembang merupakan kebutuhan bagi setiap individu yang punya semangat hidup. Berkembang dalam arti luas, menyangkut fisik, rohani, mental, pun keterampilan.
Kadang kali, meskipun gaji besar, tetapi bisa jadi sulit menemukan peluang untuk berkembang. Ide-ide yang dilontarkan selalu mentah, pendapat kurang didengar, tak ada jenjang karier yang bisa diproyeksi, pun tak pernah mendapatkan training ini-itu yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi.
Rasanya, kita hanya diminta untuk memberikan kontribusi saja, tanpa diperhatikan kebutuhannya. Malas juga sih, kalau kerjanya kayak gini. Iya nggak?
Bagaimana denganmu? Kalau kamu dihadapkan pada 2 pilihan: gaji besar atau 5 hal di atas, manakah yang kamu pilih?
Well, the bottom line is, berapa pun gaji yang diterima yang terpenting adalah bagaimana kita mengelolanya dengan baik sehingga bisa memenuhi kebutuhan dan demi mencapai tujuan keuangan kita. Gaji berapa pun sebenarnya selalu cukup kok, asal kita terampil mengaturnya.
So, ayo, belajar finansial lagi hari ini! Cek jadwal kelas finansial online QM Financial, dan segera daftar yang sesuai dengan kebutuhanmu.
Kerja di Startup Itu Berarti Gaji Besar? Coba Cek 3 Faktanya!
Belakangan semakin banyak millenial yang bercita-cita untuk kerja di startup. Startup apa aja kek, yang penting startup. Meski tetap ada generasi millenial yang berkeinginan melamar kerja di perusahaan konvensional, terutama yang sudah punya nama besar.
Meroketnya nama beberapa startup pioneer, seperti Gojek, Traveloka, Bukalapak dan Tokopedia, sepertinya juga memengaruhi fenomena perubahaan mindset ini. Selain tentunya cara berpikir para millenial yang memang berbeda dengan angkatan kerja sebelumnya.
Salah satu hal yang semakin membuat para millenial mupeng ingin bekerja di startup adalah konon gajinya yang berlipat-lipat kali dari UMR. Wah, benarkah gaji para karyawan startup sampai sedemikian tinggi?
Kelly Services, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa rekrutmen, pernah merilis daftar gaji yang diperoleh oleh karyawan perusahaan ecommerce Indonesia. Berikut bocoran gaji 13 posisinya:
- Sales executive 7 juta
- Merchandising Manager 20 juta
- Content Manager 20 juta
- Sales Manager 20 juta
- Head of Digital Marketing 20 juta
- Platform Manager 25 juta
- Product Manager 25 juta
- IT Operation Manager 25 juta
- UI/UX Manager 30 juta
- Head of Communication & Partnership 40 juta
- Head of Marketing 45 juta
- Head of Operation 50 juta
- Head of Merchandising 50 juta
Wah, kalau melihat daftar di atas, maka tak heran para millenial kepincut untuk bekerja di perusahaan startup ya? Namun, ada yang harus dicermati tuh. Gaji-gaji tersebut adalah milik para petinggi startup, yang berarti untuk naik ke jenjang yang setara, kita pun harus bekerja keras untuk meningkatkan kinerja kita. Betul?
Ada artikel lain lagi yang dilansir oleh Mojok.co, mengenai fenomena kerja di startup ini. Disebutkan bahwa gaji besar ini hanya mungkin ada di perusahaan startup unicorn, yang berarti perusahaan tersebut valuasinya mencapai lebih dari US$1 miliar, atau setara dengan Rp 13 triliun.
Pertanyaannya, apakah semua perusahaan startup valuasinya mencapai angka yang sangat fantastis itu? Jawabannya, tidak. Banyak perusahaan startup yang masih merintis pasar dan bisnisnya, sehingga belum bisa mencapai omzet penjualan yang kemudian dapat diberikan dalam bentuk gaji berdigit banyak pada karyawannya.
Banyak perusahaan startup yang boro-boro punya kantor di lokasi yang tetap, kadang mereka masih “menumpang” di coworking space satu dan pindah ke coworking space yang lain. Ada juga perusahaan startup yang masih menempati kantor di garasi rumah foundernya.
Namun, ada hal lain selain gaji yang mungkin membuat karyawannya tetap betah bekerja di perusahaan startup, ketimbang perusahaan konvensional. Ada beberapa hal yang tetap membuat para millenial tertarik untuk bekerja di perusahaan startup.
Beberapa Fakta Mengenai Kerja di Startup
1. Banyak kenyamanan yang diberikan
Dalam artikel mengenai sektor yang memberikan fasilitas kesehatan terbaik yang lalu, kita bisa melihat ada beberapa perusahaan startup yang memang memberikan kenyamanan yang baik bagi karyawannya.
Belum lagi soal jam kerja, yang konon lebih fleksibel ketimbang perusahaan konvensional yang memberlakukan batasan jam kerja. Bahkan sebagian besar juga mengizinkan karyawan bekerja secara remote, tidak harus berada di satu lokasi untuk bisa bekerja bersama.
Tentu saja, hal ini menjadi nilai plus untuk kerja di perusahaan startup ketimbang bekerja di perusahaan konvensional.
2. Gaji ekuivalen dengan beban kerja
Gaji besar pasti diberikan dengan tuntutan kinerja yang optimal pula. Hal ini juga berlaku di perusahaan startup, tak hanya di perusahaan konvensional.
Dalam perusahan startup, terutama yang masih rintisan, kadangkala karyawan juga harus merangkap-rangkap berbagai jabatan dan tugas. Hal ini terjadi lantaran rata-rata jumlah karyawan perusahaan startup rintisan juga hanya terdiri atas beberapa orang saja demi efisiensi kerja.
3. Siap bersaing dan harus bertumbuh dengan cepat
Tuntutan untuk memberikan kinerja yang optimal bagi para karyawan perusahaan startup ini juga bukan karena tanpa sebab. Seperti yang sudah dilansir oleh Tech In Asia, di Indonesia setiap bulannya ada startup baru. Dan tidak hanya satu, tapi sampai puluhan. Jadi, bisa dibayangkan berapa banyak perusahaan startup baru dalam satu tahun.
Ini berarti persaingan bisnis akan semakin ketat. Butuh pribadi-pribadi kreatif untuk bisa bertahan, apalagi untuk bisa berkembang dan melejit di antara yang lainnya.
Jadi, apakah kerja di startup itu berarti gaji besar? Mungkin, namun sepadan pula dengan target dan beban kerja yang juga besar.
Tertarik untuk mengundang QM Financial untuk memberikan program edukasi keuangan di perusahaan Anda? Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA/MIA). Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas terbaru.