Senang deh, akhirnya banyak yang semakin sadar pentingnya merencanakan keuangan–terutama keuangan keluarga–untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Tapi, bagaimana kalau kondisi keuangan keluarga tidak sehat?
Yep, sebelum beranjak ke mana-mana, sebaiknya memang kita harus memastikan dulu bahwa kondisi keuangan keluarga kita sehat. Kalau ternyata kondisi keuangan keluarga tidak sehat, ya susah juga untuk bisa mewujudkan rencana-rencana keuangan kita kan?
Kadang kondisi keuangan keluarga tidak sehat ini justru (sengaja) diabaikan. Entahlah kenapa–mungkin supaya terlihat baik-baik saja, sama seperti orang lain? Atau, mungkin enggak tahu cara mengatasinya bagaimana?
Tapi, apa pun penyebabnya, kita memang mesti sadar dulu, jika ada kondisi yang kurang sehat pada keuangan keluarga kita. Lalu, segera ambil tindakan untuk memperbaikinya satu per satu. Setelah kondisinya membaik, maka selanjutnya kita akan lebih mudah merencanakan segala hal untuk keluarga. Betul?
Jadi, apa saja tanda keuangan keluarga tidak sehat?
1. Enggak punya catatan keuangan
Padahal catatan keuangan ini penting, untuk melihat seberapa lancar cash flow kita sehari-hari, hingga bisa dianalisis dan dievaluasi secara berkala. Bisa ketahuan nih di sini, kalau keuangan keluarga tidak sehat.
Kalau catatan keuangan keluarga saja tidak punya, lalu dari mana kita bisa mengetahui, seberapa banyak kita sudah mengeluarkan uang dan seberapa banyak kita sudah bisa menabung?
Jangan-jangan, karena terlalu asyik mengeluarkan uang untuk keperluan ini itu, ternyata posisi neraca keuangan kita negatif. Aduh! Makin enggak sehat deh!
Jadi, ayo, miliki dulu catatan keuangan keluarga–mau ditulis di buku tulis biasa boleh, di aplikasi smartphone oke, atau mau pakai software semacam Excel juga bisa. Pilihlah yang paling nyaman.
2. Porsi utang lebih dari 30% penghasilan, dan didominasi oleh utang konsumtif
Dari catatan keuangan keluarga di poin pertama, kita bisa tahu posisi porsi utang kita. Amati, apakah cicilannya masih dalam batas 30% penghasilan bulanan?
Jika masih di bawah batas 30%, cermati lagi, apakah utang-utang tersebut adalah utang produktif–yang artinya aset yang didapatkan dari utang merupakan aset yang dapat memberikan nilai tambah pada diri kita sendiri? Ataukah, mostly merupakan barang-barang konsumtif, yang dibeli karena takut nggak ngehits atau kekinian?
Kalau masih lebih banyak konsumtifnya, nah, ini berarti keuangan keluarga tidak sehat. Ada baiknya dievaluasi lagi deh. Lalu, cari jalan untuk segera dilunasi.
3. Nggak bisa menabung
Berapakah proporsi menabung saat ini? Apakah sudah minimal 10% dari penghasilan bulanan? Kalau belum, berarti ada yang harus diperbaiki.
10% merupakan angka minimal porsi menabung setiap bulannya demi keuangan keluarga yang sehat. Seharusnya sih, angka persentase ini aman. Bahkan untuk yang bergaji UMR pun seharusnya tetap punya tabungan.
Kalau enggak bisa menabung, jelas menunjukkan keuangan keluarga tidak sehat. Coba cermati dari catatan keuangan. Ke mana saja perginya uang? Jangan-jangan keluarga kamu juga enggak tahu uangnya buat apa saja.
4. Nggak punya tujuan keuangan
Kalau enggak bisa menabung, maka besar kemungkinan tujuan keuangan akan sulit dicapai. Atau, malahan enggak bisa menabung karena enggak punya tujuan keuangan?
Hati-hati lo. Kalau kita enggak punya tujuan keuangan, maka itu jadi salah satu sebab utama keuangan keluarga tidak sehat. Jadi, nanti kalau tiba waktunya harus menyekolahkan anak, misalnya, kita jadi kelabakan mencari biaya. Ujung-ujungnya, berutang.
Atau, enggak punya dana pensiun. Wah, nanti kalau sudah berada di masa pensiun, dari mana kita hidup? Menggantungkan diri pada anak-anak kita, dan menjadikan mereka sebagai sandwich generation?
5. Rasio likuiditas aset kurang dari 6 x penghasilan
Salah satu indikator kesehatan keuangan adalah rasio likuiditas aset adalah minimal 6 x penghasilan bulanan. Jadi, berapakah aset lancar kita–uang tabungan, reksa dana pasar uang, deposito, dan sebagainya–itu yang bisa dengan segera dicairkan kalau ada kondisi darurat? Apakah bisa mencapai 6 x penghasilan?
Kalau enggak, ya berarti keuangan keluarga tidak sehat. Coba cek lagi, apa saja yang bisa dialihkan menjadi aset lancar ya.
6. Nggak punya proteksi
Kenapa enggak punya proteksi? Apakah merasa tidak butuh, ataukah karena sebab lain?
Tanda keuangan keluarga tidak sehat terlihat saat sang pencari nafkah dalam keluarga tiba-tiba *knocks on wood* terkena musibah–apa pun itu bentuknya–dan kemudian kondisi keluarga jadi oleng karena kehabisan uang.
Padahal ya, namanya musibah. Dia enggak pernah mengenal situasi, cuaca, dan kondisi. Mau datang, ya datang saja tanpa diundang. Kapan pun bisa terjadi.
Jika kita sampai tidak punya proteksi–dengan alasan apa pun–maka itu berarti kita membahayakan keluarga kita. Jadi, ayo, dicermati. Enggak harus semua segera di-cover, prioritaskan dulu yang penting.
7. Saling merahasiakan hal keuangan dengan pasangan
Nah, ini nih. Sekian lama sudah hidup berdua, kok masih saja saling merahasiakan kondisi keuangan masing-masing? Tapi, hal ini bisa saja terjadi.
Yah, balik lagi sih. Semua kembali ke niat dan komitmen masing-masing. Seharusnya saluran komunikasi pasangan suami istri–terutama soal keuangan–sudah mulai dibuka lebar sejak masih pengantin baru. Seharusnya, tidak ada rahasia keuangan di antara berdua.
Tapi, yah, kondisi memang bisa saja berbeda. Namun, rahasia seperti ini bisa memperparah kondisi keuangan keluarga tidak sehat.
So, please, no rahasia. Yang belanja melebihi bujet, coba deh bilang. Yang punya utang tambahan, coba juga untuk sharing. Kan, niat membangun keluarganya berdua, ada masalah juga sebaiknya dihadapi berdua.
Nah, jadi, mana saja tanda keuangan keluarga tidak sehat yang masih terjadi sampai sekarang? Beresin dulu, yuk!
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.