Percakapan sore hari di bulan Agustus 2012. Mang Adul, pria sederhana penjual bubur kacang hijau di Bandung. Asalnya dari pedalaman X di Tasikmalaya. Orangnya amanah dan jujur.
Me : Mang Adul, taun ini seperti biasa, saya mau kurban kambing di kampung X. Nitip yaa..
Mang Adul: Dengan senang hati, Neng. O iya, kemarin ada tawaran barangkali Neng berminat naik kelas kurbannya.
Me : Naik kelas kurban? Gimana maksudnya, Mang?
Mang Adul: Naik kelas neng, kurbannya jadi sapi bukan kambing lagi. hehehe..
Me : Pengen sih, Mang..
Mang Adul: Kalo mau, bareng-bareng aja. Kemarin Bu Hajjah Y nawarin, kurang tiga orang lagi.
Me : Boleh, Mang. Saya ijin suami dulu ya. Nanti saya kabari segera.
Malamnya, langsung didiskusikan dengan suami di rumah. Alhamdulillah, sejak mulai bekerja sekitar tahun 2005 silam, saya dan suami sepakat untuk berkurban setiap tahun. Awalnya, seekor kambing berdua. Seiring dengan membaiknya kondisi keuangan kami, akhirnya kami bisa berkurban masing-masing seekor kambing setiap tahunnya.
Masih teringat, rasa haru yang membuncah saat kami menggiring seekor kambing ceking ke lapangan kurban. Iya, saat itu uang kami baru cukup untuk membawa pulang kambing “pramugari”, saking langsingnya, hehehe. Tahun berlalu, kambing ceking bertambah 2 ekor. Pindah kantor, kambing ceking berganti kambing gemukan sedikit. Setelah mengenal financial planning 3 tahun belakangan ini, kambing gemuk kami usahakan tidak pernah absen dari agenda kurban kami.
Tantangan kurban sapi dari Mang Adul sore itu cukup membuat kami merenung. Bukankah kurban idealnya adalah bentuk rasa syukur kita pada Allah atas segala nikmat-Nya? Rasa syukur yang diaplikasikan dengan berbagi bersama mereka yang tak mampu, solidaritas sosial. Duh…buaanyak banget nikmat Allah yang kami rasakan.. *melirik 3 orang anak lucu dan sehat yang terlelap di kasur*
“Mungkin sudah saatnya kita kurban sapi, yang..”, ujar suami sambil mengayun-ayunkan raket anti nyamuk diantara ketiga tubuh mungil anak kami yang terlelap dengan mulut kecilnya yang menganga, menggemaskan. Tapi bukan tahun ini. Tahun depan, Insya Allah,” dia menambahkan seolah menjawab pertanyaan yang belum sempat saya lontarkan.
“Mang, saya dan suami sepakat. Kami ikutan kurban sapi, bareng sama Bu Hajjah Y. Nitip ya, Mang…”
Kurang lebih begitulah bunyi sms yang saya kirim keesokan paginya ke Mang Adul. Tahun ini, kurban sapinya masih patungan dengan Bu Hajjah Y. Tahun depan, insya Allah, kami ingin kurban sapi penuh.
Saya langsung membuka file financial plan keluarga kami. Menghitung kembali dengan cermat, agar tahun depan kami bisa membeli seekor sapi. Mungkin sapi ceking, hehehe… sebagai permulaan. Sama seperti halnya dulu kami memulai kurban kambing pertama kami dengan seekor kambing ceking.
Setelah browsing, ternyata kenaikan harga sapi dalam 5 tahun belakangan ini sekitar 5% -7% per tahun, lebih rendah jika dibandingkan dengan kenaikan harga kambing yang rata-rata 10% pertahunnya. Saya termangu. Hei! Seharusnya, banyak diantara golongan menengah yang sanggup kurban sapi setiap tahunnya. Entah itu kurban sendiri maupun patungan. Intinya, setiap tahun bisa kurban lebih baik dari tahun sebelumnya. Improvement!
Mata saya menyapu sederetan angka di laptop. Arus kas bulanan dan tahunan kami. Kami biasa menyisihkan kurban dari arus kas tahunan, seperti THR dan bonus. Berhubung tahun ini suami tidak dapat bonus karena baru saja pindah kantor baru, berarti untuk membeli sapi tahun depan perlu kami sisihkan sedikit dari arus kas bulanan. Tak apa, budget alat lenongan (baca: make up) saya bisa dikurangi, toh tahun ini saya sudah berhasil mengoleksi beberapa make-up brush impian, hihihi.
“Fabiayyi aalaa’i robbikumaa tukadzdzibaan? Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Penggalan ayat yang diulang-ulang dalam surah Ar-Rahman itu selalu terngiang di telinga dan memantapkan niat kami berkurban sapi tahun depan. Bismillah, harus bisa! Allah sudah memberi lebih dari yang kami minta :’)
Selamat berkurban!
Eka Agustina| Planners |@clarisa2005