YOLO dan YONO: Gaya Hidup Konsumtif vs Minimalis
Masuk tahun 2025, ada perubahan menarik dalam gaya hidup masyarakat. Jika di tahun sebelumnya banyak yang terjebak dalam tren YOLO (You Only Live Once), kini mulai muncul tren baru yang dikenal dengan YONO (You Only Need One). Konon, perubahan ini enggak lepas dari kesadaran banyak orang untuk lebih bijak dalam menjalani hidup.
Tapi, apa sih sebenarnya YONO itu? Dan kenapa bisa jadi tren gaya hidup baru? Yuk, bahas perbedaannya dengan YOLO.
Table of Contents
Gaya Hidup YOLO vs YONO: Apa Maksudnya?
YOLO, atau You Only Live Once, adalah gaya hidup yang sempat booming di tahun-tahun sebelumnya. Prinsip dasarnya sederhana: nikmati hidup sekarang, karena hidup cuma sekali.
Sebenarnya prinsip ini enggak salah sih. Sayangnya, banyak yang salah kaprah, dan malah bikin jadi konsumtif dan impulsif. Beli barang tanpa mikir panjang, nongkrong di tempat mahal biar enggak kudet, atau liburan mewah walau harus gesek kartu kredit atau paylater.
Pokoknya, apa pun yang bikin happy, langsung dilakukan. Sayangnya, ada efeknya, yaitu banyak orang terjebak utang dan kehilangan kontrol atas keuangan mereka sendiri.
Ciri-ciri YOLO ini gampang banget dikenali. Biasanya, orang yang menerapkan gaya hidup ini cenderung hedonis dan punya rasa FOMO (Fear of Missing Out) yang tinggi. Mereka enggak mau ketinggalan tren terbaru, dari gadget, fashion, sampai tempat makan hits. Hidup dengan prinsip YOLO sering bikin orang lupa untuk memikirkan masa depan. Akhirnya, yang ada cuma kebahagiaan sesaat tanpa ada rencana jangka panjang.
Nah, beda banget sama YONO. Kalau YOLO fokus ke pengalaman instan dan kesenangan sesaat, YONO lebih ke arah hidup minimalis dan berkelanjutan. You Only Need One berarti memprioritaskan kualitas dibanding kuantitas. Enggak perlu punya banyak barang, yang penting barang yang dipunya benar-benar berguna dan tahan lama. Konsep ini juga mengajarkan penganutnya untuk lebih mindful dalam belanja, biar enggak kebablasan konsumtif.
YONO juga punya sisi positif lain, yaitu lebih ramah lingkungan. Dengan membeli barang yang awet dan berkualitas, kita bisa mengurangi sampah dan limbah. Selain itu, orang yang menerapkan gaya hidup YONO biasanya lebih cermat dalam mengelola uang. Mereka enggak gampang tergoda diskon atau promo, tapi lebih fokus ke barang yang benar-benar dibutuhkan.
Contohnya, kalau lagi cari jaket, orang dengan mindset YONO bakal pilih satu jaket berkualitas yang tahan lama, daripada beli beberapa jaket murah yang gampang rusak. Prinsipnya, satu barang tapi awet dan multifungsi, lebih baik daripada punya banyak barang yang jarang dipakai.
Perubahan dari YOLO ke YONO ini mulai terlihat di media sosial akhir-akhir ini. Kalau dulu banyak yang pamer gaya hidup mewah dan barang branded, sekarang mulai banyak yang mempromosikan hidup sederhana dan minimalis. Orang jadi lebih peduli sama nilai dan fungsi barang, daripada sekadar gengsi.
Baca juga: Gaya Hidup Minimalis: Cocok untuk New Normal?
Faktor Pendorong Pergeseran Gaya Hidup YOLO dan YONO
Pergeseran gaya hidup dari YOLO ke YONO enggak terjadi begitu saja. Ada beberapa faktor penting yang bikin banyak orang mulai berpikir ulang tentang cara mereka menjalani hidup. Apa saja?
1. Kondisi Ekonomi
Ketidakstabilan ekonomi global menjadi salah satu pemicu utama. Inflasi yang terus naik, risiko resesi, dan ketidakpastian ekonomi bikin banyak orang lebih berhati-hati dalam mengatur keuangan.
Dulu, kebanyakan orang mungkin enggak terlalu mikirin masa depan karena merasa hidup harus dinikmati sekarang. Tapi sekarang, banyak yang sadar kalau hidup boros di tengah situasi ekonomi yang enggak pasti justru bikin susah sendiri. Jadi, orang mulai memilih gaya hidup yang lebih terencana dan hemat.
2. Kesadaran Lingkungan
Isu perubahan iklim semakin banyak dibahas, sehingga kepedulian terhadap keberlanjutan meningkat. Gaya hidup YOLO cenderung bikin orang konsumtif dan menghasilkan banyak limbah. Sebaliknya, YONO mendorong orang untuk lebih sadar akan dampak lingkungan dari kebiasaan belanja mereka.
Membeli barang yang tahan lama dan multifungsi dianggap lebih baik daripada terus membeli barang murah yang cepat rusak. Ini juga mengurangi sampah dan limbah yang merusak lingkungan.
3. Perubahan Prioritas
Pandemi juga mengubah cara orang memandang hidup. Banyak yang mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan mental dan fisik. Orang juga semakin sadar akan pentingnya kestabilan finansial jangka panjang.
Dulu, prioritas mungkin lebih ke mengejar kesenangan sesaat. Sekarang, banyak yang fokus membangun fondasi keuangan yang kuat, berinvestasi, dan mengatur pengeluaran dengan bijak. Mereka juga lebih memilih kebahagiaan yang datang dari rasa tenang dan stabil, bukan dari barang mewah atau pengalaman mahal.
Apa yang Harus Dilakukan kalau Mau Ikutan Mengubah Gaya Hidup?
Mengubah gaya hidup dari YOLO ke YONO enggak harus drastis. Lagi pula, mengubah kebiasaan itu enggak mudah, kita harus mengakuinya.
Tapi, bukan tak mungkin dilakukan. Kamu bisa mulai dengan langkah kecil yang sederhana. Fokusnya bukan soal menahan diri dari hal-hal yang bikin bahagia, tapi lebih ke memilih mana yang benar-benar penting dan bermanfaat dalam jangka panjang. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan.
1. Prioritaskan Kebutuhan, Bukan Keinginan
Bedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sebelum membeli sesuatu, tanyakan dulu: Apakah ini benar-benar dibutuhkan? Kalau jawabannya enggak, lebih baik tahan diri. Fokus pada barang atau pengalaman yang memberi nilai jangka panjang.
2. Pilih Kualitas Dibanding Kuantitas
Investasi pada barang berkualitas lebih baik daripada beli banyak barang murah yang gampang rusak. Misalnya, lebih baik punya satu tas yang awet bertahun-tahun daripada beberapa tas murah yang cepat jebol. Kalau perlu, coba thrifting. Ada banyak barang yang masih bagus, bahkan branded, bisa didapatkan dengan thrifting.
3. Bijak dalam Mengelola Keuangan
Catat pengeluaran dan buat prioritas. Pastikan uang dialokasikan untuk kebutuhan penting seperti tabungan, investasi, dan dana darurat. Hindari gaya hidup konsumtif yang bikin pengeluaran enggak terkendali.
4. Perhatikan Dampak Lingkungan
Kurangi kebiasaan beli barang sekali pakai atau yang cepat rusak. Pilih barang yang ramah lingkungan dan bisa digunakan dalam waktu lama. Selain lebih hemat, kebiasaan ini juga lebih baik untuk bumi.
5. Fokus pada Kesehatan Mental dan Kebahagiaan Jangka Panjang
Gaya hidup YONO enggak cuma soal keuangan, tapi juga soal keseimbangan hidup. Jangan tergoda terus-terusan ikut tren atau FOMO. Cari kebahagiaan dari hal-hal sederhana yang memberi dampak positif untuk kesehatan mental.
Dengan langkah-langkah ini, perubahan gaya hidup bisa terasa lebih ringan dan konsisten. Ingat, yang penting bukan seberapa banyak yang dimiliki, tapi seberapa berguna dan berarti hal-hal yang dimiliki dalam hidup.
Baca juga: Cara Mengidentifikasi Lifestyle Inflation dalam Kehidupan Sehari-hari
Gaya hidup terus berubah seiring waktu. Dari yang dulu mengejar kesenangan instan, sekarang banyak yang mulai sadar pentingnya hidup sederhana dan berkelanjutan.
Mau YOLO atau YONO, semua balik lagi ke kebutuhan masing-masing. Tapi satu hal yang pasti, hidup jadi lebih tenang kalau setiap keputusan dibuat dengan sadar dan bijak. Jadi, bukan soal ikut tren, tapi soal memilih cara hidup yang bikin bahagia sesuai kebutuhan dan kemampuan dalam jangka panjang.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
5 “Penyakit” yang Bikin Anak Muda Gagal dalam Perencanaan Keuangan
Jadi anak muda sekarang tuntutannya banyak. Betul? Dari mulai soal karier, jodoh, sampai soal perencanaan keuangan. Ya maklum sih, anak muda kan harapan bangsa. Tsah.
Iya, kok memang berat. Apalagi kalau dari si anak muda itu sendiri punya “penyakit”. Penyakit apa? Penyakit keuangan yang disebabkan oleh banyak hal. Ada yang memang literasinya kurang, atau ya karena memang merasa masih muda—masih berhak untuk senang-senang, menikmati hidup. Nanti ya dipikirkan nanti saja.
Pada akhirnya, kalau yang bersangkutan enggak sadar juga akan penyakitnya, boro-boro bisa membuat perencanaan keuangan, hidup pun hanya paycheck to paycheck. Memang tak semua gaya hidup paycheck to paycheck akibat adanya penyakit ini. Namun, yang punya penyakit berikut pada umumnya akan hidup paycheck to paycheck, terlilit utang, dan gagal dalam perencanaan keuangan untuk masa depannya sendiri.
Penyakit apa sajakah itu?
5 Penyakit yang Bikin Perencanaan Keuangan Gagal
1. Kebiasaan lapar mata
Lihat ini, beli. Lihat itu, eh lucu, beli. Belanja secara impulsif, menuruti kata hati dan keinginan, tanpa berpikir panjang.
Yang punya penyakit ini, jangankan bisa membuat perencanaan keuangan yang komprehensif. Sering sabotase tabungan sendiri malah. Uang yang dikumpulkan untuk apa, jadinya apa. Maunya cuma beli pasta gigi sama sabun, eh, pulang bawa baju, sepatu, sampai tas.
2. YOLO
You only live once. Begitu kepanjangan YOLO ini.
Sebenarnya, jargon ini digunakan untuk memotivasi agar kita tak menyia-nyiakan peluang bagus atau kesempatan emas yang datang pada kita. Sayangnya, akhir-akhir ini justru maknanya jadi bergeser.
Jadi pembenaran, bahwa hidup hanya sekali, maka kita berhak untuk bersenang-senang terus setiap waktu. Tanpa ingat menabung, tanpa sadar juga bahwa banyak risiko hidup yang harus dihadapi ke depannya. Pun, enggak sadar, bahwa masih ada masa depan yang panjang, yang seharusnya jadi kesempatan untuk mewujudkan mimpi dan cita-cita. Semua karena “hari ini masih bisa hidup, maka ayo, senang-senang.”
3. FOMO
Fear of Missing Out, begitulah. Alias, enggak mau ketinggalan tren. Lihat orang-orang heboh apa, pengin ikutan.
Zamannya ramai pada liburan luar negeri, ikut liburan. Trennya beli tas branded, ikutan beli. Ramai orang-orang antre inden smartphone tercanggih, enggak lupa ikut inden juga. Zamannya orang-orang beli kripto atau NFT, tentu saja enggak mau ketinggalan.
Tujuannya satu: supaya dianggap keren dan mendapatkan pujian. Padahal, ya, enggak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Dampak dari FOMO ini bisa sangat merugikan kita loh. Yang tadinya berharap untung, tapi akhirnya buntung, tidak sadar risiko yang dihadapi, hingga bisa terjerat utang, karena pada dasarnya orang-orang FOMO juga tidak sadar akan kemampuan diri sendiri.
4. Latte Factor
Latte factor adalah pengeluaran kecil yang kita lakukan setiap hari, bahkan bisa sampai beberapa kali sehari, tetapi sayangnya kita enggak sadar bahwa ketika diakumulasikan ternyata menjadi sangat besar.
Contohnya adalah biaya ngopi setiap pagi sambil jalan ke kantor, pesan makanan online terus, biaya admin bank, parkir, dan sebagainya. Pengeluaran-pengeluaran ini sebenarnya bisa dihemat jika kita mau loh, tetapi enggak kita lakukan karena berbagai sebab.
Di QM Financial, kita mengenalnya sebagai ‘bocor halus’. Ibarat ban yang mengalami bocor halus, kita enggak menyadarinya hingga akhirnya ban benar-benar kempis bin gembos, kehilangan tekanan. Apalagi jika ditambah kita malas mencatat pengeluaran, saat itulah kita baru bertanya-tanya, ke mana ya perginya uang? Enggak terasa.
5. Tarsok Tarsok
Tarsok tarsok alias bentar besok bentar besok. Artinya, hobi menunda. Istilah keren zaman now: procrastinating. Menunda mulai belajar keuangan, menunda mulai membuat perencanaan keuangan, menunda berinvestasi, dan sebagainya.
Kadang hal ini kita lakukan karena kita enggak tahu cara memulainya, atau justru merasa takut kalau nantinya gagal. Padahal, kalau kita gagal merencanakan, maka saat itu pula kita berencana untuk gagal loh. Jika kita menunda perencanaan, maka kita tidak akan pernah memulai apa pun.
Agar Tak Gagal dalam Perencanaan Keuangan
Gagal dalam perencanaan keuangan bisa cukup fatal akibatnya. Pasalnya, dalam sebuah perencanaan keuangan, biasanya akan terangkum berbagai cita-cita, tujuan hidup, bahkan janji pada diri sendiri untuk memberikan kualitas yang baik pada hidup kita sendiri.
Mumpung masih berstatus anak muda, akan lebih baik jika kita berpikiran jauh ke depan, karena apa yang akan kita dapatkan di masa depan nanti merupakan hasil dari apa yang kita rencanakan sekarang.
Mulai sekarang
Yuk, jangan menunda lagi. Apa yang bisa kamu lakukan sekarang, sekecil apa pun itu, bisa mengubah masa depanmu nanti. Mulai belajar keuangan, mulai membuat rencana keuangan.
Enggak perlu terlalu jauh, kamu bisa mulai dari langkah-langkah kecil dulu. Misalnya, tahu dulu prinsip dasar dari Blueprint of The Money, lalu tahu ciri keuangan yang sehat. Dengan begitu, kamu bisa memperbaiki dulu kondisinya, baru kemudian belajar lagi langkah-langkah berikutnya.
Kamu bisa belajar di FCOS QM Financial, karena sudah disusun sedemikian rupa secara berjenjang, sehingga kamu akan merasa dituntut step by step sesuai kondisi dan kemampuan.
Yang penting, mulai dulu sekarang.
Pengendalian diri
Kalau melihat sebagian besar “penyakit” di atas, akar masalah terbesarnya sebenarnya cuma satu: pengendalian diri.
Belanja impulsif, pengin senang-senang saja di masa sekarang, nggak mau ketinggalan tren, mengeluarkan uang sedikit demi sedikit setiap hari, semua itu berkaitan dengan kemampuan kita dalam mengendalikan diri sendiri.
Dengan adanya perencanaan keuangan, kamu akan punya kontrol mengenai apa yang perlu diprioritaskan dan yang bisa ditunda. Bisa jadi, kamu memiliki penyakit-penyakit di atas karena kamu tidak punya perencanaan keuangan yang baik. Jadi bener kan, bahwa kamu merencanakan untuk gagal?
Disiplin
Kalau sudah punya rencana keuangan, maka selanjutnya yang kamu perlukan adalah disiplin diri. Ini adalah koentji agar semua rencana bisa diwujudkan dengan sukses.
Nah, gimana? Pengin sembuh kan, dari segala penyakit di atas? GWS ya!
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!