Mau Nonton Konser Justin Bieber, Perhatikan 3 Hal Penting Ini!
Dari kemarin kehebohan sudah melanda netizen, lebih khususnya para Beliebers, lantaran tiket konser Justin Bieber yang akan manggung di Indonesia bulan November mendatang sudah dibuka.
Daaan … seperti sudah bisa diduga, sederetan drama pun sudah terjadi selama satu hari Selasa, tanggal 29 Maret 2022 kemarin, sesaat setelah loket virtual di 2 website dibuka untuk pembelian tiket konser Justin Bieber di Jakarta ini.
Deretan Drama Pra Konser Justin Bieber
Yang pertama, web error. Yah, sebenarnya ini juga salah satu risiko kalau menghadapi animo netizen yang luar biasa sih, terutama untuk layanan-layanan digital. Hal yang sama juga sering terjadi ketika penulis-penulis buku best seller Indonesia launching novel terbarunya, yang bisa dipesan secara preorder. Biasanya, server website tempat memesan buku jadi crash karena diserbu oleh ratusan ribu bahkan jutaan penggemar.
Drama kedua, segera setelah tiket konser Justin Bieber resmi dapat dibeli, langsung juga ada kasus penipuan berkedok jastip tiket. Salah satu korban yang berkeluh kesah di Twitter, mengaku uang Rp15 juta telah raib digondol penipu. Tanpa bermaksud untuk tidak berempati, tetapi hal ini sebenarnya juga selalu terjadi di tengah keramaian; selalu ada oknum yang memanfaatkan kondisi dan terpepetnya orang lain untuk mendapatkan keuntungan besar bagi diri sendiri.
Yang ketiga, tiket langsung sold out tak lama setelah web loket bisa diakses. Sontak hal ini juga menimbulkan kericuhan virtual di media-media sosial, terutama Twitter. Para fans yang tak kebagian tiket mengamuk, hingga menciptakan trending topic terkait hal ini. Menghadapi animo penggemar suami Hayley Baldwin itu, pihak promotor akhirnya menambah jadwal konser di Jakarta menjadi 2 hari. Ini artinya, ada tiket yang akan dijual lagi.
Sebenarnya, senang sekali melihat antusiasme masyarakat Indonesia—terutama para fans musik—seperti ini. Entah kapan terakhir ada artis dunia yang konser di Indonesia. Tahun 2020 dan 2021, terhitung Lady Gaga, Avenged Sevenfold, sampai Slipknot membatalkan konser di Indonesia karena corona. Sejak itu, belum pernah ada konser offline yang megah lagi. Sepertinya, konser Justin Bieber ini adalah yang pertama, yang diadakan dengan target 20 ribu tiket terjual habis selama pandemi.
So, buat para Beliebers nih, baik yang sudah dapat ataupun yang masih berburu tiket, berikut beberapa hal yang mesti kamu perhatikan kalau pengin nonton konser Justin Bieber.
Mau Nonton Konser Justin Bieber? Perhatikan Ini!
1. Pastikan ada dananya
Harga tiket konser Justin Bieber pastilah lebih mahal dari sekadar tiket pasar malam. So, memang harus dipastikan, bahwa memang ada dananya.
Idealnya, yang seperti ini memang seharusnya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, a.k.a nabung dulu. Tapi, kadang konfirmasi konser jadi diadakan kan dadakan, betul? Idealnya lagi, seharusnya buat beli tiket ini, kamu ambil dari dana pos lifestyle. Tapi, persentase pos lifestyle kan enggak banyak. Kurang dong?
Kamu bisa saja ambil dari dana darurat, tetapi kamu harus betul-betul komitmen pada diri sendiri untuk menggantinya nanti. Pasalnya, nonton konser seharusnya bukanlah situasi darurat seperti yang ditentukan saat membuat dana darurat. So, ini ibaratnya hanya “pinjam” dulu, dan harus dikembalikan, meski sebenarnya itu juga uang kita sendiri.
Kamu juga bisa membayar dengan kartu kredit, dan kemudian segera dibayar lunas sebelum jatuh tempo sehingga kamu terhindar dari bunga dan denda yang tak perlu. Ingat: berani pakai kartu kredit, berani bayar!
Belilah tiket yang sesuai kemampuan. Mampunya tiket yang Rp1.5 juta, ya sudah beli yang Rp1.5 juta. Bagaimana kalau enggak ada dananya? Artinya, realistis saja: kamu enggak mampu. Jadi, nggak usah memaksakan diri. Berutang untuk beli tiket konser Justin Bieber karena enggak punya uang jelas bukan solusi yang baik. Khawatirnya, kamu justru akan terlibat kesulitan di depan nanti.
2. Pahami bahwa ini situasi yang rentan penipuan
Banyak orang “kreatif” yang ingin memanfaatkan situasi-situasi seperti ini untuk mengeruk keuntungan besar bagi diri sendiri. Kamu harus sadar betul kondisi ini.
Karena itu, jangan terlalu (terlihat) desperate untuk mendapatkan tiket. Logika harus tetap jalan, meski panik kehabisan tiket.
Modus yang umum dilakukan oleh oknum penipu adalah menawarkan jastip tiket dengan harga murah. Selang beberapa waktu, si oknum mengabarkan, bahwa harga tiket naik. Jika pembeli mau lanjut, diminta transfer. Biasanya sih pembeli tetap mau lanjut, karena merasa sudah ada harapan kepastian untuk mendapatkan tiket. Dan kemudian, si oknum menghilang, tak bisa lagi dikontak, sementara uang sudah ditransfer.
Waspada akan perilaku mencurigakan. Jika memang mau WTB dari orang lain karena kehabisan tiket di website resmi, berhati-hatilah.
3. Persiapan matang
Kalau sudah dapat tiket dan bisa nonton konser Justin Bieber, maka persiapan matang harus dilakukan. Pastikan kamu sudah makan dengan porsi yang cukup sebelum berangkat. Pada umumnya, kita tidak boleh membawa makanan dan minuman yang berbau tajam. So, kamu bisa memilih makanan dan minuman berenergi yang praktis. Dan ingat, bawa plastik atau semacamnya, untuk menyimpan sampah supaya bisa dibuang di tempatnya nanti setelah konser.
Jangan lupa bawa cash untuk cadangan ya. Bisa jadi kamu akan perlu untuk ini itu dalam perjalanan atau di venue konser nanti.
Nah, itu dia beberapa hal yang mesti diperhatikan untuk nonton konser Justin Bieber di Stadion Madya Gelora Bung Karno, November mendatang.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Jadi Karyawan dan Susah Menabung? Mungkin Ini Sebabnya!
Sejak kecil, kita sudah dikenalkan dengan kebiasaan menabung. Biasanya sih dimulai dengan celengan receh, dengan bentuk lucu-lucu, yang terbuat dari tanah liat ataupun kaleng. Yes, menabung memang menjadi pelajaran pertama kita soal keuangan. Lalu, kenapa sekarang malah jadi susah menabung?
Tanya kenapa?
Sudah memasuki usia produktif dan bisa mendapatkan penghasilan sendiri dengan gaji yang didapatkan secara tetap, mengapa malah susah menabung? Berapa pun uang yang didapat selalu habis tak bersisa. Gajian lagi masih lama, uang di dompet tinggal selembar, dan saldo di rekening pun sudah minimal. Meskipun kadang sudah mencoba untuk menabung di awal bulan, pada akhirnya diambil juga dan digunakan.
Jika kondisi kamu seperti ini, mari kita lihat beberapa hal yang bisa membuatmu susah menabung. Barangkali salah satunya (atau malah beberapa di antaranya) menjadi biang keroknya.
Mengapa Susah Menabung?
1. Nggak punya tujuan
Saat kita punya niat untuk menabung, maka saat itu pula ada kemungkinan besar kita juga dihadapkan pada kebutuhan yang lain: cicilan, kebutuhan hidup, kebutuhan sosial, dan sebagainya. Rencana menabung pun diturunkan prioritasnya, lantaran kita lebih mementingkan hal lain.
Itulah yang terjadi kalau kita tak memiliki tujuan ketika hendak mulai menabung. Lain halnya kalau kita memiliki “judul” untuk tabungan kita. Secara bawah sadar, kita akan memprioritaskan tabungan, karena bakalan ada manfaatnya. Misalnya, untuk membeli gadget terbaru. Kalau enggak menabung, gadget pun enggak akan terbeli. Dengan demikian, kita pun rela mengurangi pos lain yang kurang penting demi tabungan gadget baru.
Itu baru “judul” tabungan untuk gadget. Coba bayangkan, jika judulnya untuk sesuatu yang sangat penting. Misalnya, untuk DP rumah, atau tabungan untuk menikah. Atau yang lebih ‘grand’ lagi, seperti tabungan agar bisa bebas finansial, dan pensiun dini.
2. Terlalu banyak tanggungan
Sudah menjadi rahasia umum, ketika di masa-masa produktif seperti sekarang ini, kita banyak memiliki tanggungan. Nggak hanya keluarga kecil kita sendiri, banyak dari kita yang juga harus menanggung biaya hidup keluarga besar.
Yes, kita adalah sandwich generation.
Karena itulah, kebutuhan keuangan menjadi lebih besar daripada seharusnya. Jangankan menabung, untuk memenuhi kebutuhan dasar saja, kadang harus berjuang. Selain mendapatkan gaji, tak jarang kita juga harus melakukan side hustling demi mendapatkan tambahan pemasukan.
3. Terlalu banyak utang
Ada banyak alasan ketika seseorang berutang. Paling banyak ya karena kepepet kebutuhan. Entah kebutuhan yang sesungguhnya, atau sekadar memenuhi gaya hidup.
Memang keduanya berbeda. Tetapi, keduanya seharusnya juga tak harus dipenuhi dengan cara berutang, apalagi yang sampai melebihi kemampuan.
Idealnya, rasio cicilan utang yang sehat adalah 30% dari penghasilan rutin setiap bulannya. Rasio ini ada sudah pasti bukan sekadar angka. Dengan membuat batasan maksimal cicilan utang 30%, maka diharapkan kita tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup dan juga menabung.
Kalau akhirnya susah menabung, maka mungkin saja rasio utang ini lebih besar dari batas maksimal ideal.
4. Pos lifestyle terlalu tinggi
Seperti halnya cicilan utang, sebenarnya juga ada batas maksimal ideal untuk pos lifestyle, yaitu 10%.
Pos lifestyle adalah pos pengeluaran khusus untuk biaya aktivitas sosial, hobi, self reward, dan sebagainya. Kita enggak bisa memungkiri, bahwa kita juga butuh biaya-biaya ini, tetapi jangan sampai porsinya justru lebih besar daripada pos tabungan. Masa sih mengaku susah menabung, tapi gaya hidup hedon banget?
Boleh kok, kita nongkrong sesekali bareng teman-teman di kafe, atau mungkin membelikan diri sendiri berbagai barang yang memang kita inginkan. Namun, tentu harus dipikirkan dengan bijak.
5. Nggak punya catatan keuangan
Jika memang ingin menabung, maka kita pun harus membuat rencana keuangan yang benar. Apalagi manusia itu memang banyak maunya. Tanpa rencana keuangan, maka—seperti yang sudah dipaparkan di poin pertama di atas—bisa jadi kita memang tak punya tujuan menabung. Bahkan, kita tak tahu ke mana saja uang kita pergi.
Dengan adanya catatan keuangan—yang di dalamnya ada catatan penghasilan dan pengeluaran—kita jadi tahu, pos mana yang bisa dihemat, dikurangi, dan disesuaikan, sehingga kita pun bisa mulai menabung.
Nah, jadi, dari kelima hal di atas, manakah yang masih menjadi alasanmu susah menabung?
Apakah kantor atau komunitasmu mengalami masalah keuangan yang sama? Ataukah, punya kebutuhan training finansial yang lain? Sila kontak WA 0811 1500 688 untuk mendiskusikan kebutuhan training finansialmu. Semua modul dibuat SIMPEL, PRAKTIS, dan tentu saja FUN!
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Latte Factor: Kebiasaan Kecil Bikin Boros
Akhir-akhir ini banyak bermunculan istilah baru ya? Yang terbaru dan berkaitan dengan keuangan juga ada nih, Latte Factor.
Apakah kamu pernah mendengarnya, atau membacanya? Tahu nggak apa itu Latte Factor?
Istilah Latte Factor dicetuskan oleh David Bach—seorang business man, perencana keuangan, motivator, sekaligus penulis buku yang sangat sukses di pasaran, The Automatic Millionaire—dan diperkenalkan dalam buku terbarunya, The Latte Factor: Why You Don’t Have to be Rich to Live Rich.
Apa Itu Latte Factor?
David Bach mengadopsi istilah ini dari salah satu jenis minuman kopi, yang sering menjadi menu favorit kita semua setiap hari. Pengeluaran untuk beli kopi setiap hari ini bisa jadi hanya dua pulu ribu sampai lima puluh ribu, tetapi karena dilakukan setiap hari, maka total sebulan bisa mencapai jutaan rupiah lo.
Sejatinya, di QM Financial, kita juga mengenal jenis pengeluaran seperti ini. Kita menyebutnya sebagai ‘bocor halus’. Ibarat ban kendaraan, bocor halus bikin udara dalam ban keluar sedikit demi sedikit tanpa terasa. Tapi, begitu habis, ban langsung flat begitu saja. Apesnya, kita sedang buru-buru mau pergi. Yah, jadi nggak bisa pakai mobil atau motor kan, karena bannya gembos begitu?
Latte Factor dan Keuangan Kita
Dilansir dari tirto.id, survei yang pernah dilakukan oleh Bank Permata mengungkapkan data bahwa 9 dari 10 orang menghabiskan lebih dari Rp900 ribu untuk Latte Factor.
Kalau mau diperinci lagi, orang-orang ini banyak menghabiskan uang untuk kebutuhan berikut ini—yang diurutkan dari proporsi yang terbesar:
- Belanja di luar belanja bulanan (baju, sepatu, lipstik, dan lain sebagainya): 58%
- Taksi atau transportasi online: 15%
- Beli makanan dan minuman ringan: 11%
- Kopi setiap pagi sebelum ke kantor atau kuliah: 9%
- Air mineral: 3%
- Beli rokok setiap hari: 2%
- Biaya transfer ATM dan tarik tunai: 1%
- Biaya administrasi bank: 1%
Nah kan, ternyata banyak juga ya? Yes, Latte Factor tidak harus berupa kopi. Wujudnya bisa beragam. Lalu, lebih jauh ternyata terungkap juga, fakta bahwa Latte Factor ini banyak menjangkiti para milenial. Loh? Apa yang menjadi penyebabnya, kalau gitu?
Di antaranya:
1. Dimanjakan oleh berbagai kecanggihan teknologi
Sekarang bayangkan. Untuk makan saja, kita sudah enggak perlu memasak nasi sendiri pakai periuk, susah-susah mencuci beras, dan seterusnya. Tinggal ambil smartphone, sat-set-sat-set, pesan makanan online, sudah beres. Acara rebahan bisa dilanjut.
Nggak masalah jika harus mengeluarkan sejumlah uang tambahan, karena toh, seberapa sih? Anggap saja kan sebagai “biaya” pengganti kita bersusah-susah?
2. Perilaku impulsive buying
Penyebab yang kedua ini adalah juga karena berkembangnya teknologi yang luar biasa dan tumbuhnya new economy belakangan ini.
Maunya sih cuma scroll Instagram, eh tapi kok lihat ada ads barang lucu ya? Ya sudah, langsung klik, checkout dan bayar. Ini baru media sosial—dalam hal ini Instagram—belum lagi ada pula yang punya kebiasaan window shopping di aplikasi marketplace atau ecommerce.
Tahu-tahu checkout-nya kok banyak ya?
3. Peer pressure
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa tekanan sosial dari lingkungan itu berpengaruh juga pada perkembangan psikologis kita. Apalagi di zaman sekarang, ketika informasi dengan bebas bisa diakses. Semakin tipis pula filter kita untuk menyaring segala informasi yang masuk.
Contoh sederhana saja, misalnya. Kita sering “terpaksa” menerima ajakan teman untuk hangout dulu di coffee shop mahal afterhours, demi pertemanan. Atau, harus mengiyakan ajakan klien untuk meeting di café. Hal seperti ini tak sekali dua kali saja terjadi, tetapi dalam seminggu bisa berkali-kali.
Tentu saja, hal ini akan sangat berpengaruh ke kantong.
Mengatasi Kebocoran Keuangan Akibat Latte Factor
Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit ternyata enggak hanya berlaku untuk kebiasaan menabung, tetapi juga kebiasaan mengeluarkan uang. Uang yang keluar sedikit demi sedikit akhirnya membengkak di akhir bulan. Akan lebih fatal, kalau kemudian hal ini juga membuatmu memiliki kebiasaan utang.
So, jangan anggap sepele Latte Factor. Boleh saja kok kalau kamu mau jajan, atau sekadar memberi reward pada diri sendiri. Tetapi, yuk, diatur!
1. Cek apa Latte Factor kamu
Latte Factor bisa berbeda pada setiap orang. Cek apa yang menjadi Latte Factor kamu. Apakah salah satu dari 8 hal di atas, seperti hasil survei Bank Permata? Atau, ada yang lain?
Dengan mengenali apa yang menyebabkan bocor halus dalam keuangan kita sehari-hari akan membuatmu lebih mudah untuk mencari solusi dan cara agar bisa mengendalikannya lagi.
2. Buat anggaran terpisah
Sekali lagi, punya Latte Factor itu tidak dilarang. Bahkan, dari sisi lain, barangkali apa yang masuk ke dalam Latte Factor ini bisa jadi membuatmu jadi tetap waras. Tapi, jangan sampai lantas memunculkan masalah keuangan baru.
Jadi, miliki anggaran terpisah khusus untuk Latte Factor. Di QM Financial, kita menyebutnya sebagai pos lifestyle, yang proporsinya tidak boleh lebih dari 20%. Mau kurang dari itu? Ya, boleh banget. Simpan bujet khusus Latte Factor ini dalam rekening terpisah. Kamu bisa menggunakan rekening e-wallet, supaya mempermudah.
3. Patuhi bujetnya
Kalau sudah dipisahkan, ya tentunya harus dipatuhi bujetnya. Kalau memang masih gatel pengin beli ini itu, pesan ini itu, yang termasuk ke dalam pengeluaran Latte Factor, padahal bujet sudah limit, ya tunggu sampai topup bujet selanjutnya.
Bulan depan, mungkin? Ketika sudah terima gaji lagi? Disiplin dan konsistensi penting, karena bisa menjaga keuangan tetap terkendali.
4. Punyai tujuan keuangan yang lebih penting
Miliki tujuan keuangan yang lebih penting, yang lebih besar, agar kamu termotivasi untuk memindahkan anggaran Latte Factor. Misalnya, untuk liburan ke luar negeri setelah pandemi usai. So, nggak usah jajan kopi online dulu deh sekarang. Beli saja kopi kiloan, lalu seduh sendiri.
Dengan begini, kamu akan termotivasi untuk menabung uangmu, tentunya, untuk tujuan yang lebih baik.
5. It’s ok to say ‘No!’
Kita juga boleh loh, menolak ajakan orang lain untuk hangout atau makan di café jika memang sudah di luar bujet. It’s really ok to say, ‘No!’. Atur saja, jika memang kamu merasa enggak enak. Ajakan sekali, mungkin ok. Tetapi, yang berikutnya, just say no.
Percaya deh, jika memang mereka teman yang baik, mereka pasti akan memahami kita.
Nah, gimana? Siap untuk mengendalikan keuangan lagi, dan mengurangi Latte Factor kamu demi masa depan dan kualitas hidup lebih baik?
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Jangan lupa juga follow Instagram QM Financial untuk berbagai update kelas finansial online dan tip praktis lainnya.