Budaya Pengelolaan Keuangan dari Warga 7 Negara Dunia yang Bisa Dipelajari
Pernah penasaran enggak, gimana orang-orang di luar sana—di luar Indonesia, maksudnya—mengelola keuangannya? Pasalnya, kita tahu dong pasti, bahwa basic budaya itu sedikit banyak memengaruhi cara pengelolaan keuangan pribadi orang tersebut. Bisa jadi karena ada tradisi tertentu, atau kondisi sosialnya, atau bahkan kondisi alam di mana orang tinggal, yang memengaruhi cara mengelola uang masing-masing.
Seru banget pasti, kalau kita bisa tahu bagaimana cara pengelolaan keuangan mereka masing-masing. Siapa tahu, bisa belajar hal baru, iya nggak sih?
Table of Contents
Budaya dan Kebiasaan Pengelolaan Keuangan dari 7 Warga Negara di Dunia
Budaya dan kebiasaan itu berkaitan erat. Termasuk dalam hal pengelolaan keuangan. So, dari hasil penelusuran ke beberapa sumber, warga dari beberapa negara ternyata punya kebiasaan pengelolaan keuangan yang khas dan menarik lo. Yuk, coba kita lihat.
1. Jepang: Menabung sebagai Kebiasaan Inti
Di Jepang, kebiasaan menabung telah menjadi bagian inti dari budaya mereka, yang mewakili nilai-nilai seperti kehati-hatian dan perencanaan untuk masa depan.
Masyarakat Jepang sudah memulai kebiasaan ini sejak usia muda, dengan tujuan untuk mengumpulkan tabungan yang dapat digunakan dalam situasi darurat atau untuk investasi jangka panjang.
Kebiasaan pengelolaan keuangan dengan menabung ini enggak hanya menunjukkan sikap bertanggung jawab terhadap keuangan pribadi, tetapi juga mencerminkan filosofi hidup yang lebih luas yang menghargai kesederhanaan dan kehidupan yang bebas dari utang. Dengan mengutamakan pengeluaran yang bijaksana dan menghindari pemborosan, masyarakat Jepang menunjukkan komitmen mereka terhadap stabilitas finansial dan kesejahteraan jangka panjang, baik secara individu maupun sebagai komunitas.
2. Amerika Serikat: Fokus pada Investasi dan Kredit
Di Amerika Serikat, orang-orang punya kecenderungan kuat dalam hal penggunaan kredit dan partisipasi aktif dalam pasar saham.
Penggunaan kredit, baik melalui kartu kredit maupun pinjaman, dianggap sebagai alat yang vital dalam membangun dan memelihara skor kredit, yang berperan penting dalam ekonomi Amerika.
Di sisi lain, investasi di pasar saham enggak cuma dilihat sebagai cara untuk mengamankan masa depan finansial tetapi juga sebagai sarana untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi negara.
Dengan adanya berbagai sumber daya dan platform yang memudahkan akses ke pasar saham, semakin banyak orang Amerika yang melihat investasi sebagai cara untuk meningkatkan kekayaan pribadi mereka. Budaya ini menggambarkan sebuah masyarakat yang berani mengambil risiko dan inovatif dalam pengelolaan keuangan, selalu mencari peluang untuk tumbuh secara finansial melalui berbagai bentuk investasi.
3. India: Emas sebagai Investasi dan Simbol Status
Di India, emas memegang posisi yang sangat khusus dan multifaset dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Lebih dari sekadar investasi yang aman, emas dianggap sebagai simbol kemakmuran, status, dan bagian tak terpisahkan dari banyak tradisi budaya.
Keluarga di India umumnya memiliki dan mengakumulasi emas sebagai instrumen atau aset jangka panjang. Mereka memanfaatkannya sebagai pengaman terhadap ketidakpastian ekonomi dan inflasi.
Selain itu, emas memiliki peran penting dalam berbagai upacara dan perayaan, terutama dalam pernikahan. Pemberian perhiasan emas enggak cuma dianggap sebagai hadiah, tetapi juga sebagai simbol berkah dan keinginan baik.
Investasi dalam emas di India enggak terbatas pada perhiasan. Emas batangan dan yang berbentuk koin juga sama populernya.
4. Jerman: Kecenderungan untuk Menghindari Utang
Orang Jerman terkenal memiliki disiplin yang kuat, nyaris sama dengan orang Jepang dalam hal pengelolaan keuangan. Masyarakat Jerman secara umum dikenal memiliki kecenderungan untuk menghindari utang, menunjukkan preferensi yang jelas untuk hidup sesuai dengan kemampuan finansial mereka.
Konsep ini juga tercermin dalam kebiasaan sehari-hari mereka yang cenderung menghindari hal-hal seperti belanja impulsif. Mereka lebih memprioritaskan nilai dan ketahanan suatu barang, ketimbang beli harga murah tapi mudah rusak.
Fokus pada tabungan juga sangat menonjol, dengan banyaknya orang Jerman memilih untuk menabung secara konsisten untuk masa depan, daripada menghabiskan uang untuk kepuasan jangka pendek.
Mentalitas ini mencerminkan nilai-nilai seperti ketanggungan, ketelitian, dan perencanaan jangka panjang, yang telah menjadi bagian penting dari budaya Jerman.
5. Tiongkok: Menabung untuk Masa Depan
Di China, konsep menabung uang enggak sekadar kebiasaan, tetapi merupakan sebuah tradisi yang berakar kuat.
Menabung sering kali dilihat sebagai cara paling efektif untuk memastikan keamanan finansial di masa depan. Prinsip ini sudah diajarkan dari generasi ke generasi.
Menabung bagi orang Tiongkok adalah tanggung jawab sosial dan keluarga. Ada pemahaman, bahwa setiap orang memiliki kewajiban untuk merawat anggota keluarga yang lebih tua. Jadi, menabung dianggap penting demi memenuhi tanggung jawab ini, memastikan bahwa ada sumber daya yang cukup untuk menyokong kehidupan keluarga, terutama pada masa pensiun orang tua.
Praktik ini mencerminkan nilai-nilai konfusianisme tentang penghormatan dan perawatan terhadap orang tua. Dengan demikian, dalam konteks ini, menabung tak hanya dilihat sebagai keputusan finansial yang bijak, tetapi juga sebagai ekspresi cinta dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga.
6. Brasil: Kegembiraan dan Kehidupan Sosial
Budaya Brasil dikenal dengan semangat komunitasnya. Mereka cenderung selalu bersemangat, hangat, dan punya jiwa sosial tinggi.
Di negara ini, pentingnya menjalin hubungan sosial dan merayakan kehidupan tercermin dalam cara pengelolaan keuangan penduduknya. Mereka umumnya spontan dan fleksibel dalam pengeluaran, dengan menekankan pentingnya menikmati momen sekarang, dan banyak berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan budaya. Mulai dari pertemuan keluarga yang besar, pesta jalanan, hingga acara-acara musik dan tari yang meriah.
Dalam banyak keluarga Brasil, kebiasaan menabung dan pengelolaan anggaran yang bijaksana tetap menjadi prioritas. Keseimbangan antara menikmati kehidupan dan bertanggung jawab secara finansial merupakan bagian dari etos masyarakat Brasil.
7. Swedia: Investasi dalam Kesejahteraan Sosial
Swedia, dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem kesejahteraan sosial yang paling maju di dunia. Warga negara ini umumnya paham, bahwa pajak tinggi merupakan trade-off terhadap sarana untuk mendanai layanan sosial yang luas dan inklusif.
Pendekatan ini mencerminkan nilai-nilai kolektif dan komitmen terhadap kesejahteraan bersama. Mereka melihat bahwa kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial yang berkualitas merupakan hak dasar setiap warga.
Warga Swedia memandang penting setiap anggota masyarakat, termasuk anak-anak, orang tua, dan mereka yang membutuhkan perawatan khusus. Karena itu, ada berbagai program dan inisiatif yang didanai oleh pajak.
Di Swedia, orang percaya bahwa kesejahteraan adalah tanggung jawab bersama masyarakat. Secara bersama inilah, mereka punya standar kualitas hidup yang tinggi dan rasa keamanan sosial yang kuat.
Setiap negara dan budayanya menawarkan perspektif yang unik terhadap pengelolaan keuangan pribadi, mencerminkan nilai, sejarah, dan kondisi ekonomi masing-masing.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Hmmm …
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Setelah Lama Menikah, Pasangan Suami Istri Harus Cek 5 Hal Keuangan Ini
Sebagai pasangan suami istri yang telah lama menikah, biasanya apa sih yang selalu jadi bahan obrolan? Rencana sekolah lanjutan untuk anak? Rencana pensiun mau ngapain aja?
Yes, sebagai pasangan suami istri yang telah lama menikah, pastinya kita harus tetap memelihara komunikasi yang baik satu sama lain, bahkan seharusnya jalan komunikasi semakin baik lantaran sudah begitu lama berkeluarga. Iya kan? Yang dulu, saat masih menjadi pasangan pengantin baru masih tergagap-gagap, sekarang sudah biasa.
Tapi kadang, karena sebegitu biasanya, justru malah makin jarang mengobrol serius berdua. Apalagi sudah ada anak-anak yang “ngerecokin”–dalam arti baik ya. Kadang rasanya susah banget untuk sekadar sendirian berdua saja ngobrol sana-sini sama pasangan.
Apalagi ngobrolin keuangan keluarga. Beugh. Rasanya nggak sempat lagi.
Padahal, seiring waktu berjalan, banyak hal yang harus selalu pasangan suami istri pantau ketika mereka sudah lama menikah, termasuk keuangan keluarga. Kalau dulu, saat masih berada di awal masa pernikahan sudah pernah mengobrol berdua tentang apa saja yang pengin dijadikan cita-cita keluarga, sekarang waktunya untuk me-review, apa saja yang sudah didapatkan dan apa yang masih harus diperjuangkan.
Jadi, sebagai pasangan suami istri yang sudah lama menikah, hal keuangan apa saja nih yang harus diobrolkan lagi?
1. Cek aset yang dimiliki sekarang
Sudah berapa tahun menjadi keluarga, seharusnya sih sudah ada sedikit aset yang terkumpul. Betul nggak? Jadi, mari kita cek aset apa sajakah yang berhasil kita miliki sejak kita mulai membangun keluarga hingga sekarang.
Kamu bisa cek:
- Posisi tabungan di bank
- Posisi kepemilikan surat berharga
- Posisi investasi lainnya, misalnya kamu sempat berinvestasi di P2P Lending, dan sebagainya.
- Posisi kepemilikan properti
- Posisi kepemilikan barang lain yang bisa menjadi aset pribadi
Nah, coba bicarakan berdua ya, karena seharusnya sebagai pasangan, kalian masing-masing harus tahu posisi aset real kalian ini.
2. Cek kondisi utang
Apa saja utang yang masih ongoing sampai dengan hari ini? KPR? Kredit kendaraan? Beberapa kredit panci dan blender?
Pastikan satu sama lain tahu, utang apa saja yang harus menjadi beban keluarga, dan kapan utang ini harus diselesaikan. Pastikan juga, bahwa posisi cicilan utang maksimal 30% dari penghasilan bulanan ya. Jika sudah melebihi batas, maka cari cara untuk bisa mengurangi porsi cicilan utang ini. Coba cek artikel mengenai cara efektif melunasi utang ini ya?
Hal ini juga penting untuk dilakukan jika ternyata–karena suatu keadaan tertentu–kita belum juga dapat melunasi utang, sedangkan masa pensiun semakin dekat. Wah, mesti segera dicari cara ya, jangan sampai di masa pensiun kita masih terbebani oleh utang.
Karena itu, masalah kondisi utang ini adalah salah satu hal keuangan yang harus dibicarakan oleh pasangan suami istri secara periodik atau rutin.
3. Cek rasio tabungan
Rasio tabungan terideal adalah 10% dari penghasilan per bulannya. Jadi, apakah sampai saat ini, kamu dan pasangan kamu masih dapat menabung minimal 10% dari penghasilan bulanan kalian? Atau, kurang? Atau malah lebih?
Jika masih stagnan di 10%, mungkin enggak kalau ditambah lagi porsinya? Kalau misalnya posisi menabung sekarang kurang dari 10%, apa yang menjadi penyebab kurangnya porsi ini? Adakah hal-hal yang bisa dilakukan untuk menambah porsinya? Nah, terus, kalau lebih gimana? Ya, bagus! Keep going!
4. Cek rasio likuiditas
Hal keuangan berikutnya yang harus dicek oleh pasangan suami istri yang telah lama menikah adalah rasio likuiditas, yaitu perbandingan antara pengeluaran bulanan dengan aset lancar yang sudah dimiliki sampai sekarang.
Yang termasuk aset lancar itu apa? Adalah uang tunai, tabungan, deposito, reksa dana pasar uang, dan sebagainya–yang bisa dicairkan ke dalam bentuk uang tunai dalam waktu singkat. Likuiditas ini paling ideal besarnya 3 – 6 kali pengeluaran bulanan.
Bisa dibilang, posisi rasio likuiditasmu ini adalah posisi real dana daruratmu. Dana darurat akan menjadi “payung” jika suatu saat ada kendala dalam hidup kita. Namanya juga darurat kan?
So, likuiditas ini penting juga untuk dicek secara periodik, bagi pasangan suami istri. Jangan sampai kecolongan, karena sering dipakai untuk kondisi darurat, tapi lupa diganti ya.
5. Cek posisi tujuan keuangan
Dan, akhirnya, apa kabar tujuan keuangan yang dulu pernah dibuat saat masih pengantin baru? Semoga masih tetap istikhomah dan konsisten berjuang mencapainya.
Adakah tujuan keuangan yang sudah berhasil diwujudkan? Banyak sih harusnya. Apa saja? Coba dibikin daftar, supaya bisa menambah motivasi untuk mencapai tujuan keuangan lain yang belum terlaksana.
Itu dia beberapa hal keuangan yang harus dicek oleh pasangan suami istri yang sudah lama menikah secara periodik dan rutin.
Sudah punya kebiasaan ngobrolin 5 hal di atas belum sama pasangan? Kalau belum, hayuk, segera diawali deh kebiasaan baik ini ya. Bermanfaat banget lo, agar bisa konsisten di jalur yang sudah disepakati untuk mencapai tujuan bersama.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
5 Jenis Utang yang Paling Sering Menjebak dan Bikin Masalah
Utang is lyfe. Rasanya, kurang afdal kalau nggak punya utang. Utang jadi motivasi untuk kerja. Karena punya utang, makanya harus kerja. Sampai-sampai, saking lyfe-nya nih, semua jenis utang pernah dipunya.
Yes, jangan salah, masih banyak orang yang menganut faham ini.
Jadi, apakah berutang itu salah? Enggak sama sekali. Apalagi kalau memang kita tak punya uang, sedangkan kita ada kebutuhan yang sangat penting. Namun, tentu saja enggak sembarang utang. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, agar utang kita sehat. Nah, ini sih bisa kamu cek di artikel yang lalu ya.
Utang memang boleh-boleh saja. Yang harus diwaspadai adalah jebakannya, yang justru muncul karena kesalahan kita sendiri.
Ini dia beberapa jenis utang yang paling sering menjebak dan bikin masalah, terutama belakangan ini
1. Kredit tanpa jaminan
Jenis utang kredit ini memang sangat menggiurkan, pada awalnya. Sudahlah tanpa butuh jaminan atau agunan, prosesnya cepat, plafonnya juga lumayan. Cocok banget deh, untuk kebutuhan mendesak jangka pendek.
Banyak orang memanfaatkan kredit tanpa jaminan ini untuk berbagai keperluan, dari mulai tambahan modal usaha hingga keperluan pribadi–misalnya untuk biaya menikah, membeli barang, renovasi rumah, sampai liburan.
Tapi, awas jebakannya!
Kredit tanpa jaminan punya bunga yang tinggi banget, rata-rata antara 10% – 23% per tahun, dengan bunga tetap. Bunga yang tinggi ini sebagai “harga” dari risiko pemberian pinjaman yang tanpa jaminan atau agunan.
Dan, jangan salah. Jika kita mau melunasinya lebih cepat, ada biaya penalti yang harus kita bayar juga lo!
Pantas saja kan, kalau jadi menjebak?
2. Utang kartu kredit
Jenis utang yang kedua ini biasanya akan menjebak mereka yang punya mindset, “Punya kartu kredit berasa kayak punya kartu ATM tanpa harus menabung dulu.” Jadi, kebutuhan apa pun, tinggal gesek saja. Praktis dan mudah.
Ya, dan “praktis dan mudah” itu biasanya ada harganya, tentu saja. Bunga utang kartu kredit juga cukup tinggi, apalagi jika kita hanya mampu membayar minimum payment setiap bulannya.
Lalu, ada juga lo jebakan utang kartu kredit ini selain bunga. Apa hayo? Limit.
Sebelum diapprove, pihak bank biasanya akan melakukan survei terhadap calon pemegang kartu kredit. Biasanya sih syaratnya punya gaji minimal Rp3 juta. Saat akhirnya diapprove permohonan kartu kreditnya, limit utang kartu kredit bisa 2 kali lipat–bahkan mungkin lebih–dari gaji kita.
Wah, bisa belanja sampai 2 kali lipat dari gaji lo! Misal gaji Rp10 juta. Limitnya bisa sampai Rp20 juta. Betapa menggiurkan!
3. Utang atas nama arisan
Biasanya sih yang suka ikut arisan itu ibu-ibu (saya enggak suka ikut arisan, tapi ibu-ibu juga sih). Dan biasanya ibu-ibu paling hobi sama sesuatu yang bisa dibayar secara kredit.
Nah, ini nih biasanya juga menjadi hal menarik. Syahdan, ada penjual panci. Pancinya kalau di toko dibanderol dengan harga Rp500.000. Karena si penjual tahu banget kalau ibu-ibu suka arisan dan suka panci, maka dibikinlah “arisan”. Arisannya Rp50.000 per bulan selama setahun. Nanti yang dapat arisan, hadiahnya panci.
Sounds great, huh?
Tapi tunggu. Rp50.000 per bulan selama setahun? Berarti, jadi berapa itu harga pancinya?
Jeng jeng! Yep, ini adalah salah satu jenis utang yang biasanya nasabahnya adalah ibu-ibu memang.
4. Pinjaman online
Pernah baca seorang PNS yang gantung diri lantaran tercekik pinjaman online? Ngeri banget kan ya? Di kasus lain lagi, ada yang mengaku, terjerat utang di–nggak tanggung-tanggung nih–15 aplikasi pinjaman online.
Pinjaman online ini sebenarnya sih si kredit tanpa jaminan yang sudah disebutkan di poin pertama di atas itu juga sih. Hanya saja, kredit ini dilakukan secara online melalui aplikasi mobile.
Masih soal kepraktisan, kepastian untuk disetujui, prosesnya yang cepat dan mudah juga yang bikin orang jadi terjebak.
Tapi, “efek” dari pinjaman online ini enggak berhenti di diri yang meminjam uang aja lo, tetapi bisa berefek sampai ke orang-orang terdekatnya, kenalannya juga. Karena ketika kita instal aplikasi online ini, kita akan menyetujui syarat yang menyebutkan, bahwa si pemilik aplikasi online akan dapat mengakses semua data diri kita. Termasuk kontak!
Nah, makanya, kalau si peminjam enggak bisa bayar, yang ditagih adalah semua orang yang ada di daftar kontaknya. Waduh!
5. Pay Later
Jenis utang yang terakhir ini adalah utangnya para milenial dan gen Z nih. Kok gitu? Iya, soalnya jenis utang ini ada bareng aplikasi-aplikasi favorit para milenial; mulai dari aplikasi ojek online, marketplace, sampai aplikasi liburan.
Bunga Pay Later bervariasi, tergantung platform mana yang dipakai. Yang terbesar adalah yang dipakai di platform aplikasi liburan. Limit utangnya bisa sampai Rp50 juta, dengan bunga sekitar 4%. Maksimal banget deh.
Jadi, jenis utang mana yang sekarang masih jadi mimpi burukmu? Semoga sih sudah enggak ada lagi.
Kalau masih ada, ayo, segera cari jalan keluar untuk segera bebas dari utang. Benahi keuanganmu segera, mulai dari mengatur cash flow hingga nantinya juga berinvestasi. Pilih kelas finansial online QM Financial yang sesuai dengan kebutuhanmu ya.
Kalau kita bisa bebas utang itu rasanya … hidup jadi ringan banget lo! Kamu nggak pengin?