Tinggal di Rumah Sendiri vs Orang Tua vs Kontrak: Pilih Mana?
Tinggal di rumah sendiri, tetap tinggal bareng orang tua, atau kontrak saja ya? Barangkali itu pertanyaan yang mampir di hampir semua pasangan yang baru saja menikah.
Namun, keputusan tersebut sering kali tidak semudah yang dibayangkan. Dilema ini bisa menimbulkan kebingungan dan ketegangan, terutama bagi pasangan baru yang berusaha menemukan solusi terbaik untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis dan sejahtera.
Yang pasti sih, masing-masing pilihan, baik tinggal di rumah sendiri atau yang lainnya, memiliki kelebihan dan kekurangannya, terutama dari sisi finansial. So, kita akan bahas lebih dalam ke dalam ketiga pilihan ini, membahas keunggulan dan kelemahan masing-masing dari perspektif finansial, serta memberikan wawasan untuk membantumu dan pasangan membuat keputusan yang tepat.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti kebutuhan, tujuan, dan kemampuan finansial, kamu akan lebih siap untuk menghadapi dilema memilih untuk tinggal di rumah sendiri atau yang lainnya. Semua demi kesejahteraan hidup di masa depan.
Tinggal di Rumah Sendiri dari Sisi Finansial
Keunggulan
Ada beberapa keuntungan atau keunggulan yang bisa didapatkan jika kamu tinggal di rumah sendiri, di antaranya adalah sebagai berikut.
- Aset. Ketika kamu memiliki dan tinggal di rumah sendiri, kamu akan membangun aset di properti tersebut seiring waktu. Aset ini bisa menjadi sumber kekayaan yang penting dan bisa digunakan sebagai agunan untuk meminjam uang, jika diperlukan di masa depan.
- Stabilitas. Tinggal di rumah sendiri memberimu stabilitas finansial jangka panjang karena pembayaran bulanan cicilannya cenderung tetap atau enggak berubah selama masa pinjaman. Hal ini cukup membantu dalam merencanakan anggaran dan mengurangi risiko kenaikan harga sewa yang tidak terduga.
- Potensi apresiasi nilai. Jika nilai properti yang kamu miliki meningkat seiring waktu, kamu akan mendapatkan keuntungan dari apresiasi nilai tersebut jika nantinya ingin menjual rumah. Ini bisa menjadi sumber keuntungan finansial yang signifikan.
- Kemapanan. Bagaimanapun kita tinggal di Indonesia yang menjadikan kepemilikan rumah sebagai simbol kemapanan. Rasanya, belum mapan kalau sudah berkeluarga tetapi belum tinggal di rumah sendiri.
Risiko
Nah, selain keunggulannya, ada pula beberapa risiko yang harus diperhatikan jika kamu tinggal di rumah sendiri. Di antaranya:
- Adanya biaya awal. Pembelian rumah biasanya memerlukan uang muka yang cukup besar, serta biaya tambahan seperti bea balik nama, biaya notaris, dan biaya asuransi. Ini bisa menjadi hambatan finansial bagi banyak orang yang tidak memiliki tabungan yang cukup.
- Biaya perawatan dan perbaikan. Tinggal di rumah sendiri, kamu akan bertanggung jawab atas biaya perawatan dan perbaikan yang diperlukan, baik yang rutin maupun yang tidak terduga. Ini bisa menjadi beban finansial yang signifikan dan sulit diprediksi.
- Keterikatan finansial. Membeli rumah merupakan komitmen finansial jangka panjang, dan menjual rumah bisa memakan waktu dan usaha. Jika kamu perlu pindah karena pekerjaan atau alasan lain, kamu mungkin akan mengalami kesulitan menjual rumah dalam waktu yang singkat atau dengan harga yang diinginkan.
- Risiko pasar. Nilai properti bisa naik atau turun seiring waktu, tergantung pada kondisi pasar dan faktor eksternal lainnya. Jadi, ada risiko bahwa nilai rumah mungkin turun, menyebabkan kerugian finansial jika kamu perlu menjualnya.
Tinggal di Rumah Orang Tua dari Sisi Finansial
Keunggulan
Nah, sekarang mari kita lihat sisi finansial dari tinggal di rumah orang tua. Beberapa hal yang mungkin menjadi keunggulannya adalah sebagai berikut.
- Penghematan biaya. Tinggal di rumah orang tua biasanya mengurangi atau menghilangkan biaya sewa atau cicilan bulanan. Tentu saja ini artinya penghematan, sehingga kamu bisa mengalokasikan dana tersebut untuk tujuan finansial lain, seperti bikin rencana dana pendidikan anak atau dana pensiun.
- Berbagi biaya rumah tangga. Ketika kamu tinggal dengan orang tua, biaya rumah tangga seperti utilitas, internet, dan makanan dapat dibagi antara anggota keluarga, sehingga mengurangi beban finansial pada masing-masing individu.
- Dukungan finansial. Dalam beberapa kasus, orang tua mungkin bersedia membantu anak-anak mereka secara finansial.
Risiko
Sementara, ada juga beberapa risiko atau kerugian secara finansial kalau kamu tinggal di rumah orang tua. Di antaranya:
- Ketergantungan finansial. Tinggal di rumah orang tua bisa membuatmu terbiasa dengan dukungan finansial mereka sehingga bisa jadi menghambat kemandirian finansial. Hal ini bisa menjadi masalah jika kamu perlu pindah atau hidup mandiri di kemudian hari.
- Kurangnya privasi dan otonomi. Tinggal dengan orang tua sering kali berarti harus mengikuti aturan dan rutinitas mereka, serta berbagi ruang dengan anggota keluarga lain. Ini bisa memengaruhi kualitas hidup keluarga kamu sendiri, sehingga membuatmu dan pasanganmu merasa kurang otonom dalam mengatur kehidupan sehari-hari.
- Potensi konflik. Tinggal bersama orang tua dapat menyebabkan konflik dalam hubungan, terutama jika kamu dan pasanganmu memiliki gaya hidup atau pandangan yang berbeda. Ini dapat menyebabkan stres dan ketegangan yang berdampak negatif pada kehidupan finansial dan emosional juga nantinya.
- Tidak membangun aset. Dengan tinggal di rumah orang tua, kamu enggak punya kesempatan untuk membangun aset dalam properti. Ini berarti kamu mungkin melewatkan potensi keuntungan finansial jangka panjang yang terkait dengan kepemilikan rumah.
Tinggal di Rumah Kontrakan dari Sisi Finansial
Keunggulan
Selain tinggal di rumah sendiri atau di rumah orang tua, kamu juga punya pilihan untuk tinggal di rumah kontrakan. Ada beberapa keunggulan secara finansial di sini. Apa saja?
- Fleksibilitas. Tinggal di rumah kontrakan memberikan fleksibilitas dalam hal durasi kontrak dan lokasi tempat tinggal. Jika kamu perlu pindah karena pekerjaan atau alasan pribadi, kamu dapat mencari kontrakan baru dengan lebih mudah daripada menjual rumah milik sendiri.
- Biaya awal lebih rendah. Berbeda dengan membeli rumah, tinggal di rumah kontrakan biasanya memerlukan biaya awal yang lebih rendah, seperti uang muka sewa dan deposit. Ini bisa lebih terjangkau bagi kamu yang memang belum memiliki tabungan yang cukup untuk membeli rumah.
- Tidak ada biaya perawatan dan perbaikan besar. Sebagai penyewa, kamu umumnya enggak bertanggung jawab atas biaya perawatan dan perbaikan besar pada properti yang disewa. Biaya tersebut biasanya ditanggung oleh pemilik rumah, sehingga mengurangi beban finansialmu.
Risiko
Dan, seperti opsi yang lain juga, ada beberapa risiko atau kerugian yang harus dihadapi dari tinggal di rumah kontrakan. Di antaranya:
- Enggak ada pembangunan aset. Ketika kamu menyewa, maka enggak ada proses membangun aset di properti. Sebagai hasilnya, kamu tidak akan mendapatkan keuntungan nilai aset yang bertumbuh dari waktu ke waktu.
- Kenaikan harga sewa. Harga sewa dapat meningkat dari waktu ke waktu, tergantung pada kondisi pasar dan kebijakan pemilik rumah. Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan finansial, terutama jika kenaikan harga sewa tidak sebanding dengan pendapatanmu.
- Kurangnya kontrol atas properti. Sebagai penyewa, kamu mungkin memiliki keterbatasan dalam mengubah atau memperbaiki properti sesuai keinginan. Selain itu, pemilik rumah dapat memutuskan untuk menjual properti atau tidak memperpanjang kontrak sewa kamu secara sepihak.
- Biaya sewa tidak kembali. Uang yang kamu bayarkan untuk sewa tidak akan kembali, berbeda dengan pembayaran cicilan yang kamu gunakan untuk membangun aset. Dalam jangka panjang, menyewa bisa menjadi lebih mahal daripada memiliki rumah sendiri.
Nah, itu dia berbagai pertimbangan untuk membantumu memutuskan hendak tinggal di mana: tinggal di rumah sendiri, di rumah orang tua, atau kontrak.
Adalah penting untuk mempertimbangkan keuntungan dan kerugian finansial yang terkait dengan tinggal di rumah kontrakan. Keputusan terbaik akan bergantung pada situasi pribadi, preferensi, dan tujuan finansial kamu, pastinya.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Kenali 6 Jenis Risiko Investasi yang Harus Dikelola untuk Hasil Optimal
Sudah tahu kan, kalau investasi itu akan selalu ada risikonya. Mulai dari deposito, obligasi, reksa dana, saham, bahkan emas dan instrumen lainnya akan selalu memiliki risiko investasi masing-masing.
Apa sih yang dimaksud dengan risiko investasi ini?
Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, risiko artinya adalah akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Nah, dalam investasi, maknanya tidak jauh berbeda. Risiko dalam investasi bisa diartikan sebagai hal yang terjadi tidak sesuai dengan harapan, yang bisa menimbulkan kerugian pada investor.
Di dunia investasi, kita mengenal adanya prinsip high risk, high return. Arti dari prinsip ini adalah bahwa semakin besar imbal yang berpotensi didapatkan dari suatu instrumen investasi, maka akan semakin tinggi juga risiko yang harus dikelola.
So, kalau memang berniat berinvestasi, mengenali risiko adalah hal pertama yang penting untuk dilakukan lebih dulu. Karena, dengan mengenali risiko terlebih dulu, kamu bisa memilih instrumen yang paling tepat untuk melayani kebutuhanmu mencapai tujuan finansial, juga memudahkanmu untuk menyesuaikan dengan kemampuan finansialmu.
Investasi akan lebih efektif dan hasilnya akan optimal dengan menyelaraskan hal-hal tersebut.
Jadi, yuk, kita lihat risiko investasi apa saja yang perlu dipahami.
6 Jenis Risiko Investasi
Risiko Suku Bunga
Risiko suku bunga adalah risiko yang terjadi akibat meningkatnya suku bunga di pasaran, yang kemudian memengaruhi pendapatan atau imbal investasi.
Terutama yang terkena dampak terbesar di sini adalah instrumen obligasi atau surat utang, ataupun instrumen lain yang portofolionya didominasi oleh obligasi atau surat utang. Reksa dana pendapatan tetap, misalnya.
Karena umumnya ketika suku bunga meningkat, maka harga obligasi berbunga akan menurun, dan begitu pula sebaliknya.
Risiko Pasar
Risiko pasar terjadi ketika ada fluktuasi atau naik turunnya nilai investasi akibat ada pergerakan sentimen pasar. Perubahan sentimen pasar ini bisa disebabkan oleh banyak hal, mulai dari munculnya kebijakan-kebijakan baru, isu-isu ekonomi, sosial, hingga politik, dan berbagai hal lainnya.
Risiko jenis ini biasanya ada dalam instrumen pasar keuangan, seperti saham ataupun obligasi, dan sering disebut juga sebagai systematic risk atau risiko sistematik lantaran tidak bisa dihindari. Setiap investor akan terdampak, hingga bisa saja harus mengalami capital loss alias kerugian modal.
Contoh risiko pasar ini misalnya ketika perang Rusia dan Ukraina pecah tempo hari, otomatis pasar modal bereaksi dan anjlok nilainya. Hal ini bisa terjadi karena para investor menjadi berkurang kepercayaannya bahwa ekonomi akan baik-baik saja, sehingga mereka beramai-ramai memindahkan aset ke instrumen yang lebih rendah risiko, seperti emas.
Nah, masalahnya, kadang kita sering ikut panik saat hal seperti ini terjadi, hingga membuat kita ikut buru-buru menjual instrumen yang ada dalam portofolio lantaran takut rugi lebih banyak. Padahal, sebenarnya kondisi seperti ini tidak akan terjadi secara terus menerus.
Risiko Inflasi
Risiko investasi ini sering disebut juga sebagai risiko daya beli, yang akan membuat nilai kas dari portofolio saat ini enggak akan bernilai sama di masa depan karena adanya perubahan daya beli akibat inflasi.
Sebagai akibatnya, nilai investasi di masa depan akan turun, seiring tingkat inflasi yang terjadi. Hal ini terjadi jika kamu
Contoh, misalnya kamu memiliki cash di tabungan Rp10 juta. Dengan tingkat inflasi—asumsikanlah—sebesar 3.5% per tahun, maka kamu akan kehilangan nilai Rp350 ribu setiap tahunnya akibat inflasi ini.
Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas adalah risiko yang muncul karena ada pihak yang tak dapat menyelesaikan kewajiban pembayarannya.
Risiko ini terjadi misalnya pada instrumen surat utang. Ketika pihak peminjam dana tidak dapat mengembalikan pinjaman sesuai kesepakatan saat jatuh tempo, maka pihak pemberi pinjaman mendapatkan risiko likuiditas ini.
Risiko Nilai Tukar Uang
Risiko investasi ini muncul akibat adanya perubahan kurs mata uang domestik terhadap mata uang asing. Sering disebut juga dnegan exchange rate risk, atau currency risk.
Misalnya, kamu hendak membeli instrumen investasi yang perdagangannya menggunakan mata uang US Dollar. Di saat yang sama, kurs rupiah terhadap dolar ternyata melemah, sehingga kamu pun harus mengeluarkan uang lebih banyak daripada seharusnya untuk dapat membeli instrumen tersebut.
Risiko Negara
Risiko investasi juga bisa timbul akibat hal-hal yang terjadi dalam suatu negara, bisa jadi karena ada isu politik, perubahan kebijakan, dan lain sebagainya.
Contoh misalnya saja, kamu berinvestasi di sebuah pasar modal negara lain. Karena satu dan lain hal, kebijakan diubah oleh pemerintah setempat yang dapat memengaruhi nilai investasimu; bisa menurun atau malah hilang juga.
Karena itu, ada baiknya, jika kamu memang berminat untuk berinvestasi di negara lain, kamu melakukan riset mendalam terlebih dulu terkait kondisi negara yang bersangkutan untuk meminimalkan risiko investasi ini.
Nah, sekarang kamu sudah tahu apa saja risiko investasi yang bisa terjadi, dan bagaimana bisa memengaruhi nilai investasi kamu. Yang tidak termasuk dalam 6 jenis di atas juga masih ada, terutama yang datang dari diri kita sendiri. Misalnya, kita suka menyabotase bujet investasi. Nah, itu bisa jadi risiko investasi yang cukup besar loh!
So, yuk, belajar keuangan dulu sebelum benar-benar berinvestasi! Agar kamu tahu cara paling efektif mengelola risiko—terutama yang berasal dari diri kita sendiri.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Bagaimana Cara Mengenali Produk Investasi yang Cocok untuk Kebutuhan Kita?
Salah satu hal yang harus dipahami sebelum kita mulai investasi adalah mengenali produk investasi, mana yang paling pas dengan keuangan kita. Karena kesesuaian antara produk dan tujuan keuangan, akan menjadi salah satu faktor penentu sukses tidaknya kita berinvestasi.
Ibaratnya, mau pergi ke suatu tempat, kita akan harus menentukan dengan kendaraan apa kita akan menuju ke tempat tersebut. Kalau kita mau ke Bali dari Jakarta, ya pastinya kita nggak bisa naik sepeda. Bisa berbulan-bulan sampainya. Ya, enggak apa sih, kalau memang niatnya touring dengan sepeda Jawa – Bali. Tapi, kalau untuk urusan bisnis atau berlibur, hmmm … sepertinya akan lebih baik kalau naik pesawat, biar cepat. Atau setidaknya naik kereta, lalu disambung kapal, misalnya.
Begitu juga ketika kita berinvestasi. Kesalahan dalam memilih “kendaraan” akan berakibat kurang maksimalnya hasil dari investasi sehingga tujuan keuangan pun jadi tidak tercapai.
Jadi, apa saja yang harus diperhatikan untuk bisa mengenali produk investasi yang cocok untuk kebutuhan keuangan kita? Mari disimak sampai artikel ini selesai.
Cara Mengenali Produk Investasi yang Sesuai dengan Kebutuhan Kita
Cek Profil Risiko
Setiap orang memiliki kecenderungan, kenyamanan, kebiasaan, dan preferensi masing-masing dalam mengelola keuangan pribadinya. Enggak ada yang salah dengan hal tersebut, selama sudah kita sesuaikan dengan target dan tujuan keuangan kita.
Profil risiko seseorang menunjukkan tingkat toleransinya terhadap risiko yang mungkin dibawa oleh produk investasi itu sendiri. Ada 3 tipe profil risiko, yaitu:
- Konservatif, yaitu mereka yang tingkat toleransinya terhadap risiko masih rendah.
- Moderat, yaitu mereka yang sudah dapat menghandle risiko yang sifatnya sedang dengan lebih baik.
- Agresif, yaitu mereka yang sudah terbiasa menghadapi risiko tinggi, karena mereka memang mengharapkan imbal yang besar juga.
Ketika kamu masih berkarakter konservatif tetapi sudah memaksakan diri untuk berinvestasi di instrumen yang berisiko tinggi, maka kamu tidak akan merasa nyaman, bahkan bisa jadi stres tersendiri. Ketika kamu bertipe agresif dan terlalu banyak berinvestasi di instrumen risiko rendah, kamu akan melihat bahwa investasimu terlalu lambat pertumbuhannya, dan kamu jadi tak nyaman juga karenanya.
Cek Tujuan Keuangan dan Horizon Waktu
Setiap produk investasi memiliki manfaatnya masing-masing, sesuai dengan karakternya sendiri-sendiri juga. So, ada baiknya kamu menyesuaikan hal ini dengan tujuan keuangan dan horizon waktu yang kamu miliki.
Misalnya, kamu pengin berinvestasi untuk membangun dana pensiun. Kamu merencanakan untuk pensiun di usia 65 tahun, sedangkan saat ini usia kamu 25 tahun. Berarti ada waktu 40 tahun untuk menyiapkan dana pensiun–yang sudah kamu hitung dan ketemu angka sekian miliar itu–sejak sekarang. Dengan analisis dan perhitungan yang sudah kamu lakukan–karena kamu sudah ikutan kelas Dana Pensiun di QM Financial–maka kamu memutuskan produk investasi yang paling sesuai untuk tujuan keuangan ini adalah saham.
Begitulah contoh menyesuaikan antara produk investasi dengan tujuan keuangan dan juga horizon waktu.
Contoh lain lagi. Kamu butuh untuk menyiapkan dana liburan ke Jepang tahun depan (pakai contoh yang mudah ya, abaikan fakta bahwa sekarang kita masih pandemi corona). Kira-kira kamu butuh Rp20 juta. Dengan waktu satu tahun, dan nominal Rp20 juta, kamu bisa menabung dan investasi di Reksa Dana Pasar Uang.
Nah, tujuan keuangan ini merupakan “judul” dari investasimu, dan jangka waktu akan jadi acuan pertumbuhan investasimu. Jadi, selalulah berpegang pada keduanya ketika kamu memilih produk investasi mana yang sesuai untuk keuanganmu.
Cek Kemampuan Finansial
Yang terakhir ini juga penting. Jangan sampai saking semangatnya investasi, sampai pakai uang yang seharusnya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Ada malahan yang mau pakai dana darurat, demi investasi.
Ada gitu, emangnya? Ada.
Ya, bagus dong semangat investasinya! Berarti sudah sadar betul akan pentingnya investasi. Tapi, kemampuan finansial diri sendiri juga harus dipertimbangkan. Idealnya, porsi investasi adalah 10% dari penghasilan rutin bulanan. Nggak boleh lebih? Boleh dong! Tapi sesuaikan dengan kondisimu. Jangan sampai kita beli saham, tapi malah jadi nggak punya uang buat beli susu anak.
Nah, apakah masih bingung sampai di sini?
Yuk, belajar mengelola keuangan dan investasi, langsung dari para trainer QM Financial! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.