Apa Itu Property Bubble? Pengertian dan Penyebabnya
Pernah dengar istilah property bubble? Bukan, bukan kayak film Up yang rumahnya dikasih balon terus terbang itu.
Property bubble adalah kondisi saat harga properti naik terlalu cepat dan terlalu tinggi, sampai enggak masuk akal. Hingga di titik tertentu, tiba-tiba harga ini “meletus” dan bikin nilainya anjlok.
Fenomena property bubble sering bikin banyak orang terjebak dalam situasi keuangan yang sulit. Kalau ini terjadi, pasti deh banyak yang kena imbasnya. Terutama mereka yang lagi proses KPR.
Untuk memahami lebih lanjut, penting tahu apa sebenarnya yang menyebabkan fenomena ekonomi ini bisa terjadi.
Table of Contents
Apa Itu Property Bubble?
Suka main gelembung sabun enggak? Memang lucu kan? Tapi, gelembung sabun itu bisa pecah kapan saja.
Kayak gitu juga dengan property bubble ini. Kondisi ini terjadi ketika harga properti naik gila-gilaan, jauh melampaui nilai sebenarnya. Biasanya ini terjadi karena permintaan yang tinggi, spekulasi, atau orang berlomba beli properti dengan harapan harga terus naik.
Sayangnya, seperti halnya gelembung sabun, gelembung harga ini enggak bertahan selamanya. Ketika pecah, harga properti bisa anjlok drastis dan bikin banyak orang, terutama yang telanjur investasi, gigit jari.
Makanya, istilah ini sering jadi momok di dunia investasi properti, karena efeknya bisa besar dan nggak jarang bikin ekonomi ikut gonjang-ganjing.
Baca juga: Membangun Rumah Impian dengan Rencana Keuangan yang Realistis
Penyebab Property Bubble
Prinsip ekonomi menyebutkan, bahwa ketika demand naik sementara supply stagnan, maka harga barang juga akan ikut terkerek. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab terjadinya property bubble ini.
Namun, enggak hanya itu. Ada beberapa hal lainnya yang juga bisa memicunya, bahkan membuatnya lebih parah.
1. Demand Naik
Permintaan pasar yang melonjak terjadi saat banyak orang berlomba-lomba membeli properti, entah untuk tempat tinggal atau investasi. Akibatnya, harga pun meroket karena properti jadi rebutan.
Kalau stoknya sedikit, situasi makin kacau—mirip seperti barang diskon yang diburu ramai-ramai, tapi dalam skala yang jauh lebih mahal.
2. Suku Bunga Rendah
Suku bunga rendah bikin pinjaman rumah terasa lebih ringan, jadi makin banyak orang tertarik mengajukan KPR. Dengan cicilan yang lebih terjangkau, daya beli naik. Hal ini kemudian membuat permintaan properti melonjak. Akibatnya, harga properti pun ikut terkerek, karena semua berlomba beli mumpung bunganya masih ramah di kantong.
3. Aturan Longgar
Standar kredit yang longgar bikin bank lebih gampang kasih pinjaman, bahkan ke orang-orang dengan risiko finansial tinggi. Dengan syarat yang enggak terlalu ketat, jumlah pembeli properti jadi naik drastis. Akhirnya, permintaan membludak dan harga properti ikut melesat karena pasar jadi makin ramai.
4. Spekulasi
Spekulasi pasar terjadi ketika investor berburu properti bukan untuk dihuni, tapi untuk dijual lagi saat harga naik. Harapan akan keuntungan besar menciptakan permintaan semu, yang bikin harga properti terus meroket tanpa alasan ekonomi yang solid. Ujung-ujungnya, pasar bisa jadi terlalu panas dan rentan ambruk.
5. Kebijakan Pemerintah
Adanya insentif pajak atau program subsidi rumah juga sering kali bikin properti terasa lebih terjangkau. Akhirnya, memancing banyak orang untuk beli rumah, sehingga permintaan melonjak. Tapi kalau pasokan properti enggak seimbang, harga bisa naik terus tanpa kontrol, menciptakan risiko lonjakan yang enggak stabil.
Dampak yang Bisa Terjadi jika Property Bubble Terjadi
Fenomena ini pernah terjadi di Amerika Serikat pada 2007-2008. Dimulai dengan lonjakan harga rumah yang enggak wajar saat itu, ditambah dengan suku bunganya sangat rendah dan kebijakan kredit yang begitu longgar, property bubble burst terjadi dan bikin orang sebumi kalang kabut.
Banyak pemilik rumah terjebak dalam utang lebih besar daripada nilai rumah mereka. Bank yang memberi pinjaman subprime mulai kolaps karena gagal bayar meningkat tajam.
Kalau di skala rakyat jelata macam kita ini, apa dampaknya. Ya, banyak juga, yang paling jelas adalah dua hal ini.
1. Beban Utang Meningkat
Beban utang meningkat ketika harga properti anjlok setelah bubble pecah, sementara cicilan KPR tetap jalan. Akibatnya, nilai pasar rumah bisa lebih rendah dari total utang yang harus dibayar.
Situasi ini disebut negative equity, di mana pemilik rumah terjebak membayar pinjaman untuk properti yang nilainya sudah jatuh. Beban finansial ini bikin sulit untuk menjual properti atau beralih ke investasi lain, sehingga keuangan pribadi jadi terganggu. Risiko gagal bayar juga meningkat, memperburuk kondisi keuangan secara keseluruhan.
2. Rencana Keuangan Bisa Berubah
Rencana keuangan bisa saja berubah, ketika dana besar dialokasikan untuk membeli properti yang nilainya merosot atau sulit dijual setelah bubble pecah. Uang yang seharusnya bisa dialihkan untuk tujuan penting seperti tabungan pendidikan anak, dana pensiun, atau investasi lain jadi terkunci.
Mau ngarepin keuntungan? Yawong, nilainya anjlok banget. Hal ini bakal bikin stres, apalagi kalau kebutuhan mendesak muncul. Selain itu, beban cicilan dan biaya perawatan properti makin mempersempit ruang gerak keuangan. Rencana jangka panjang bisa saja berantakan.
Cara Antisipasi Efek Property Bubble
Sebenarnya, ketika kita sedang KPR itu memang ada sejumlah risiko yang harus di-manage. Salah satunya ya kalau terjadi property bubble ini. Tapi, tak perlu khawatir. Berikut beberapa hal yang bisa kamu lakukan, agar bisa mengantisipasi efek dari gelembung harga properti ini. Yah, setidaknya bikin efeknya enggak terlalu “dalam”.
1. Riset dengan Cermat
Riset pasar dengan teliti penting untuk memahami kondisi harga di lokasi yang diincar. Cek tren harga beberapa tahun terakhir, bandingkan dengan wilayah sekitarnya. Cari tahu apakah kenaikan harga wajar atau cuma akibat spekulasi.
Hindari membeli saat harga sedang melonjak tajam tanpa alasan kuat, seperti pengembangan infrastruktur atau fasilitas baru, untuk menghindari risiko membayar lebih mahal dari nilai sebenarnya.
2. Pastikan Rumah Sepadan dengan Harganya
Pertimbangkan nilai fundamental dengan memastikan harga rumah sebanding dengan fasilitas yang ditawarkan, lokasi strategis, dan kondisi pasar di area tersebut. Lakukan perbandingan harga dengan properti serupa di sekitar untuk menghindari overpricing. Jangan mudah tergoda oleh promosi besar-besaran atau tren pasar sementara yang belum tentu mencerminkan nilai asli properti tersebut.
3. Pastikan Cicilan sesuai Kemampuan
Hindari kredit berlebihan dengan memastikan jumlah pinjaman sesuai dengan kondisi keuangan. Hitung cicilan bulanan agar tetap nyaman dan enggak membebani pengeluaran rutin.
Aturannya tahu kan? Cicilan utang itu sebaiknya enggak melebihi 30% dari penghasilan bulanan. Ini cicilan untuk semua utang ya.
Dengan begitu, stabilitas keuanganmu tetap terjaga. Juga sekaligus ada ruang untuk kebutuhan lain, seperti tabungan, investasi, atau dana darurat.
Baca juga: Sri Mulyani: Generasi Muda Akan Sulit Membeli Rumah di Tahun 2022 ke Depan
4. Dana Darurat Harus Siap
Siapkan dana darurat sebagai langkah perlindungan finansial jika terjadi hal tak terduga. Ya termasuk penurunan nilai properti ini, atau juga kebutuhan mendesak lainnya.
Cadangan ini sebaiknya cukup untuk menutup biaya hidup dan kewajiban keuangan, termasuk cicilan, selama 3–6 bulan. Dengan dana darurat yang aman, risiko keuangan lebih mudah dikelola tanpa harus menjual properti di saat yang kurang menguntungkan.
Nah, sudah paham kan, tentang apa itu property bubble?
Memahami property bubble penting untuk menghindari risiko keuangan yang bisa muncul di masa depan. Dengan mengenali pengertiannya dan faktor penyebabnya, keputusan investasi properti bisa dilakukan dengan lebih bijak.
Selalu lakukan riset, periksa kondisi pasar, dan pertimbangkan kemampuan finansial sebelum membeli. Jangan sampai terjebak hype dan akhirnya menyesal belakangan.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Sri Mulyani: Generasi Muda Akan Sulit Membeli Rumah di Tahun 2022 ke Depan
Di tengah berbagai situasi ekonomi belakangan, tampaknya generasi muda Indonesia akan semakin sulit untuk bisa membeli rumah.
Hal tersebut diungkapkan sendiri oleh Ibu Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia, dalam satu kesempatan. Hal ini terkait dengan adanya tren kenaikan suku bunga acuan yang dimulai oleh The Fed secara agresif belakangan ini, dan direncanakan masih akan terjadi hingga akhir tahun 2022 nanti.
Saat ini, Bank Indonesia diketahui masih berusaha menahan suku bunga acuannya, tetapi peluang untuk naik akan tetap ada, mengingat kondisi yang semakin berkembang dewasa ini.
Benarkah Akan Sulit untuk Membeli Rumah Impian?
Impitan kebutuhan ekonomi ditambah dengan harga berbagai kebutuhan yang meningkat dan suku bunga yang semakin tinggi membuat milenial semakin jauh dari impian untuk memiliki rumah sendiri. Padahal, sepertinya segala upaya program bantuan sudah diberikan oleh pemerintah untuk meringankan beban, dari mulai memberikan subsidi selisih bunga hingga pengadaan rumah subsidi.
Tetapi, tampaknya beban yang berat belum terangkat. Apalagi dengan kondisi kebanyakan generasi milenial juga merupakan sandwich generation, yang tak hanya harus menghidupi diri sendiri tetapi juga harus membiayai hidup orang tua atau keluarga besarnya.
Beberapa Hal yang Membuat Milenial Sulit untuk Membeli Rumah
Dalam penelusuran ke beberapa media, berhasil dikumpulkan beberapa alasan mengapa milenial dan generasi muda Indonesia sulit untuk membeli rumah. Yuk, dikepoin!
1. Kesulitan mengumpulkan DP
Salah satu alasan mengapa terasa sulit untuk membeli rumah, termasuk dengan cara kredit adalah harus menyiapkan down payment alias DP yang terhitung juga sangat besar. Besaran DP biasanya memang ada di kisaran 10% hingga 20%. Jadi, misalnya, untuk membeli rumah Rp500 juta, maka DP yang harus disediakan setidaknya adalah Rp100.000.000.
So, dengan besaran DP ini, banyak milenial mengeluh, bukannya enggak pengin beli rumah, tapi ketika mencoba menabung DP, saat DP sudah terkumpul, ternyata harganya juga sudah naik.
Memang ada opsi DP 0%, tetapi dengan DP seringan ini maka sudah bisa dipastikan, cicilannya akan semakin besar.
2. Skema fixed dan floating rate
Selain masalah besarnya DP, suku bunga yang tinggi juga membuat cicilan KPR setiap bulannya akan terasa sangat berat.
Perlu diketahui, bahwa rata-rata bank yang memiliki program KPR akan menawarkan 2 skema besaran bunga, yakni fixed dan floating rate. Memang bisa berbeda di setiap bank karena tergantung dengan kebijakannya, tetapi kebanyakan menawarkan fixed rate selama 2 tahun. Setelah itu, akan berlaku floating rate dengan mengikuti perkembangan suku bunga di pasar.
Memang ada skema KPR syariah, yang memungkinkan nasabah membayar bunga tetap hingga lunas. Tetapi, cicilannya tetap dianggap terlalu besar.
3. Rumah subsidi kurang memenuhi standar
So, pemerintah bukannya menutup mata juga dengan kesulitan yang harus dihadapi oleh sebagian besar masyarakat ini. Ada banyak program bantuan dibuat, demi meringankan beban, terutama mereka yang berpenghasilan pas-pasan untuk bisa membeli rumah. Salah satunya dengan penyediaan rumah bersubsidi.
Namun, hasil dari penelusuran berbagai sumber, rumah subsidi ternyata banyak yang belum bisa memenuhi harapan masyarakat. Ada beberapa alasan, di antaranya:
- Sering kali yang terjadi, lokasi rumah subsidi terlalu jauh dari tempat kerja, sehingga butuh tambahan biaya lebih banyak untuk transportasi. Setelah dihitung-hitung, malah jadi beberapa kali lipat pengeluaran.
- Banyak yang merasa, kualitas rumah subsidi jauh di bawah kualitas rumah komersial. Banyakk terjadi, ketika sudah mulai dihuni, beberapa bagian rusak dan harus diperbaiki.
- Biaya renovasi rumah subsidi juga akhirnya menghabiskan anggaran. Mulai dari menutup dapur, membuat sumur, sampai memperbaiki bagian rumah yang lain.
So, kalau bisa mendapatkan rumah subsidi, milenial tetap harus punya dana untuk tambahan ini.
4. Penghasilan tidak tetap
Skema penghasilan dari para milenial sendiri juga bergeser akhir-akhir ini. Banyak dari mereka yang lebih memilih untuk merintis usaha sendiri, alih-alih bekerja di perusahaan. Memang ada banyak hal lebih positif yang ditawarkan oleh upaya bisnis atau usaha sendiri ini. Tetapi, pastinya, ada juga trade off-nya.
Salah satunya, dengan penghasilan yang tidak tetap, kebanyakan pengajuan KPR ke bank akan ditolak.
Memang ada sekian banyak syarat yang harus dipenuhi untuk bisa mendapatkan KPR. Salah satunya adalah penghasilan. Bank sendiri menerapkan hal ini sebagai satu upaya manajemen risiko kredit, sehingga mereka harus menetapkan cicilan maksimal 30% dari penghasilan debitur. So, misalnya kamu memilih rumah yang cicilan KPRnya Rp5 juta per bulan, maka penghasilanmu setidaknya harus Rp15 juta per bulan.
Nah, ini akan terasa berat bagi milenial yang masih merintis usaha, atau mereka yang bekerja dan berpenghasilan tidak tetap.
5. Masih terdesak kebutuhan lain
Nah, alasan kelima sulitnya milenial untuk membeli rumah ini sudah sempat disinggung sebelumnya, yaitu terkait dengan statusnya sebagai sandwich generation.
Apalagi dengan potensi kenaikan inflasi yang bisa terjadi ke depannya, harga berbagai kebutuhan juga diprediksi dapat naik sewaktu-waktu tanpa ampun. Belum lagi berbagai keperluan mendesak lain yang juga butuh dibuat rencana keuangan yang matang. Seperti misalnya kebutuhan dana pendidikan anak, dana pensiun, dan sebagainya.
Jadi, bagaimana? Apakah ada alasanmu yang membuat berat untuk memiliki atau membeli rumah seperti di atas? Atau, ada alasan lain?
Memang ya, kondisi kadang terasa begitu berat. Pengin punya rumah sendiri, kok ada saja hambatannya. Bahkan ada “ancaman” yang semakin besar juga di depan. Lalu, kita bisa apa?
Gabung yuk, di kelas finansial online QM Financial! Banyak pilihan kelasnya, yang bisa kamu pilih sesuai kebutuhan. Termasuk, ada juga loh, kelas Dana Rumah Pertama yang bisa bantu kamu membuat rencana keuangan realistis untuk membeli rumah meskipun kondisi sedang berat. Faktanya, ada kok solusi untuk setiap masalah yang ada. Tentu saja, harus disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masing-masing. Sila cek dulu ketersediaan kelasnya ya.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Rumah 7 Miliar juga Bisa Kamu Dapatkan, Ini Cara Menabung yang Efektif
Sudah dengar tentang cerita Dayat yang beli rumah 7 miliar di Jerman? Beberapa hari belakang kisah Dayat ini jadi perbincangan hangat karena dinilai sukses menggapai rumah impiannya.
Siapa Dayat? Dayat adalah warga negara Indonesia (WNI) asal Sulawesi yang menikah dengan wanita asal Jerman, Kristina, dan kini tinggal di negara asal istrinya tersebut.
Pencapaian Dayat yang berhasil beli rumah miliaran itu tentunya tak lepas dari kerja kerasnya selama ini. Berkat tekad dan usahanya, Dayat dapat menjalani hidup nyaman bersama keluarganya di rumah bernuansa klasik modern.
Dayat diketahui membeli rumah tersebut dengan harga 367.000 euro, atau senilai Rp6,2 miliar. Yes, nyaris Rp7 miliar. Wah, kalau di sini, juga sudah dapat rumah di Jakarta tuh ya?
Terlepas dari kisah Dayat dann rumah 7 miliar di atas, beli rumah memang jadi salah satu tujuan keuangan dan impian banyak orang. Apalagi rumah 7 miliar seperti yang dimiliki Dayat di Jerman saat ini. Di balik itu semua, selain kerja kerasnya, Dayat pastinya memiliki perencanaan keuangan yang baik dan tepat hingga bisa membeli rumah tersebut. Artinya, dengan perencanaan keuangan, semua orang termasuk kamu pun bisa memiliki rumah yang kamu inginkan.
Untuk meraih impian kamu beli rumah 7 miliar, kamu bisa mengalokasikan tabungan khusus diluar kebutuhan pokok, dana darurat, dan cicilan rutin. Yang perlu kamu lakukan adalah membuat perencanaan dan konsisten untuk memenuhinya.
Cara Efektif Menabung untuk Beli Rumah
Berapa pun gaji kamu saat ini, kamu bisa beli rumah impian, terlepas dari berapa pun harganya selama kamu bisa menabung—dibantu investasi—gaji 5 juta atau 2 juta pun bisa asal konsisten. Nah, untuk itu, yuk ikuti langkah-langkah berikut ini.
1. Membuat Rencana Keuangan
Hal pertama yang perlu kamu lakukan untuk mewujudkan beli rumah 7 miliar yaitu membuat rencana keuangan. Buatlah secara rinci dan detail setiap pemasukan dan pengeluaran kamu. Perencanaan uang ini bisa mengasah manajemen keuangan sekaligus mengatur besaran jumlah alokasi tabungan.
Hitunglah anggaran yang diperlukan untuk beli rumah, sekalipun itu rumah 7 miliar. Kamu butuh angka pasti supaya bisa lebih konsisten dan terstruktur alokasi dari gaji untuk rumah yang kamu mau.
2. Hitung Harga Rumah Sesuai Inflasi
Tulis dengan lengkap target kamu akan membeli rumah, 3, 5, 10 tahun lagi? Kapan? Buatlah waktu yang definitif alias jelas. Ini penting, supaya kamu bisa memperkirakan harga untuk mengumpulkan uang. Jangan lupa untuk memperhitungkan tingkat inflasi, pasalnya harga rumah setiap tahun akan mengalami kenaikan.
3. Ikut Program KPR
Salah satu andalan masyarakat untuk beli rumah 7 miliar adalah dengan mengikuti program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang disediakan bank. Setiap nasabah yang mengikuti program ini akan diberikan fasilitas kredit guna membeli atau renovasi rumah.
Terdapat 2 jenis skema KPR yaitu KPR Non Subsidi dan KPR Subsidi. Adapun KPR Non Subsidi khusus untuk kalangan umum dengan syarat dan suku bunga yang ditetapkan bank. Sementara KPR Subsidi tidak untuk semua orang, hanya beberapa orang yang memenuhi syarat saja yang bisa mendapatkan KPR Subsidi. Hal ini karena penyelenggaraannya diatur oleh pemerintah.
4. Sisihkan 30% Gaji untuk DP Rumah
Cara menabung lainnya yaitu dengan memenuhi uang muka atau DP terlebih dahulu. Dalam program KPR, pembelian rumah dibayarkan pihak bank, artinya kamu harus membayar cicilan setelah membayar DP.
Bank umumnya memberi pilihan DP sekitar 20-30 persen dari penjualan rumah. Meski persentasenya rendah, jumlah uang yang dibutuhkan tetap tidaklah sedikit, apalagi jika kamu pengin beli rumah 7 miliar.
5. Berinvestasi
Investasi juga menjadi salah satu pilihan untuk mengumpulkan keuntungan selama beberapa tahun ke depan. Kamu bisa menggunakan investasi yang risikonya minim, misalnya reksa dana pasar uang dan pendapatan.
Selain menabung untuk DP rumah, investasi bisa jadi pilihan untuk menyimpan dana darurat jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Kamu mungkin mengalokasikan banyak uang dari gaji untuk mengumpulkan DP dan cicilan, namun dana darurat harus tetap ada.
Beberapa yang bisa kamu gunakan yaitu simpanan deposito yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan suku bunga yang lebih tinggi dari tabungan biasa. Atau berinvestasi pada Surat Berharga Negara (SBN) dalam bentuk obligasi atau syariah (sukuk). Kalaupun masih jangka panjang, ya bisa saja kamu investasikan di reksa dana saham atau saham sekalian. Semuanya kembali pada kebutuhan dan kemampuanmu. Jadi perhitungkan dengan saksama ya.
6. Disiplin Utang
Untuk membayar DP dan cicilan rumah saja mungkin bisa membuat kamu memeras gaji dan pemasukan. Meski berat, sebaiknya kamu menghindari cicilan lain seperti cicilan motor, hal ini demi menuntaskan pembelian rumah. Ini penting, agar kamu bisa menjaga rasio utang tetap berada di bawah 30% agar beban keuangan tak terlalu berat untukmu.
Terlebih, umumnya sebelum permohonan KPR diterima, pihak bank akan mengecek kondisi ekonomi dan skor kredit kamu saat pengajuan. Jika kondisi ekonomi dan kredit kamu buruk, pengajuan KPR bisa ditolak. Nah, kedisiplinan kamu dalam membayar utang bisa jadi penentu dalam hal ini.
7. Menabung Emas
Emas adalah salah satu investasi yang stabil dan dapat melawan pengaruh inflasi setiap tahunnya. Tak heran jika banyak orang memilih menabung emas jangka panjang untuk membeli rumah. Orang-orang jadul sudah membuktikannya.
Bagaimana dengan sekarang? Bisa juga. Emas jadi pilihan ideal, meski kamu tetap harus memahami investasi dalam bentuk emas ini.
8. Konsisten Menabung dan Investasi
Hal ini sangat penting untuk membuat upaya menabung kamu efektif. Kurangnya konsisten akan membuat tabungan kamu terhambat untuk meningkat. Jadi masalah jika kamu berhenti ditengah jalan ketika DP rumah belum terpenuhi atau ketika cicilan berlangsung.
Rutinlah menabung dan investasi, dengan alokasi paling minimal 10% dari pendapatan saat ini. Bisa lebih? Lebih baik lagi.
Yang terpenting dari beberapa cara menabung untuk beli rumah 7 miliar di atas adalah bagaimana cara kamu menggunakan uang. Demi kenyamanan tempat tinggal, kamu perlu menghindari sifat konsumtif dan jauhi gaya hidup boros.
Yuk, sama-sama menabung untuk beli rumah! Jika kamu mau berusaha dan konsisten menabung, besar kemungkinan kamu bisa menyusul Dayat membeli rumah 7 miliar, bahkan lebih.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!