Cuti Hamil dan Tunjangan Melahirkan: Apa Saja yang Perlu Diketahui?
Dalam tahapan hidup perempuan, akan ada masanya (meski tak semua harus menjalaninya) seseorang akan berubah status menjadi seorang ibu. Termasuk mereka yang berstatus sebagai karyawan perusahaan. Secara khusus, pemerintah telah mengatur kondisi ini dan melindungi hak-hak perempuan sebagai karyawan dengan beberapa undang-undang. Perusahaan tentu saja harus menaatinya. Salah satunya mengenai peraturan cuti hamil dan tunjangan melahirkan.
Nah, ada baiknya juga kita mengetahui dan memahami apa saja yang menjadi hak dan kewajiban perusahaan terhadap karyawan, dan begitu pula sebaliknya, terkait hak cuti hamil dan mendapatkan tunjangan melahirkan ini.
Ikuti terus artikel ini sampai selesai ya.
5 Hal yang Perlu Dipahami Seputar Hak Cuti Hamil dan Tunjangan Melahirkan Karyawan Perempuan
1. Peraturan yang umum diberlakukan bagi karyawan perempuan yang cuti hamil dan melahirkan
Mari kita mulai dari hukum yang berlaku di Indonesia.
Pada dasarnya, setiap pekerja ataupun buruh perempuan berhak untuk mendapatkan cuti atau istirahat selama 1,5 bulan sebelum hingga 1,5 bulan sesudah melahirkan, yang kemudian disebut sebagai hak cuti hamil dan melahirkan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RP No. 13 Th 2003 Pasal 82 tentang ketenagakerjaan.
Demikian pula, ketika karyawan perempuan harus mengalami keguguran pada kehamilannya, ia berhak mendapatkan istirahat selama 1,5 bulan, atau sesuai dengan surat keterangan tenaga medis terkait.
Akan ada hukum pidana yang bisa menjerat pihak perusahaan, jika sampai pihak perusahaan tidak memberikan hak istimewa bagi karyawan perempuan ini,
2. Upah atau gaji yang diterima oleh karyawan perempuan yang cuti hamil dan melahirkan
Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang yang berlaku, perusahaan tetap mempunyai kewajiban untuk memberikan gaji penuh pada karyawan perempuan, meski sedang mengambil cuti hamil dan melahirkan selama 3 bulan tersebut.
3. Tunjangan melahirkan
Dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah ada disebutkan, bahwa perusahaan yang memperkerjakan minimal 10 karyawan, atau yang membayar Rp1.000.000 ke atas, wajib untuk mengikutsertakan karyawannya dalam asuransi kesehatan, dalam hal ini BPJS Kesehatan.
Dalam BPJS Kesehatan ada beberapa komponen tunjangan kesehatan yang di-cover, yakni rawat inap, rawat jalan, pemeriksaan kehamilan hingga melahirkan, dan kacamata.
Dengan demikian, pada dasarnya hak untuk memperoleh penggantian biaya persalinan sudah ter-cover, tentu saja dengan mengacu pada aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Peraturan dan kebijakan perusahaan juga berbeda-beda, sehingga bisa saja terjadi–selain BPJS Kesehatan–perusahaan juga memberikan tambahan fasilitas asuransi kesehatan lainnya.
Ada yang diberikan berdasarkan nilai dari kamar di rumah sakit. Misalnya, untuk posisi tertentu, maka si karyawan berhak mendapatkan fasilitas kamar inap senilai Rp1.000.000. Artinya, asal sesuai, maka segala keperluannya selama dirawat inap akan diganti oleh pihak asuransi, yang preminya dibayar oleh perusahaan.
Namun, ada pula yang memberlakukan sistem plafon, atau batas maksimal. Misalnya, untuk posisi tertentu, batas maksimal tunjangan melahirkan yang diberikan oleh perusahaan adalah Rp5.000.000. Ini berarti jika kita harus membayar lebih dari Rp5.000.000 selama proses persalinan, maka biayanya akan ditanggung sendiri oleh karyawan.
Karena itu, terkait dengan tunjangan melahirkan ini, ada baiknya kita tahu dan paham dulu mengenai peraturan perusahaan dan juga bisa memperkirakan biaya total yang harus kita keluarkan nanti. Supaya kalau memang ada biaya di luar tertanggung, kita bisa menyiapkannya lebih dahulu.
4. Perlukah mengundurkan diri?
Secara hukum yang berlaku, perusahaan tidak berhak untuk meminta karyawannya mengundurkan diri saat mereka hamil dan harus melahirkan. Pemerintah menjamin betul akan hal ini.
Tentu saja, hal ini berbeda situasi jika karyawan yang mengundurkan diri karena keinginan sendiri ya, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pasal 162, yang menyebutkan bahwa karyawan yang mengundurkan diri harus memberitahukan hal ini pada pihak perusahaan selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri.
5. Prosedur pengajuan hak cuti hamil dan melahirkan
Sekali lagi, kebijakan perusahaan bisa berbeda-beda. Namun, yang biasanya berlaku, karyawan yang hendak mengajukan cuti hamil dan melahirkan harus menginformasikannya secara lisan atau tertulis pada pihak perusahaan, kapan ia akan mulai mengambil cuti.
Kalau aturannya sih, saat karyawan menginformasikan bahwa ia harus cuti melahirkan, maka keesokan harinya perusahaan sudah harus memberikan hak si karyawan tersebut selama 1,5 bulan. Saat karyawan sudah melahirkan, ia wajib untuk memberitahukannya pada pihak perusahaan sekurang-kurangnya 7 hari setelah proses persalinan terjadi, yang kemudian diikuti dengan cuti istirahat pasca persalinan selama 1,5 bulan lagi.
Namun praktiknya di lapangan, banyak karyawan perempuan yang mengambil cuti mepet saat HPL (Hari Perkiraan Lahir) sudah hampir tiba, dengan tujuan agar bisa lebih lama waktu mengurus bayinya yang baru lahir. Atau kadang juga terjadi, karyawan belum sempat mengajukan cuti, ternyata proses persalinannya lebih cepat, misalnya jika terjadi kelahiran prematur.
Kalau begini situasinya, perusahaan harus mengatur agar hak cuti hamil dan melahirkan tetap dapat diberikan dengan semestinya.
Demikian sedikit seluk-beluk pemenuhan hak karyawan perempuan atas cuti hamil dan mendapatkan tunjangan melahirkan.
Tertarik mengundang QM Financial untuk memberikan program edukasi keuangan dan HR di perusahaan Anda? Sila WA ke 0811 1500 688 (NITA/MIA). Jangan lupa follow juga Instagram QM Financial untuk info-info kelas finansial online terbaru yang sesuai kebutuhan.