6 Barang FOMO yang Sempat Populer, Tapi Sekarang Apa Kabar?
Boneka Labubu yang banyak diburu akhir-akhir ini sebenarnya bukanlah barang FOMO pertama. Pada dasarnya, kita memang selalu punya kehebohan sesaat di waktu-waktu tertentu. Ketika semua orang ngomongin, ada sebagian dari kita yang enggak rela banget kalau enggak ikutan tren.
Apakah kamu salah satunya?
FOMO, itu dia. Fear of Missing Out, ketakutan yang kita rasakan ketika orang lain pada ramai ngomongin, sementara kita enggak update apa-apa. Didukung oleh media sosial yang memang cepat banget kalau soal penularan “virus” semacam ini, jadi deh, ribut di mana-mana.
Sebenarnya FOMO ini—kalau dirasa-rasakan—adalah dorongan dari dalam diri kita agar bisa diterima oleh lingkungan sekitar. Bener enggak sih? Agar kita sama dengan teman-teman, supaya kalau ngobrol nyambung, dan seterusnya.
Table of Contents
Barang FOMO yang Dulu Menghebohkan Banget, Sekarang Masih Adakah yang Menyimpannya?
So, mungkin kamu ada yang pernah punya berbagai barang FOMO ini. Pertanyaannya, apakah kamu sekarang masih punya minat yang sama kayak dulu?
1. Spinner Fidget
Ada yang pernah suka mainin ini? Mainan ini booming di tahun 2017. Konon, bisa jadi alat penghilang stres. Enggak cuma di Indonesia, spinner fidget menjadi tren global yang dibicarakan di media sosial dan banyak dijual di toko-toko dengan berbagai desain dan warna. Bahkan, muncul versi premium berbahan logam dan edisi kolektor dengan harga tinggi, yang justru membuatnya semakin diburu.
Namun, popularitasnya enggak bertahan lama. Setelah beberapa waktu, minat terhadap spinner fidget meredup. Kini, mainan ini jarang kelihatan dan hanya sesekali ditemukan sebagai barang nostalgia atau barang koleksi bagi penggemar lama.
2. Sepeda Brompton
Nah, inget kan, dulu barang FOMO satu ini sempat menghebohkan. Di awal pandemi, sepeda ini menjadi simbol tren gaya hidup sehat dan alternatif transportasi yang praktis. Desainnya yang ringkas dan kemudahan dilipat membuat Brompton menjadi pilihan favorit banyak orang.
Harganya sempat menembus ratusan juta, karena permintaan meningkat tajam. Sudah mahal, kalau mau beli masih kudu indent pula. Sampai berbulan-bulan daftar tunggunya. Bisa dibilang, Brompton adalah simbol status sosial.
Seiring dengan kembalinya mobilitas normal dan berkurangnya minat terhadap tren sepeda, popularitas Brompton juga meredup. Sekarang, sejauh pengamatan dari marketplace-marketplace terkemuka, harganya sudah kembali ke kisaran normal, yakni Rp30 – 40 juta. Ya, tetep masih mahal sih.
Baca juga: Cara Mengelola Pengeluaran untuk Hobi Koleksi Boneka Labubu agar Keuangan Tetap Stabil
3. Funko Pop! Figures
Dulu kurang lebih barang FOMO ini kayak demam boneka Labubu sekarang. Dengan bentuk kepala besar dan mata khas, Funko Pop! menawarkan karakter-karakter dari berbagai film, serial, video game, hingga tokoh ikonik.
Edisi-edisi langka, termasuk yang dirilis dalam jumlah terbatas atau hanya tersedia di acara tertentu, menjadi incaran kolektor dan sering kali dijual kembali dengan harga tinggi. Namun, karena terus diproduksi massal dan ada figur-figur baru hampir setiap bulan, eksklusivitas dan daya tariknya mulai berkurang.
Sekarang, Funko Pop! Masih tetap populer sih di kalangan penggemar setia. Tapi enggak yang bikin demam kayak dulu. Bahkan, beberapa kali menemukan figur-figur yang dulunya dicari dan konon langka, sekarang gampang ditemukan dengan harga miring.
4. Tanaman Hias Monstera Variegata
Di masa pandemi, Monstera Variegata menjadi salah satu tanaman hias yang paling dicari, terutama oleh kalangan urban yang menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Daunnya yang besar dengan lubang artistik di sana sini, bikin Monstera Variegata kelihatan eksotis.
Permintaan yang tinggi dan pasokan yang terbatas menyebabkan harga tanaman ini melonjak drastis. Pernah ada yang sampai ratusan juta per pot untuk varietas tertentu. Ibarat simbol gaya hidup dan status sosial, pemiliknya sering dengan bangga memamerkan tanaman langka ini di akun media sosialnya.
Namun, seiring dengan berakhirnya tren tanaman hias yang membara di masa pandemi, minat terhadap Monstera Variegata dan tanaman hias lainnya juga mulai mereda. Harga tanaman ini kini jauh lebih terjangkau. Ada yang masih jutaan, tapi lebih banyak lagi yang ratusan ribu. Meski demikian, Monstera Variegata tetap punya penggemar setia, terutama di kalangan kolektor.
5. NFT
Di puncak tren kripto, NFT atau Non-Fungible Token sempat merevolusi dunia seni digital dan koleksi virtual. NFT memungkinkan seseorang memiliki karya seni, musik, atau objek digital lainnya secara unik, karena kepemilikannya tercatat dalam blockchain. Kesannya eksklusif banget.
Semua-mua jadi ada NFT-nya. Mulai dari karya seni digital oleh seniman terkenal, koleksi kartu digital, hingga aset virtual dalam game dan metaverse. Ingat kan, dengan NFT fenomenal foto selfie Ghozali? Salah satu versinya bahkan dilelang dengan harga mencapai triliunan rupiah saat itu.
Di fase bear market pasar kripto circa 2022-an, penjualan NFT Ghozali juga ikut meredup. Namun, kabarnya di awal tahun 2024, Ghozali kembali menawarkan seri NFT selfie terbaru. Konon, NFT selfie terbarunya ini ditawarkan dengan harga tertinggi Rp3 triliun. Akankah masa kejayaan NFT Ghozali kembali?
6. Lato-Lato
Nah, barang FOMO yang satu ini belum lama banget nih, dan trennya di kalangan anak-anak—meski kadang juga lihat orang dewasa memainkannya. Harganya juga enggak sampai mencapai jutaan atau triliunan kayak NFT. Tapi, pas lagi tren di akhir tahun 2022-awal tahun 2023, kita bisa menemukan semua anak memainkannya, bahkan sampai ke lorong-lorong sempit di kampung.
Sebenarnya permainan ini hanya terdiri atas dua bola plastik yang digantungkan pada tali. Dengan diayunkan kencang-kencang, kedua bola itu saling bertabrakan, menghasilkan suara “klak-klak” yang khas. Simpel banget maininnya, tapi butuh keahlian. Bahkan sampai banyak kompetisi lo. Lagi-lagi media sosial pun turut berperan dalam meramaikan tren ini, dengan banyaknya video tutorial dan tantangan lato-lato yang viral.
Namun, seperti banyak tren permainan lainnya, popularitas lato-lato pun meredup. Minat untuk memainkannya sudah menurun, terutama karena permainan ini dianggap repetitif dan enggak variatif. Apalagi—yang banyak dikeluhkan—berisik.
Baca juga: Tas Branded sebagai Instrumen Investasi: Yay or Nay?
Yah, begitulah. Barang FOMO datang dan pergi mengikuti tren yang cepat berubah. Meski sempat populer, banyak barang FOMO kini ditinggalkan dan hanya dikenang sebagai bagian dari euforia sesaat. Boneka Labubu bisa jadi akan berakhir sama. Pertanyaan besarnya, setelah beli barang yang hype tersebut–dan ternyata kemudian enggak ngetren lagi–apakah kamu akan menyesal? Apalagi kalau tadinya sampai beli dengan harga mahal.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Mengelola Keuangan untuk Generasi TikTok: Dari FOMO ke JOMO (Joy of Missing Out)
Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian yang enggak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Apalagi sekarang, saat muncul generasi TikTok.
Siapa nih yang sempat kecanduan buat belanja TikTok live? Sudah pernah menghitung belum, habis berapa sampai dengan fitur ini menghilang? Apakah barang yang dibeli (atau diborong) kemarin, sekarang masih digunakan? Masih bermanfaat penuh? Atau sudah dianggurin?
Ya, memang. TikTok, sebagai salah satu platform media sosial yang paling cepat berkembang, telah mengubah cara kita berkomunikasi, berbagi informasi, dan bahkan memengaruhi perilaku konsumsi kita.
Dengan kontennya yang menarik dan mudah diakses, TikTok menjadi sarana hiburan yang tak hanya menghibur tapi juga sering kali memicu perbandingan sosial di antara generasi TikTok itu sendiri.
Table of Contents
Apa Itu FOMO dan JOMO pada Generasi TikTok?
FOMO, itu dia. Hal yang kemudian menjadi masalah generasi zaman sekarang, termasuk generasi TikTok.
FOMO, atau Fear of Missing Out, merujuk pada perasaan cemas atau takut ketinggalan tren. Baik itu experience, acara, aktivitas, atau tren apa pun deh yang (terlihat) seru dinikmati oleh orang lain.
Dalam konteks keuangan, FOMO terutama dapat memicu keputusan pembelian impulsif yang akhirnya harus dialami oleh generasi TikTok. Artinya, kita melakukannya hanya agar bisa merasa “termasuk” atau update, alias enggak ketinggalan tren terkini.
Ya, akibatnya daripada manfaat dan keuntungannya, justru lebih banyak buntungnya. Banyak generasi TikTok mengalami tekanan keuangan karena berusaha memenuhi standar gaya hidup yang ditetapkan oleh lingkaran sosial atau influencer di media sosial—tanpa sadar sama kondisi diri sendiri.
Nah, terlalu banyak yang FOMO, muncul JOMO. Sebagai reaksi terhadap FOMO, Joy of Missing Out atau JOMO ini bisa digambarkan sebagai perasaan puas atau bahagia karena sudah memutuskan untuk enggak mengikuti tren.
Dengan semangat JOMO, kita akhirnya jadi bisa lebih fokus pada apa yang benar-benar memberi kepuasan dan kebahagiaan. Nah, dalam konteks keuangan, JOMO bisa jadi “alat” yang membuat generasi TikTok menjadi lebih bijaksana dan berpikir panjang. Terutama sih terhadap pengeluaran.
Efek terdekatnya, keputusan pembelian bisa dilakukan atas dasar value yang sebenarnya. Bukan cuma biar kelihatan edgy doang. Pastinya, hal ini akan lebih bagus efeknya untuk jangka panjang, karena membantu generasi TikTok membangun kebiasaan keuangan yang sehat.
Mengadopsi JOMO dalam mengelola keuangan bukan berarti menghindari pengeluaran sepenuhnya, melainkan membuat pilihan yang lebih “sadar”. Kita bisa membuat prioritas pada pengeluaran yang memang penting sesuai kebutuhan dan tujuan jangka panjang.
So, intinya memang pada menemukan keseimbangan antara menikmati kehidupan saat ini sambil juga menyiapkan diri untuk masa depan.
Dengan begitu, kita perlu tahu nih, bagaimana generasi TikTok dapat mengatasi tekanan FOMO dan merangkul JOMO sebagai cara untuk mengelola keuangan secara lebih efektif dan memperoleh kepuasan hidup yang lebih dalam.
Strategi Anti-FOMO, Menuju JOMO
Jadi, apa yang kudu dilakukan pertama, biar generasi TikTok ini bisa switching dari FOMO ke JOMO?
Ya pastinya kita harus mengatasi dulu rasa takut untuk ketinggalan tren. Kalau sudah enggak takut ketinggalan tren, rasanya FOMO bisa segera disingkirkan. Iya nggak sih?
1. Mengenali Value Diri Sendiri
Luangkan waktu untuk benar-benar memikirkan apa sih value kita sebenarnya? Apa yang membuat kita bahagia dan puas?
Dengan tahu apa value kita sebenarnya, kita bisa mendapatkan gambaran, apakah antara value dan kebutuhan dengan pengeluaran itu sudah selaras?
Gampangannya gini. Kalau dari meluangkan waktu di atas, ternyata kita sadar bahwa kita menganggap kesehatan mental dan fisik itu penting, misalnya. Maka, mungkin kita lebih butuh untuk membangun rutinitas olahraga, mengubah pola makan, atau belajar meditasi. Bukan belanja pakaian baru.
2. Membuat Anggaran
Nah, kalau sudah tahu sebenarnya maunya kita apa, maka selanjutnya, ya sudah pasti harus membuat anggarannya.
Misalnya, kalau mau pakai contoh yang sama dengan di atas, berarti mungkin kita lebih baik meluangkan waktu untuk mencari solusi tentang bagaimana supaya bisa rutin olahraga. Nah, di sini perlu hati-hati juga sih, teteup. Jangan sampai, kita merasa solusi terbaiknya adalah langganan gym, tapi ternyata ke depan membership itu dianggurin saja (lagi). Ya, itu sih namanya belum ketemu solusinya.
So, coba deh, diluangkan waktu, cari solusi yang bener-bener sesuai dengan masalahmu dan buat anggarannya. Kalau memang perlu membership gym ya enggak apa. Pastikan, beneran dipakai. Lalu, masukkan anggaran membership ini di anggaran rutin.
3. Penggunaan Media Sosial secara Sadar
Menggunakan media sosial dengan cara yang lebih sadar bisa membantu kita mengurangi perasaan harus selalu ikut serta dalam tren atau melakukan pembelian impulsif. Berikut adalah beberapa langkah konkret untuk menggunakannya dengan lebih bijak:
- Batasi Waktu Media Sosial: Tentukan batasan waktu harian untuk menggunakan media sosial. Misalnya, batasi diri hanya 30 menit atau 1 jam setiap hari.
- Evaluasi dan Kurangi Akun yang Diikuti: Lihat daftar akun yang diikuti. Tanyakan pada diri sendiri, apakah akun-akun ini membuat kita merasa positif? Apakah akun-akun itu mendorong kita untuk menghabiskan uang tanpa perlu? Jika iya, mungkin saatnya untuk berhenti mengikuti atau membatasi interaksi dengan akun-akun tersebut.
- Ikuti Akun Positif: Cari dan mulai mengikuti akun yang menyebarkan energi positif atau konten yang inspiratif. Ini bisa berupa akun yang fokus pada pengembangan diri, motivasi, tabungan dan investasi. Seperti akun QM Financial, misalnya?
- Waktu Detoks Media Sosial: Tentukan satu hari dalam seminggu sebagai hari detoks dari media sosial. Gunakan waktu ini untuk melakukan aktivitas yang tidak berkaitan dengan internet, seperti membaca buku, berolahraga, atau menghabiskan waktu dengan keluarga dan teman-teman.
Yang pasti sih, kudu sadarkan diri sendiri bahwa apa yang orang post di media sosial sering kali merupakan hal-hal yang bagus-bagus doang. Realitanya, bisa saja enggak sebagus itu. So, enggak perlu banget membandingkan hidup kita dengan snapshot momen terbaik orang lain.
Dengan mengambil langkah-langkah ini, generasi TikTok bisa mengurangi dampak negatif media sosial terhadap keuangan dan kesejahteraan mental. Pada akhirnya, kita pun bisa lebih menikmati kehidupan nyata dan membuat pilihan yang lebih sehat dan lebih bijaksana.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!