Tip Belanja Cerdas di Tengah Daya Beli yang Menurun
Awal 2025 membawa tantangan baru bagi banyak keluarga di Indonesia. Meski inflasi tercatat rendah, bahkan sempat mengalami deflasi untuk pertama kalinya dalam 25 tahun, kenyataannya banyak orang merasa uang belanja makin cepat habis. Fenomena ini menunjukkan bahwa daya beli menurun.
Daya beli yang menurun ini bukan karena harga-harga makin murah, tapi karena pendapatan dan rasa aman finansial masyarakat ikut tertekan. PHK massal di sektor manufaktur, kekhawatiran akan kondisi ekonomi global, dan tren masyarakat yang lebih memilih menabung sebagai bentuk antisipasi (precautionary saving) membuat konsumsi rumah tangga ikut melambat.
Kondisi ini makin terasa saat momen Ramadan dan Lebaran, yang biasanya jadi puncak belanja tahunan. Namun, tahun ini, perputaran uang justru turun lebih dari 16 persen dibanding tahun lalu .
Banyak orang memilih menahan diri, fokus pada kebutuhan pokok, dan menghindari pengeluaran yang gak perlu. Di tengah situasi seperti ini, penting bagi kita untuk lebih cermat dalam mengatur belanja. Bukan sekadar hemat, tapi juga bijak dalam memprioritaskan kebutuhan agar kondisi finansial tetap stabil.
Table of Contents
Daya Beli Menurun, Ini Cara Belanja Cerdas

Menghadapi kondisi daya beli menurun memang butuh strategi khusus, terutama soal belanja. Biar kebutuhan tetap terpenuhi tanpa bikin kantong makin tipis, ada beberapa cara sederhana yang bisa dicoba.
1. Bikin Daftar Belanja, Jangan Asal Ambil
Jangan pernah remehkan kekuatan daftar belanja. Ini bukan cuma soal catat-catat doang, tapi cara paling sederhana buat kontrol pengeluaran.
Daftar belanja bikin tahu mana yang penting, mana yang cuma keinginan sesaat. Apalagi kalau belanja ke supermarket atau scroll e-commerce, godaan itu datang dari mana-mana. Barang yang nggak ada di daftar, jangan langsung masuk keranjang. Biasakan disiplin sama daftar itu dulu. Baru memikirkan beli tambahan kalau memang sisa bujet.
Baca juga: Dampak Inflasi dan Deflasi: Bagaimana Keduanya Memengaruhi Kehidupan Sehari-hari
2. Bandingkan Harga di Beberapa Tempat
Zaman sekarang gampang banget bandingin harga. Tinggal buka HP, cek di beberapa aplikasi atau toko online.
Jangan malas cari tahu dulu. Karena harga itu nggak selalu sama di semua tempat. Bahkan kadang selisihnya bisa bikin kaget.
Ada yang lebih murah, ada juga yang bonusnya lebih banyak. Jangan cuma terpaku di satu tempat karena merasa nyaman. Sedikit usaha buat riset harga bisa bikin pengeluaran jauh lebih hemat dalam jangka panjang.
3. Prioritaskan Kebutuhan, Tahan Keinginan
Pas kondisi keuangan lagi mepet, cara belanja juga harus lebih cermat. Bedakan denganj jelas antara kebutuhan dan keinginan.
Kebutuhan itu barang yang memang harus ada buat hidup sehari-hari. Kayak bahan makanan, perlengkapan mandi, obat-obatan, atau perlengkapan anak.
Sementara keinginan biasanya barang tambahan yang bisa ditunda. Kalau dipaksakan beli semua, malah bisa bikin anggaran jebol. Jadi, latihan sabar itu penting banget dalam kondisi kayak gini.
4. Manfaatkan Promo dan Cashback
Promo itu bisa jadi penyelamat, tapi juga bisa jadi jebakan. Semua tergantung cara pakainya. Kalau memang pas ada promo dan barangnya masuk daftar kebutuhan, manfaatkan saja. Lumayan kan, bisa dapat potongan harga atau cashback buat dipakai belanja berikutnya.
Tapi kalau sekadar tergoda karena ada diskon, itu namanya jebakan. Jadi pastikan promo dipakai untuk belanja yang memang sudah direncanakan, bukan malah jadi alasan buat beli yang nggak penting.

5. Beralih ke Produk Alternatif
Brand besar memang sering identik dengan kualitas. Tapi bukan berarti produk lain itu jelek.
Banyak produk lokal atau brand alternatif yang kualitasnya bersaing, bahkan harganya jauh lebih ramah di kantong. Ini berlaku untuk kebutuhan harian kayak sabun, detergen, bumbu dapur, sampai makanan ringan.
Kalau mau hemat, jangan ragu buat coba-coba dulu. Kalau cocok, itu bisa jadi cara hemat yang nggak mengorbankan kualitas.
6. Kurangi Belanja Impulsif
Belanja impulsif itu seringnya muncul karena iseng atau lagi bosan. Tiba-tiba scroll marketplace, terus ngiler lihat barang lucu atau diskon gede. Padahal, awalnya nggak ada niat beli.
Nah, salah satu cara ngeremnya adalah kasih jeda waktu sebelum checkout. Biarkan barang di keranjang dulu semalaman atau bahkan beberapa hari. Kalau besok-besok masih kepikiran dan memang butuh, baru beli. Kalau nggak kepikiran lagi, berarti nggak penting.
7. Belanja dalam Jumlah Besar untuk Barang Pokok
Beberapa kebutuhan pokok itu jauh lebih hemat kalau beli dalam ukuran besar atau paketan. Misalnya beras 10 kg lebih murah per kilonya daripada beli 1 kg. Sama juga dengan sabun, minyak goreng, atau detergen. Selain lebih hemat, nggak perlu sering-sering belanja.
Tapi ini juga perlu pertimbangan. Pastikan barangnya awet disimpan, ada tempat penyimpanan yang cukup, dan nggak gampang basi atau rusak.

8. Terapkan Pola Hidup Minimalis
Di situasi daya beli menurun, gaya hidup minimalis itu bukan cuma gaya-gayaan, tapi kebutuhan. Prinsipnya sederhana: beli secukupnya, pakai semaksimalnya.
Fokus punya barang yang benar-benar dipakai dan berguna. Hindari beli barang cuma buat gengsi atau numpuk koleksi. Selain bikin hemat, hidup juga jadi lebih ringan. Rumah lebih rapi, isi lemari nggak penuh, pikiran pun lebih lega karena nggak dibebani barang-barang nggak penting.
Kondisi daya beli menurun memang bikin banyak orang harus putar otak lebih keras soal urusan belanja. Tapi, bukan berarti semuanya jadi serba sulit.
Baca juga: Cara Menyusun Skala Prioritas Ketika Bujet Keuanganmu Terbatas
Dengan cara belanja yang lebih cerdas dan terencana, kebutuhan tetap bisa terpenuhi tanpa harus mengorbankan keuangan. Intinya, belanja itu soal strategi. Kalau sudah tahu prioritas dan pintar atur pengeluaran, kondisi seketat apa pun rasanya masih bisa dilalui dengan aman.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!
Kenali 6 Jenis Risiko Investasi yang Harus Dikelola untuk Hasil Optimal
Sudah tahu kan, kalau investasi itu akan selalu ada risikonya. Mulai dari deposito, obligasi, reksa dana, saham, bahkan emas dan instrumen lainnya akan selalu memiliki risiko investasi masing-masing.
Apa sih yang dimaksud dengan risiko investasi ini?
Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, risiko artinya adalah akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Nah, dalam investasi, maknanya tidak jauh berbeda. Risiko dalam investasi bisa diartikan sebagai hal yang terjadi tidak sesuai dengan harapan, yang bisa menimbulkan kerugian pada investor.
Di dunia investasi, kita mengenal adanya prinsip high risk, high return. Arti dari prinsip ini adalah bahwa semakin besar imbal yang berpotensi didapatkan dari suatu instrumen investasi, maka akan semakin tinggi juga risiko yang harus dikelola.
So, kalau memang berniat berinvestasi, mengenali risiko adalah hal pertama yang penting untuk dilakukan lebih dulu. Karena, dengan mengenali risiko terlebih dulu, kamu bisa memilih instrumen yang paling tepat untuk melayani kebutuhanmu mencapai tujuan finansial, juga memudahkanmu untuk menyesuaikan dengan kemampuan finansialmu.
Investasi akan lebih efektif dan hasilnya akan optimal dengan menyelaraskan hal-hal tersebut.
Jadi, yuk, kita lihat risiko investasi apa saja yang perlu dipahami.

6 Jenis Risiko Investasi
Risiko Suku Bunga
Risiko suku bunga adalah risiko yang terjadi akibat meningkatnya suku bunga di pasaran, yang kemudian memengaruhi pendapatan atau imbal investasi.
Terutama yang terkena dampak terbesar di sini adalah instrumen obligasi atau surat utang, ataupun instrumen lain yang portofolionya didominasi oleh obligasi atau surat utang. Reksa dana pendapatan tetap, misalnya.
Karena umumnya ketika suku bunga meningkat, maka harga obligasi berbunga akan menurun, dan begitu pula sebaliknya.
Risiko Pasar
Risiko pasar terjadi ketika ada fluktuasi atau naik turunnya nilai investasi akibat ada pergerakan sentimen pasar. Perubahan sentimen pasar ini bisa disebabkan oleh banyak hal, mulai dari munculnya kebijakan-kebijakan baru, isu-isu ekonomi, sosial, hingga politik, dan berbagai hal lainnya.
Risiko jenis ini biasanya ada dalam instrumen pasar keuangan, seperti saham ataupun obligasi, dan sering disebut juga sebagai systematic risk atau risiko sistematik lantaran tidak bisa dihindari. Setiap investor akan terdampak, hingga bisa saja harus mengalami capital loss alias kerugian modal.
Contoh risiko pasar ini misalnya ketika perang Rusia dan Ukraina pecah tempo hari, otomatis pasar modal bereaksi dan anjlok nilainya. Hal ini bisa terjadi karena para investor menjadi berkurang kepercayaannya bahwa ekonomi akan baik-baik saja, sehingga mereka beramai-ramai memindahkan aset ke instrumen yang lebih rendah risiko, seperti emas.
Nah, masalahnya, kadang kita sering ikut panik saat hal seperti ini terjadi, hingga membuat kita ikut buru-buru menjual instrumen yang ada dalam portofolio lantaran takut rugi lebih banyak. Padahal, sebenarnya kondisi seperti ini tidak akan terjadi secara terus menerus.

Risiko Inflasi
Risiko investasi ini sering disebut juga sebagai risiko daya beli, yang akan membuat nilai kas dari portofolio saat ini enggak akan bernilai sama di masa depan karena adanya perubahan daya beli akibat inflasi.
Sebagai akibatnya, nilai investasi di masa depan akan turun, seiring tingkat inflasi yang terjadi. Hal ini terjadi jika kamu
Contoh, misalnya kamu memiliki cash di tabungan Rp10 juta. Dengan tingkat inflasi—asumsikanlah—sebesar 3.5% per tahun, maka kamu akan kehilangan nilai Rp350 ribu setiap tahunnya akibat inflasi ini.
Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas adalah risiko yang muncul karena ada pihak yang tak dapat menyelesaikan kewajiban pembayarannya.
Risiko ini terjadi misalnya pada instrumen surat utang. Ketika pihak peminjam dana tidak dapat mengembalikan pinjaman sesuai kesepakatan saat jatuh tempo, maka pihak pemberi pinjaman mendapatkan risiko likuiditas ini.
Risiko Nilai Tukar Uang
Risiko investasi ini muncul akibat adanya perubahan kurs mata uang domestik terhadap mata uang asing. Sering disebut juga dnegan exchange rate risk, atau currency risk.
Misalnya, kamu hendak membeli instrumen investasi yang perdagangannya menggunakan mata uang US Dollar. Di saat yang sama, kurs rupiah terhadap dolar ternyata melemah, sehingga kamu pun harus mengeluarkan uang lebih banyak daripada seharusnya untuk dapat membeli instrumen tersebut.

Risiko Negara
Risiko investasi juga bisa timbul akibat hal-hal yang terjadi dalam suatu negara, bisa jadi karena ada isu politik, perubahan kebijakan, dan lain sebagainya.
Contoh misalnya saja, kamu berinvestasi di sebuah pasar modal negara lain. Karena satu dan lain hal, kebijakan diubah oleh pemerintah setempat yang dapat memengaruhi nilai investasimu; bisa menurun atau malah hilang juga.
Karena itu, ada baiknya, jika kamu memang berminat untuk berinvestasi di negara lain, kamu melakukan riset mendalam terlebih dulu terkait kondisi negara yang bersangkutan untuk meminimalkan risiko investasi ini.
Nah, sekarang kamu sudah tahu apa saja risiko investasi yang bisa terjadi, dan bagaimana bisa memengaruhi nilai investasi kamu. Yang tidak termasuk dalam 6 jenis di atas juga masih ada, terutama yang datang dari diri kita sendiri. Misalnya, kita suka menyabotase bujet investasi. Nah, itu bisa jadi risiko investasi yang cukup besar loh!
So, yuk, belajar keuangan dulu sebelum benar-benar berinvestasi! Agar kamu tahu cara paling efektif mengelola risiko—terutama yang berasal dari diri kita sendiri.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Follow juga Instagram QM Financial, untuk berbagai tip, informasi, dan jadwal kelas terbaru setiap bulannya, supaya nggak ketinggalan update!