5 Kesalahan Keuangan yang Justru Kita Lakukan Karena Terlalu Panik
Seluruh dunia dilanda kepanikan gara-gara virus corona. Dari mulai para pekerja yang gajinya dipotong, dirumahkan hingga terkena PHK, sampai para pemilik bisnis yang menjerit. Kita semua memang harus bersiap untuk kondisi yang terburuk sekarang. Tapi, kerasa enggak, justru karena terlalu panik, banyak dari kita yang malah melakukan beberapa kesalahan keuangan, yang akhirnya mengakibatkan munculnya masalah baru?
Ya, begitulah. Sudahlah susah, jadi lebih susah jadinya. Padahal masalah keuangan ini biasanya yang paling besar menjadi penyebab stres dan depresinya manusia.
Apa saja kesalahan keuangan yang justru kita lakukan di tengah kepanikan ini? Coba lihat yuk, jangan-jangan kamu juga melakukannya di tengah krisis akibat penyakit COVID-19 ini.
5 Kesalahan Keuangan yang Sering Dilakukan Karena Panik
1. Belanja berlebihan
Pernah membaca di suatu artikel berbahasa Inggris, bahwa manusia itu pada dasarnya akan sangat reaktif terhadap ‘kelangkaan’–atau scarcity, dalam bahasa Inggris.
Ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk respons otak reptil manusia yang merupakan penerima pertama dari segala jenis rangsangan/stimulus. Bisa dibilang, hal ini merupakan respons dalam upayanya untuk mempertahankan diri. Untuk survive.
Nah, di saat-saat krisis, respons pertama yang selalu muncul adalah pertanyaan, “Kondisi ini mengancam hidup saya. Bagaimana saya bisa bertahan?” Secara otomatis, otak kemudian akan memberikan respons, “Penuhi kebutuhanmu dulu segera, baru mikir mesti gimana.” Lalu, keluarlah reaksi berupa panic buying. Kesalahan keuangan yang pertama.
Belanja berlebihan, nyetok kebutuhan sebanyak mungkin agar bisa bertahan hidup selama mungkin. Belanja berlebihan ini akhirnya menjadi sebab dari kelangkaan, yang akhirnya semakin memicu kita untuk panik dan belanja lagi dengan berlebihan.
#rauwis-uwis, ya?
2. Jual saham begitu nilainya anjlok
Kesalahan keuangan kedua ini dipicu oleh kepanikan karena grafik harga saham yang terjun bebas di pasar modal. Karena panik, lupa pada tujuan keuangan yang sudah disusun sendiri.
Ya, memang sih. Ini juga merupakan respons refleks. Siapa yang enggak ambyar hatinya melihat kerugian investasi yang sudah dilakukan begitu lama dan konsisten? Tak cuma bayangan kehilangan masa pensiun sejahtera, tapi berasa sia-sia semua usaha keras kita. Betul?
Begitu ambyarnya, kita jadi lupa untuk mengecek, masa pensiun–jika investasinya dipakai untuk dana pensiun, misalnya–masih berapa lama lagi sih? 10 tahun lagi? Well, kalau masih 10 tahun lagi, sejarah mengatakan bahwa pasar modal akan selalu kembali naik seiring ekonomi yang juga membaik, eventually.
Jadi, mari kembali ke tujuan keuangan dan tujuan investasimu. Dan, kamu pun akan bisa memutuskan, mau diapain itu investasi yang sedang anjlok. Jangan buru-buru dijual, tapi coba evaluasi lagi.
3. Nggak segera membuat budgeting baru
Padahal sudah jelas, kondisi berubah. Pemasukan berubah, demikian pula dengan pengeluaran. Prioritas dalam hidup pun berubah, harus disesuaikan dengan kondisi.
Jika kamu tak segera menyesuaikan pengeluaranmu dengan pemasukan ‘yang baru’, maka kesalahan keuangan ini bisa berakibat fatal di akhir bulan.
Hayok, cek lagi alokasi arus kas kamu sekarang. Mungkin kamu sudah enggak butuh anggaran buat kongko di kafe lagi, ngabuburit di mal lagi, atau membership gym. Uang yang dialihlokasikan bisa dipakai untuk memperkuat dana darurat.
Jangan dianggap uang nganggur atau uang sisa yang bisa kamu belanjain barang-barang aneh dari marketplace.
4. Pakai dana darurat tanpa perhitungan
Masa krisis berarti ini masa saat kita “dibolehin” memakai dana darurat. Dana ‘nganggur’ sebanyak 3 – 12 bulan kali pengeluaran itu ternyata banyak juga ya? Biar merasa aman dan nggak insecure lagi di masa pandemi, mendingan cairkan saja semua.
Jadi, berasa kayak dapat uang kaget enggak sih? Ngerasa kaya di tengah kepanikan itu bisa jadi senjata makan tuan. Kalau enggak percaya, lihat di poin pertama deh.
Dana darurat bukan uang kaget. Bukan uang nganggur. Dana darurat adalah dana yang dipakai di masa darurat, dan pemakaiannya harus diperhitungkan dengan teliti dan cermat. Kita enggak pernah bisa memprediksi kapan krisis ini akan benar-benar berakhir. Bisa tiga bulan lagi, bisa saja tahun depan.
Perpanjang napasmu. Hemat di awal, kalau sisa, kembalikan lagi ke tempat penyimpanan.
5. Menunggak cicilan utang
Yang punya cicilan utang, apa kabar? Apakah hari-hari belakangan terasa berat untuk mencicil? Kalau iya, kamu bisa mengajukan keringanan kredit sesuai aturan pemerintah.
Masa krisis seperti ini bukan waktunya untuk menambah masalah hidup dengan cicilan utang yang tertunggak. Ingat akan bunga dan dendanya, ini bisa menjadi kesalahan keuangan yang tidak perlu.
Seharusnya, cicilan utang ini akan aman jika kamu memang punya alokasi 30% dari penghasilanmu. Jadi, cek lagi. Apakah benar-benar berada dalam batas aman? Ataukah, kamu harus menyesuaikannya lagi lantaran penghasilanmu juga berubah sekarang (see point 2)? Yuk, cek lagi, jangan sampai cicilan utang tertunggak ini menjadi kesalahan keuangan berikutnya.
Krisis memang membuat kita jadi waswas. Tapi hal ini justru seharusnya membuat kita jadi lebih waspada dan hati-hati dalam bertindak, khususnya terkait keuangan.
Jangan sampai ada masalah baru akibat kesalahan keuangan yang kita lakukan gara-gara panik. Rasanya, nggak worth it banget deh.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
Makin Getol Belanja Impulsif di Masa Pandemi?
Apa itu belanja impulsif? Bahasa kerennya, impulsive buying, yaitu kondisi belanja tanpa rencana, tanpa berpikir.
Loh, ada ya yang kayak gitu? Ada. Bahkan sepertinya setiap orang–setidaknya beberapa kali dalam hidupnya–pernah melakukan belanja impulsif.
Saya sendiri paling sering kejadian kalau ketemu buku-buku sastra lawas di lapak preloved books. Biasanya berawal dari scrolling timeline Instagram, yang followingnya didominasi oleh pelapak-pelapak buku bekas langka. Kalau ada buku yang belum ada di koleksi saya, autobeli. Padahal begitu sampai paketnya, ya ditimbun aja di rak buku. Bacanya kapan-kapan. Habis itu nyesel. Nyesel kenapa enggak beli lebih banyak #eh #janganditiru.
Sering nggak mengalami kayak gitu? Objek impulsifnya saja yang beda, mungkin.
Nah, di masa pandemi, saat kita berkegiatan di rumah saja, ternyata perilaku impulsive buying ini justru menjadi-jadi. Sebagian “atas nama” stock piling–nimbun stok kebutuhan pokok di rumah.
Coba deh amati. Jika hari ini ada pesan viral mengenai produk yang dibilang mampu melawan virus korona, besok pasti produk yang disebut itu sudah menghilang dari pasaran lantaran diborong orang. Sebut saja, masker, hand sanitizer, hand soap, produk pemutih baju, vitamin C, sampai jahe, temulawak, kunyit saja nyaris tak bisa ditemukan di pasar.
Kasarnya, kalau hari ini kita sebar berita viral bahwa suplemen penambah zat besi bisa membuat kita kebal virus, besok pasti suplemen ini juga akan hilang dari peredaran.
Ditambah lagi, siapa nih yang lemari makan atau kulkasnya penuh dengan camilan bermicin, kue-kue kemasan, roti-roti, dan sebagainya? Full stock atas nama biar bisa jadi teman selama work from home.
Jadi, bagaimana mengatasi perilaku belanja impulsif dadakan ini? Kalau enggak segera diatasi, bisa berabe banget untuk tabungan dan dompet. Padahal di depan sana, ada krisis yang kemungkinan menanti lo!
5 Tip Mengatasi Belanja Impulsif di Tengah Pandemi
1. Cari penyebabnya
Yes, cari penyebabnya. Bisa bermacam-macam kan? Kalau menurut beberapa ahli, belanja impulsif kebanyakan disebabkan oleh dorongan psikologis; ada kaitannya dengan mood atau reward.
Belanja impulsif kadang kita lakukan karena kita merasa perlu untuk memberi reward pada diri sendiri. Misalnya, habis lembur proyek gede, sudah rampung, beli pizza ah. Dimakan sendiri. Atau bisa juga karena kita sudah tahu, kalau bakalan menerima uang dengan jumlah yang lumayan. Entah uang bonus, THR, atau yang lain.
Nah, kalau di masa pandemi seperti ini–dengan kondisi kamu “dipaksa” untuk tetap tinggal di rumah–mungkin lantas kamu merasa mood kamu turun. Banyaknya tekanan (pekerjaan, keluarga, plus banyaknya berita negatif termasuk serangan hoaks) membuatmu tak nyaman. Akhirnya, sebagai “obat”, kamu pun merasa perlu untuk membeli beberapa barang yang bisa membuatmu happy. Camilan, salah satu di antaranya.
Apa penyebab nafsu belanjamu naik? Kamu harus mencari dan kemudian memahaminya. Dengan memahami, biasanya sih terus kita sadar kalau nyaris khilaf. Semoga dengan sadar ini, kamu lantas bisa mengontrol keinginan yang timbul tiba-tiba ini.
Ingat, di hari-hari biasa saja kita harus bisa membedakan keinginan versus kebutuhan. Nah, ini sudah masa darurat, sudah bukan lagi keinginan dan kebutuhan, tetapi kebutuhan versus urgensi.
2. Kenali kondisi keuanganmu
Ingat-ingatlah, saat setiap kali nafsu belanja impulsif datang, bahwa sekarang kita perlu harus berhati-hati merencanakan keuangan kita. Mungkin ada yang tunjangannya dipotong karena harus work from home, ada juga yang malah kehilangan mata pencaharian sama sekali.
Perilaku belanja impulsif sangat tidak cocok dilakukan di masa-masa darurat seperti ini, karena penghasilan kita juga sedang menurun. Sedangkan, kita perlu berjaga-jaga siapa tahu kondisi akan semakin sulit di depan.
Ada ketidakpastian yang harus kita hadapi lo.
3. Ingat kembali kondisi masih belum pasti
Nah, ini kelanjutan dari poin kedua di atas. Ada ketidakpastian yang harus kita hadapi di depan. Akankah krisis keuangan datang, seperti halnya tahun 1998 atau 2008? Tentu saja kita tidak berharap begitu kan?
Tetapi siapa yang bisa menjamin? Pandemi COVID-10 ini dihadapi oleh seluruh dunia lo. Hampir semua negara seakan berhenti beraktivitas, bahkan ada yang berhenti sama sekali. Pastinya hal ini akan berdampak ekonomi.
Kita tentu berharap bahwa kondisi akan pulih, bahkan akan menjadi lebih baik. Tapi masih belum pasti, kapan dan bagaimana.
So, ayo, kita berpikir jauh ke depan. Mulai buat rencana dan strategi keuangan baru agar kita enggak terlalu shock jika kondisi tak sesuai dengan harapan. Salah satunya adalah dengan mengendalikan diri.
4. Buat anggaran
Anggaran akan dapat membantu kita untuk mengendalikan diri. So, ayo duduk sejenak dan cermati lagi alokasi arus kasnya.
Apa saja yang tak dibutuhkan saat ini? Apa saja yang dibutuhkan saat ini? Apa yang harus ditingkatkan prioritasnya, dan apa saja yang diturunkan levelnya?
Duduklah sejenak, agar dapat mengamati catatan keuangan dengan cermat. Lalu buatlah anggaran baru berdasarkan temuan-temuanmu.
5. Sadar akan kecenderungan diri sendiri
Belanja impulsif memang merupakan kecenderungan karakter, bisa muncul begitu saja, tapi juga bisa hilang dengan cepat kalau kita lantas segera bisa mengendalikan diri. Jadi, coba pahami saat kecenderungan ini muncul. Kembali lagi ke poin pertama, carilah penyebabnya.
Apalagi kalau berhubungan dengan stock piling; menimbun barang-barang kebutuhan. Cobalah untuk mengingat sesama kita, yang juga sama-sama membutuhkan barang kebutuhan yang sama.
Nah, semoga dengan begini, kita bisa meminimalkan dorongan untuk belanja impulsif ya, terkhusus di masa-masa berat seperti ini. Justru kita harus bisa saling berbagi satu sama lain, bersama menghadapi kesulitan ini bersama.
Yuk, belajar mengelola keuangan dengan lebih baik lagi! Ikuti kelas-kelas finansial online QM Financial, pilih sesuai kebutuhanmu.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.