Tidak terasa, Idul Fitri sudah sebulan berlalu. Apakah keuangan Anda sudah kembali normal? Atau masih ada sisa-sisa tagihan yang mengendap di kartu kredit untuk dilunasi?
Ketika saya masih kecil, lebaran identik dengan baju baru, berkunjung ke rumah sanak saudara dan tentunya tradisi salam tempel. Saya sibuk menanyakan siapa saudara yang akan kami kunjungi dan siapa saja yang akan datang berkunjung ke rumah supaya saya bisa menghitung angpao yang akan saya terima. Momen silaturahmi untuk saya adalah momen untuk mengumpulkan kekayaan dan setelah lebaran, saya akan belanja sepuasnya.
Sayangnya, orangtua saya tidak membekali saya dengan ilmu perencanaan keuangan sehingga berapapun uang lebaran yang saya terima, tidak akan bertahan lebih dari satu minggu. Tidak pernah terlintas di benak saya untuk menabung atau menyisihkan untuk keinginan lain yang lebih besar. Apalagi beramal, sebuah konsep yang rasanya tidak saya kenal saat itu. Euphoria punya uang sendiri ini bahkan sampai membuat saya tidak bisa tidur jika uang saya belum habis karena sibuk merencanakan beli ini itu.
Sedihnya, kebiasaan buruk ini terbawa hingga saya dewasa. Saat pertama kali bekerja, uang saya habis untuk gaya hidup dan saya tidak pernah terpikir untuk berinvestasi. Punya dana darurat saja jarang. Ketika ada kebutuhan mendesak, saya menggunakan kartu kredit dan tutup lubang di gajian berikutnya. Gongnya ketika bonus tahunan hanya numpang lewat untuk melunasi tagihan kartu kredit, saya memutuskan untuk mengurus keuangan saya dengan lebih serius.
Sekarang, setelah dikaruniai dua anak, saya baru sadar, kebiasaan keuangan yang baik perlu ditanamkan sejak dini. Mengajari anak menabung harus disertai dengan mengajari anak belanja sehingga dia mengerti bahwa uang yang ditabung tetap menjadi miliknya, hanya saja ditunda penggunaannya. Konsep ini sudah mulai saya kenalkan tiga tahun terakhir, namun tahun ini saya mengajaknya lebih terlibat dalam prosesnya seperti menyimpan sendiri uang yang diterimanya, membaginya sesuai kategori bahkan sampai ikut ke bank untuk menabung di rekening atas namanya sendiri.
Walaupun sudah berjalan 3 tahun, saya tetap harus mengulang dan mengingatkan bahwa uang yang nanti dia terima adalah miliknya, bukan milik saya sehingga walaupun diletakkan di rekening bank, dia tidak perlu khawatir uangnya akan tercampur dengan orang lain dan berkurang.
Konsep BBM: beramal, belanja dan menabung, walaupun terdengar sederhana tetap saja membutuhkan usaha dan kreativitas saya agar anak saya mengerti maksudnya dan bukan hanya menjalankan semata. Selain mengajaknya ke bank, saya juga menjelaskan bahwa ada jatah orang lain dalam rejeki yang kita terima sehingga kita tidak boleh lupa beramal.
Tahun ini, anak saya mulai praktek sendiri membagi uang angpaonya menjadi tiga. Porsi beramal langsung dibawanya ke masjid dekat rumah dan dimasukkan ke kotak amal. Untuk porsi belanja, jika tahun-tahun sebelumnya langsung dihabiskan, tahun ini anak saya memutuskan untuk menunda dan menabung lebih lanjut karena ternyata jumlahnya belum cukup untuk mainan yang diincarnya. Sedangkan untuk porsi menabung, saya mengajaknya ke bank dan membiarkannya menyetorkan sendiri uangnya ke teller. Sempat ada pengalaman lucu karena anak saya meminta uangnya dinamai karena dia takut tertukar dengan milik orang lain. Untungnya, petugas bank yang melayani cukup ramah dan menjelaskan pada anak saya bahwa ada catatan di buku rekening untuk memastikan hal itu tidak akan terjadi.
Mudah-mudahan latihan sederhana ini bisa membantunya mengelola uangnya sendiri nantinya. Bagaimana dengan Anda? Jangan lupa menyiapkan dana untuk kurban, ya.
Yasmeen Danu, CFP®/ QM Planner