Kali ini saya mau berbagi pengalaman pribadi ketika anak-anak saya belajar mengenai uang. Sebenarnya, ketika berusia di bawah tiga tahun mereka sudah mengetahui fungsi uang sebagai alat pembayaran. Lucunya mereka meminta uang untuk membeli barang walaupun belum mengetahui harganya. Mereka senang menerima uang pecahan seribu sebanyak lima lembar dibandingkan satu lembar pecahan lima ribu. Mereka sudah mengetahui fungsi uang untuk sedekah dan selalu berebutan untuk memasukan uang ke kotak sedekah.
Ketika sudah masuk TK dan bisa berhitung, mereka sudah mulai bisa mengenali pecahan uang Rp100, Rp500 serta Rp1.000. Namun tetap saja mereka masih senang jika pecahan uang yang diterima lebih banyak. Contohnya ketika tradisi salam temple pada hari raya, dengan polosnya mereka rela menukarkan uang Rp10.000 dengan 5 lembar pecahan seribu. Dengan memiliki lima lembar uang mereka merasa memiliki uang yang lebih banyak :)
Ketika mereka sudah di bangku SD, mulai saya perkenalkan secara rinci mengenai nilai dan fungsi uang untuk ditabung. Untuk memperkenalkan nilai uang, saya meminta mereka menghitung uang yang dimiliki. Mereka diharuskan mengelompokkan berdasarkan pecahan yang sama. Lalu dicontohkan bahwa, misalnya Rp1.000 itu kalau ada lima maka setara dengan Rp5.000. Ketika berbelanja kerap kali saya menanyakan kembalian yang akan mereka terima ketika membeli suatu barang. Pada masa ini, mereka hanya mendapat uang jajan sekali dalam seminggu.
Namanya juga anak kecil, setiap ke toko mainan selalu ingin membeli. Maka konsep menabung saya contohkan bahwa ketika mereka memiliki sejumlah uang, lebih baik tidak dibelanjakan semua karena jika ada sisa bisa ditabung untuk membeli mainan lain yang jauh lebih bagus. Pada akhirnya, sering kali mereka malas menghitung sehingga setiap membeli mainan mereka balik bertanya kepada saya “sisa uangku yang paling banyak kalau aku beli mainan yang mana Bu?”
Di masa awal SD tersebut, saya juga mengenalkan konsep bahwa uang itu diperoleh jika seseorang bekerja. Sehingga ada masa-masanya ketika keluarga besar sedang berkumpul, anak saya “memaksa” Pak De-nya untuk mau dipijat dan memberinya uang. Atau mendadak mereka mencuci mobil kakeknya dan meminta imbalan jasa tertentu. Jadilah saya menjelaskan bahwa ketika ingin bekerja maka mereka harus menawarkan terlebih dahulu jasa mereka dan jika kedua belah pihak setuju, pastikan juga negosiasi soal imbalan jasanya. Tidak boleh asal “menodong” he he he.
Saat kelas 3 SD keatas, kedua anak saya sudah paham betul fungsi uang untuk membeli, menabung dan bersedekah. Beritahu dan biasakan juga bahwa setiap menerima uang, mereka dapat menyisihkan 2,5%. Sisanya boleh ditabung ataupun dibelanjakan. Pada usia ini mulai tampak karakter masing-masing anak dalam mengelola uang. Misalnya si sulung sering membawa bekal agar tabungannya bertambah untuk membeli mainan favoritnya dan tidak terlalu mengikuti tren. Sedangkan si bungsu, senang jajan dan membeli perlengkapan bola terbaru sehingga tabungannya lebih kecil dari kakaknya :)
Saat si sulung sudah masuk SMP, saya mulai memberikan uang jajan mingguan. Uang jajan tersebut dia pakai untuk pekerjaan kelompok, iuran kelas, sedekah dan lainnya. Oleh karenanya, saya mulai rajin menanyakan anggaran keuangannya. Paling tidak dia mengetahui uang yang dimiliki digunakan untuk apa saja dan dengan harapan dia bisa menggunakan uangnya dengan bijaksana.
Pada akhirnya memang cara mengenalkan uang ke anak tergantung dari kemampuan pemahaman anak itu sendiri dan cara orangtuanya menjelaskan dan mencontohkannya. Yang paling efektif adalah dengan memberikan contoh pengelolaan keuangan yang bijak kepada anak.
Selamat mencontohkan!
Titis Syahluddin| Planner| @titis_ts
Artikel terkait:
1 Comment
Leave a Reply Cancel reply
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
[…] *artikel terkait bisa dibaca di sini […]