Tulisan saya kali ini terinspirasi oleh cara saya dibesarkan sebagai seorang perempuan Muslim. Ada saja orang yang berpikir menjadi seorang perempuan Muslim artinya tertindas, menurut pada para laki-laki dan tidak dapat mengembangkan diri. Saya seorang feminis. Saya juga seorang perempuan Muslim. Saya percaya pada sebuah konsep dalam Islam yang disebut : ‘imam’.
Konsep ‘imam’ ini seringkali salah kaprah. Laki-laki bukan sebagai pemimpin malah menjadi seorang penguasa. Hal seperti ini tidak terjadi dalam keluarga saya. Perkenalan saya pada konsep ‘imam’ terjadi saat saya menginjak usia remaja. Saya begitu heran karena ayah saya, Irawan Poerwo sangat sulit untuk diajak membelikan saya baju baru. Tapi untuk urusan sekolah atau les tambahan, Papa tidak pernah berkata tidak. Jawaban Papa waktu itu begitu tegas.
“Your education is not my obligation. You are my responsibility.”
Kehebohan berikutnya saya saksikan sendiri saat saya dan Dondi memutuskan untuk menikah, tepat 10 tahun yang lalu. Saya belum pernah melihat seorang Irawan Poerwo begitu gelisah. Awalnya saya pikir karena Papa terharu anak gadisnya akan menjadi istri orang. Baru beberapa tahun belakangan ini setelah melihat saudara-saudara melakukan ijab kabul saya jadi teringat lagi kegelisahan Papa 10 tahun yang lalu.
Saya melihat hal baru. Proses menikah dalam Islam ternyata bukanlah sekadar sebuah pernyataan cinta. Saya tidak banyak bicara dengan Papa. Dari Mama saya mendengar bahwa Papa pernah bicara dengan sangat keras tentang Dondi – calon mantunya.
“He has to swear in the name of God! In front of my daughter!”
Aduh! In the name of God? Sejak itu, di mata saya, pernikahan bukan lagi urusan cinta-cintaan. Akad nikah / ijab kabul adalah ‘proses transfer’ tanggung jawab saat seorang Bapak / Wali yang berjabat tangan dengan pengantin pria. Urusan ini tentu tidak main-main. Sejak 25 Juni 2000, saya bukan lagi ‘tanggung jawab’ Papa. Sejak 25 Juni 2000, saya adalah tanggung jawab Dondi Hananto.
Saya diajarkan dalam keluarga bahwa seorang suami berkewajiban memberi nafkah lahir dan batin untuk anak istrinya. Seorang istri tidak wajib memberi nafkah untuk keluarganya. Tapi hari gini, masak sih kita gak bantuin suami?
Penasaran, saya pun menanyakan tentang konsep imam ini pada suami saya, Dondi Hananto. Dondi menjawab dengan santai:
“I am your imam. Your happiness is my responsibility.”
Sekarang mungkin orang baru bisa mengerti kenapa perempuan seperti saya menurut saja ketika diminta berhenti bekerja oleh suami. Perempuan seperti saya menerima edukasi yang sangat barat di Australia, punya pandangan tentang feminisme dan tentu saja keras kepala. Saya punya opini untuk segala hal dalam hidup ini kecuali untuk pengertian saya tentang Islam.
Seorang tante yang sangat bijak pernah bicara pada saya. “Sebelum suamimu haus, seharusnya kamu sudah menyiapkan minuman.” Maka sebarat apapun edukasi yang saya terima dalam hidup ini, setinggi apapun pendidikan yang saya telah peroleh, saya tidak percaya pada ‘equality’. Ya saya seorang feminis. Tapi saya percaya penuh pada konsep ‘imam’ ini. I know he will fight for my happiness.
Kami berdua sadar betul bahwa jodoh ada akhirnya. Kami berdua sadar betul bahwa sebuah hubungan tidak dapat dipertahankan jika kami tidak mengupayakannya. Dalam 10 tahun pernikahan ini kami selalu menyediakan waktu minimal 1 hari dalam seminggu untuk bisa pergi berdua saja. Kami juga selalu saling mencari dan berusaha untuk bisa pulang kantor bersama-sama.
Seperti inilah konsep ‘imam’ yang saya kenal. Seperti inilah konsep ‘pernikahan’ yang saya amini. Terima kasih Dondi Hananto. I am so blessed and grateful that you have chosen me as your wife.
You said that my happiness is your responsibility. For this, I’m willing to move the world for you…
Happy 10th Anniversary!
Ligwina Hananto
NB :
Bahan ini
tadinya gue tulis di twitter @mrshananto. Udah serius-serius gue nulis tentang betapa juaranya tagline ‘your happiness is my responsibility’ dengan cengengesan Dondi nanya : “emang aku pernah ngomong gitu ya?” jreeeeeng hihihi…
Jadi jangan mewek dulu baca blog ini ya. Karena kunci 10tahun bahagia ini ternyata adalah kami banyak sekali cekikikan bersama :)
I hope you guys also find giggles and happiness in your relationships.