Pagi-pagi buta gue udah semangat banget bangun dan siap-siap berangkat. Mobil MetroTV sudah siap nunggu depan rumah. Gue diajak ngobrol-ngobrol bareng Uli Herdinansyah dan Melissa Karim di acara Breakfast Club.
Sampai di MetroTV. Mas Rudy sang supir yang sudah beberapa kali antar jemput gue ini mengantarkan gue ke Studio News. Disangkanya gue perlu ke situ, padahal gue perlunya ke Grand Studio. Ya sudah, masuk saja dulu ke Green Room News dan duduk ngobrol-ngobrol dg siapa pun yang ada di situ.
Small talk…
Ada seorang ibu orang Indonesia dan seorang bapak orang Amerika Serikat yang sedang menunggu giliran hadir di acara News-nya MetroTV. Kita sebut saja bapak ini Pak Ryan.
Gue menjelaskan profesi gue. Gue percaya kalau kita akan baik-baik saja. Pak Ryan kelihatannya gak percaya. Hehehe… Tantangan dong, gue harus menjelaskan apa yang dimaksud dengan INDEPENDENT financial planner.
Hasil ngobrol. Pak Ryan cerita kalau di Amerika Serikat, praktek jualan kredit dan investasi memang sangat liberal.
Pak Ryan mengaku sebagai seorang liberal, tapi dia sendiri sih sangat konservatif u/ urusan uang. Tidak pernah punya utang kartu kredit. Ketika teman-temannya pada “leasing” atau sewa mobil, dia gak ikut-ikutan. Paling-paling punya KPR 20tahun, wajarlah.
Suatu saat dia perlu uang u/ memulai sebuah bisnis dan memutuskan untuk meminjam uang atas rumahnya (home equity loan), dia hanya mau meminjam 10% aja dari harga rumah itu. Eits… Orang bank yang menelpon “encourage” supaya dia ambil lebih banyak. Menurut Pak Ryan, pihak bank betul-betul membuat dia merasa sangat bodoh kalau gak ambil utang lebih banyak.
Sounds familiar?
Di Indonesia praktek dagang seperti ini sudah biasa kan. Hayo ngaku. Berapa orang di antara kalian yang ditelpon oleh para penjual kredit? (Baca: telemarketer bank). Berapa orang di antara kalian yang ditelpon oleh penjual produk investasi? (Baca: agen asuransi, sales reksadana, sales kredit dari bank atau sales index berjangka – wadooooh yang terakhir itu sempet bikin gue pusing krn telpon melulu gak berhenti2)
Gak apa-apa kalau cuma telpon dan menawarkan. Namanya juga usaha, orang-orang ini sedang cari makan lho. Problemnya adalah, seringkali kita dihadapkan pada posisi gak enak. Kita yg gak enak sama org yg jualan. Lho? Giliran produknya cocok sih sukur ya. Tapi kalo produknya gak cocok, hmmm… Siapa yang ribet, kita juga kan?
Salah siapa?
Hahahha… Salah sendiri!
Gue kan udh bilang, terhadap uang kita sendiri, kita itu serba subyektif. Kita sama sekali gak bisa mikir jernih. Karena ini hasil jerih payah luntang lantung ke mana-mana.
Maka sekarang waktunya gue jualan. Makanya punya Independent Financial Planner! Tugas kami bukan jualan produk. Tugas kami menyusun Rencana Keuangan – rekomendasi produk muncul belakangan. Itupun harus dalam bentuk alternatif. Jadi produk yang tidak cocok, tidak akan masuk dalam daftar rekomendasi.
Gak percaya?
Boleh aja dong meragukan ketulusan gue. Mangga silahkan…
Tapi cobain deh bikin plan sendiri, dan rasakan kepusingannya. Gue dan TJ aja tukar pikiran terus u/ plan keluarga masing-masing. Karena buat gue, ternyata lebih enak kalo TJ yg jelasin ke suami gue. Soalnya buat suami gue : lo bini gue, ngapain ngatur2 gue musti investasi ke mana. Buat TJ, gue harus menahan2 ibu agresif ini supaya Dana Daruratnya jangan masuk ke reksadana saham, heheheh…
Membuat Plan yang benar tidak bisa hanya dari memasuk-masukkan angka ke dalam template rumus atau software atau template website. Harus terjadi proses diskusi dengan orang yang memang kompeten, memiliki wawasan finansial yang baik, memiliki sertifikasi profesi dan memiliki jam terbang konsultasi dengan berbagai jenis kasus. Inilah yang membuat VALUE dari seorang Independent Financial Planner.
Get Help From a Professional Independent Financial Planner!
Ligwina Hananto