Beberapa waktu lalu saya mendengar berita di radio tentang tertangkapnya orang yang diduga melakukan perampokan minimarket di daerah Tangerang. Berita radio ini juga menjelaskan bahwa pelaku mengaku melakukan perampokan karena orangtuanya tidak memberikan uang.
Sampai di sini mungkin Anda ikut jengkel. Alasan yang sungguh bodoh. Tapi tunggu dulu, ada lanjutan ceritanya. Pelaku ini usianya… 25 tahun! Usia orang dewasa yang seharusnya mencari pekerjaan sendiri tetapi melakukan perampokan karena orangtuanya tidak memberikan uang? Jengkel saja tidak cukup kan? Saya jadi marah nih!
Marah ini ternyata hanya terjadi sebentar. Selanjutnya yang timbul adalah kesedihan yang mendalam. Bagaimana pun anak adalah produk dari interaksi dengan orangtuanya. Saya bukan menyalahkan orangtua si pelaku perampokan. Tetapi saya jadi terpikir, edukasi keuangan apa yang dijalankan oleh orang-orang golongan menengah ke bawah untuk anak-anaknya?
Jangan-jangan memang selama ini tidak pernah ada?
Belakangan ini saya semakin memikirkan pentingnya edukasi “parenting skill” untuk golongan menengah ke bawah. Bukan soal uang saja, tapi untuk segala hal. Ini diawali dari cerita perjalanan tim QM Financial ke Lombok.
Fitri dan Nadiah mewakil tim QM Financial bekerja sama dengan sebuah LSM ke pedalaman Lombok. Mereka melakukan edukasi finansial untuk kelompok ibu-ibu yang hidup sangat sederhana pada sebuah desa. Hasil diskusi menunjukkan bahwa para ibu ini kebanyakan adalah single parents. Ada yang suaminya sudah meninggal, suaminya sedang bekerja sebagai TKI atau memang suaminya kabur kawin lagi lalu mereka tidak ada yang menafkahi. Mereka rata-rata memiliki penghasilan Rp200ribu per bulan. Pengeluaran mereka? Rp500ribu per bulan!
Para ibu yang serba sederhana ini punya keuangan yang MINUS setiap bulannya. Fitri dan Nadiah tentu saja sangat penasaran. Hasil “korek-korek” menunjukkan bahwa mereka punya kebiasaan yang mirip satu sama lain. Saat anak menangis, mereka langsung memberikan uang! Biasanya Rp10ribu per hari!
Ini sungguh mencengangkan. Saya tinggal di Jakarta saja tidak memberikan uang saku Rp10ribu per hari pada kedua anak saya yang sudah duduk di bangku SD. Kenapa ibu-ibu ini sampai memberikan uang sebanyak itu pada anak mereka? Kenapa juga anak menangis malah diberi uang?
Ujung-ujungnya ternyata ada pada parenting skill. Para Ibu ini ada dalam posisi tertekan. Saat anaknya menangis, mereka yang sudah “malu” sebagai janda, merasa lebih malu lagi karena tidak bisa membuat anaknya diam. Cara tercepat adalah memberikan uang! Cepat, taktis, mudah tapi efek jangka panjangnya gawat. Salah satu ibu bercerita bahwa anaknya yang berusia 18 tahun pernah melemparkan batu kepadanya karena tidak punya uang saat anak ini minta dibelikan motor!
Kisah pelaku yang diduga merampok minimarket dengan alasan tidak diberi uang oleh orangtuanya ini membuat saya teringat pada kisah para ibu di pedalaman Lombok. Pengetahuan tentang uang memang penting. Tetapi tanpa parenting skill dari para orangtua, pendidikan finansial ini tidak bisa sampai pada anaknya. Dan artinya… generasi berikut tetap dalam kegelapan!
Parenting is about sharing stories. Tidak ada benar atau salah. Tapi dengan saling berbagi cerita, sebagai orangtua saya merasa sangat kaya dengan berbagai cara baru untuk bicara dengan anak-anak saya. Untuk orang yang “perutnya kenyang” seperti kita, sharing pengalaman menjadi orangtua adalah urusan kecil. Tapi untuk mereka yang urusan makan saja masih bingung, mungkin tidak pernah terpikirkan.
Nah, saya sudah sering membuat serial twit tentang #KidsNMoney untuk edukasi finansial pada anak. Tetapi itu saja tidak cukup. Perlu edukasi parenting skill yang luas. Sejujurnya saya tidak tahu harus berbuat seperti apa untuk ini!
Yang penting niat dulu ya :) Saya yakin akan ada pintu untuk bisa melaksanakan edukasi parenting skill ini.
Ligwina Hananto | @mrshananto
Artikel terkait:
1 Comment
Leave a Reply Cancel reply
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
[…] *artikel terkait bisa dibaca di sini […]