Based on true story
Sore itu saya terdampar di food court salah satu apartemen. Saat itu saya mengerjakan tugas kantor di salah satu coffee shop yang tidak terkenal, memesan secangkir kopi seharga Rp36ribu dan gorengan seharga Rp14.500
Ketika ingin membayar, dompet dibuka dan yang terlihat hanya uang sebesar Rp62ribu. Cukup untuk membayar makanan yang saya pesan dan naik angkot pulang ke rumah. Saya baru ingat saat itu masih tanggal 16, masih 9 hari lagi gajian dan kantong sudah menipis paska liburan lalu.
Saya kemudian berpikir saat sudah tiba di rumah, “Ampun ya, gue gayanya selangit, ga punya uang tapi maksa buat ngopi-ngopi cantik”. Dengan terpaksa keesokannya saya menarik uang dari ATM untuk biaya hidup Sembilan hari kedepan. Bagaimana tabungan saya mau terus meningkat kalau setiap minggu ditarik karena kekurangan uang transportasi untuk bekerja? Setiap habis gajian, saya memang menabung, mencapai 20% dari penghasilan. Namun, tabungan saya jumlahnya tak pernah lebih dari Rp3juta padahal gaji per bulan mencapai Rp5juta. Saya belum menikah, masih 25 tahun dan selain zakat, tak ada pengeluaran lain.
Sesak memikirkan tabungan yang tak bertambah serta merasa banyak dosa keuangan, saya mulai membuat daftar pengeluaran. Voila! Setelah ditulis, ternyata pengeluaran saya terbesar ada pada pos makan mewah. Setiap akhir pekan, saya mencoba restoran baru. Pada hari kerja, sambil menunggu macet saya nongkrong dan makan di mal, saat istirahat siang, selalu minum kopi dari Amerika itu dan makan di tempat yang sedang saya ingini. Astaga! saya kaget sendiri melihat pengeluaran bulanan.
Pada suatu hari saat reuni SMA, saya benar-benar tertampar. Semua teman bercerita tentang pekerjaannya, pasangannya, dan lainnya hingga tanpa sengaja bicara tentang rumah. Saya punya dua sahabat saat SMA. Saya, A dan B bisa dibilang punya level yang sama dalam pekerjaan. Lulus kuliahnya bersama, mulai mengumpulkan aset juga bersama.
Saya: belum memiliki rumah, punya motor dan tabungan kurang dari 3/5 gaji
A: tidak memiliki rumah, motor dan sedihnya tidak punya tabungan
B: sudah mulai mencicil KPR, masih naik angkot, memiliki tabungan sebesar 3x gaji per bulan dan beberapa aset lainnya untuk persiapan Dana Pensiun dan menikah.
Berkaca dari kondisi kami bertiga di atas, saya menyadari bahwa gaya hidup saya sudah lebay.
Seberapa lama lagi saya mampu bertahan di gaya hidup seperti ini? Takut juga kalau saat sudah pensiun nanti tidak memiliki aset maka saya memutuskan untuk mengikuti cara B mengatur keuangan yang baik.
Kiky |Planner|@kaukabus
artikel terkait bisa dibaca di sini