Kenaikan BI Rate ini bukan hanya berdampak pada sektor riil tetapi juga sektor keuangan di Indonesia, beberapa diantaranya:
- Berkurangnya aktifitas bisnis di sektor riil akibat kenaikan suku bunga kredit dalam beberapa bulan kedepan. Hal ini sudah pasti akan memperlambat pertumbuhan Indonesia. Namun, pemerintah akan menetapkan kebijakan fiskal yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran sehingga penurunan angka pertumbuhan tidak akan terlalu dalam.
- Karena sebagian besar konsumen menggunakan KPR untuk pembelian properti, kenaikan suku bunga kredit diprediksi akan menyebabkan penjualan properti menurun. Namun penurunannya tidak akan terlalu dalam karena permintaan properti yang masih tinggi. Hal ini dibuktikan pada data penjualan properti residensial triwulan III lalu yang tetap mengalami peningkatan 39.8% dari triwulan sebelumnya meskipun terjadi kenaikan harga akibat kenaikan BBM.
- Meskipun pada akhirnya kenaikan BI rate diikuti oleh kenaikan suku bunga perbankan, suku bunga kredit tidak dapat langsung dinaikkan seperti suku bunga simpanan. Dengan demikian bank-bank akan mengalami tekanan pada margin bunga dan membuat bank menahan ekspansi kreditnya.
- Baik pasar modal maupun pasar uang menilai negatif atas kenaikan BI Rate ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menurun disebabkan keluarnya dana asing sebesar Rp463,28miliar. Dari sisi mata uang lokal, kenaikan BI Rate berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (USD).
Pro dan Kontra
Sikap masyarakat terhadap kenaikan BI Rate ini pun berbeda-beda. Pihak yang menyetujui kebijakan BI ini menilai naiknya BI Rate tidak akan berdampak terlalu buruk bagi Indonesia, asalkan tidak dinaikkan lagi dalam waktu dekat. Asean Economy Community yang akan berlangsung di bulan Desember 2015 nanti menjadi alasan. Jika kenaikan suku bunga ini kembali terjadi dalam waktu dekat dikhawatirkan daya saing Indonesia dengan negara ASEAN lainnya akan berkurang karena biaya produksi yang semakin tinggi akibat kenaikan suku bunga.
Di sisi lain, mereka yang menolak kebijakan kenaikan BI Rate ini menilai ini bukan merupakan kebijakan yang tepat. Defisit neraca berjalan sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang buruk, karena tingginya impor salah satunya disebabkan oleh banyaknya penanaman modal asing (Foreign Direct Investment/FDI) di Indonesia yang memerlukan impor barang modal dan bahan baku. Sehingga mengurangi defisit neraca berjalan dengan cara menaikkan suku bunga sehingga memperlambat pertumbuhan bukan cara yang tepat. Cara lain yang dianjurkan adalah dengan mengubah struktur industri yang dapat menghasilkan produk-produk yang selama ini diimpor termasuk barang modal dan bahan baku.
Meskipun terdapat pro dan kontra, serta prediksi kondisi kedepan yang tidak terlalu baik, mau tidak mau kebijakan naiknya BI Rate telah dilaksanakan. Tentu risiko ini sudah dipertimbangkan Bank Indonesia dengan sangat matang. Sehingga yang bisa dilakukan adalah mendukung usaha Bank Indonesia tersebut dengan terus berinvestasi, baik di sektor keuangan maupun sektor riil agar pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tetap terjaga.
– Research Division –
*artikel terkait dapat dibaca di sini