*Tulisan ini berjudul “Atas Nama Cinta”. Judul ini digubah Tim Femina menjadi “Till Debt Do Us Part”
*Artikel yang sama – isinya sudah diedit – dimuat di majalah Femina 18 Maret 2010.
Dulu, menikah karena cinta. Tetapi ketika sudah menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga, cinta bukan segalanya. Ada uang di antara cinta kita berdua. Kalau tidak bisa bicara soal uang dan tidak bisa mengelola uang dengan baik, bisa-bisa cinta tinggal kenangan. Seperti inilah kasus-kasus “Atas Nama Cinta” yang sering saya temukan.
Suka atau tidak suka, uang pasti mempengaruhi hubungan kita dengan pasangan. Itu yang kemudian terjadi pada Dinda dan Lucky. Setelah berpacaran selama 4 tahun, Dinda dan Lucky memutuskan untuk menikah. Mereka pun mulai berdiskusi tentang uang. Tidak ada hambatan apa-apa dalam menjajagi pembahasan yang serba sensitif ini.
Diskusi ternyata tidak dibarengi dengan implementasi. Setelah menikah, Lucky memboyong Dinda untuk tinggal di rumah orang tuanya. Di sini Dinda baru melihat kenyataan yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Lucky sangat bergantung pada orang tuanya. Sementara Dinda sudah 6 tahun lebih bekerja dan sanggup membiayai hidupnya sendiri. Jurang perbedaan nilai keluarga pun semakin lebar.
Kehadiran Aina putri mereka tidak memperbaiki keadaan. Perbedaan prinsip antara Dinda dan Lucky semakin memperlebar jarak antara keduanya. Dinda sudah gerah karena semua pengeluaran mereka dibiayai oleh orang tua Lucky. Tetapi untuk pengeluaran Aina, Dinda yang harus berjuang sendirian. Lucky yang memiliki usaha sendiri, selalu mengaku tidak punya uang. Lucky selalu beralasan kalau dia sedang mengembangkan bisnis, jadi uangnya ya ada dalam bisnisnya. Buat Dinda, itu tentu tidak masalah. Ia sendiri bekerja jadi masih bisa membiayai anak mereka. Tapi ketika Lucky yang mengaku tidak punya uang ini masih bisa ikut ‘trip golf’ atau akhir pekan berangkat diving dengan sahabat-sahabatnya, Dinda mulai tidak sabar.
Puncak perseteruan mereka adalah saat Lucky menerima hadiah dari orang tuanya. Hadiah ini berupa uang dalam jumlah besar. Seharusnya uang yang besar ini bisa digunakan untuk jadi Down Payment rumah. Tapi Lucky tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengajak Dinda dan Aina hidup mandiri lepas dari orang tuanya. Uang itu kemudian perlahan-lahan dihabiskan dan lenyap entah untuk apa saja. Dinda dan Lucky akhirnya memutuskan untuk bercerai.
Saat menceritakan kisahnya ini, Dinda kelihatan sangat tegar. Cerita perceraiannya dengan Lucky memang berbekas cukup dalam. Yang membuat saya ikut sedih, Dinda bukanlah satu-satunya perempuan yang datang ke QM Financial untuk bercerita soal uang dan cinta ini. Kasus ‘Atas Nama Cinta’ ini – di mana pihak suami tidak memberikan nafkah – adalah kasus klasik yang terjadi berulang-ulang. Herannya, kok makin banyak ya kasus seperti ini? Apakah ini menjadi trend?
Jadi bagaimana caranya agar kita dapat terhindar dari perpecahan seperti Dinda dan Lucky? Tentu tidak ada rumus jitu yang dapat langsung dipraktekkan oleh semua orang. Kasus ‘Atas Nama Cinta’ bisa dihindari dengan beberapa langkah :
1) Perhatikan ‘Nilai-nilai’ yang ada pada keluarga
Jangan berharap seperti Dinda. Dia begitu yakin kalau Lucky suatu hari akan berubah. Padahal memang Lucky sudah begitu dari sananya. Lucky sudah memiliki ‘nilai’ bahwa tinggal di rumah orang tua, dengan istri dan anak, bukanlah masalah besar. Jadi kalau dari awal ini disadari, Dinda tentu punya pilihan akan tetap meneruskan hubungan atau tidak.
Hal serupa terjadi pada Nathalia Anugrahman (34 tahun). Cerita Lia ini justru berbeda dengan Dinda. Robby – suami Lia bersikeras untuk menanggung semua biaya keperluan Lia dan Naia harus. Lia yang sudah terbiasa mandiri jadi kagok juga. Untungnya ia bisa mencari jalan tengah dengan mengambil alih tangggung jawab pengeluaran lain, misalnya untuk liburan. Dengan cara ini, Lia tidak menyinggung perasaan Robby. Robby pun bisa melihat istrinya berkontribusi pada keluarga.
2) Kepercayaan itu harus diperjuangkan
Lain lagi dengan cerita Tries Blandine Razak-Suparka (33 tahun). Ibu 2 anak yang tinggal di Melbourne ini berhasil memenangkan kepercayaan dari suaminya. Tries yang biasa disapa Ade ini dari awal memang ingin mengelola uang keluarganya dengan ketat. Bukan karena pelit, tapi
karena Ade melihat Krishna tidak punya kendali kalau sudah naksir barang yang diincar. Ade juga melihat seharusnya ada banyak Tujuan Finansial yang bisa dicapai dengan penghasilan suaminya ini.
Ketika Dana Haji yang didambakan tercapai, Ade bisa membuktikan bahwa ia memang mengurus keuangan keluarganya dengan benar. Krishna yang tadinya sering bertanya kenapa harus berhemat, sekarang mengerti betul kalau istrinya memang jagoan mengatur keuangan keluarga.
3) Terbuka pada pasangan
Penulis muda Sitta Karina (29 tahun) memilih jalan serba terbuka dengan suaminya Trias. Sitta mengaku sangat rajin duduk bersama dan membahas pengeluaran apa saja yang harus mereka lakukan. Mereka juga rajin membahas dan saling mendukung untuk belajar lebih banyak tentang produk-produk investasi. Sitta dan Trias bahkan sudah menentukan kalau tahun ini Rencana Keuangan yang mereka buat sendiri akan berfokus pada pengumpulan DP Rumah.
Saking terbukanya komunikasi antara Sitta dan Trias, keduanya saling tahu PIN ATM dan token internet banking. Sitta tidak pernah menyembunyikan tagihan dari Trias. Bahkan tanpa ragu-ragu, Sitta bisa mengirimkan file bukti pembayaran pada Trias.
4) Pembagian tugas yang menyenangkan
Terakhir tentu saja, jadikan mengurus uang bersama ini jadi pembagian tugas yang menyenangkan. Ini yang dilakukan oleh Intan Yamuna (30 tahun) dan suaminya Rene Suhardono. Muna mengakui kalau Rene-lah yang sering bandel dan menggunakan kartu kredit seenaknya. Ketika Muna bisa menunjukkan berapa yang berhasil ia sisihkan setiap bulan, baru Rene bersedia untuk membagi tugas. Rene bahkan bersedia menyerahkan semua penghasilannya pada Muna dan hanya diberi uang bulanan sebesar 10% dari penghasilannya.
Dengan jenaka Muna mengomentari caranya mengelola uang : “saya yang menabung, dia yang berburu cari uang”
Tries Blandine Razak-Suparka (33 tahun)
Marine Biologist, ibu 2 anak
Suami saya, Krishna biasanya memberikan semua gajinya pada saya. Baru saya yang mengatur dia bisa pakai berapa untuk apa saja. Tadinya dia sempat protes dan menilai saya terlalu pelit. Tapi setelah saya bilang, Dana Haji sudah siap, dia tidak pernah protes lagi.
Nathalia Anugrahman (34 tahun)
Arsitek, ibu 1 anak
Robby menanggung semua biaya hidup saya dan anak kami Naia. Jadi saya biasanya tahu beres. Kadang suka gak enak juga. Jadi saya suka kasih hadiah-hadiah buat dia. Biasanya gaji saya yang digunakan untuk bersenang-senang seperti liburan dan belanja barang yang kami suka.
Sitta Karina (29 tahun)
Penulis, ibu 1 anak, sedang mengandung anak ke-2
Soal uang saya terbuka banget sama Trias. Kami selalu duduk bersama dan berdiskusi, membuat semua rencana sampai sangat rinci. Begitu terbukanya sampai-sampai saya punya semua PIN nya dan selalu mengirimkan file setiap melakukan transaksi internet banking.
Intan Yamuna (30 tahun)
Ibu Rumah Tangga, ibu 3 anak
Kami mengelola uang berdasarkan kebutuhannya. 90% disetorkan pada saya, saya yang mengelola. Rene punya 10% yang bisa ia gunakan untuk keperluannya sehari-hari. Sebelum berinvestasi kami pasti ngobrol dulu. Dia lebih percaya saya yang mengatur uang keluarga. I’m the saver, he’s the hunter.
Tidak akan pernah ada cara yang paling sempurna untuk mengelola uang dengan pasangan. Saya sendiri cenderung bersikap seperti Mama Boss. Sibuk perintah-perintah supaya suami melakukan transfer untuk investasi dan membayar tagihan kartu kredit. Saya juga yang menentukan berapa uang kas yang perlu disiapkan untuk keperluan kami berdua. Dondi suami saya punya kebebasan untuk mengatur sendiri Dana Shoppingnya. Tapi sebetulnya, kami selalu membahas bersama apa saja yang sudah terjadi pada uang kami. Mulai dari berapa besarnya penghasilan bulanan dan tahunan, berapa pengeluaran yang harus diurus, berapa tagihan kartu kredit dan investasi apa saja yang kami pilih. Hasilnya cukup memuaskan. Kondisi keuangan kami terus membaik. Suami pun tidak merasa terkekang karena dia tahu berapa jumlah uang yang boleh dia gunakan untuk hobinya bermain game dan liburan seru.
Bagaimana nasib Dinda sekarang?
Dinda dan Aina hidup berpisah dari Lucky. Justru setelah bercerai, Dinda seperti menemukan hidupnya kembali. Sekarang ia sudah memiliki apartemennya sendiri. Walaupun dengan cicilan ke bank, tapi ini rumahnya sendiri. Hubungannya dengan Lucky juga malah membaik. Lucky menepati semua janjinya yang tertera pada Surat Perjanjian saat mereka bercerai : “Biaya anak ditanggung ayah sepenuhnya”. Dinda dan Lucky sekarang malah bisa berdiskusi dengan nyaman soal sekolah, pengasuh, outing sampai pertunjukan sekolah Aina.
Wedding is one day, marriage is a life time journey. Ternyata PR kita masih banyak demi membuat hubungan dengan pasangan lebih baik. Pelajaran yang sangat bagus dari cerita Dinda dan Lucky.
Menikah Atas Nama Cinta? Ternyata tidak cukup!
Artikel terkait:
Ligwina Hananto
2 Comments
Leave a Reply Cancel reply
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
Sebetulnya sebelum siap menikah seharusnya kita sudah bisa melihat semua itu dari hubungan berpacaran(proses mengenal karakter satu sama lain). terkadang menikah juga menjadi suatu acuan hidup dimana Usia yang matang yang mewajibkan kita untuk menikah malah memaksakan dan mungkin belum Siap untuk menjalani perkawinan.
yang selalu aku lihat terlalu banyak di zaman sekarang yang menutupi diri setiap mempunyai Masalah dan tak tampil terbuka pada pasangan dan sosial pada teman teman( ada seseorang yang mempunyai kebiaasaan menutup masalah sendiri dan menanggung masalah itu sendiri) Upgrade diri itu penting, kita sudah tahu bahwa hal m=buruk bisa merusak kebiaasaan yang baik.
Salam dari yang belum menikah ( hahaha )…
Semangat dalam hal Apapun itu !!!
Thanks
[…] baca kisah Atas Nama Cinta ini, bisa jadi referensimu betapa kebiasaan keuangan yang berbeda akhirnya berujung […]