Beberapa bulan lalu, seorang teman curhat habis-habisan. Dia jengkel karena komentar temannya tentang dia sebagai anak orang kaya lulusan luar negeri pula.
Jadi ceritanya teman dari teman ini bilang kalau teman saya beruntung karena ia anak orang kaya. Makanya bisa sekolah ke luar negeri. Katanya lagi ayahnya hanya pegawai negeri, tidak punya uang banyak, maka ia “hanya” bersekolah ke ITB.
Hihihi Ada sesuatu yang aneh di sini.
- Definisi KAYA itu relatif.
- Memangnya kenapa kalau KAYA?
- Hanya ITB????
Teman saya ini adalah Larasati Silalahi – salah satu penyiar Hard Rock FM.
Mungkin temannya Laras ini berkomentar bukan pada Laras. Tetapi pada anak orang kaya lulusan luar yang kemudian tidak memanfaatkan potensi nya itu. Mungkin terjadi “misunderstanding” atas pendapat mereka berdua.
Tetap saja saya dan Laras sempat ngobrol seru. Ada beberapa poin yang menurut saya menarik. Proses sampai kami bisa bersekolah ke luar negeri – seolah-olah terabaikan begitu saja.
Proses itu seperti ini…
Ayah saya – Ir. H. Irawan Poerwo MBA adalah seorang insinyur tambang sejati. Ia menghabiskan 30 tahun karirnya di perusahaan-perusahaan tambang terkemuka. Mulai dari Shell, INCO, KPC, hingga Rio Tinto. Setelah pensiun, Papa masih juga bekerja di perusahaan tambang.
ITB adalah momok besar buat saya :)
Papa lulusan ITB, Mama – Agustina Hardjakusumah – juga lulusan ITB, Seni Rupa ITB. Aki Poerwo Soesatyo Hadikusumo – juga lulusan ITB. Adik saya, Hadwido Poerwo, juga lulusan ITB – Tehnik Geofisika. Begitu juga dengan begitu banyak om n tante saya : lulusan ITB. Ua Lonang, Ua Hen, Om Syahril, Om Rizal, Tante Githa, Tante Hayi. Dan masih banyak lagi.
Maka semenjak kecil, tidak ada keinginan yang lebih besar daripada : masuk ITB. Jadi saya gak ngerti kalau ada yang bilang : “hanya” masuk ITB! It’s the one thing I wanted growing up, and I did’nt get in :)
Kalau tidak ke ITB, ke mana? Australia menjadi pilihan karena tidak terlalu jauh. Tidak terlalu mahal (whuaaat?). Papa punya banyak kenalan orang Australia untuk referensi. Papa pergi business trip ke Australia setiap 6 bulan – jadi pasti anak gadisnya ini bisa ditengok. Dan sahabat Papa – Om Mochtar Mu’min sudah menjadi warga Australia, tinggal di Bunbury, beberapa kilo dari Perth.
Seperti Laras yang ditunjuk “anak orang kaya”, saya pun menghadapi hal yang sama. Komentar2 sinis seperti : “Enak lo Win, bokap lo banyak duit!” Benar2 menjengkelkan. Seolah-olah uang itu datang mengetok pintu rumah kami.
Papa bukan banyak uang. Papa bertanggung jawab pada perkembangan anak-anaknya. Ia berjuang untuk bisa menyediakan pendidikan tinggi keluar negeri untuk anak-anaknya. Saya berangkat ke Australia. Adik saya, Wido berangkat ke Perancis.
How? Bagaimana caranya? Para kenalan keluarga kami perlu mengingat masa kecil kami. Sewaktu beberapa om dan tante sudah menyetir mobil keren, orang tua saya membeli Toyota Corolla GL warna putih, 2nd hand! Sewaktu beberapa om dan tante sudah menempati rumah mereka, orang tua saya menabung dengan rajin selama 8 tahun demi membangun rumahnya sendiri.
Orang tua saya tidak pernah berhutang sembarangan. Sekali-kalinya mereka punya utang bank dengan jaminan rumah, saya dan Wido dipanggil dan diberikan penjelasan. Disuruh berdoa supaya Papa dapat rejeki – karena kalau tidak mampu membayar utang itu, rumah bisa disita oleh bank. Saya ingat ketakutan setengah mati, tidak mau rumah kami disita bank hehehhe (habis itu gw kawin sama banker pula heheheh)
Kami jarang sekali beli mainan. I don’t have a single barbie doll in my life and I turn out alright. Kami jarang sekali beli baju baru. Baju saya biasanya “lungsuran” bekas sepupu yang lebih tua.
Papa tidak mendapatkan uang untuk menyekolahkan kedua anaknya dengan begitu saja. Rejekinya ada. Ada yang ngatur. Tetapi tanpa perencanaan keuangan yang rapi, tidak mungkin saya dan adik saya bisa menikmati kesempatan sekolah ke luar negeri itu.
Proses ini yang sering terlupakan. Karena tidak terlihat dari luar.
Jadi ini bukan sekadar urusan : anak orang kaya. Ini adalah hasil kedisiplinan orang tua saya menyisihkan penghasilannya setiap bulan untuk masa depan kedua anaknya.
Kalau orang tua saya bisa, kenapa kita tidak?
Bedanya tentu saja, mereka hidup di masa orde baru. Perekonomian saat itu stabil, inflasi tidak setinggi sekarang, minyak masih jadi andalan negri kita. Ditambah lagi, orang tua saya tidak punya lifestyle. Tidak makan di luar setiap hari. Tidak jalan-jalan melulu untuk liburan karena juga tidak hidup dan bekerja dalam tekanan seperti saya di Jakarta.
Buat saya, financial plan keluarga saya harus bisa menyiapkan masa depan keluarga sekaligus juga membiarkan saya menikmati lifestyle.
Maka kalau kita sekarang punya cara untuk mengelola keuangan dengan lebih baik, kenapa tidak?
Suatu hari nanti saat anak-anak kita semua bisa menikmati sekolah yang baik, saya bisa menangkis komentar sinis “lo kan orang kaya”. Saya bisa menjawab, “bukan kaya, tapi saya punya comprehensive financial plan”.
Hihihi… Soalnya kalau mau disebut kaya… Jangan lupa dengan gaji yang naik terus, saldo rekening saya dan suami, dulu tahun 2001 adalah : Rp 119.200 :) padahal DINKS : double income no kids.
Sekarang, kedua anak saya sekolah di sekolah Nasional Plus yang tidak murah. Dengan sadar diri, kami masih tinggal di rumah mungil di Cibubur. And it looks like we’re going to be living there for awhile :)
Kami masih menggunakan Toyota Avanza yang sudah berusia 4tahun itu. Mobil yang jarang keluar dari Cibubur dan hanya meminum bensin Rp150.000/minggu. Mobil suami? Urusan kantornya. Kalau mau liburan ke luar negeri, artinya itu sudah terencana jauh-jauh hari, biasanya pun hanya menggunakan bonus. Tanpa bonus tahunan, ya tidak berangkat. Tahun ini pun kelihatannya nafsu liburan itu akan banyak disunat :)
Jadi… Jangan sembarangan menunjuk : Anak Orang Kaya. Alhamdulillah rejeki memang ada, sudah ada yang mengatur – kemudian rejeki itu diurus dengan benar.
Kaya menjadi tidak penting. Yang penting tujuan finansial yang penting dalam hidup kita, bisa tercapai pada waktunya. Yang penting uang yang kita hasilkan dari pekerjaan kita dapat bermanfaat untuk keluarga.
Jadi… Kalau ada orang yg masih menunjuk, “kamu kan anak orang kaya…”
Hey! Alhamdullilah. Memang kenapa? Apa lebih suka jd miskin?
We should be celebrating thousands of thousands of people out there who are like my parents and like Laras’ parents work so very hard and manage their money properly.
Mereka adalah “Strong Middle Class Indonesians”… Mereka lah yang bisa melewati krisis moneter 1998 dan krisis global 2008 dengan tenang… Tanpa kesulitan berarti.
I wanna be like them…
Finance Should be Practical!
Ligwina Hananto