Jakarta, city of survival – Itu adalah penggalan sms yang dikirimkan seorang teman di Bandung ketika saya mengabarinya tentang rencana saya pindah ke Kota Batavia ini.
Saya pindah menyusul kepindahan suami yang sudah setahun lebih dulu pindah ke Jakarta karena kantor tempatnya berkarya pindah ke Jakarta. Kami lalu menempati sebuah rumah petak di daerah Buncit seluas rumah tipe 21. Kami merogoh kocek Rp 1.5 juta per bulan untuk biaya sewanya. Lokasinya yang strategis membuat kami menjatuhkan pilihan pada rumah petak itu.
Bulan pertama hidup di Jakarta, saya merasakan jiwa dari sms yang dikirimkan teman saya itu. Only survivor can survive in this city. Rencana semula, kami akan tinggal berdua saja di Jakarta selama 6 bulan lalu memboyong anak-anak yang selama ini masih tinggal di Bandung, dititipkan pada Kakek-Neneknya. Ternyata, baru menginjak bulan ke-2, saya sudah homesick kangen pada anak-anak. Meskipun setiap weekend kami pulang ke Bandung, tetap saja tak dapat mengobati kerinduan pada mereka.
Akhirnya kami memutuskan untuk menyewa rumah yang lebih besar dengan lokasi yang lebih jauh dari kantor. Setelah tawar menawar, kami di-charge Rp 17 juta setahun untuk sewanya. Sebuah rumah di bilangan Pangkalan Jati dengan 4 kamar tidur, 2 kamar mandi, sebuah ruang tamu, sebuah dapur, dan sebuah ruang keluarga yang luas dilengkapi dengan garasi. Lokasinya dekat dengan pasar, rumah sakit, mall, sekolahan, terminal, dan public place
lainnya yang dapat memudahkan hidup kami nantinya. This is it!
Melihat kondisi rumah tersebut, kami menganggarkan Rp 20 juta untuk kepindahan plus biaya sewa selama setahun. Rencana kepindahan ini memang maju 6 bulan dari yang kami rencanakan. Artinya, kami saat itu belum memiliki dana khusus untuk sewa rumah baru yang memang rencananya baru akan kami eksekusi 6 bulan mendatang sambil menabung setiap bulan. Uang dari mana sebanyak itu? Tabungan Dana Pindahan kami belum ada sejumlah itu karena kami baru 1 bulan berinvestasi untuk keperluan ini. Tabungan dana pindahan akan dialokasikan untuk biaya syukuran nanti.
Kami memutuskan menggunakan sebagian Dana Darurat kami untuk pindahan dengan anggaran sbb:
Dan saya baru tahu, untuk mencat seluruh ruangan itu membutuhkan aneka kuas, alas mencampur cat, ember, gagang kuas untuk menjangkau area yang tinggi, juga sebuah tangga lipat seharga Rp 450 ribu. Lalu, shower di kamar mandi dua-duanya tidak berfungsi. Kran-kran rusak. Olala, ternyata grendel pintu rusak semua.
Setelah di cek di toko alat-alat bangunan, harga 1 grendel pintu yang cocok dengan ukuran grendel lama itu sebesar Rp 250 ribu dan kami membutuhkan Rp 1 juta untuk 4 pintu! Belum lagi sopir truk bongkar muat barang yang minta ongkos lebih karena menurutnya jarak tempuh rumah kami lebih jauh dari perkiraannya sehingga bahan bakar truk tak cukup untuk kembali pulang ke Bandung.
Well, sungguh tak pernah terpikirkan untuk membeli begitu banyak barang ketika pindahan. Kami sempat bingung karena kami belum memiliki sofa untuk tamu. Rasanya tak mungkin kan kalau kami harus menggelar tikar atau karpet ketika menjamu tamu. Are you kidding? Mertua saya yang baik hati dapat membaca kegalauan hati anaknya ini [halah..] dan menghibahkan sebuah sofa untuk kami. Yessss!
Selesai memboyong anak-anak dari Bandung, hati kami legaaaaaaa sekali. Kami juga lega karena kami tak perlu meminjam uang untuk biaya pindahan ini. We move with pride [halah…]. Kami menggunakan hampir 30% dana darurat kami. Tapi itu tak mengapa karena kami masih memiliki 70% sisanya. PR kami berikutnya pasca pindahan adalah mengganti dana darurat yang terpakai itu. Rencananya, kami akan segera menutupinya dalam 10 bulan kedepan.
Ya, konsep dana darurat adalah dana yang disiapkan untuk keperluan yang sifatnya darurat dan kita harus menggantinya kembali setiap kali kita menggunakannya sehingga jumlahnya kembali utuh and ready to serve for another emergency needs. Kami benar-benar merasakan pentingnya [baca: enaknya] punya dana darurat, hehehe…
Anda punya dana darurat juga, kan?
Eka Agustina
QM Planner