Suatu hari datang seorang klien untuk berkonsultasi dan ingin diberikan solusi mengenai masalah utang yang sedang dihadapinya. Setelah kondisi keuangannya dianalisa, ternyata akar permasalahan klien ini adalah gaya hidup yang tinggi melebihi kemampuannya. Dia senang belanja tas bermerek, koleksi pakaian dan sepatunya pun dibeli dari salah satu outlet yang boleh dikatakan tidak murah.
Transaksi belanja selalu dia lakukan dengan kartu kredit namun sayang sekali, setiap tagihan hanya dibayar sebatas pembayaran minimum. Gaya hidup seperti ini sudah cukup lama dijalaninya sehingga akhirnya terjerat utang kartu kredit. Penampilan ternyata mampu menutupi masalah yang dialaminya, tetapi tentu saja tidak dapat menyelesaikan masalah itu sendiri. Apakah Anda sudah sering mendengar kasus seperti ini? Atau mungkin Anda pernah mengalaminya?
Gaya hidup adalah kebutuhan sekunder yang dapat kita pilih sesuai dengan keinginan. Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, pilihan yang tersedia menjadi semakin banyak dan sangat beragam. Keadaan ini seharusnya menuntut kita untuk semakin bijaksana dalam memilih, bukan menjadi terlena dan masuk ke dalam gaya hidup yang salah. Klien di atas adalah salah satu contoh saja. Tapi coba perhatikan keadaan di sekitar kita, ternyata masih banyak contoh lain yang juga memprihatinkan. Di dunia perencana keuangan, kenyataan ini dapat jelas terlihat dari angka yang tercantum pada data keuangan. Tidak sedikit orang yang mengeluarkan kocek besar untuk gaya hidup yang sulit dipertahankan namun lupa menyisihkan uang untuk hal yang lebih penting.
Contohnya ada orang memilih untuk setiap tahun berlibur ke luar negeri namun tidak menyiapkan dana pendidikan untuk anaknya yang perlu dibayar pertahun. Ada juga yang memaksakan diri untuk memiliki kendaraan secara kredit yang cicilannya menyiksa diri sendiri sehingga pada akhirnya meminjam uang dari sumber lain agar dapat membayarnya. Ada yang suka ngopi-ngopi di cafe yang tidak murah tapi saldo di tabungan ternyata nol.
Sebenarnya, apa sih yang dicari dengan cara hidup seperti ini ? Prestige ? Atau supaya terlihat keren dan modern? Apapun alasannya, jangan sampai gali lubang, tutup lubang dan masuk dalam lubang kemiskinan yang kita ciptakan sendiri.
Berikut adalah tips yang berulang-ulang diingatkan oleh perencana keuangan agar kita tidak terjerat pada gaya hidup yang salah :
- Sisihkan 10% dari penghasilan untuk ditabung/diinvestasikan. Lakukan ini di awal menerima penghasilan, bukan di akhir. Jika karena suatu kondisi, kemampuan menabung ternyata kurang dari 10%, mulailah dengan prosentase yang lebih kecil. Ingat, memulai lebih baik daripada menunda.
- Total cicilan utang maksimal 30% dari perhasilan bulanan. Jika harus mencicil sesuatu, perlu diingat ada berapa barang yang sudah masuk dalam daftar. Bila sudah terlanjur memiliki cicilan yang lebih besar dari batas ideal, angka di pos lain harus ditekan.
- Lifestyle Expense maksimal 20% dari penghasilan bulanan. Gadget, hobi baca, keanggotaan pusat kebugaran dll.
- Tentukan tujuan finansial dan buat rencana keuangan. Jika ingin mempertahankan gaya hidup yang sama sampai masa pensiun, artinya perlu dipertimbangkan berapa besar dana pensiun yang ingin dicapai.
Gaya hidup adalah pilihan. Jika ingin mempertahankan gaya hidup yang baik, kita harus berbenah dan berkomitmen pada diri sendiri. Teman saya Wina, sering menanyakan pertanyaan ini pada para peserta di setiap seminar keuangan: Are you living the lifestyle you deserve? Jawabannya tentu saja ada di tangan Anda sendiri.
Remember this, it is important that we settle into a lifestyle that is sustainable, which means it is affordable.
Yani Sudoyo |Sales and Project Manager|@mwyantje