KTA atau Kredit Tanpa Agunan. Kamu pasti pernah atau bahkan sering dengar ya?
Banyak sekali lembaga keuangan di Indonesia yang memiliki produk KTA dan rajin menawarkannya via berbagai upaya marketing.
Dengan persyaratan dan proses yang mudah, serta tak memerlukan agunan, tak heran produk ini menjadi pilihan banyak orang saat membutuhkan dana tambahan secara cepat. Masalahnya, tepatkah keputusan kamu saat mengambil KTA?
Kredit atau utang pada bank sebaiknya hanya diambil saat kamu punya kebutuhan penting dan mendesak. Contohnya, harus bayar Uang Pangkal sekolah anak lebih cepat, padahal bonus tahunan yang dialokasikan baru akan cair 9 bulan lagi. Atau, harus bayar tagihan RS orang tua dalam jumlah besar dan dana daruratmu sudah habis. Atau lebih baik lagi jika KTA memang digunakan untuk modal usaha tambahan yang ekspektasi return-nya lebih besar dari bunga KTA.
Nah, kalau kamu sudah paham kapan kamu benar-benar perlu mengajukan KTA, yuk kita bahas prosesnya lebih lanjut!
Jika kamu adalah seorang pegawai dan ingin mengajukan KTA, caranya relatif mudah dan tidak harus melalui perusahaan. Kebanyakan bank hanya mensyaratkan hal ini: WNI usia 21-55 tahun yang sudah bekerja dengan minimum penghasilan tertentu. Jika ada bukti slip gaji atau sudah memiliki kartu kredit, maka prosesnya akan lebih mudah.
Ada juga beberapa bank yang memberikan kemudahan dan rate yang lebih rendah bila pengajuan KTA dilakukan secara kolektif dari perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan akan diminta menunjuk seorang Person-in-Charge (PIC) untuk memastikan proses tersebut berjalan baik dan kepastian pembayaran bulanan lebih jelas.
Sayangnya, ada saja yang menyalahgunakan proses KTA kolektif ini sehingga merugikan PIC yang terkait. Simak dan ambil hikmah dari cerita nyata berikut ya!
Beberapa pegawai di perusahaan X mengambil KTA di sebuah Bank, sehingga Bank tersebut mengajukan diri untuk datang ke kantor dan mempresentasikan produk KTA kepada karyawan lainnya. Mendengar kemudahan proses dan besaran dana tunai yang bisa diajukan, jreng… hampir 80% karyawan di kantor tersebut langsung mengajukan diri mengambil KTA.
Sebagian besar karyawan membujuk PIC untuk segera menandatangani perjanjian dengan Bank tersebut supaya KTA mereka segera cair. Setelah diskusi, PIC mengajukan revisi perjanjian tersebut dengan membatasi kewajiban PIC hanyalah untuk:
- memastikan pembayaran gaji pegawai ditransfer ke rekening baru pada Bank pemberi KTA (supaya cicilannya bisa dipotong secara otomatis); dan
- menyampaikan pada Bank jika karyawan sudah tidak bekerja di perusahaan X lagi
Setelah revisi, PIC pun menandatangani perjanjian tersebut dengan nama pribadi namun atas nama perusahaan. Perjanjian ditandatangani, dan karyawan pun menerima dana KTA melalui rekening mereka masing-masing.
Nah, sampai sini, sih.. kayaknya nggak ada yang salah, ya.
Sayangnya, begitu dana KTA cair, beberapa karyawan langsung membeli HP baru atau pergi berlibur. Hal ini tentu berbeda dengan tujuan awal yang dinyatakan saat mereka mendaftar KTA. Saat ditanya oleh PIC mengapa tidak jujur dengan tujuannya, karyawan menjawab: “Yang penting kan, kita akan tetap bayar cicilannya dengan gaji kita!”
Permasalahan datang saat terjadi pengurangan karyawan secara besar-besaran.
Hampir semua karyawan – yang terdaftar dalam KTA kolektif – mengalami PHK dan akan memperoleh pesangon yang cukup besar. Saat ini terjadi, tentunya PIC dari perusahaan X harus melapor pada Bank supaya dana pesangon bisa langsung dipotong sesuai dengan sisa kredit yang masih harus dibayar.
Namun, yang terjadi adalah sebagian karyawan mempunyai itikad tidak baik untuk tidak melunasi cicilan. Mereka membujuk PIC supaya tidak melapor ke Bank dan meminta dana pesangon ditransfer ke bank lain. Alasan yang mereka pakai adalah “Ini kan pinjaman pribadi, bukan perusahaan, jadi biar kami saja yang mengurus sendiri ke bank.”
Untungnya, PIC memahami bahwa perjanjian awal dengan Bank menyatakan bahwa ia wajib memberitahu jika karyawan berhenti bekerja, sehingga ia menolak bujukan tersebut dan tetap melapor pada Bank.
Dari kisah tersebut, inilah pelajaran yang bisa kita ambil, terutama jika kamu adalah seorang HR Manager di perusahaan:
- KTA bisa dan sebaiknya dilakukan secara perseorangan, tanpa perlu melibatkan perusahaan, kecuali ada pertimbangan khusus.
- Jika perusahaan menganggap perlu ada KTA kolektif, di mana PIC dari bagian HR/Finance harus menandatangani perjanjian dengan bank, maka pastikan semua pihak memahami peran, kewajiban, dan sanksinya. PIC sebaiknya membatasi perannya hanya untuk memastikan pembayaran gaji ditransfer ke rekening baru di bank pemberi KTA dan menyampaikan saat karyawan tidak bekerja lagi dengan alasan apapun. Bacalah baik-baik perjanjian KTA, karena jika kamu adalah PIC penandatangan, kamu bisa saja dituntut jika pembayaran cicilan tersendat.
- Jelaskan pada karyawan yang ingin mengambil KTA, bahwa ini adalah utang dan hanya disarankan jika ada tujuan penting yang mendesak, bukan untuk kebutuhan yang bersifat gaya hidup!
- Sarankan karyawan untuk meneliti produk KTA dari berbagai penyedia jasa: bandingkan, hitung, dan pastikan jumlah cicilan yang ditawarkan, serta ketentuan dan sanksi yang ada.
- Pastikan karyawan memiliki rencana pembayaran cicilan yang jelas, dan berikan saran bagaimana cara komunikasi dengan bank saat terjadi PHK di perusahaan.
Nah, semoga artikel ini bisa membantu kamu lebih bijak dalam menyikapi banyaknya tawaran KTA, terlebih jika kamu adalah seorang HR Manager yang mungkin diminta menjadi PIC KTA Kolektif. KTA bisa menjadi anugerah atau bencana, tergantung tujuan pemanfaatan dana dan rencana pembayaran cicilan, jadi ingatlah untuk selalu bersikap bijak dan jujur ya!
Nafila Assegaf / Human Resources
***
#QMTraining adalah program pelatihan interaktif untuk karyawan di perusahaan. Anda dapat menyusun program bersama konsultan dan pembicara dari QM Financial agar sesuai dengan kebutuhan literasi finansial Anda. Hubungi kami melalui email: [email protected] atau isi formulir pada laman KONTAK.