Halal Haram asuransi semakin sering dipertanyakan!
Artinya awareness semakin tinggi untuk menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari unsur ‘haram’ dalam kehidupan. Misalnya dengan kehati-hatian memilih makanan dan minuman yang akan kita konsumsi. Sebagai seorang Muslim, tentu saya hanya memilih makanan dan minuman yang halal saja. Saya akan menolak dengan tegas jika disodori makanan minuman yang haram, maupun mengandung unsur yang diharamkan. Nah, meningkatnya awareness ini tidak hanya pada makanan minuman, tetapi juga mulai dirasakan pada transaksi keuangan dan bisnis yang dijalani sehari-hari.
Masyarakat Muslim mulai memilah-milah transaksi keuangannya dan pada akhirnya memilih transaksi keuangan yang menghasilkan “keuntungan” yang halal baginya. Kini, penggunaan transaksi-transaksi yang Islami (sering disebut dengan transaksi syariah) telah menjadi lifestyle tersendiri.
Lalu, bagaimana dengan Asuransi? Halal atau Haram?
Pertanyaan ini menjadi penting mengingat dalam financial planning kita selalu mencari solusi untuk mengelola risiko (risk management). Dalam risk management inilah seorang financial planner sering kali menyarankan penggunaan produk-produk asuransi.
Untuk menganalisis, apakah asuransi ini halal, hal pertama yang perlu kita lakukan adalah mengenal bagaimana transaksi yang terjadi dalam asuransi ini. Dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian disebutkan bahwa “Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
- memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
- memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Singkatnya, asuransi adalah suatu transaksi untuk mengalihkan risiko dari peserta (pemegang polis) kepada perusahaan asuransi. Risiko yang mungkin akan dihadari oleh peserta asuransi dialihkan kepada perusahaan asuransi. Risiko itu bisa berupa kerugian, kerusakan, meninggal, sakit, kecelakaan dan lain sebagainya.
Dengan demikian maka yang menjadi objek transaksi adalah risiko. Risiko sebagai objek transaksi ini ditukar dengan premi yang dibayarkan oleh peserta asuransi. Terjadilah pengalihan risiko dengan kompensasi pembayaran premi.
Apakah transaksi asuransi dalam konteks ini bisa disebut dengan jual beli?
Mari kita lihat rukun dan syarat jual beli dalam hukum Islam (baca: fiqh). Dalam Fiqh, salah satu rukun jual beli adalah adanya barang/objek jual beli. Syarat atas objek jual beli diantaranya adalah barangnya riil ada dan bisa dikuasai. Lalu kita lihat, apakah risiko yang menjadi objek transaksi dalam asuransi itu termasuk barang riil dan dapat dikuasai? Kita tentu sepakat bahwa risiko bukan barang yang riil dan tidak dapat dikuasai, mengingat risiko ini bisa terjadi dan bisa pula tidak. Mobil bisa terjadi kecelakaan bisa tidak. Orang bisa sakit dalam periode tertentu, bisa juga tidak. Dalam waktu tertentu, orang bisa meninggal, bisa juga tidak. Sehingga risiko ini bisa terjadi bisa juga tidak. Sehingga peralihan atas risiko dalam transaksi keuangan ini tidak dapat memenuhi rukun dan syarat jual beli dalam hukum islam. Justru lebih dekat dengan “judi” dan ”gharar” (gharar adalah suatu transaksi yang tidak jelas). Kedua hal ini tidak dapat dibenarkan dalam hukum Islam.
Atas dasar pemaparan di atas, transaksi “asuransi biasa” tidak dapat dibenarkan dalam hukum Islam (fiqh), lalu bagaimana solusinya?
Kini sudah ada produk-produk asuransi syariah. Asuransi syariah bisa menjadi solusi bagi yang ingin memiliki asuransi tetapi tidak mau bersinggungan dengan unsur judi dan gharar, baik dia Muslim maupun bukan. Produk asuransi syariah dan produk keuangan syariah lainnya dapat dimanfaatkan baik oleh Muslim maupun yang bukan Muslim.
Jika demikian, lalu bagaimana cara kerja asuransi syariah? Dalam fatwa DSN-MUI No.20/DSN-MUI/X/2001, Asuransi Syariah didefinisikan sebagai berikut:
“Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah”.
Singkatnya, cara kerja asuransi syariah adalah atas dasar transaksi saling melindungi dan tolong menolong di antara para peserta asuransi. Jadi bukan mengalihkan risiko kepada perusahaan asuransi. Transaksi utamanya adalah transaksi antar para peserta untuk sepakat saling melindungi dan tolong menolong satu sama lain dengan memberikan (menghibahkan) sejumlah dana tertentu dari masing-masing peserta, dana tersebut dikumpulkan dalam wadah (rekening) khusus, lalu seluruh peserta bersepakat jika ada yang terkena musibah di antara para peserta, maka akan diberikan santunan dari dana bersama tersebut.
Untuk mengelola dana yang terkumpul, mengadministrasikannya dan memberikan santunan bagi yang terkena musibah diperlukan adanya pihak yang mengurusinya. Pihak itu adalah perusahaan asuransi syariah. Dana yang disetorkan oleh peserta tersebut adalah premi dalam asuransi syariah. Jadi kumpulan dana premi (pool of fund) bukan milik perusahaan asuransi syariah, tapi menjadi milik para peserta yang dikelola oleh perusahaan asuransi. Konsekuensinya adalah bahwa dana premi dalam asuransi syariah tidak dapat diakui sebagai pendapatan perusahaan asuransi, tapi hanya sebagai dana yang dikelola oleh perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi hanya mendapatkan fee (upah/ujrah) dari jasa pengelolaan tersebut.
Dengan memahami ini, maka kita bisa mengeri bahwa transaksi keuangan syariah, khususnya asuransi syariah itu bukan hanya sekedar beda nama dengan asuransi yang biasa. Karena transaksinya beda, pembukuan (akuntansinya) juga beda, status dana juga berbeda sehingga secara hukum islam juga hasilnya beda. Karena transaksinya tidak mengandung unsur yang dilarang, maka asuransi syariah ini halal dalam analisis fiqh.
Di Indonesia, perusahaan asuransi syariah juga termasuk lembaga keuangan yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Peraturan dan mengawasan yang dilakukan oleh OJK tergolong cukup lengkap dan diatur secara ketat (highly regulated). Regulasi tersebut terkait dengan operasional, akuntansi dan pelaporannya sampai dengan keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing asuransi syariah yang bertugas melakukan pengawasan aspek kesyariahannya selain juga memberikan saran dan masukan kepada management perusahaan asuransi.
Dalam catatan OJK per Juli 2015, tercatat sudah ada 51 perusahaan asuransi syariah. Baik perusahaan yang hanya beroperasi dan memberikan layanan asuransi syariah, maupun perusahaan asuransi biasa yang memiliki unit usaha khusus yang memberikan layanan asuransi syariah termasuk perusahaan reasuransi syariah. Berikut datanya:
No | Deskripsi | Juli 2015 |
---|---|---|
1 | Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah | 3 |
2 | Perusahaan Asuransi Jiwa yang memiliki Unit Syariah | 19 |
3 | Perusahaan Asuransi Kerugian Syariah | 3 |
4 | Perusahaan Asuransi Kerugian yang memiliki Unit Syariah | 23 |
5 | Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah | 3 |
Jumlah | 51 |
Dengan semakin banyaknya produk-produk asuransi syariah di Indonesia, maka sudah tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak memanfaatkan produk-produk asuransi syariah ini. Gunakan produk asuransi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan rencana keuangan kita.
Mari berasuransi secara syariah!
Semoga bermanfaat.
Artikel terkait:
Related Posts
2 Comments
Leave a Reply Cancel reply
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
[…] tidak kompeten membahas halal haram asuransi, tapi saya cukup sepakat dengan penjabaran di artikel ini bahwa asuransi adalah suatu transaksi untuk mengalihkan risiko dari peserta (pemegang polis) […]
[…] tidak kompeten membahas halal haram asuransi, tapi saya cukup sepakat dengan penjabaran di artikel ini bahwa asuransi adalah suatu transaksi untuk mengalihkan risiko dari peserta (pemegang polis) […]