Beberapa bulan yang lalu secara tidak sengaja saya bertemu senior saat kuliah. Kami bertemu pada suatu acara yang diselenggarakan oleh bank asing tempatnya bekerja. Kami pun sempat mengobrol cukup panjang di sela-sela coffee break sore itu. Setelah bertukar kabar dan membahas tentang pekerjaan, tak disangka dia mengutarakan rencananya untuk menikah dalam waktu dekat.
Kenapa tiba-tiba dia seterbuka itu, ya? Usut punya usut ternyata dia memiliki problem keuangan saat itu dan calon suaminya kebetulan seorang pebisnis yang tak luput dari utang modal usaha. Ketika dia tahu bahwa sekarang saya berprofesi sebagai financial planner maka dia ingin meminta pendapat saya tentang pengelolaan keuangan keluarga kedepannya dan mengenai pre-nuptial agreement (prenup). Apa itu prenup? Memangnya perlu, ya? Sebelum keburu sentimen, ketahui dahulu latar belakang dan isinya. Yuk, mari mengenal pre-nup!
Prenuptial agreement atau perjanjian pranikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah. Intinya tentang pemisahan harta dan utang antara suami-istri. Dasar yang pertama yaitu Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Isinya begini:
– Harta dan utang suami-istri sebelum menikah adalah milik masing-masing;
– Harta dan utang suami-istri setelah menikah adalah milik bersama kecuali ada perjanjian sebelumnya.
Selain itu, dari sisi agama (misalnya Islam), terdapat aturan bahwa seorang suami wajib menafkahi istri dan anak-anaknya. Sementara jika istri mampu bekerja, dia tidak wajib memberikan hasil kerjanya kepada keluarganya. Kelihatan kan, harta istri dipisah dari harta keluarganya?
Prenup dibuat untuk mengatur harta kekayaan berdua jika terjadi perceraian atau kematian salah satu sampai ke pengaturan urusan keuangan selama pernikahan. Kok kesannya mesti siap cerai, ya? Siapa juga yang mau, tapi kalau soal meninggal kan pasti. Nah, prenup bukan cuma melindungi harta gono-gini setelah bercerai tapi juga harta dan utang kalau salah satu meninggal duluan.
Dari pemaparan di atas, terlihat jelas kan poin-poin plus-nya prenup. Untuk kasus senior saya itu, tentu saja prenup dapat melindungi dia dari beban menanggung utang modal usaha suaminya kelak misalnya. Mereka perlu keterbukaan mengungkap detil kondisi keuangan sebelum menikah (jumlah harta bawaan, utang) dan potensi utang setelah menikah, agar jelas siapa yang bertanggung jawab melunasinya.
Lalu, apa poin minus-nya prenup? Prenup bisa jadi pemicu tersentilnya ego laki-laki. Nggak mau bikin prenup juga nggak apa-apa kok, bukan suatu keharusan. Jangan sampai bahasan tentang prenup menjadi ganjalan dalam melangsungkan pernikahan. Semua hal bisa didiskusikan, termasuk kepemilikan atas harta setelah menikah nanti. Bisa dong diobrolin, misalnya benda-benda apa saja yang menjadi milik istri dan apa yang menjadi milik bersama. Oh ya, tahu kan kalau mahar pernikahan itu mutlak milik istri dan segala macam warisan dari keluarga itu milik masing-masing? Sip J
Punya prenup atau nggak itu pilihan. Yang penting tahu akan konsekuensinya. Memang sih membuat prenup bukan budaya timur dan terkesan hitung-hitungan banget, nggak romantis… Yang penting kedua belah pihak suami-istri mau berusaha yang terbaik demi kehidupan pernikahannya. Punya prenup atau nggak, yang penting happily married.
So, selamat mempertimbangkan prenup!
Wulan | Planner | @pwulandr
*artikel terkait dapat dibaca di sini