Hari Kamis 15 April 2010 lalu, saya mendapatkan kesempatan yang luar biasa. Saya berkesempatan untuk memberikan training di hadapan “ibu-ibu pengusaha kecil”. Saya menyebut mereka dengan istilah “pengusaha” karena mereka adalah benar-benar pengusaha sejati. Mereka benar-benar berusaha dan menjalankan bisnisnya dengan keringat dan mencurahkan semua potensi yang dimilikinya. Di antara ibu-ibu tersebut ada yang jualan mie ayam yang dijualnya per porsi Rp.5.000,-, Ada juga yang bernama Ibu Diah yang berjualan mukena dari kantor ke kantor, harga belinya mukena rata-rata Rp.75.000,- yang dijualnya dengan harga yang cukup bervariasi. Ada juga ibu-ibu yang jual baju dengan system pembayaran dengan kreditan (cicilan).
QM Financial bekerja sama dengan Yayasan Sahabat Wanita untuk memberikan edukasi masalah mengatur keuangan kepada wanita Indonesia yang punya usaha kecil dan tentunya memerlukan pembinaan baik dari sisi skill maupun financing. Kebetulan saya mendapatkan bagian untuk mengajar ibu-ibu yang terkumpul dalam KOPWANI (Koperasi Wanita Indonesia) di Sebuah gedung di kawasan Rasuna Said, Kuningan Jakarta.
Biasanya ibu-ibu pengusaha kecil itu tau usahanya itu menguntungkan, tapi seringkali kebingungan ketika ditanya, “Ibu, untungnya berapa, dalam sehari?”. Karena mereka jarang sekali mencatat berapa pendapatan mereka dari berjualan itu dan berapa biaya yang dikeluarkannya untuk membeli bahan baku atau modal. Selain itu, kebiasaan usaha rumahan adalah bercampurnya uang untuk usaha dan uang untuk jajan anaknya. Sehingga menjadi sulit untuk mengukur, seberapa besar sebenarnya untung mereka itu.
Biasanya untuk seseorang yang memiliki usaha, pertama kali yang selalu saya minta adalah memisahkan antara dana milik usahanya dan dana untuk keluarganya. Saya juga tidak lupa menyarankan agar seluruh transaksi keluar dan masuknya dana, khususnya yang untuk usaha, harus dicatat.
Pertanyaan yang sering kali muncul adalah: “kalau pengeluaran untuk usaha terpisah dari pengeluaran untuk keluarga, dari mana dana untuk keluarga? Khan kita tidak ada pendapatan lain selain dari usaha itu?” Nah, justeru itu, maka si pemilik usaha harus menetapkan berapa “gaji” yang akan diberikan dari usahanya untuk biaya hidup keluarganya. Pengusaha, kelas rumahan sekalipun, harus menetapkan “gaji” buat dirinya. Selanjutnya dari gaji itulah yang akan digunakannya untuk pengeluaran-pengeluaran keluarga. Jadi, si pemilik usaha “harus” bisa memisahkan antara uang usaha dan uang keluarga.
Saya bilang ke Ibu yang jual Mie Ayam tadi, “Jadi, Bu. Mulai sekarang, kalau anaknya rewel terus minta jajan, tidak boleh lagi ambil uang dari laci gerobak yaa…, Ibu harus ambil dari dompet Ibu yang untuk dana keluarga”.
Pemilik usaha harus bisa dengan rajin dan disiplin mencatatkan seluruh dana masuk dan dana keluar, termasuk berapa gaji dia hari itu. Jika ada pengeluaran usaha yang dibayarkannya bulanan atau mingguan, seperti rekening listrik, telpon atau sewa tempat, maka harus dialokasikan secara harian untuk dibayarkan pada saat jatuh tempo, bulanan atau mingguan.
Yang lebih menarik adalah, seringkali untuk si pemilik usaha tidak memiliki tujuan yang ingin dicapainya di masa mendatang. Jadi, pas ditanya, sebenarnya usaha ini tujuannya untuk apa, mereka sering kali kebingungan. Padahal kalau dipancing, apa ingin maju usahanya? Jawabannya pasti “iya”. Nah, untuk memajukan usaha tentu perlu tambah modal, misalnya untuk nambah etalase di tokonya.
Cara termudah untuk nambah modal adalah dengan menabung. Jadi dari uang yang dihasilkan harus dibagi-bagi lagi, setidaknya untuk beberapa keperluan sebagai berikut:
· Untuk membeli bahan baku buat jualan di esokan harinya.
· Gaji untuk si pemilik usaha
· Menabung untuk pengembangan usahanya.
Jadi pemilik usaha sudah punya gaji dan juga bisa nabung untuk mengembangkan usahanya. Tinggal tentunya dia juga punya tujuan untuk keluarganya, misalnya ingin menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi, atau hanya sekedar ingin punya motor, atau ingin pergi haji. Untuk mencapai tujuan pribadinya, maka dari gajinya yang dia dapat dari usaha, selain untuk biaya hidup keluarga, harus dapat ditabungkan untuk tujuan-tujuan tersebut.
Misal hanya dengan Rp.10.000,- per hari saja, maka dalam setahun akan terkumpul dana sekitar Rp.3.600.000,- dalam 3 sampai 4 tahun bisa buat beli sepeda motor. Ingat, hanya dari
Rp.10.000,- saja per hari. Tapi, tanpa adanya perencanaan, tanpa adanya kedisiplinan, bertahun-tahun seorang penjual mie ayam susah untuk dapat membeli sepeda motor, tanpa berhutang.
Rencanakan keuangan Anda, mulai dari yang sederhana, dan kuncinya adalah rutin, disiplin dan rajin.
Finance Should be Practical!
Mohammad B. Teguh
QMPlanner