Apa Beda Gaji Ke-13, THR, dan Bonus Tahunan?
Perusahaan, pada umumnya, memang punya cara-cara tertentu untuk memberikan apresiasi ataupun melakukan sesuatu sebagai usaha menyejahterakan karyawannya. Rata-rata tujuannya agar dengan kondisi hidup karyawan yang sejahtera, maka kinerja pun akan meningkat–yah, setidaknya stabil. Bentuknya macam-macam sih, ada berbagai fasilitas yang ditawarkan. Beberapa di antaranya adalah adanya gaji ke-13, tunjangan hari raya (THR), dan bonus tahunan.
Nah, ketiganya memang pada prinsipnya sama; sama-sama memberikan uang di luar gaji dan tunjangan rutin yang diterima oleh karyawan, tetapi ternyata gaji ke-13, THR, dan bonus tahunan ini punya fungsi dan peruntukan masing-masing, pun perhitungannya sendiri.
Barangkali ada yang masih bingung tentang perbedaan gaji ke-13, THR, maupun bonus tahunan? Mengapa diberikan tidak bersamaan, misalnya? Atau, mengapa harus dipisah-pisahkan, gaji ke-13 sekian, THR sekian, bonus tahunan sekian?
Yuk, simak artikel ini sampai selesai ya.
Gaji Ke-13
Istilah ‘gaji ke-13’ rata-rata diakrabi oleh mereka yang (pernah) berstatus ASN, alias Aparatur Sipil Negara. Atau PNS–Pegawai Negeri Sipil. Memang karena awalnya gaji ke-13 ini diberikan hanya pada para ASN menjelang pendaftaran anak ke sekolah.
Pasti sudah tahu kan, begitu masuk tahun ajaran baru, kebutuhan anak-anak pasti meningkat. Yang masuk sekolah baru, apalagi. Yang naik kelas doang aja kebutuhannya bejibun, belum lagi bayar uang tahunan dan sebagainya.
Pemerintah bermaksud memfasilitasi hal ini, dengan memberikan gaji ke-13 kepada para ASN, untuk membantu peningkatan kebutuhan ini.
Dinamai gaji ke-13, karena “uang kaget” ini diberikan dengan besaran yang sama dengan 1 kali gaji (termasuk tunjangannya), di luar 12 bulan gaji rutin. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah nomor 19, 20, 21, dan 22 yang telah disahkan tahun 2016 lalu.
Nah, karena ditujukan untuk membantu kebutuhan anak-anak sekolah memasuki tahun ajaran baru, maka biasanya gaji ke-13 diberikan ya di sekitar mulainya tahun ajaran baru. Biasanya sih di bulan Juli.
Tunjangan Hari Raya (THR)
Tunjangan Hari Raya merupakan salah satu tunjangan yang wajib diberikan oleh pemberi kerja kepada karyawan, dan diberikan menjelang hari raya keagamaan. Meski pemerintah Indonesia mengakui ada 6 agama, tapi biasanya THR ini ya hanya diberikan menjelang Idul Fitri saja. Biasanya sih, maksimal 7 hari menjelang hari raya, THR ini sudah harus diberikan pada karyawan.
Pemberian THR ini–seperti halnya pemberian gaji ke-13–diatur secara resmi dalam undang-undang, tepatnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 20 tahun 2016. Jadi, kalau sampai ada perusahaan yang enggak memberikan hak THR bagi karyawannya, ada ancaman hukuman dan sanksi yang akan menjadi konsekuensinya.
THR ini diberikan kepada semua karyawan, tak peduli statusnya apa; mulai dari pekerja lepas, karyawan kontrak, hingga karyawan tetap. Semua pemberi kerja berkewajiban memberi THR ini setidaknya setahun sekali pada karyawan.
Besar THR biasanya adalah 1 kali gaji pokok, tanpa tunjangan apa pun, baik itu yang rutin atau yang lainnya.
Bonus Tahunan
Bonus tahunan–tidak seperti gaji ke-13 ataupun THR–tidak diatur dalam undang-undang oleh pemerintah, karena merupakan kebijakan masing-masing perusahaan.
Bonus tahunan diberikan bisa karena beberapa faktor, misalnya tercapainya target perusahaan, apresiasi terhadap kinerja karyawan (kedisiplinan, loyalitas, dan keahlian lainnya), dan sebagainya.
Waktu pemberian bonus tahunan juga sesuai dengan kebijakan perusahaan. Ada yang diberikan di akhir tahun, sebelum tutup buku. Ada pula yang diberikan awal tahun, sebagai hasil profit tahun sebelumnya. Ada juga yang pertengahan tahun, karena pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Cara menentukan besarnya bonus ini juga tergantung masing-masing perusahaan. Ada yang memakai sistem persentase terhadap masa kerja, level jabatan, kategori departemen, hingga status peringatan pelanggaran. Ada pula yang menggunakan sistem perhitungan bagi hasil, atau pembagian keuntungan.
Bagaimana Pelaksanaan Pemberian Gaji Ke-13, THR, dan Bonus Ini pada Karyawan Swasta?
Sebenarnya, aturan-aturan di atas memang ditetapkan untuk mengatur tunjangan para ASN, terutama soal gaji ke-13 dan THR. Untuk perusahaan swasta, pemerintah sebenarnya membebaskan pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi perusahaan itu sendiri.
Yang pasti, kalau kondisi keuangan perusahaan kurang sehat ya, terpaksa segala macam tambahan gaji ini tidak bisa diberikan. Ini hal yang wajar terjadi.
Bonus tahunan sendiri biasanya dikenal berlaku di perusahaan swasta. Sedangkan THR, pemerintah mewajibkan seluruh pemberi kerja untuk memberikan hak ini pada semua karyawan, bahkan ada ancaman hukuman dan sanksi jika tidak dilaksanakan. Nah, kalau gaji ke-13 memang hanya dikenal di kalangan ASN, tetapi jika perusahaan swasta mau ikut mengadopsi sistemnya pun tidak masalah.
Yes, semoga sekarang sudah jelas ya, apa bedanya gaji ke-13, tunjangan hari raya (THR), dan bonus tahunan. Ketiganya berbeda peruntukan, meski sama-sama merupakan tambahan gaji rutin yang diterima oleh karyawan.
Tinggal bagaimana mengelolanya saja nih, supaya tambahan uang ini bisa bermanfaat optimal.
Stay tuned di akun Instagram QM Financial untuk berbagai update dan info seputar keuangan, agar kita lebih bijak dalam mengambil keputusan penting untuk hidup kita ke depan.
Ibu Kota Baru Indonesia di Kalimantan Timur: 5 Kekhawatiran dan 3 Antusiasme yang Muncul di Tengah Para Aparat Sipil Negara
Tanggal 16 Agustus 2019 yang lalu, Presiden Joko Widodo sudah memutuskan secara resmi akan memindahkan ibu kota ke lokasi ibu kota baru Indonesia di Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Sontak gejolak pun terjadi, seperti biasa ada pro dan kontra. Di antaranya adalah munculnya hasil survei oleh Indonesia Development Monitoring (IDM), yang diadakan 7 – 20 Agustus 2019 lalu, seperti yang dirilis oleh situs BBC Indonesia. Hasilnya, sebanyak 94,7 % aparat sipil negara (ASN) menolak untuk dipindahkan ke Kalimantan Timur. Survei tersebut dilakukan terhadap 1.225 responden ASN, mewakili 800 ribu PNS yang bertugas di pemerintahan pusat, yang akan wajib pindah seturut kepindahan pusat pemerintahan Indonesia ke Kalimantan Timur.
Well, ini menarik. Apalagi setelah menelusur banyak sumber, ternyata banyak kekhawatiran yang melanda para ASN yang sangat beralasan sehingga mereka menolak pindah ke ibu kota baru Indonesia, bahkan kemudian muncul tren pensiun dini.
Apa saja kekhawatiran yang timbul di kalangan ASN sehingga mereka menolak pindah ke ibu kota baru Indonesia? Berikut beberapa di antaranya.
1. Apakah fasilitas yang dibangun oleh pemerintah akan memadai?
Benak sebagian besar ASN masih dipenuhi tanda tanya lantaran belum ada gambaran sama sekali, konsep green and smart city yang akan dibangun oleh pemerintah akan seperti apa di ibu kota baru Indonesia nantinya.
Memang betul, pemerintah akan menyediakan semua fasilitas yang diperlukan oleh para ASN yang bersedia pindah, termasuk soal tempat tinggal. Namun, konsep rumah tinggal vertikal ini masih dipertanyakan oleh para pengabdi negara itu.
Apakah seperti rusun? Rumah petak? Apakah akan menjadi hak milik? Dan seterusnya.
Kekhawatiran ini beralasan sih, karena sebagian ASN sudah mempunyai rumah di Jakarta. Kalau dengan pindah mereka akhirnya balik lagi ke pilihan kontrak, tentu bukan cita-cita mereka banget kan?
2. Jauh dari keluarga adalah pilihan sulit
Kantor pindah, ladang buat mencari rezeki juga pindah, ini berarti juga ikut memindahkan keluarga ke Kalimantan Timur. Hal ini dikarenakan jauh dari keluarga akan menjadi pilihan yang sangat sulit bagi para ASN yang memilih menolak pindah ke ibu kota baru Indonesia itu. Lagi pula, biaya hidup akan lebih besar kalau sampai harus menjalani long distance marriage–alias pernikahan jarak jauh. Belum lagi berat di rindu, seperti kata Dilan.
Dari sini, kekhawatiran lain pun muncul. Seberapa besar ukuran tempat tinggal yang disediakan oleh pemerintah? Cukup enggak untuk rata-rata ASN yang sudah berkeluarga?
3. Fasilitas di ibu kota baru pasti tidak akan selengkap Jakarta
Kalau melihat blueprint yang sudah dirilis oleh pemerintah mengenai pembangunan ibu kota baru Indonesia, setiap fasilitas yang diperlukan memang sudah termasuk dalam perencanaannya. Termasuk nanti juga bakalan ada universitas, stasiun dan kereta-keretanya, hingga mal dan segala fasilitas hedonnya.
Akan tetapi, tentulah tak semua bisa langsung terbangun dengan cepat. Ada tahapan-tahapan pembangunan yang harus dilalui. Hal ini membuat para pengabdi negara khawatir, fasilitas ini tidak akan bisa selengkap Jakarta.
4. Apakah kualitas pendidikan di ibu kota baru akan sebaik Jakarta?
Hal lain yang juga menjadi kekhawatiran para aparatur sipil negara yang menolak pindah kerja ke lokasi ibu kota baru Indonesia adalah apakah kualitas pendidikan anak-anak mereka nantinya akan sebaik di Jakarta.
Jakarta yang sudah menjadi pusat segalanya–mulai dari pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat kehidupan Indonesia–sudah mempunyai fasilitas lengkap dan terbaik yang diperlukan oleh hampir seluruh penduduk Indonesia.
Akankah bisa dipenuhi juga oleh ibu kota baru di Kalimantan Timur tersebut? Sungguh misteri besar.
5. Khawatir kurang hiburan
Jakarta yang menjadi pusat kehidupan Indonesia sudah pasti punya semua hal yang diperlukan oleh warganya. Mulai dari fasilitas sepenting pendidikan, bisnis, sampai pusat hiburan, termasuk internet kencang dan listrik yang hampir tak pernah padam.
Akankah ibu kota baru Indonesia akan punya semua hal yang sama dengan yang di Jakarta?
Lagi-lagi, kalau melihat perencanaannya sih bakalan ada juga. Hanya saja, kapan bisa terwujud? Keburu bosan di sana, begitu barangkali yang muncul di pikiran para ASN ini.
Meski demikian, ternyata tak semua menolak kepindahan kantornya ke lokasi ibu kota baru Indonesia. Ada yang dengan senang hati pindah.
Antusiasme apa yang membawa para ASN ini rela bahkan dengan senang hati pindah kantor ke lokasi ibu kota baru Indonesia?
1. Tinggal tak jauh dari kantor
Menurut Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Syafruddin, nantinya untuk ke kantor, para ASN hanya perlu berjalan kaki 500 meter saja dari rumah. Beda banget dengan para ASN sekarang yang banyak berangkat dari Tangerang, Depok, hingga Bekasi. Mereka harus menempuh berjam-jam perjalanan dengan commuter line, lalu disambung TransJakarta, dan lalu mesti naik ojol lagi. Belum lagi kemacetannya.
Di lokasi ibu kota yang baru nanti, kalau enggak jalan kaki ya naik sepeda, maksimal. Ah, betapa menyehatkan! Sehat di dompet, sehat di raga, sehat di mental.
2. Polusi udara lebih baik
Sudah pasti, udara di Kalimantan Timur kualitasnya lebih baik daripada kualitas udara di Jakarta yang sudah sangat jenuh dengan polusi.
Masih ingat pastinya, CNN Indonesia memberitakan bahwa di Sabtu pagi tanggal 10 Agustus 2019 yang lalu, tingkat polusi udara di Jakarta menjadi yang terburuk di dunia menurut AirVisual lo. Boleh dibaca lagi beritanya, kalau kemarin ketinggalan ya.
Betapa sehatnya jika nanti ibu kota baru Indonesia dikelilingi oleh hutan hujan tropis kan? Tapi, sepertinya PR terbesar pemerintah adalah mengatasi potensi terjadinya kebakaran hutan dulu sih.
3. Yang belum punya aset rumah, jadi punya
Sebagian kecil dari para ASN adalah mereka yang masih lajang, belum punya tanggungan, dan punya masa depan yang masih panjang. Nah, mereka ini banyak yang mengaku akan dengan senang hati ikut pindah ke lokasi ibu kota baru Indonesia, apalagi jika di sana disediakan fasilitas rumah bagi mereka.
Sebagian besar mengaku, di Jakarta masih ngontrak ataupun ngekos. Kalau dengan pindah, mereka bisa mendapatkan fasilitas rumah dengan sertifikat hak milik, ya kenapa enggak?
Nah, bagaimana dengan Anda, pembaca QM Financial? Apakah Anda termasuk yang menyetujui pemindahan lokasi ibu kota baru Indonesia di Kalimantan Timur? Ataukah Anda barangkali termasuk dari mereka yang menolak ataupun yang dengan senang hati ikut pindah kantor ke ibu kota baru itu? Share your thoughts di kolom komen ya!